Dalam diam malam itu, Jia berdiri di balkon kamar, menghadap langit yang gelap. Udara malam membawa aroma hujan, menenangkan namun menekan, seolah alam pun merasakan ketegangan yang tak terucap di antara mereka berdua. Di bawah sinar redup lampu-lampu taman, bayangan Revandro berdiri di belakangnya, tak bergerak. Dia diam-diam mengamatinya, tak berani mendekat, hanya sekadar mengawasi."Jia," suara Revandro pecah di antara keheningan. Nada suaranya lembut, namun dengan dorongan penuh kegelisahan. "Apa yang akan kau lakukan sekarang?"Jia menghela napas dalam, tak segera menjawab. Ia merasa terjebak dalam situasi yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya, namun juga tak sepenuhnya ingin lepas dari Revandro. Ada sisi gelap dalam dirinya yang tertarik pada pria ini, pada kekuatan serta kekejaman yang dilunakkan hanya saat ia bersamanya.“Aku... hanya ingin memastikan bahwa apa pun yang kulakukan, itu bukan karena dirimu saja, Revandro,” jawabnya pelan. Suaranya hampir hilang dalam hembus
Malam itu terasa lebih pekat, seolah-olah alam pun mendukung kekelaman yang semakin mengikat antara Jia dan Revandro. Mereka berdiri di sana, hanya ada mereka berdua dan dunia yang mulai runtuh di sekitar mereka, dengan ancaman yang kian mendekat. Tatapan Revandro tajam, seolah mengukur setiap reaksi Jia, setiap gerakan yang bisa menunjukkan kelemahan. Jia, di sisi lain, merasakan semakin jelas betapa dirinya terperangkap dalam jaringan yang tak terurai.“Kenapa kau begitu percaya diri?” tanya Jia, suaranya terdengar lebih dingin daripada yang ia harapkan. Ia berbalik, menatap Revandro dengan wajah yang mencoba keras untuk menyembunyikan segala gejolak dalam dirinya. “Apakah karena kau merasa bisa mengendalikan segalanya? Bahkan aku?”“Tidak, Jia. Aku hanya percaya bahwa kau adalah bagian dari hidupku yang tak akan bisa diambil orang lain, apapun yang terjadi.”Jia merasa perasaan yang tak bisa ia kendalikan mulai menggerogoti dirinya. Ia membenci kenyataan itu—bahwa meskipun ia ing
Langkah-langkah berat terdengar dari luar, menggetarkan dinding mansion yang sudah terlalu sering dipenuhi ketegangan ini. Suara pertempuran di kejauhan semakin jelas, menandakan bahwa para pasukan Liniero sudah mulai bergerak. Mata Jia berkilat, seakan menyadari bahwa ini bukan hanya ancaman bagi dirinya, tapi juga bagi semua yang ada di sekitarnya.Revandro tetap berdiri di belakangnya, tatapannya penuh dengan kekuatan dan keputusan yang tak bisa dibantah. "Mereka datang, Jia," suaranya menggema dalam keheningan yang semakin menebal. "Dan kita akan menghadapinya bersama."Jia menatapnya tajam, meskipun hatinya bergejolak. "Kita?" tanyanya, matanya penuh pertanyaan dan ketegasan. "Kau tidak bisa memaksa aku untuk ikut dalam ini. Aku bukan bagian dari dunia gelapmu."Revandro tertawa pelan, tidak tertawa dengan kebahagiaan, melainkan seperti seseorang yang telah terperangkap dalam permainan yang lebih besar dari yang bisa mereka bayangkan. "Kau sudah lama menjadi bagian darinya, Ji
Jia menggenggam senjatanya lebih erat, menatap sosok Revandro yang kini berdiri berhadapan dengan Liniero. Dia bisa merasakan kepahitan dan kemarahan membara di setiap tatapan mereka. Liniero menyeringai sinis, tatapannya tajam bak pisau yang menusuk langsung ke dalam hati Revandro, seolah menantang dan mengejek, sementara Revandro hanya merespon dengan senyum tipis yang dingin.Jia bisa melihat betapa mudahnya kedua pria itu saling membenci. Tapi di balik itu semua, ada sesuatu yang lebih dari sekadar persaingan; ada sejarah kelam yang menghubungkan mereka, suatu perasaan yang tak bisa terurai hanya dalam pertempuran ini.“Berakhir di sini, Revandro. Akhir dari kekuasaanmu dan semua yang kau anggap milikmu,” ucap Liniero dengan suara yang tenang, namun setiap kata penuh ancaman. "Dan perempuan itu…”—matanya mengarah tajam pada Jia—“hanyalah salah satu pion yang kau gunakan, bukan? Gadis ini tidak lebih dari korban permainan kotormu."Jia tersentak, merasa darahnya mendidih mendengar
Revandro masih memeluk Jia erat, seolah takut kehilangan lagi. Jia terdiam di dalam pelukan itu, tenggelam dalam kehangatan yang nyaris terasa asing namun begitu nyata. Sebagian hatinya ingin mempercayai kata-kata Revandro, ingin meyakini bahwa apa yang mereka miliki lebih dari sekadar obsesi atau permainan kekuasaan. Namun, suara kecil dalam dirinya terus mengingatkan akan bahaya yang selalu mengikuti pria ini.Setelah beberapa saat, Jia perlahan melepaskan diri dari pelukan Revandro, menatapnya dengan tatapan penuh arti. “Jika kau benar-benar ingin melindungiku, maka buktikan. Jangan hanya dengan kata-kata, Revandro,” katanya dengan nada tegas namun lembut.Revandro tersenyum tipis, menunduk sedikit seakan menghormati keinginan Jia. “Baiklah,” katanya pelan namun penuh janji, seolah kata-katanya adalah sumpah yang tak akan pernah ia langgar.Keduanya terdiam sejenak, hingga ketukan pintu pelan memecah keheningan. Salah satu pelayan masuk dengan ekspresi gugup, menyampaikan pesan bah
Suasana tegang merayap dalam gelap. Jia merasa desakan tangan Revandro di genggamannya, seolah itu satu-satunya tali yang menahannya untuk tetap berani. Tapi, ketika suara tawa dingin Liniero semakin mendekat, ia tahu tidak bisa bergantung pada siapa pun selain dirinya sendiri.“Liniero!” suara Revandro menggema dalam ruang kosong, tegas dan memotong kesunyian. “Jika kau pikir mengancam Jia akan menghancurkanku, kau salah besar.”Liniero hanya tertawa pelan. “Salah besar, ya? Lalu kenapa kau membawanya ke sini, kalau bukan karena dia kelemahanmu?”Revandro menelan ludah, wajahnya menunjukkan ketegangan yang hampir tak terlihat, namun Jia menyadarinya. Di saat seperti ini, ia tahu ada sesuatu yang sedang terjadi di balik kediaman Revandro—sebuah keraguan kecil yang Liniero coba gunakan untuk menyerangnya.Liniero bergerak maju dari bayang-bayang, dan seberkas cahaya redup dari jendela pecah membuat wajahnya tampak semakin menyeramkan. Ia berdiri dengan tangan terlipat, sebuah seringai
Jia menurunkan senjatanya, napasnya masih tersengal-sengal setelah ketegangan yang baru saja terjadi. Namun, meskipun fisiknya lelah, ada perasaan bangga yang membuncah di dalam dadanya. Ia melirik ke arah Revandro, yang masih menatapnya dengan tatapan penuh kekaguman, seolah menyadari bahwa Jia bukan lagi wanita yang sama seperti saat mereka pertama kali bertemu.Revandro berjalan mendekatinya, dan tanpa berkata apa-apa, ia mengulurkan tangan, menyentuh wajah Jia dengan lembut. “Kau luar biasa,” bisiknya, suaranya rendah namun penuh ketulusan. Ada sesuatu di matanya yang sejenak membuat Jia lupa pada bahaya yang mengintai mereka, pada Liniero yang mungkin kembali untuk membalas dendam.Jia menepis tangan Revandro dengan pelan, namun tidak bisa menyembunyikan sedikit senyum yang muncul di sudut bibirnya. “Jangan kira aku melakukan ini untukmu,” ucapnya, mencoba mempertahankan sikap dinginnya meskipun dalam hati ia tahu kata-katanya tak sepenuhnya benar.Revandro hanya terkekeh, senyu
Malam itu terasa semakin sunyi setelah Darius pergi. Revandro dan Jia masih berdiri di ruangan, saling bertukar pandang dalam diam, merasakan ketegangan yang sama tetapi dengan cara yang berbeda. Ada kekhawatiran di mata Revandro yang tak bisa disembunyikan, sementara Jia menunjukkan keteguhan yang tak tergoyahkan."Aku tidak tahu apakah harus memujimu atau khawatir padamu," ujar Revandro akhirnya, suaranya terdengar sedikit lelah namun penuh kasih. "Kau bahkan lebih keras kepala dari yang kubayangkan."Jia tersenyum tipis, mengangkat bahunya. "Sudah kukatakan, aku bukan seseorang yang mudah menyerah. Apalagi kalau itu berarti melindungi apa yang penting bagiku."Revandro mendekat, kedua tangannya memegang wajah Jia dengan lembut. Ia menatap dalam-dalam ke matanya, mencari keyakinan yang semakin kokoh di sana. "Aku serius, Jia. Jika keadaan semakin sulit, aku ingin kau tetap aman. Aku tidak akan memaafkan diriku sendiri jika sesuatu terjadi padamu."Jia meraih tangan Revandro yang men
Jia merasa tubuhnya bergetar, bukan hanya karena ancaman yang nyata di depan matanya, tetapi juga karena kemarahan yang mulai membakar dirinya. Kenapa pria tua ini datang hanya untuk menghancurkan segalanya?Revandro menarik Jia ke belakangnya dengan gerakan protektif. "Kau tidak akan mendapatkan apa pun darinya. Kalau kau berani menyentuhnya, aku bersumpah, kau tidak akan keluar hidup-hidup dari sini."Pria tua itu tersenyum kecil, melangkah mundur dengan tangan di belakang punggungnya, seolah tak terganggu sedikit pun oleh ancaman Revandro. "Kau berpikir ancamanmu berarti sesuatu bagiku, Maxio? Kau mungkin kuat, tapi aku sudah hidup lebih lama dari yang kau tahu."Sementara itu, Arvell, yang diam-diam memperhatikan dari sudut ruangan, mulai menggerakkan pistolnya ke arah salah satu anak buah pria tua itu. Ia tahu waktunya sudah hampir habis—jika Jia tidak menyerahkan kotak itu, konflik ini akan berubah menjadi pembantaian."Jia," bisik Revandro, suaranya rendah namun cukup tegas unt
Langkah Jia semakin cepat saat suara tembakan dan ledakan terus menggema di luar. Udara di lorong itu terasa berat dengan aroma mesiu, dan setiap langkahnya seolah membawa Jia lebih dekat ke dalam bahaya. Namun, di tengah kegelisahan yang mendera, tekad Jia semakin kokoh.Arvell berjalan di sisinya, wajahnya dingin dan penuh perhitungan. Meski jelas ia adalah sekutu sementara, Jia tak bisa mengabaikan fakta bahwa lelaki itu memancarkan aura bahaya yang setara dengan Revandro.Ketika mereka mencapai pintu keluar ke area gudang utama, mereka menemukan beberapa anak buah Revandro tengah bersembunyi di balik tumpukan peti. Salah satu dari mereka segera memberi laporan."Mereka sudah berhasil mendobrak gerbang utama. Revandro masih berusaha menahan mereka, tapi jumlah mereka terlalu banyak!"Jia merasa dadanya mencelos. Revandro sendirian?Arvell melirik pria itu dengan tenang. "Berapa banyak orang kita yang tersisa?""Kurang dari setengah. Sisanya sudah tumbang atau mundur.""Bagus," jawa
Ruangan itu penuh dengan ketegangan yang hampir bisa dirasakan. Jia mencoba mengatur napasnya, namun gemetar tubuhnya tak bisa ia hentikan. Revandro menggenggam tangannya erat, sementara Arvell berdiri dengan raut wajah yang gelap dan penuh amarah."Aku tidak percaya," Arvell memecah kesunyian. "Pria itu pasti berbohong. Dia mencoba mengadu domba kita dengan ceritanya."Revandro tidak menjawab. Tatapannya tertuju pada Jia, menunggu penjelasan, tetapi Jia hanya menggeleng pelan. "Aku sungguh tidak tahu apa yang dia bicarakan... tapi liontin itu..." Suaranya melemah, seolah hanya mengakuinya saja sudah menyakitkan."Liontin itu... terasa familier," sambungnya dengan suara bergetar."Familiar bagaimana?" tanya Revandro tegas."Aku tidak tahu," jawab Jia, frustrasi. "Aku tidak ingat! Tapi aku merasa... seperti itu pernah menjadi milikku.""Kau harus ingat, Jia!" Arvell berseru, langkahnya maju mendekati Jia. "Pria itu jelas tahu sesuatu. Jika kau tidak tahu apa yang kau simpan, kita semua
Jia mundur perlahan, matanya tetap terpaku pada sosok Ignatius yang berdiri tegak di ujung jalan. Ia tidak tahu bagaimana pria itu bisa menemukannya, tapi kehadirannya jelas membawa ancaman.Dari dalam, suara langkah kaki Revandro mendekat. "Jia, kau baik-baik saja?" tanyanya, suaranya penuh kewaspadaan.Jia menoleh cepat. "Dia ada di sana," ujarnya lirih sambil menunjuk ke arah jalan.Revandro langsung bergerak, pandangannya menyapu tempat yang ditunjukkan Jia. Tapi jalanan itu kini kosong. Tidak ada siapa pun."Dia ada di sana, aku melihatnya!" Jia bersikeras, merasa seolah kehilangan akal sehatnya.Arvell muncul dari dalam ruangan dengan alis terangkat. "Apa yang terjadi di sini?""Jia bilang dia melihat Ignatius," jawab Revandro, matanya masih waspada, menyisir setiap sudut.Arvell mendekati Jia, mengamati ekspresinya dengan saksama. "Dia ada di sini? Kau yakin itu dia, Jia?"Jia mengangguk ragu. "Aku melihatnya. Dia berdiri di sana... tersenyum padaku."Arvell melirik Revandro. "
Suara tembakan yang menggema dari belakang semakin mengguncang hati Jia. Ia terpaksa mengikuti langkah cepat Revandro dan Arvell, meski pikirannya penuh dengan kekhawatiran untuk Kairos. Di lorong gelap yang semakin menyempit, Jia merasakan keheningan di antara mereka begitu menyesakkan.“Apa rencanamu sekarang, Arvell?” tanya Revandro dingin tanpa menoleh.Arvell, yang memimpin jalan, hanya memberikan seringai samar. “Rencana? Rencana utamaku adalah memastikan kita keluar hidup-hidup. Sisanya, kita lihat nanti.”“Jangan bermain-main denganku. Jika kau berani mengkhianati kami, aku akan—”“Sudah cukup,” potong Jia, suaranya gemetar tapi tegas. “Kalian berdua terus saling mengancam di tengah situasi seperti ini? Berhenti memperebutkan kendali, atau kita semua akan mati di sini!”Keduanya terdiam, seolah terkejut dengan keberanian Jia. Namun, langkah mereka terus berlanjut hingga tiba di sebuah pintu besi besar.“Ini jalan keluarnya,” kata Arvell sambil memutar sebuah roda besi yang men
Jia berdiri membeku di tempatnya, matanya menatap tajam ke arah Arvell. Pria itu terlihat tenang, terlalu tenang, dan itu membuat Jia semakin curiga. Apa permainan yang sedang ia rencanakan?Kairos melangkah maju, wajahnya dipenuhi konflik. “Arvell, lepaskan dia. Ini bukan bagian dari kesepakatan kita.”Arvell menoleh ke Kairos dengan senyum yang hampir ramah. “Kairos, jangan campur tangan. Kau di sini karena aku mengizinkannya. Jangan lupa siapa yang memegang kendali.”Jia mengepalkan tinjunya. “Kendali? Kau pikir aku akan membiarkan diriku dimainkan olehmu? Jika kau punya sesuatu yang ingin dikatakan, katakan sekarang!”Namun, Arvell tidak terpengaruh oleh kemarahan Jia. Dia justru melangkah mendekat dengan gerakan yang penuh perhitungan. “Oh, Jia, kau selalu terlalu berani. Itulah yang membuatmu menarik.”“Berhenti bicara omong kosong,” potong Jia. “Apa tujuanmu? Dan apa hubungannya ini dengan Kairos?”Arvell tertawa pelan. “Tujuanku? Hanya memastikan kau tidak lepas dari pengawasa
Jia masih terdiam, pikirannya dipenuhi oleh teka-teki yang sulit ia pecahkan. Nama Kairos terus bergema di kepalanya, membangkitkan campuran emosi yang sulit ia jelaskan. Dalam pikirannya, ingatan akan pria tua itu semakin jelas.Dia ingat bagaimana Kairos tidak hanya sembuh dari luka-lukanya tetapi juga menjadi bagian penting dalam organisasi kecilnya dulu. Pria tua itu, meski tampak lemah, memiliki pengetahuan mendalam tentang strategi dan taktik yang jauh melampaui siapa pun yang pernah Jia temui. Kairos adalah penasihat diam-diam yang sering membantu Jia keluar dari situasi sulit tanpa meminta apa pun sebagai imbalan.Namun, suatu hari, pria itu menghilang. Tanpa jejak, tanpa pesan. Jia tidak pernah tahu ke mana dia pergi atau apakah dia masih hidup.---Kini, pertanyaan yang menghantui Jia adalah: apakah Kairos yang dia lihat tadi malam benar-benar orang yang sama?Jia memutuskan untuk mencari tahu. Dia meraih ponselnya, mengetik pesan singkat kepada salah satu koneksi lamanya ya
Pria yang baru datang itu melangkah mendekat dengan tenang, namun setiap gerakannya membawa aura tekanan yang membuat semua orang menahan napas.Pemimpin kelompok bersenjata itu menegang, raut wajahnya berubah dari percaya diri menjadi penuh kehati-hatian. “Kami tidak mengharapkan kehadiran Anda di sini, Tuan...” Suaranya melemah, seolah takut menyebutkan nama pria tersebut.Revandro memperhatikan pria itu dengan tatapan tajam, instingnya langsung mengenali bahwa ini bukan orang biasa. Sementara Arvell berdiri siaga, matanya menyapu sekeliling, mencari tahu apa tujuan pria ini dan apakah ia sekutu atau musuh.“Jia,” suara pria itu akhirnya terdengar, datar namun penuh makna. Tatapannya yang dingin tertuju langsung pada wanita yang berdiri di antara kekacauan. “Apakah mereka mengganggumu?”Jia menatapnya dengan bingung, tak mengenali siapa pria itu. “Siapa... siapa Anda?”Pria itu tidak menjawab langsung. Sebaliknya, ia mengarahkan pandangannya pada pemimpin kelompok bersenjata. “Kamu
Agatha berjalan cepat menuju tangga, menekan rasa cemas yang mulai merayap di dadanya. Setiap langkah yang diambilnya terasa semakin berat, namun tekad di dalam dirinya semakin kuat. Ia tahu, jika ia terus berada di sisi Rohander, ia hanya akan semakin terjerat dalam permainan yang tak pernah ia pilih. Meskipun ketakutan itu ada, rasa ingin tahu dan kebebasan yang lebih besar dari rasa takut itu mendorongnya untuk terus maju.Namun, di balik langkahnya yang mantap, Agatha bisa merasakan tatapan Rohander yang terus mengikuti setiap gerakannya. Rasanya seperti ada bayangan gelap yang terus membayangi setiap langkahnya. Begitu sampai di pintu kamar, Agatha berbalik, berhadapan dengan Rohander yang kini sudah berada di ambang pintu, menatapnya dengan sorot mata yang dalam, penuh dengan campuran antara kekhawatiran dan kemarahan yang terpendam."Agatha," suara Rohander rendah, namun ada ketegangan yang menebal. "Kau pikir, aku akan membiarkanmu pergi begitu saja? Tanpa penjelasan?"Agatha