PART 8. BARANG TEMUAN
Sarah dan Hanifa sudah menikah, bukan dengan kalangan saudagar macam Tuan Sadam. Namun dengan lelaki sederhana yang mereka cintai, setelah tawaran pernikahan dengan lelaki kaya berhasil dicegah atas saran Yusuf. Karena Yusuf berhasil meyakinkan kedua kakak perempuannya perihal hukum alam bahwa cinta itu kaya dan kaya bukan berarti cinta.Hanifa memilih tetap tinggal di bilik sunyi bersama ibunya dan suaminya tak keberatan. Mereka sedikit demi sedikit membenahi rumah petak menjadi beberapa petak yang cukup luas untuk tambahan kamar suami-istri, ruang keluarga dan kamar anak-anak mereka. Sedangkan Alawiyah masih tetap menjahit dibantu oleh Hanifa. Setidaknya kini mereka memiliki outlet pakaian dan seragam sekolah. Perlahan tapi pasti taraf kehidupan mereka meningkat, bukan karena menantu kaya tetapi karena usaha dan percaya akan nasib baik yang akan mengubah suatu kaum ketika kaum itu mau berusaha. Alawiyah tenang di masa tuanya kala
Yuk ramaikan vote dan kasih bintang buat ceritaku. Biar Author semangat menulis bab selanjutnya, spesial untuk para pembaca setia Goodnovel yang baik hati dan setia. Kalian yang selalu menantikan kabar bahagia atau kabar duka dari para tokoh cerita, dengan deg-deg ... serrr ....
PART 9. Dua perempuan bertelanjang kaki berlari secepat angin menembus hutan pinus. Alifia tampak terseret-seret oleh tarikan tangan Raudah yang berlari dengan lincah. Gadis itu terbiasa merambah medan yang lebih terjal di kampungnya yang berbukit-bukit. Sedangkan Alifia tidak terbiasa, apalagi penglihatannya masih belum pulih. "Sudah hehhhh ... berhenti. Aku kelelahan!" pinta Alifia sambil terengah-engah. "Ohhhh ya ... Ok. Duduklah di batu ini. Aku akan melihat-lihat mencari tempat yang aman." Raudah meraih pundak Alifia dan menuntunnya untuk duduk di sebuah batu hitam. "Ya ... kakiku sangat sakit dan perih!" Raudah lantas mengamati kaki Alifia yang ternyata penuh bilur-bilur bekas goresan batu dan ranting. Alifia mencoba menenangkannya. "Sabarlah, Kak. Aku akan mengobatinya. Tapi tolong jangan berisik. Aku masih khawatir kalau-kalau ada seseorang yang mengikuti kita." Alifia mengangguk terduduk dan menutup mulutnya. I
BAB 10. INTUISI Dering handphone milik Yusuf membunyikan nada panggil keluarga bilik-bilik sunyi. Yusuf mengangkat handphone-nya terdengar suara Sarah di ujung sana. "Yusuf ... kau di mana? Mampir ke rumahku cepat, aku menemukan petunjuk yang berharga." "Sungguh? Oke aku putar balik." Yusuf memutar balik motornya menuju perumahan tempat Sarah tinggal bersama suami dan dua anaknya. *** "Ya Allah ... semoga ini benar milik Kak Alifia!" Yusuf meraih anting-anting yang hanya sebelah itu dan mengamatinya lekat-lekat. Anting itu meskipun sederhana tetapi memiliki bentuk unik yang tak banyak diproduksi lagi. Bandul bintang kecil pada bagian bawah anting-anting mengingatkan pada cahaya di masa kecilnya yang mulai dinyalakan Alifia dalam dada. Cahaya yang begitu indah melengkapi sinar purnama, saat di mana pesta pora para cendekia kecil berlomba-lomba membaca cerita atau pun dibacakan dengan suara keras
Part 11. TRAGEDI DALAM RIMBA Siapa yang bisa menebak apa yang akan terjadi di dalam hutan? Sebab rimba raya yang pekat membuat suasana macam labirin yang tak berbentuk. Belum lagi hawa dingin menusuk-nusuk dan tumpukan ranting serta dedaunan tajam, bayangan ular melata di bawahnya atau yang bergantungan di pohon serta binatang buas lain yang siap menerkam. Raudah dan Alifia saling bersedekap mengusir dingin dan rasa takut, sementara kegelapan semakin pekat. Mereka saling membisikkan penghiburan satu sama lain, sesekali bercanda dan berkali-kali menitikkan air mata. Sementara seseorang sedang menyalakan api unggu di tengah hutan dengan bekal korek api yang dimilikinya. Ia menyalakan puntung rokok yang masih terselip di saku celana. Asap api unggun itu membumbung dan membuat Alifia dan Raudah tersedak, karena ternyata mereka berada dalam jarak yang sangat dekat. "Siapa itu?" Ray menyadari ada suara manusia di dekatnya, kemudian meny
"Tunggu, aku mencium batu gamping yang lebih banyak di sana." Alifia menggamit lengan Raudah agar berhenti berlari. "Hahhh ... maksudmu?" "Raudah kita harus mencari tempat persembunyian. Bukannya terus berlari dan berlari tak tentu arah." "Ehhh, kita ini dalam pengejaran." "Ya tapi ... ada masanya kita lelah berlari." "Kaulelah, Kak Alifia. Astaga ... kakimu berdarah." Alifia mengangguk dan terus berjalan ke arah sumber bau gamping yang diindu olehnya. Semenjak mengalami kebutaan, indera penciuman dan mata batin Aliia semakin tajam. Gelapnya netra dibayar tundai dengan terangnya mata batin dan indera. Dirabainya dahan-dahan kayu pinus dan pohon ek yang dilewatinya, sengaja berjalan di depan dan ganti memimpin langkah Raudah yang kebingungan dengan tingkah Alifia. Dengung serangga dan kunang-kunang didengarnya makin tajam menggema di daun telinga, merasai cahaya kunang-kunang itu sebagai tuntunan jalan hidup menuju t
Suara tembakan itu bergema di antara pepohonan pinus, membuat burung-burung berhamburan dari sarangnya. Shadam, pria berbadan tegap dengan rahang kokoh dan tatapan dingin, menyelipkan kembali pistolnya ke balik jas hitamnya. Wajahnya tanpa ekspresi menatap jasad Ray yang tergeletak di tanah bersimbah darah."Tak berguna!" desisnya, kemudian menoleh ke anak buahnya yang berdiri kaku di belakangnya. "Cari dua perempuan itu! Jangan sampai lolos!""Baik, Bos!" jawab anak buahnya serempak, lalu berpencar menyusuri hutan.Shadam mengusap dagunya, berpikir. Jejak Raudah dan Alifia masih segar. Mereka tak mungkin pergi terlalu jauh. Apalagi, salah satu dari mereka terluka. Pasti akan mudah menemukan mereka, pikir Shadam licik.***Sementara itu, di dalam gua yang gelap dan lembap, Raudah terbangun lebih dulu. Sinar matahari pagi yang menerobos celah-celah sempit gua menyilaukan matanya. Dia merasakan perih di lengan kanannya yang terluka akibat terjatuh saat melarikan diri dari Ray. Di sebelah
Langkah Raudah dan Alifia semakin berat seiring teriknya matahari yang memanggang ubun-ubun. Jalan setapak yang ditunjukkan kakek misterius itu terasa semakin panjang dan tak berujung. Sesekali, Alifia meringis menahan sakit di kakinya yang terluka."Bertahanlah, Lifia. Sebentar lagi kita sampai," hibur Raudah, meskipun dia sendiri juga dilanda kelelahan dan keraguan."Aku... aku takut, Raudah," bisik Alifia, suaranya bergetar. "Bagaimana jika mereka menemukan kita? Aku tidak mau kembali ke sana. Aku tidak mau kembali pada Shadam."Raudah menggenggam tangan Alifia erat. "Tidak, Lifia. Kita tidak akan kembali ke sana. Aku janji. Kita akan cari bantuan dan keluar dari masalah ini bersama-sama."Tekad Raudah kembali menguat. Dia tidak akan membiarkan Alifia kembali jatuh ke tangan Shadam. Dia harus melindungi Alifia, meskipun nyawa taruhannya. Bagi Raudah, Alifia bukan hanya sekadar "majikan" yang harus dilindungi sesuai tugasnya sebagai pengawal. Lebih dari itu, Alifia adalah sahabat, sa
PART 1. INGATAN YUSUF Yang diingatnya di masa lima tahun pertama adalah ruangan segiempat dari tumpukan batu bata yang tak pernah dilapis semen penutup dinding. Pada empat dinding itu Yusuf pernah membuat puisi, menyanyi, membaca cerita dan berdoa di sana. Yusuf dan ketiga orang kakak perempuannya. Lalu semenjak pagi buta, Ibu Alawiyah akan mengangkat satu-satunya meja yang dimilikinya keluar, ke tepi jalan raya. Meja kayu itu dilapisi hamparan kain dan baki-baki berisi pisang goreng, mandai atau gorengan dari kulit cempedak, ada pula tape goreng. Ibu menawarkan jajanan itu kepada orang-orang yang lewat. Sementara Yusuf serta kakak-kakaknya harus menunggu sampai tinggal beberapa potong kue yang tak laku agar bisa dimakan sebagai sarapan hadiah. “Ini tape goreng buat sarapan hadiahku ya … jangan kalian rebut!” pinta Yusuf pada tiga kakak perempuannya. Lantas mereka tertawa berderai-derai, entah apanya yang lucu. Seingat Yusuf, kakak nomor tiganya, Sar
PART 2. RATU YANG HILANG “Alangkah beruntungnya Alifia, dari puing-puing dipungut menjadi seorang ratu.” "Ah iya lihat gaunnya beludru. Ia juga memakai mahkota ratu seperti istri-istri Tuan Sadam yang lain." "Tapi Alifia jauh lebih muda dan cantik daripada istri-istri Tuan Sadam yang tampak judes dengan alis tebal dan naik." "Ya, tak kusangka gadis semanis itu mau menikahi Tuan Sadam yang setengah baya." "Siapa pun tergiur dengan harta Tuan Sadam. Tak terkecuali para bidadari yang masih ingin berhias permata dan rupa-rupa harta benda." "Sssttt ... jangan berisik ah. Kalau Tuan Sadam dengar kau pasti akan di-cut!" Para pembisik itu menciut dan menarik garis senyum kuat-kuat tatkala Tuan Sadam Bhisma lewat. Mereka para tetamu undangan pernikahan saudagar minyak yang kaya raya, Sadam Bhisma. Gemerlap pesta pernikahan mereka memang menyilaukan mata, bahkan pelaminan dua insan yang terpaut tiga puluh tiga tahun itu dilapisi em
Langkah Raudah dan Alifia semakin berat seiring teriknya matahari yang memanggang ubun-ubun. Jalan setapak yang ditunjukkan kakek misterius itu terasa semakin panjang dan tak berujung. Sesekali, Alifia meringis menahan sakit di kakinya yang terluka."Bertahanlah, Lifia. Sebentar lagi kita sampai," hibur Raudah, meskipun dia sendiri juga dilanda kelelahan dan keraguan."Aku... aku takut, Raudah," bisik Alifia, suaranya bergetar. "Bagaimana jika mereka menemukan kita? Aku tidak mau kembali ke sana. Aku tidak mau kembali pada Shadam."Raudah menggenggam tangan Alifia erat. "Tidak, Lifia. Kita tidak akan kembali ke sana. Aku janji. Kita akan cari bantuan dan keluar dari masalah ini bersama-sama."Tekad Raudah kembali menguat. Dia tidak akan membiarkan Alifia kembali jatuh ke tangan Shadam. Dia harus melindungi Alifia, meskipun nyawa taruhannya. Bagi Raudah, Alifia bukan hanya sekadar "majikan" yang harus dilindungi sesuai tugasnya sebagai pengawal. Lebih dari itu, Alifia adalah sahabat, sa
Suara tembakan itu bergema di antara pepohonan pinus, membuat burung-burung berhamburan dari sarangnya. Shadam, pria berbadan tegap dengan rahang kokoh dan tatapan dingin, menyelipkan kembali pistolnya ke balik jas hitamnya. Wajahnya tanpa ekspresi menatap jasad Ray yang tergeletak di tanah bersimbah darah."Tak berguna!" desisnya, kemudian menoleh ke anak buahnya yang berdiri kaku di belakangnya. "Cari dua perempuan itu! Jangan sampai lolos!""Baik, Bos!" jawab anak buahnya serempak, lalu berpencar menyusuri hutan.Shadam mengusap dagunya, berpikir. Jejak Raudah dan Alifia masih segar. Mereka tak mungkin pergi terlalu jauh. Apalagi, salah satu dari mereka terluka. Pasti akan mudah menemukan mereka, pikir Shadam licik.***Sementara itu, di dalam gua yang gelap dan lembap, Raudah terbangun lebih dulu. Sinar matahari pagi yang menerobos celah-celah sempit gua menyilaukan matanya. Dia merasakan perih di lengan kanannya yang terluka akibat terjatuh saat melarikan diri dari Ray. Di sebelah
"Tunggu, aku mencium batu gamping yang lebih banyak di sana." Alifia menggamit lengan Raudah agar berhenti berlari. "Hahhh ... maksudmu?" "Raudah kita harus mencari tempat persembunyian. Bukannya terus berlari dan berlari tak tentu arah." "Ehhh, kita ini dalam pengejaran." "Ya tapi ... ada masanya kita lelah berlari." "Kaulelah, Kak Alifia. Astaga ... kakimu berdarah." Alifia mengangguk dan terus berjalan ke arah sumber bau gamping yang diindu olehnya. Semenjak mengalami kebutaan, indera penciuman dan mata batin Aliia semakin tajam. Gelapnya netra dibayar tundai dengan terangnya mata batin dan indera. Dirabainya dahan-dahan kayu pinus dan pohon ek yang dilewatinya, sengaja berjalan di depan dan ganti memimpin langkah Raudah yang kebingungan dengan tingkah Alifia. Dengung serangga dan kunang-kunang didengarnya makin tajam menggema di daun telinga, merasai cahaya kunang-kunang itu sebagai tuntunan jalan hidup menuju t
Part 11. TRAGEDI DALAM RIMBA Siapa yang bisa menebak apa yang akan terjadi di dalam hutan? Sebab rimba raya yang pekat membuat suasana macam labirin yang tak berbentuk. Belum lagi hawa dingin menusuk-nusuk dan tumpukan ranting serta dedaunan tajam, bayangan ular melata di bawahnya atau yang bergantungan di pohon serta binatang buas lain yang siap menerkam. Raudah dan Alifia saling bersedekap mengusir dingin dan rasa takut, sementara kegelapan semakin pekat. Mereka saling membisikkan penghiburan satu sama lain, sesekali bercanda dan berkali-kali menitikkan air mata. Sementara seseorang sedang menyalakan api unggu di tengah hutan dengan bekal korek api yang dimilikinya. Ia menyalakan puntung rokok yang masih terselip di saku celana. Asap api unggun itu membumbung dan membuat Alifia dan Raudah tersedak, karena ternyata mereka berada dalam jarak yang sangat dekat. "Siapa itu?" Ray menyadari ada suara manusia di dekatnya, kemudian meny
BAB 10. INTUISI Dering handphone milik Yusuf membunyikan nada panggil keluarga bilik-bilik sunyi. Yusuf mengangkat handphone-nya terdengar suara Sarah di ujung sana. "Yusuf ... kau di mana? Mampir ke rumahku cepat, aku menemukan petunjuk yang berharga." "Sungguh? Oke aku putar balik." Yusuf memutar balik motornya menuju perumahan tempat Sarah tinggal bersama suami dan dua anaknya. *** "Ya Allah ... semoga ini benar milik Kak Alifia!" Yusuf meraih anting-anting yang hanya sebelah itu dan mengamatinya lekat-lekat. Anting itu meskipun sederhana tetapi memiliki bentuk unik yang tak banyak diproduksi lagi. Bandul bintang kecil pada bagian bawah anting-anting mengingatkan pada cahaya di masa kecilnya yang mulai dinyalakan Alifia dalam dada. Cahaya yang begitu indah melengkapi sinar purnama, saat di mana pesta pora para cendekia kecil berlomba-lomba membaca cerita atau pun dibacakan dengan suara keras
PART 9. Dua perempuan bertelanjang kaki berlari secepat angin menembus hutan pinus. Alifia tampak terseret-seret oleh tarikan tangan Raudah yang berlari dengan lincah. Gadis itu terbiasa merambah medan yang lebih terjal di kampungnya yang berbukit-bukit. Sedangkan Alifia tidak terbiasa, apalagi penglihatannya masih belum pulih. "Sudah hehhhh ... berhenti. Aku kelelahan!" pinta Alifia sambil terengah-engah. "Ohhhh ya ... Ok. Duduklah di batu ini. Aku akan melihat-lihat mencari tempat yang aman." Raudah meraih pundak Alifia dan menuntunnya untuk duduk di sebuah batu hitam. "Ya ... kakiku sangat sakit dan perih!" Raudah lantas mengamati kaki Alifia yang ternyata penuh bilur-bilur bekas goresan batu dan ranting. Alifia mencoba menenangkannya. "Sabarlah, Kak. Aku akan mengobatinya. Tapi tolong jangan berisik. Aku masih khawatir kalau-kalau ada seseorang yang mengikuti kita." Alifia mengangguk terduduk dan menutup mulutnya. I
PART 8. BARANG TEMUANSarah dan Hanifa sudah menikah, bukan dengan kalangan saudagar macam Tuan Sadam. Namun dengan lelaki sederhana yang mereka cintai, setelah tawaran pernikahan dengan lelaki kaya berhasil dicegah atas saran Yusuf. Karena Yusuf berhasil meyakinkan kedua kakak perempuannya perihal hukum alam bahwa cinta itu kaya dan kaya bukan berarti cinta. Hanifa memilih tetap tinggal di bilik sunyi bersama ibunya dan suaminya tak keberatan. Mereka sedikit demi sedikit membenahi rumah petak menjadi beberapa petak yang cukup luas untuk tambahan kamar suami-istri, ruang keluarga dan kamar anak-anak mereka. Sedangkan Alawiyah masih tetap menjahit dibantu oleh Hanifa. Setidaknya kini mereka memiliki outlet pakaian dan seragam sekolah. Perlahan tapi pasti taraf kehidupan mereka meningkat, bukan karena menantu kaya tetapi karena usaha dan percaya akan nasib baik yang akan mengubah suatu kaum ketika kaum itu mau berusaha. Alawiyah tenang di masa tuanya kala
PART 7. TRIK RAUDAH Raudah sudah lebih tenang ketika ia mampu membujuk Alifia. Suapan demi suapan ke bibir kering perempuan yang dihormatinya itu disambut dengan lemah. Hanya tiga suap yang sanggup untuk ditelan Alifia. Air mineral satu botol kecil telah pula dibagi berdua. Lalu ia membiarkan Alifia terlelap sementara Raudah memutar otak agar bisa segera keluar dari kamar laknat itu. Raudah menemukan secarik kertas dan ia masih membawa eyeliner untuk bisa menulis surat. ["Penjaga, hai aku kesepian. Bisakah kau menemani sebentar? Nyonya ratu sedang tidur."] Secarik kertas itu diselipkannya di bawah pintu. Menit demi menit terlampaui, Raudah resah menanti balasan. Ia berharap Alifia tetap tidur agar tak mengkhawatirkan percobaannya kali ini, merayu penjaga kamar yang pasti sudah sangat bosan menunggu di depan pintu kamar. Tak perlu waktu lama bagi Raudah untuk menunggu balasan. Penjaga yang semenjak semingguan ini bertugas
PART 6. NIR CAHAYA Entah sudah berapa hari Alifia dan Raudah terkurung dalam kamar pengasingan, mereka berdua sudah tak sanggup lagi menghitung hari. Makanan yang disorongkan penjaga di depan pintu mulai tak disentuh oleh Alifia. tubuhnya makin kurus dan netranya tanpa cahaya. Sementara Raudah masih yakin akan bisa membunuh Sadam Bhisma, karena itu ia makan dan terus berceloteh agar Alifia melupa derita. "Makanlah, Kak. Kau harus kuat. Kita akan membalas dendam bersama-sama." bujuk Raudah. "Aku tak punya harapan lagi. Jika kita berhasil keluar pun si empunya kuasa Sadam akan membunuh kita." "Ohhh ... betapa cemen-nya kamu, Kak Alifia. Tidak percayakah bahwa kita masih punya kekuatan dan kesanggupan melawan? Bukankah hari lalu kau yang mengajariku? Bukankah kaubilang bertekad membunuh Sadam?" Suara Raudah meninggi. "Lalu kenapa sekarang takluk pada garis takdir yang ditetapkan Sadam. Kausamakan Sadam dengan