Jia melangkah keluar dari ruangan dengan napas yang masih tertahan di dadanya. Dinding mansion yang megah, dengan dekorasi yang berkilauan dan ornamen mahal, seolah semakin sempit, menekan setiap ruang di sekitarnya, menyisakan sedikit tempat untuk bernapas. Namun langkahnya tetap tegas, tidak memperlihatkan kegelisahan atau kebingungan yang sebenarnya tengah melanda dirinya."Bagus, sekarang aku malah merasa menyesal sudah kembali." gumannya pelan.Setiap langkah terasa berat, seolah suara tawa Revandro masih mengekor di belakangnya, berbisik di telinganya dengan nada mengusik yang hanya bisa ia dengar. Hatinya menegang—mengingat seberapa dalam pria itu bisa mempengaruhinya, menggoyahkan ketenangannya hanya dengan satu kalimat atau sentuhan. Jia tiba di ujung koridor, berhenti sejenak untuk mengumpulkan dirinya. Kedua tangannya bergetar, dan dengan sedikit emosi yang ia benci untuk tunjukkan, ia menekan punggung tangannya pada bibirnya, seolah-olah bisa menghapus bekas kehangatan n
Saat Jia membuka pintu, udara di dalam kamar menyambutnya dengan kehangatan yang tak terduga, meski ada rasa dingin samar yang menyelubungi. Di tengah ruangan, Revandro berdiri dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celana, pandangannya terpaku pada dirinya seolah menunggu momen ini dengan sabar dan antusiasme yang terbungkus rapi di balik sikapnya yang tenang.Jia memandangnya dengan wajah tanpa ekspresi, namun ada kilatan di matanya yang tidak bisa dia sembunyikan. Sebuah perasaan yang menggumpal, menekan dadanya. Seolah seluruh emosinya tertahan di ujung bibirnya, siap untuk meledak kapan saja. Namun, Jia menahan diri, membiarkan keheningan yang penuh ketegangan ini berlama-lama.Revandro melangkah mendekat, matanya menelusuri wajah Jia dengan lembut tapi penuh intensitas, menyiratkan sesuatu yang lebih dari sekadar perasaan biasa. Dia berhenti tepat di depannya, cukup dekat hingga Jia bisa merasakan napasnya yang hangat, menyapu lembut wajahnya.“Tidak mudah bagimu kembali ke s
Ketegangan di antara mereka hanya menyisakan keheningan sejenak, tapi kehangatan itu meresap seperti bara kecil yang tak kunjung padam di antara kabut dingin. Jia berdiri di sana, memandangi Revandro yang kini tampak begitu rapuh meski wajahnya masih menyiratkan otoritas. Rasanya ganjil; di balik ketegasan dan ketidaksukaannya pada sikap pria itu, ada sesuatu yang menahan Jia untuk beranjak jauh.Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Tiba-tiba, pintu kamar terbuka dengan suara yang tak sabaran, dan salah satu anak buah Revandro, Marcus, masuk dengan napas terengah-engah. Tatapannya menatap langsung pada Revandro, sebelum sekilas melirik Jia dengan ketegangan yang jelas tak dapat disembunyikan.“Maafkan gangguannya, Tuan,” katanya, suaranya tercekat. “Tapi kita punya masalah besar. Orang-orang dari Keluarga Liniero baru saja muncul, dan mereka mengancam ingin bertemu langsung dengan Anda. Mereka bilang—”Marcus terhenti, tampaknya ragu untuk melanjutkan dengan Jia yang ada di r
Di luar mansion, udara malam terasa menusuk tulang. Jia menggigil, tidak tahu apakah karena dingin atau karena adrenalin yang masih mengalir dalam tubuhnya. Marcus memimpin jalan menuju mobil hitam yang diparkir tak jauh dari sana, dan mereka masuk dengan cepat.Saat mesin dinyalakan, Jia mengalihkan pandangannya ke mansion yang semakin menjauh, kepalanya penuh pertanyaan dan perasaan yang bercampur aduk. Perasaan hangat aneh yang ia rasakan saat bertukar pandang dengan Revandro masih terngiang, meskipun jauh di dalam hatinya ia tahu bahwa pria itu masih menyimpan terlalu banyak misteri. Kegelapan yang mengelilingi Revandro membuatnya sulit mempercayai setiap gerakan, setiap tatapan, dan setiap kalimat yang keluar dari bibirnya.Marcus menatapnya sekilas dari kursi pengemudi, ekspresi tegasnya sedikit melunak. "Jia, kau baik-baik saja?"Jia menghela napas panjang, mencoba menyusun pikirannya yang masih kacau. "Marcus, apa sebenarnya yang sedang terjadi? Mengapa Keluarga Liniero samp
Jia terpaku sejenak, jantungnya berdegup kencang, namun bukan dalam arti yang membuat nyaman. Tatapan Revandro mengunci dirinya, sebuah tatapan yang tak hanya mengintimidasi, namun juga begitu mendalam, hampir menelan dirinya seutuhnya. Ia mendapati dirinya terjebak antara amarah dan perasaan rumit yang belum bisa ia jelaskan.Dengan suara yang tertahan dan bergetar, Jia menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara. "Revandro," ujarnya tegas, "Jika kau benar-benar peduli padaku, kau akan memberiku ruang. Kau tidak akan selalu memegang kendali seperti ini."Revandro mengangkat sebelah alis, tangannya perlahan melonggarkan genggaman di bahu Jia, namun ia tidak mundur. "Jia," gumamnya lembut namun intens, "Jika aku memberimu ruang, kau akan pergi. Kau akan meninggalkanku.""Bukan itu maksudku. Kau harus mengerti… jika terus seperti ini, kau hanya akan membuatku ingin menjauh lebih cepat," ucapnya, suaranya sedikit melunak, namun tetap dengan ketegasan yang tak bisa diganggu gugat. "A
Dalam diam malam itu, Jia berdiri di balkon kamar, menghadap langit yang gelap. Udara malam membawa aroma hujan, menenangkan namun menekan, seolah alam pun merasakan ketegangan yang tak terucap di antara mereka berdua. Di bawah sinar redup lampu-lampu taman, bayangan Revandro berdiri di belakangnya, tak bergerak. Dia diam-diam mengamatinya, tak berani mendekat, hanya sekadar mengawasi."Jia," suara Revandro pecah di antara keheningan. Nada suaranya lembut, namun dengan dorongan penuh kegelisahan. "Apa yang akan kau lakukan sekarang?"Jia menghela napas dalam, tak segera menjawab. Ia merasa terjebak dalam situasi yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya, namun juga tak sepenuhnya ingin lepas dari Revandro. Ada sisi gelap dalam dirinya yang tertarik pada pria ini, pada kekuatan serta kekejaman yang dilunakkan hanya saat ia bersamanya.“Aku... hanya ingin memastikan bahwa apa pun yang kulakukan, itu bukan karena dirimu saja, Revandro,” jawabnya pelan. Suaranya hampir hilang dalam hembus
Malam itu terasa lebih pekat, seolah-olah alam pun mendukung kekelaman yang semakin mengikat antara Jia dan Revandro. Mereka berdiri di sana, hanya ada mereka berdua dan dunia yang mulai runtuh di sekitar mereka, dengan ancaman yang kian mendekat. Tatapan Revandro tajam, seolah mengukur setiap reaksi Jia, setiap gerakan yang bisa menunjukkan kelemahan. Jia, di sisi lain, merasakan semakin jelas betapa dirinya terperangkap dalam jaringan yang tak terurai.“Kenapa kau begitu percaya diri?” tanya Jia, suaranya terdengar lebih dingin daripada yang ia harapkan. Ia berbalik, menatap Revandro dengan wajah yang mencoba keras untuk menyembunyikan segala gejolak dalam dirinya. “Apakah karena kau merasa bisa mengendalikan segalanya? Bahkan aku?”“Tidak, Jia. Aku hanya percaya bahwa kau adalah bagian dari hidupku yang tak akan bisa diambil orang lain, apapun yang terjadi.”Jia merasa perasaan yang tak bisa ia kendalikan mulai menggerogoti dirinya. Ia membenci kenyataan itu—bahwa meskipun ia ing
Langkah-langkah berat terdengar dari luar, menggetarkan dinding mansion yang sudah terlalu sering dipenuhi ketegangan ini. Suara pertempuran di kejauhan semakin jelas, menandakan bahwa para pasukan Liniero sudah mulai bergerak. Mata Jia berkilat, seakan menyadari bahwa ini bukan hanya ancaman bagi dirinya, tapi juga bagi semua yang ada di sekitarnya.Revandro tetap berdiri di belakangnya, tatapannya penuh dengan kekuatan dan keputusan yang tak bisa dibantah. "Mereka datang, Jia," suaranya menggema dalam keheningan yang semakin menebal. "Dan kita akan menghadapinya bersama."Jia menatapnya tajam, meskipun hatinya bergejolak. "Kita?" tanyanya, matanya penuh pertanyaan dan ketegasan. "Kau tidak bisa memaksa aku untuk ikut dalam ini. Aku bukan bagian dari dunia gelapmu."Revandro tertawa pelan, tidak tertawa dengan kebahagiaan, melainkan seperti seseorang yang telah terperangkap dalam permainan yang lebih besar dari yang bisa mereka bayangkan. "Kau sudah lama menjadi bagian darinya, Ji