Selesai bergumul dan mendapat kepuasan masing-masing, Buana dan Gendis lekas berganti baju. Mereka tidak enak lantaran sudah ditunggu orangtua di meja makan.
Gendis merapikan kembali riasannya dan mengikat rambutnya. Sedangkan Buana lebih memilih mengenakan baju yang santai saja.
Tiba di meja makan, mereka langsung disambut oleh Maharani. “Ya ampun lama sekali kalian ini. Mama kira kalian ketiduran.”
“Enggak, Ma, kita tadi cuma tiduran sebentar,” jawab Buana seraya menarik kursi untuk Gendis duduk.
“Woalah, tiduran atau tiduran nih?” Maharani menggoda, mengedipkan sebelah mata sambil menatap Buana.
Tersenyum-senyum, laki-laki itu tidak bisa menjawab dan hanya tersipu malu sendiri.
Di atas meja makan hidangan sudah tersaji sangat lengkap dan beragam. Ada sayur asem, ikan asin, tahu dan tempe goreng, serta nasi putih yang masih mengepul hangat.
Semua hidangan ini adalah hasil masakan Maharani ya
Namun sayangnya, semua percakapan di meja makan harus terhenti lantaran terdengar suara ketukan pintu dari depan. Padahal Buana hampir saja mau menanyakan juga perihal keris kepada Ayah Gendis.“Itu pasti Genta dan Giselle,” ujar Maharani yang langsung beranjak dari kursi untuk membukakan pintu.Dan benar saja! Genta dan Giselle datang dengan pakaian yang kuyup semua. Malam di luar hujan lebat, dan mereka berdua harus tertimpa air hujan.“Ma,” Genta dan Giselle kompak menyalami Maharani.“Ya ampun, kok basah kuyup begitu? Sudah cepat mandi dulu biar nggak masuk angin. Nanti Mama siapin baju ganti juga buat kalian.” Maharani mendorong keduanya agar lekas masuk ke dalam dan dia mengunci pintu.Melewati ruang makan Genta dan Giselle tampak terkejut karena melihat ada Buana dan juga Gendis.“Lho, kapan datang?” tanya Giselle basa-basi.“Tadi, kok.”“Heh, sudah nanti
Makan malam berakhir. Maharani memberesi meja makan dengan segera. Gendis dan Giselle ikut membantu, sementara Buana langsung pamit untuk pergi ke kamar.Di dalam kamar Buana membuka jendela. Wajahnya menengadah ke angkasa. Hujan turun rintik-rintik, dia masih berpikir keras mengenai tongkat tersebut yang semakin menganggunya saja.“Kenapa aku terus memikirkan tongkat itu? Apakah ada sesuatu dengan tongkat tersebut yang bisa mengantarkanku dengan petunjuk terakhir?”Itu adalah semacam insting! Pemikiran Buana memang spekulasi, namun selama ini dia pun selalu berhasil menangkap penjahat dengan cara berspekulasi. Buana percaya bahwa tidak ada yang namanya ‘kebetulan’ di dunia ini. Semua sudah diatur oleh Sang Maha Kuasa, sehinggaa pasti semuanya pasti terhubung, termasuk instingnya dengan tongkat tersebut.Tak lama kemudian Gendis pun datang. “Mas, kamu nggak pengin ngobrol dulu sama Papa dan Genta di ruang keluarga?&rdqu
Setelah bercinta dan kehabisan tenaga mereka pun akhirnya tertidur. Mulanya mereka berdua saling berpelukan, namun lama-lama keduanya mengubah posisi masing-masing menjadi saling membelakangi satu sama lain.Buana di ranjang pojok kanan, sedangkan Gendis berada di ranjang pojok sebelah kiri.Malam berlalu sungguh tenang tanpa ada gangguan, hingga tiba-tiba saat sedang terlelap itu Buana bermimpi aneh.Di dalam mimpi itu, Buana sedang berjalan di tengah hutan belantara yang ditutupi pepohonan sangat lebat di kiri dan kanan.Hanya ada gelap yang terlihat, serta suara-suara hewan malam saling menyusul memenuhi rongga telinga kala itu.Cahaya rembulan adalah satu-satunya penerangan yang ada, dan Buana terus berjalan mengikuti tapak langkah yang entah sampai ke mana ujungnya.“Dimana aku?” Dalam mimpi itu Buana terus bertanya-tanya, sebab tempat ini baru saja pertama kali diinjaknya. Namun yang aneh, seakan Buana pernah berada di sini
Paginya, Buana terbangun dan segera mandi dengan cepat! Dia tidak boleh terlambat sebab pagi ini dia ada janji untuk bertemu dengan Segara dan juga temannya.Di dalam kamar Gendis menyiapkan baju yang akan dipakai oleh suaminya. Tetapi dalam hati perempuan itu sebanrnya masih bertanya-tanya soal mimpi buruk yang menimpa suaminya semalam.“Pagi, Sayang,” Buana yang selesai mandi segera mengecup kening istrinya.“Mas, mmm, aku masih penasaran soal mimpimu tadi malam,” ucap Gendis yang tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.“Baiklah, Sayang, aku akan menceritakannya padamu nanti,” jawab Buana seraya mengambil pakaiannya. Dia lekas mengenakannya karena jam sudah menunjukkan pukul 07.00 pagi.“Kenapa nanti-nanti? Aku maunya kamu cerita sekarang, Mas.”Buana melirik ke istrinya, lalu memberi pengertian. “Sayang, Mas sangat buru-buru pagi ini. Maaf, ya, Mas nggak bisa cerita sekarang
“Apa? Melawan Sang Iblis?”Kalila mengangguk. “Betul, Kak. Tapi biarkan saya menjelaskannya semua ini dari awal dahulu supaya tidak ada kesalah-pahaman mengenai relief yang kami temukan.”“Oke, oke, silakan. Aku akan mendengarkan dengan baik,” Buana membenarkan posisi duduknya dan bersiap menyimak penjelasan dari Kalila.“Jadi begini, penelitian kami sebenarnya sudah berlangsung cukup lama. Bahkan kami sempat memberhentikan penelitian ini sebab kehabisan dana. Saat itu obserasi yang kami lakukan hanyalah berfokus meneliti letak geografis yang diduga sebagai wilayah kekuasaan Mataram. Kami tidak berekspektasi mengenai penemuan situs atau apa pun,” terang Kalila serius. Buana dan Segara mengamati seraya memakan sarapannya.“Lihatlah foto yang ini,” Kalila menyodorkan sebuah foto. “Ini adalah gambar puncak bangunan candi yang pertama kali kami temukan. Dan saat menemukan ini, kami semua seketi
“Yaitu Sang Iblis harus mengorbankan seorang gadis yang masih perawan. Gadis-gadis itu akan dijadikan tumbal di waktu-waktu tertentu dan dalam jumlah tertentu!”“Astaga, Tuhan, apakah semua ini berhubungan dengan kasus yang sedang aku selidiki saat ini?” Buana langsung berkomentar, merasa bahwa sekarang dia sudah menemukan benang merahnya.“Bisa jadi, Kak,” Segara langsung menyahut. “Tapi apakah mungkin masuk akal jika ritual tersebut masih berlagsung sampai saat ini?”“Mungkin saja bisa,” timpal Kalila cepat-cepat. “Caranya adalah dengan ber-reinkarnasi. Bisa saja Iblis selama ini terus bereinkarnasi dari satu tubuh ke tubuh lain dan melakukan ritual tersebut! Ini sangat mungkin terjadi, meski memang kita tidak bisa langsung berspekulasi seperti itu.”Semua menjadi terdiam setelah mendengar ucapan Kalila. Ini memang tampak masuk akal. Namun, untuk membenarkan ucapan tersebut semuanya
“Baik Kalila, aku rasa pertemuan kita cukup sampai di sini. Aku berharap jika ada perkembangan mengenai peneletianmu sebaiknya segera kamu laporkan kepadaku. Itu akan sangat membantu pihak kepolisian dalam menangani kasus ini,” ucap Buana yang sekarang sudah tersenyum. Wajah amarahnya berubah seketika karena dia merasa saat ini harus berpikir jernih untuk menyelesaikan kasus.“Baik, Kak. Tentu saya akan melaporkan perkembangan penelitian ini. Karena ini merupakan kewajiban saya sebagai warna negara yang baik.” Kalila berdiri lalu menjulurkan tangan.“Senang bisa bertemu denganmu, Kalila.”“Sama-sama, Kak.”Setelah itu Buana pamit pergi. Dia ingin segera ke kantornya dengan membawa berkas-berkas tersebut, untuk kemmudian dicocokkan dengan berkas-berkas korban pembunuhan yang sudah dikumpulkannya di kantor.Matahari beranjak naik, siang pun datang.Di kantornya, Buana masuk ke dalam ruangannya se
Sementara itu di rumah, Galih sedang membaca koran di teras sambil meminum kopi. Hari ini dia ingin mengistirahatkan badannya sejenak dengan cara bersantai-santai saja. Saat itu tiba-tiba Gendis datang menyapanya.“Pa...”“Hai, Dis, ayo duduk di sini dekat Papa.”Perempuan itu menurut dan langsung duduk di dekat papanya.“Pa, aku ingin bicara sesuatu sama Papa,” ucap Gendis kemudian. Terlihat jelas dari sorot matanya dia tampak khawatir.“Silakan, Nak, bicaralah saja. Papa akan selalu membantumu,” ucap Galih seraya tersenyum.“Pa, entah kenapa akhir-akhir ini aku khawatir dengan keadaan Mas Buana. Dia itu sering banget mimpi buruk dan bahkan sampai keluar keringat dingin. Semenjak menangani kasus yang satu ini tingkah Mas Buana juga agaknya berbeda. Bagaimana ini, Pa?”Galih tersenyum sebentar. Kemudian dia meletakkan korannya dan berkata, “Jangan khawatir dengan berleb