Buana tersentak mendengar perkataan Biksu Sunim. Ia teringat kematian Abah Enom di Sukabumi beberapa waktu yang lalu. Kematiannya juga akibat memberikan informasi kepada Buana.
"Katakan terima kasih dan katakan juga saya mohon beliau supaya berhati-hati," kata Buana. Kang Dae Jung pun langsung menyampaikan kepada Biksu Sunim.
Biksu yang berusia 45-an itu mengangguk lalu mendekati Buana dan mengalungkan sesuatu ke leher Buana. Kemudian ia mengatakan sesuatu dalam bahasa Korea.
"Itu akan membantu Mr Buana dari gangguan arwah jahat. Dan juga akan membantu menguak tabir."
Buana membungkukkan tubuhnya, "Kamsahamida," ujarnya.
Biksu Sunim mengangguk dan tersenyum kemudian beranjak pergi. "Ada apa, Mas?" tanya Gendis yang kebingungan.
Buana menjelaskan kepada Gendis apa yang dikatakan Biksu Sunim kepadanya.
"Apa kasus yang Mas hadapi seka
"Genta dulu ketika kecil hampir saja mati, Mas. Tapi, mukjijat terjadi dia selamat. Bahkan seingatku sejak hari di mana Genta selamat dari maut, usaha papa meningkat pesat. Ya, dulu aku memang masih kecil. Tapi, aku ingat papa menjadi lebih sibuk. Kami pun bisa pindah ke rumah yang jauh lebih besar. Dan karir papa meningkat juga sampai bisa menjadi salah satu anggota MPR. "Saat itu aku sangat bangga, tapi kini kenapa aku menjadi sangat takut? A-aku ...."Buana membawa Gendis ke dalam pelukannya."Kita akan mencari tau apa yang sudah terjadi sebenarnya," kata Buana.''Mas, bagaimana jika adikku itu sebenarnya bukan adikku?" Buana mengerutkan dahinya, "Maksudmu?""Genta waktu itu jatuh dan mama ingat betul jika pintu balkon sudah mama tutup dan dikunci. Mustahil jika Genta bisa membukanya. Tapi, dia jatuh dan akhirmya harus operasi. Anehnya, setelah opera
Yongseng menyambut Buana dengan gembira di bandara international Soeta. Ia langsung memeluk sepupunya itu saat Buana keluar dari terminal kedatangan."Waaah, bagaimana bulan madumu? Sudah siap untuk kembali bertugas?" sambut Yongseng dengan penuh semangat."Kau ini, aku baru saja sampai, kau sudah membicarakan tugas. Rumah aman?" tanya Buana.Yongseng mengangguk, "Mbok Ratmi sudah memasak, mang Karta baru saja membersihkan halaman dibantu Takeda tadi," katanya."Sayang, kita menginap dulu di Jakarta ya. Di rumahku, lusa baru kita pulang ke Bandung. Aku perlu bertemu juga dengan atasanku besok pagi untuk melapor," kata Buana pada Gendis. Wanita cantik itu hanya mengangguk, "Aku ikut saja, Mas.""Aahaaai ... romantis sekali kalian ini. Aku hanya menjadi obat nyamuk saja di sini," seloroh Yongseng menggoda. Buana hanya tertawa kecil sambil memukul bahu sepupunya itu."Kita akan ke Kuningan nanti
Raden Kamandraka menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. Ia merasa seluruh tenaganya sudah habis terkuras. Dewi Gayatri yang sejak tadi bersembunyi segera mendekat setelah melihat Fajar Kelana menghilang."Kakang baik-baik saja?" tanyanya. Raden Kamandraka menoleh dan langsung memeluk istrinya itu dengan erat."Kita tidak bisa bersantai, apa kalian dengar perkataan terakhir yang dia ucapkan sebelum dia menghilang. Aku yakin jika jiwanya masih terus berkelana, dia belum mati," kata Mpu Supa tiba-tiba. Patih Benggala yang terluka parah mengerang sambil memegang dadanya."Ampun, Eyang. Apa dia tidak mati? Bukankah Raden Kamandraka tadi sudah membunuh dengan pedang sakti?" tanyanya. Mpu Supa menggeleng sambil duduk bersila dan mulai menyalurkan tenaga dalam kepada Patih Benggala."Apa yang harus kita lakukan?" tanya Raden Kamandraka."Menunggu, Raden. Kita hanya harus menunggu denga
4O hari setelah memakamkan semua korban Fajar Kelana, Mpu Supa memutuskan untuk bertapa. Ia merasa tidak tenang dengan apa yang terjadi, terlebih setelah mendengar sumpah Fajar Kelana. "Apa saya tidak perlu menemani Eyang guru?" tanya Raden Kamadraka. Mpu Supa menggelengkan kepalanya."Raden kembalilah bersama rombongan dari istana. Kasian pada dewi Gayatri dan juga para prajurit. Lagi pula patih Benggala akan mengunjungi keluarga senopati Sangkar," kata Mpu Supa. Raden Kamandraka terdiam, hatinya gamang. Ia ingin ikut mendampingi gurunya semedi, tetapi dia tidak mungkin membiarkan sang istri pulang tanpa dirinya ke istana."Pulanglah ke istana terlebih dahulu, Raden. Saya akan mengabarkan jika memang Raden harus kembali ke sini," kata Mpu Supa seolah tau isi pikiran Raden Kamandraka."Saya akan segera kembali setelah segala urusan saya di istana selesai, Eyang guru," kata Kamandraka sambil membungkuk memberi h
Lelaki dengan janggut putih panjang itu hanya tersenyum."Kau telah bertemu dengannya.""Apa dia iblis yang Eyang maksud puluhan tahun yang lalu?" tanya Mpu Supa Mandrageni. Mpu Badingga menghela napas panjang, "Rupanya senjata itu adalah satu-satunya senjata yang mampu memusnahkan iblis itu."Mpu Supa Mandrageni mengerutkan dahinya, "Senjata? Senjata apa yang Eyang maksudkan?" tanyanya bingung."Dia dulu datang kepadaku untuk membuat senjata sakt. Tetapi, senjata itu sudah menghilang, karena pecahan dari bahan yang digunakan untuk membuat senjata itu ada padaku, itulah yang membuatku masih ada di antara dua dunia. Hanya saja, senjata itu tidak akan muncul jika bukan pada pewarisnya yang sah.""Di mana senjata itu, Eyang? Iblis itu berkata jika dia akan kembali dan membalas dendam setelah enam ratus enam puluh tahun yang akan datang. Saya tidak akan hidup sampai selama itu untuk
_SETAHUN KEMUDIAN_ Brak!"Punya mata? Nggak liat aku sedang berjalan dengan belanjaan sebanyak ini?" bentak Giselle pada seorang gadis dengan kacamata tebal yang menabraknya tanpa sengaja."Maaf, Mbak saya tidak lihat karena saya juga kesusahan membawa buku-buku ini." Gadis itu pun segera membantu Giselle untuk membereskan belanjaannya yang jatuh."Duh, jaman canggih kayak sekarang masih aja bawa buku tebal model begitu," gerutu Giselle. Gadis itu hanya tersenyum, "Ya, jaman sekarang memang sangat canggih. Mau berita apa saja tinggal googling dengan smart phone. Tapi, saya tidak bisa membaca tulisan yang panjang dari layar ponsel lama-lama. Bisa bertambah minus mata saya. Itu sebabnya saya lebih suka membaca lewat buku saja." Giselle menatap wanita di hadapannya, entah mengapa ia merasa sudah lama mengenal wanita itu tapi sekaligus juga memiliki perasaan tidak suka pada ga
Segara menatap Kalila dengan dahi berkerut."Apa kau tau jika info yang dimiliki oleh polisi itu tidak bisa sembarangan diberitakan keluar? Jika ketauan bisa sangat berbahaya," kata Segara dengan tegas."Aku tau jika beberapa tahun terakhir ini kepolisian sedang pusing menghadapi kasus pembunuhan aneh yang memakan korban para gadis-gadis," kata Kalila sambil menyunggingkan senyum. Segara menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan. "Kalau tidak salah, kakakmu juga adalah perwira tinggi di kepolisian, bukan? Kenapa kau tidak meminta bantuannya?" tanya Segara. Kalila mengembuskan napas dengan keras lalu mengusap wajahnya perlahan."Aku ... hubunganku dengan keluargaku tidak begitu baik. Entahlah, keluargaku tidak pernah mendukung apa pun yang aku lakukan selama ini. Mungkin karena mereka ingin aku menjadi polisi juga. Sementara aku memilih untuk menjadi seorang arke
Kalila tertawa kecil, "Menggunakan kontak lensa membuat mataku lelah dan berair. Aku lebih nyaman menggunakan kacamata saja.""Ya sudah, apa ada lagi yang ingin kau katakan kepadaku? Aku tidak bisa berlama-lama, sore nanti aku akan segera berangkat ke Bandung," kata Segara. Kalila kembali menarik napas panjang."Kalau kau mau, aku akan ke Bandung juga. Malam nanti aku akan berangkat ke Cirebon, apa kau mau jika kita bersama-sama ke sana?""Maksudmu? Aku berangkat sore, bukan malam." Kalila tersenyum, "Maksudku ... malam nanti aku akan berangkat ke Cirebon. Jika kau memang mau ke Bandung juga, kenapa kita tidak bersama-sama saja?" jawab Kalila. Segara tertawa kecil."Kau ini lucu, Kalila. Jika kau mau ke Cirebon untuk apa kita bersama?""Ya ... aku ke Bandung dulu. Setelah itu baru aku ke Cirebon," jawab Kalila. Sebenarnya gadis itu memang sangat penasaran.