Buana langsung memeluk dan menciumi sang istri dengan penuh kegembiraan.
"Aku senang sekali,Sayang. Semoga anak kita nanti menjadi anak yang membanggakan kedua orang tua. Kita ke rumah kedua orang tuamu untuk memberi berita bahagia ini, bagaimana?" kata Buana dengan mata berbinar.
"Iya, Mas. Aku juga sudah lama tidak menjenguk papa dan mama," jawab Gendis.
"Kalau begitu bersiap-siaplah. Apa kau mau sekalian menginap di sana untuk beberapa hari?" tanya Buana.
"Boleh?"
"Tentu saja, masa aku melarang. Kau pasti butuh teman bicara mengenai kehamilan. Kurasa mamamu adalah orang yang paling tepat."
Gendis langsung mencium pipi Buana dengan gembira. Wanita cantik itu pun bergegas mengganti pakaiannya. Tidak ada yang ia bawa karena pakaian di rumah kedua orang tuanya masih banyak. Ia hanya menyiapkan pakaian Buana saja.
Maharani yang sedang menyiapkan makan m
"Semedimu tidak perlu dilanjutkan lagi Supa. Semua yang dikatakan iblis itu memang akan terjadi enam ratus tahun yang akan datang. Tetapi, kau tidak perlu cemas. Kalian kelak akan dipertemukan dalam kondisi yang berbeda. Dan senjata pamungkas itu akan muncul dengan sendirinya kepada Raden Kamandraka dalam raga yang berbeda." Mpu Supa Mandrageni membuka matanya dan memberi hormat kepada lelaki di hadapannya."Salam hormat murid, Guru," ujarnya."Kau bisa melanjutkan kehidupanmu seperti biasa. Pada saatnya kelak, kau akan bertemu dengan jiwa yang akan membuka tabir di masa yang akan datang. Jiwa itu menunggumu dan kau akan segera bertemu jika kau melihat tongkat milikku ini muncul.""Apakah yang Guru maksud adalah reinkarnasi?" tanya mpu Supa. Mpu Badingga menganggukkan kepalanya."Ya, enam ratus tahun yang akan datang, kalian akan bertemu dengan keadaan yang berbeda. Tetapi, korban akan tetap jatuh. Kau hanya bisa m
"Apa yang Mas lihat?" tanya Gendis saat Buana menghentikan langkahnya."Tongkat itu,"jawabnya sambil menunjuk ke arah tongkat yang dipajang di sudut ruangan."Ah, sepertinya aku juga baru melihat tongkat itu. Tapi, kenapa sepertinya terbelah,ya?" jawab Gendis. Buana menghela napas panjang."Sudahlah, jangan meributkan masalah tongkat. Ayo kita ke kamar," tukasnya sambil menggandeng Gendis. Keduanya pun membaringkan diri di atas ranjang. Buana dengan penuh cinta membelai perut Gendis yang masih rata."Kenapa kau tidak mengatakan lebih awal dan mengajakku untuk memeriksakan ke dokter kandungan?" tanya Buana. Gendis hanya tersenyum manis."Aku memang sengaja. Waktu itu aku memang sudah bingung karena tidak biasanya aku terlambat datang bulan. Tapi, aku takut jika hasilnya negatif kau akan kecewa, Mas. Itulah sebabnya aku diam-diam ke dokter. Dan ternyata hasilnya positif," jawab
Ketika mandi Buana tidak hanya memikirkan kandungan Gendis saja, namun perihal tongkat itu masih saja memenuhi kepalanya. Barang itu seperti tidak asing, dan memang semacam ada kharisma tersendiri sehingga sedari tadi Buana memikirkannya.Air dingin lekas diguyur ke seluruh bagian tubuhnya, membuat pikiran Buana kembali segar kembali.“Ah, aku akan menanyakan perihal tongkat itu kepada ayah Gendis saja nanti,” ucap Buana yang sekarang sudah selesai membersihkan badan.Di kamar, Gendis sedang berkaca sambil mengelus-ngelus perutnya yang masih tampak datar. Perempuan itu tersenyum-senyum sendiri mengingat dirinya sekarang sedang berbadan dua, dan entah kenapa rasanya dia ingin bersolek.Seketika Gendis mengambil peralatan make-up dan memoles bedak secara merata ke bagian wajah. Bahkan dia memakai gincu merah yang cukup tebal di bagian bibirnya tersebut.Buana yang baru tiba di kamar agaknya heran dengan tingkah laku istrinya. Pasalnya Gen
Selesai bergumul dan mendapat kepuasan masing-masing, Buana dan Gendis lekas berganti baju. Mereka tidak enak lantaran sudah ditunggu orangtua di meja makan.Gendis merapikan kembali riasannya dan mengikat rambutnya. Sedangkan Buana lebih memilih mengenakan baju yang santai saja.Tiba di meja makan, mereka langsung disambut oleh Maharani. “Ya ampun lama sekali kalian ini. Mama kira kalian ketiduran.”“Enggak, Ma, kita tadi cuma tiduran sebentar,” jawab Buana seraya menarik kursi untuk Gendis duduk.“Woalah, tiduran atau tiduran nih?” Maharani menggoda, mengedipkan sebelah mata sambil menatap Buana.Tersenyum-senyum, laki-laki itu tidak bisa menjawab dan hanya tersipu malu sendiri.Di atas meja makan hidangan sudah tersaji sangat lengkap dan beragam. Ada sayur asem, ikan asin, tahu dan tempe goreng, serta nasi putih yang masih mengepul hangat.Semua hidangan ini adalah hasil masakan Maharani ya
Namun sayangnya, semua percakapan di meja makan harus terhenti lantaran terdengar suara ketukan pintu dari depan. Padahal Buana hampir saja mau menanyakan juga perihal keris kepada Ayah Gendis.“Itu pasti Genta dan Giselle,” ujar Maharani yang langsung beranjak dari kursi untuk membukakan pintu.Dan benar saja! Genta dan Giselle datang dengan pakaian yang kuyup semua. Malam di luar hujan lebat, dan mereka berdua harus tertimpa air hujan.“Ma,” Genta dan Giselle kompak menyalami Maharani.“Ya ampun, kok basah kuyup begitu? Sudah cepat mandi dulu biar nggak masuk angin. Nanti Mama siapin baju ganti juga buat kalian.” Maharani mendorong keduanya agar lekas masuk ke dalam dan dia mengunci pintu.Melewati ruang makan Genta dan Giselle tampak terkejut karena melihat ada Buana dan juga Gendis.“Lho, kapan datang?” tanya Giselle basa-basi.“Tadi, kok.”“Heh, sudah nanti
Makan malam berakhir. Maharani memberesi meja makan dengan segera. Gendis dan Giselle ikut membantu, sementara Buana langsung pamit untuk pergi ke kamar.Di dalam kamar Buana membuka jendela. Wajahnya menengadah ke angkasa. Hujan turun rintik-rintik, dia masih berpikir keras mengenai tongkat tersebut yang semakin menganggunya saja.“Kenapa aku terus memikirkan tongkat itu? Apakah ada sesuatu dengan tongkat tersebut yang bisa mengantarkanku dengan petunjuk terakhir?”Itu adalah semacam insting! Pemikiran Buana memang spekulasi, namun selama ini dia pun selalu berhasil menangkap penjahat dengan cara berspekulasi. Buana percaya bahwa tidak ada yang namanya ‘kebetulan’ di dunia ini. Semua sudah diatur oleh Sang Maha Kuasa, sehinggaa pasti semuanya pasti terhubung, termasuk instingnya dengan tongkat tersebut.Tak lama kemudian Gendis pun datang. “Mas, kamu nggak pengin ngobrol dulu sama Papa dan Genta di ruang keluarga?&rdqu
Setelah bercinta dan kehabisan tenaga mereka pun akhirnya tertidur. Mulanya mereka berdua saling berpelukan, namun lama-lama keduanya mengubah posisi masing-masing menjadi saling membelakangi satu sama lain.Buana di ranjang pojok kanan, sedangkan Gendis berada di ranjang pojok sebelah kiri.Malam berlalu sungguh tenang tanpa ada gangguan, hingga tiba-tiba saat sedang terlelap itu Buana bermimpi aneh.Di dalam mimpi itu, Buana sedang berjalan di tengah hutan belantara yang ditutupi pepohonan sangat lebat di kiri dan kanan.Hanya ada gelap yang terlihat, serta suara-suara hewan malam saling menyusul memenuhi rongga telinga kala itu.Cahaya rembulan adalah satu-satunya penerangan yang ada, dan Buana terus berjalan mengikuti tapak langkah yang entah sampai ke mana ujungnya.“Dimana aku?” Dalam mimpi itu Buana terus bertanya-tanya, sebab tempat ini baru saja pertama kali diinjaknya. Namun yang aneh, seakan Buana pernah berada di sini
Paginya, Buana terbangun dan segera mandi dengan cepat! Dia tidak boleh terlambat sebab pagi ini dia ada janji untuk bertemu dengan Segara dan juga temannya.Di dalam kamar Gendis menyiapkan baju yang akan dipakai oleh suaminya. Tetapi dalam hati perempuan itu sebanrnya masih bertanya-tanya soal mimpi buruk yang menimpa suaminya semalam.“Pagi, Sayang,” Buana yang selesai mandi segera mengecup kening istrinya.“Mas, mmm, aku masih penasaran soal mimpimu tadi malam,” ucap Gendis yang tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.“Baiklah, Sayang, aku akan menceritakannya padamu nanti,” jawab Buana seraya mengambil pakaiannya. Dia lekas mengenakannya karena jam sudah menunjukkan pukul 07.00 pagi.“Kenapa nanti-nanti? Aku maunya kamu cerita sekarang, Mas.”Buana melirik ke istrinya, lalu memberi pengertian. “Sayang, Mas sangat buru-buru pagi ini. Maaf, ya, Mas nggak bisa cerita sekarang
Pagi harinya, ramai orang sudah berkumpul di sebuah pemakaman.Orang-orang berbondong mengenakan pakaian serba berwarna hitam, seperti barisan semut yang mengular panjang untuk mengantarkan sang jenazah ke tempat peristirahatan yang terakhir.Isak tangis terdengar di mana-mana, bebarengan dengan kidung doa yang dilantunkan merdu sepanjang perjalanan menuju ke makam. Inilah waktunya untuk orang baik hati itu pergi meninggalkan dunia fana ini, guna menuju alam yang lebih tinggi dan abadi.Gendis tak kuasa menahan tangisnya sebab kabar ini terlalu mendadak. Semalam dia diberitahu pihak berwajib bahwa suaminya meninggal dunia di atap sebuah apartemen mewah.Benar! Kini Buana telah benar-benar wafat, tepatnya ketika pertarungan puncak berakhir dan jiwa Mpu Supa pergi meninggalkan tubuh tersebut, tampaknya luka-luka yang diderita oleh Buana tidaklah sepele.Tercatat bahwa dadanya berlubang cukup besar, kepalanya pun terus meneteskan darah sebab terbentur
Tak ingin berbicara lebih lama lagi, sebab waktu yang dipunyai terbatas, maka Mpu Supa segera menyerang balik Sang Iblis menggunakan ajian putihnya.Dia terbang melesat mendekati Sang Iblis dengan kecepatan cahaya, dan ketika berada di depannya Mpu Supa langsung memegangi kepala Sang Iblis. Dia membenturkan wajahnya sendiri ke arah wajah Sang Iblis!Duakkk!!! Suara benturan tersebut terdengar sangat keras membelah hening malam.Sang Iblis terpental jauh ke belakang menerima benturan tersebut. Kakinya masih melayang di udara. Namun belum sampai kesadarannya pulih, Mpu Supa sudah melesat lagi menuju ke arahnya dan kali ini hantaman bertubi-tubilah yang dia terima.‘Bugh’‘Bugh’‘Bagh!!!’Dengan jurus seribu cahaya Mpu Supa menghajar Sang Iblis tanpa ampun! Dia menghantam kepala, badan, tangan, kaki, serta titik-titik persendian tertentu yang memang sudah diicarnya sebagai kelemahan dari Sang Iblis.
Di atap gedung, Sang Iblis terus mencekik seraya menyedot darah dari leher Giselle. Perempuan malang itu benar-benar sudah tidak bisa bangun lagi akibat Sang Iblis mengekang jiwanya.Bahkan muka Giselle kini sudah pucat pasi sebab kehilangan darah yang banyak. Setiap darah yang mengalir dari tubuh Giselle segera berpindah kepada Sang Iblis, dan darah tersebut mengandung kekuatan tertentu untuk Iblis. Makin banyak darah yang diambil maka makin banyak kekuatan yang didapat, serta Iblis berencana untuk menyedot semua darah perempuan tersebut.Namun di luar dugaan, saat sedang melakoni ritual tersebut tiba-tiba dua orang datang dengan cara terbang dan mengangumkan. Tentu itu membuat Sang Iblis terheran-heran, pasalnnya sekarang dia menyangka hanya dirinyalah yang mampu terbang seperti itu.“Hentikan perbuatanmu!” teriak Mpu Supa begitu melihat apa yang sedang dilakukan oleh Sang Iblis!“Jauhi perempuan itu sekarang juga!” Raden Kamandr
Sementara itu di saat bersamaan, di dalam apartemen, Buana dan Segara masih terkapar tidak bergerak. Denyut nadinya sudah menghilang, dan jantungnya pun berhenti bergerak.Secara medis memang keduanya sudah dinyatakan meninggalkan, sebab lambat-laun organ tubuh dan sel-sel di dalam badan perlahan berhenti bekerja. Namun, sebenarnya mereka itu belum mati, hanya saja ruh-nya berpindah ke alam yang lebih tinggi.“Bangunlah kalian!” ucap seorang tua berpakaian serba putih kepada ruh Buana dan Segara. Rambut orang tua tersebut juga menjulur panjang dan putih, sambil tersenyum dia pun kembali berkata, “Buana, Segara, bangunlah!”Mendapat panggilan tersebut ruh Buana dan Segara pun seketika bangun. Keduanya tercengang saat mendapati alam sekeliling yang berbeda dengan alam dunia, sebab di sini semuanya serba berwarna putih. “Apakah aku sudah mati?” ucap Buana dan Segera secara bersamaan.“Belum, sebab lebih tepatnya di s
Mendapati kakaknya sedang ditikam spontan saja Segara membantunya. Dia langsung memuul wajah Sang Iblis tepat di ppinya. Namun sayangnya Iblis tak bergeming dengan pukulan lema tersebut. Malahan dengan kejam dia berkata, “Lihatlah sekarang Kakakmu ini akan kubunuh di depan matamu! Hahahaa...”“Sial, lepaskan dia!” teriak Segara yang masih berusaha terus memukul. Namun Sang Iblis terlalu tangguh untuk menerima pukulan lemah tersebut. “Hentikan! Aku bilang hentikan!”Sang Iblis tak peduli! Dia terus menancapkan kukunya semakin dalam dan bahkan kini mengenai bagian jantung Buana, lalu merobeknya membuat seisi perut porak-poranda!Buana sudah lemas tidak bisa melawan lagi, wajahnya yang penuh dengan darah hanya menatap ke langit-langit, mengerjab satu kali, kemudian mati!“Hahahaa!! Lihatlah makhluk lemah ini. Hanya dengan begini saja dia sudah mati. Cih, siapa suruh mau melawanku!” ucap Sang Iblis dengan tawany
Genta terpental mendapat tiga tembakan tersebut. Tubuhnya ambruk menghantam meja kaca hingga pecah.Meski dengan tiga buah peluru yang bersarang di dada, namun Genta tidak mati. Dia hanya limbung sebentar kemudian bangkit lagi dan tertawa renyah.“Kamu pikir bisa membunuhku dengan pistol seperti itu?” ucapnya yang kini sudah terdengar bahwa itu bukanla suara Genta lagi. Suara itu terdengar berat dan serak, serta menggunakan logat seperti orang zaman kuno. Jelas sekali bahwa itu adalah suara Sang Iblis.Mendengar suara aneh tersebut Buana bersiap-siap untuk menembak kembali. Namun sayangnya Sang Iblis sudah terlebih dahulu bergerak cepat sekali, secepat cahaya, yang tiba-tiba dirinya sudah berada di samping persis Buana. “Enyahlah kamu! Dasar manusia makhluk lemah dan penganggu!”Brakkk!!! Dipukul-lah kepala Buana dengan telak hingga sampai tengkoraknya berbunyi.Buana terlempar cukup jauh hingga sampai menabrak dinding. Lalu
Mimik wajah genta berubah menjadi ketakutan saat tahu Buana tidak main-main. Wajar, siapa yang tidak takut dengan peristiwa seperti ini, ditodong pistol tepat di hadapan keningnya? Jelas saja semua orang akan takut. Namun sebenarnya yang dilakukan Buana hanyalah sedang ingin memancing Sang Iblis agar keluar dari tubuh Genta. Sebab sampai saat ini belum ada tanda-tanda kemuculan makhluk laknat tersebut.“Akan kuhitung satu sampai tiga, jika kamu masih mengelak atas perbuatanmu, maka jangan salahkan aku jika kutarik pelatuk ini!” ucap Buana semakin menekan moncong pistol ke kening iparnya.“Satu...”Tubuh Genta mulai gemetar. Terlihat jelas dia ketakutan dan tidak ingin mati. Sepertinya jiwanya sekarang sedang ingin melawan Sang Iblis yang mengekang dalam dirinya.“Dua...” Buana terus menghitung mundur tanpa ampun. Jarinya telah bersiap untuk menarik pelatuk!“Tiga!!!”“Oke, oke, stop! Aku
Tidak heran jika ini disebut apartemen elite karena berada di tengah kawasan tempat tinggal para orang konglomerat. Bagi Genta tentu saja uang bukanlah masalah sebab dia merupakan putra seorang yang sangat berada, sehingga bahkan uang sakunya sangat cukup jika harus membeli apartemen di sini.Bangunan ini terdiri dari 15 lantai, sedangkan lantai paling atas digunakan untuk tempat pendaratan helikopter. Sebab tidak jarang para penghuni apartemen di sini kerap menyewa helikopter untuk kepentingan sehari-hari atau sekadar untuk cari sensasi. Begitulah.Setelah menganalisis dengan saksama lingkungan sekitar apartemen, Buana dan Segara langsung naik menuju lantai sembilan. Kepada security di depan Buana menunjukkan lencananya sebagai perwira polisi dan berkata dia ingin melakukan investigasi dengan salah satu penghuni di sini.Tentu saja si security langsung memberikan izin tanpa banyak bertanya. Malahan dia menawarkan jasa informasi mengenai apartemen jika memang di
Memang begitulah yang terjadi. Setelah bertemu dengan Mpu Badingga, seolah kehidupan Buana dan Segara selalu diikuti oleh sosok ruh yang tidak kasat mata.Semua ini terlau sulit untuk dijelaskan oleh keduanya, tetapi mereka benar-benar merasakan kehadirannya, sosok Mpu Supa dan Raden Kamandraka.Seperti halnya ketika Buana sedang tidur, dia akan didatangi oleh sosok laki-laki tua berambut serba putih yang menjulur panjang. Memang di dalam mimpi tersebut sosok Kakek tua tidak terlihat begitu jelas, namun yang pasti Buana bisa memastikan melalui instingnya bahwa itu adalah sosok Mpu Supa.Saat mendatangi Buana di alam mimpi Mpu Supa tidak bericara banyak hal. Beliau hanya suka duduk di samping Buana, dan saat itu adalah malam hari dengan taburan bintang-bintang.Buana pun tidak mencoba untuk bertanya hal apa pun dengan sosok Mpu Supa di dalam mimpinya, melainkan Buana hanya membiarkan beliau tersenyum memandangi wajahnya, sambil sesekali mengusap-usap kepal