Nini Gulipa tersentak saat mendengar jeritan Cokro Suta. Wanita tua itu pun bergegas membawa bayi yang baru saja ia mandikan itu ke dalam.
"Ada ap-"
Ucapan Nini Gulipa mengambang di udara saat melihat Cokro Suta sedang menangis memeluk sang istri yang sudah tidak bergerak lagi.
"Dia meninggal ...."
Nastiti tidak mampu menahan tangisannya. Dengan hati yang sedih ia mengambil bayi merah dalam dekapan Nini Gulipa.
"Bayi ini bukan bayi biasa," kata Nini Gulipa.
"Maksud Nini?"
Nini Gulipa mengembuskan napasnya.
"Kau lihat tanda berbentuk bulan sabit ini? Tanda ini adalah tanda dari iblis. Nikahkan dia sebelum usianya genap 17 tahun. Dan jangan izinkan dia keluar di malam kamis legi," kata Nini Gulipa.
Cokro Suta tak menjawab, ia tidak tau harus mengatakan apa. Yang saat ini ia rasakan hanya kepedihan
"Aku tidak setuju jika kau terus menerus menangani kasus aneh ini, Mas. Sudah hampir setahun sejak kita menikah kau masih saja ngotot. Sementara penyelidikan pun selalu mengalami jalan buntu. Jujur saja aku lelah, Mas." Buana menarik napas panjang, ia sangat mengerti perasaan Gendis. Selama hampir dua tahun ini ia dan Yongseng benar-benar dibuat pusing dengan kasus kematian berantai yang terus menerus terjadi. Dan saat Segara mengabarkan jika ada seseorang yang 'mungkin' bisa membantu mereka ia kembali bersemangat. Secara psikologi, Buana juga lelah. Ia tau jika tugasnya sebagai seorang anggota kepolisian menuntutnya untuk menyelesaikan kasus ini secepatnya. Tetapi, sebagai manusia biasa Buana juga merasa sangat lelah."Aku tau Sayang. Tapi, bukankah ketika kita menikah dulu kau sudah tau apa yang menjadi pekerjaanku?" tanya Buana."Iya, tapi ... aku tidak menyangka jika tugasmu seaneh ini," jawa
Buana langsung memeluk dan menciumi sang istri dengan penuh kegembiraan."Aku senang sekali,Sayang. Semoga anak kita nanti menjadi anak yang membanggakan kedua orang tua. Kita ke rumah kedua orang tuamu untuk memberi berita bahagia ini, bagaimana?" kata Buana dengan mata berbinar."Iya, Mas. Aku juga sudah lama tidak menjenguk papa dan mama," jawab Gendis."Kalau begitu bersiap-siaplah. Apa kau mau sekalian menginap di sana untuk beberapa hari?" tanya Buana."Boleh?""Tentu saja, masa aku melarang. Kau pasti butuh teman bicara mengenai kehamilan. Kurasa mamamu adalah orang yang paling tepat." Gendis langsung mencium pipi Buana dengan gembira. Wanita cantik itu pun bergegas mengganti pakaiannya. Tidak ada yang ia bawa karena pakaian di rumah kedua orang tuanya masih banyak. Ia hanya menyiapkan pakaian Buana saja. Maharani yang sedang menyiapkan makan m
"Semedimu tidak perlu dilanjutkan lagi Supa. Semua yang dikatakan iblis itu memang akan terjadi enam ratus tahun yang akan datang. Tetapi, kau tidak perlu cemas. Kalian kelak akan dipertemukan dalam kondisi yang berbeda. Dan senjata pamungkas itu akan muncul dengan sendirinya kepada Raden Kamandraka dalam raga yang berbeda." Mpu Supa Mandrageni membuka matanya dan memberi hormat kepada lelaki di hadapannya."Salam hormat murid, Guru," ujarnya."Kau bisa melanjutkan kehidupanmu seperti biasa. Pada saatnya kelak, kau akan bertemu dengan jiwa yang akan membuka tabir di masa yang akan datang. Jiwa itu menunggumu dan kau akan segera bertemu jika kau melihat tongkat milikku ini muncul.""Apakah yang Guru maksud adalah reinkarnasi?" tanya mpu Supa. Mpu Badingga menganggukkan kepalanya."Ya, enam ratus tahun yang akan datang, kalian akan bertemu dengan keadaan yang berbeda. Tetapi, korban akan tetap jatuh. Kau hanya bisa m
"Apa yang Mas lihat?" tanya Gendis saat Buana menghentikan langkahnya."Tongkat itu,"jawabnya sambil menunjuk ke arah tongkat yang dipajang di sudut ruangan."Ah, sepertinya aku juga baru melihat tongkat itu. Tapi, kenapa sepertinya terbelah,ya?" jawab Gendis. Buana menghela napas panjang."Sudahlah, jangan meributkan masalah tongkat. Ayo kita ke kamar," tukasnya sambil menggandeng Gendis. Keduanya pun membaringkan diri di atas ranjang. Buana dengan penuh cinta membelai perut Gendis yang masih rata."Kenapa kau tidak mengatakan lebih awal dan mengajakku untuk memeriksakan ke dokter kandungan?" tanya Buana. Gendis hanya tersenyum manis."Aku memang sengaja. Waktu itu aku memang sudah bingung karena tidak biasanya aku terlambat datang bulan. Tapi, aku takut jika hasilnya negatif kau akan kecewa, Mas. Itulah sebabnya aku diam-diam ke dokter. Dan ternyata hasilnya positif," jawab
Ketika mandi Buana tidak hanya memikirkan kandungan Gendis saja, namun perihal tongkat itu masih saja memenuhi kepalanya. Barang itu seperti tidak asing, dan memang semacam ada kharisma tersendiri sehingga sedari tadi Buana memikirkannya.Air dingin lekas diguyur ke seluruh bagian tubuhnya, membuat pikiran Buana kembali segar kembali.“Ah, aku akan menanyakan perihal tongkat itu kepada ayah Gendis saja nanti,” ucap Buana yang sekarang sudah selesai membersihkan badan.Di kamar, Gendis sedang berkaca sambil mengelus-ngelus perutnya yang masih tampak datar. Perempuan itu tersenyum-senyum sendiri mengingat dirinya sekarang sedang berbadan dua, dan entah kenapa rasanya dia ingin bersolek.Seketika Gendis mengambil peralatan make-up dan memoles bedak secara merata ke bagian wajah. Bahkan dia memakai gincu merah yang cukup tebal di bagian bibirnya tersebut.Buana yang baru tiba di kamar agaknya heran dengan tingkah laku istrinya. Pasalnya Gen
Selesai bergumul dan mendapat kepuasan masing-masing, Buana dan Gendis lekas berganti baju. Mereka tidak enak lantaran sudah ditunggu orangtua di meja makan.Gendis merapikan kembali riasannya dan mengikat rambutnya. Sedangkan Buana lebih memilih mengenakan baju yang santai saja.Tiba di meja makan, mereka langsung disambut oleh Maharani. “Ya ampun lama sekali kalian ini. Mama kira kalian ketiduran.”“Enggak, Ma, kita tadi cuma tiduran sebentar,” jawab Buana seraya menarik kursi untuk Gendis duduk.“Woalah, tiduran atau tiduran nih?” Maharani menggoda, mengedipkan sebelah mata sambil menatap Buana.Tersenyum-senyum, laki-laki itu tidak bisa menjawab dan hanya tersipu malu sendiri.Di atas meja makan hidangan sudah tersaji sangat lengkap dan beragam. Ada sayur asem, ikan asin, tahu dan tempe goreng, serta nasi putih yang masih mengepul hangat.Semua hidangan ini adalah hasil masakan Maharani ya
Namun sayangnya, semua percakapan di meja makan harus terhenti lantaran terdengar suara ketukan pintu dari depan. Padahal Buana hampir saja mau menanyakan juga perihal keris kepada Ayah Gendis.“Itu pasti Genta dan Giselle,” ujar Maharani yang langsung beranjak dari kursi untuk membukakan pintu.Dan benar saja! Genta dan Giselle datang dengan pakaian yang kuyup semua. Malam di luar hujan lebat, dan mereka berdua harus tertimpa air hujan.“Ma,” Genta dan Giselle kompak menyalami Maharani.“Ya ampun, kok basah kuyup begitu? Sudah cepat mandi dulu biar nggak masuk angin. Nanti Mama siapin baju ganti juga buat kalian.” Maharani mendorong keduanya agar lekas masuk ke dalam dan dia mengunci pintu.Melewati ruang makan Genta dan Giselle tampak terkejut karena melihat ada Buana dan juga Gendis.“Lho, kapan datang?” tanya Giselle basa-basi.“Tadi, kok.”“Heh, sudah nanti
Makan malam berakhir. Maharani memberesi meja makan dengan segera. Gendis dan Giselle ikut membantu, sementara Buana langsung pamit untuk pergi ke kamar.Di dalam kamar Buana membuka jendela. Wajahnya menengadah ke angkasa. Hujan turun rintik-rintik, dia masih berpikir keras mengenai tongkat tersebut yang semakin menganggunya saja.“Kenapa aku terus memikirkan tongkat itu? Apakah ada sesuatu dengan tongkat tersebut yang bisa mengantarkanku dengan petunjuk terakhir?”Itu adalah semacam insting! Pemikiran Buana memang spekulasi, namun selama ini dia pun selalu berhasil menangkap penjahat dengan cara berspekulasi. Buana percaya bahwa tidak ada yang namanya ‘kebetulan’ di dunia ini. Semua sudah diatur oleh Sang Maha Kuasa, sehinggaa pasti semuanya pasti terhubung, termasuk instingnya dengan tongkat tersebut.Tak lama kemudian Gendis pun datang. “Mas, kamu nggak pengin ngobrol dulu sama Papa dan Genta di ruang keluarga?&rdqu