Revandro tanpa ragu mengangkat Jia dalam gendongannya, posisinya seolah koala yang menempel erat pada tubuh pria itu. Wajah Jia memerah karena malu, tetapi tatapan dinginnya justru menjadi tameng untuk menyembunyikan rasa malu itu, terutama saat mereka memasuki ruang makan.Di ruangan itu, wanita yang tadi dikatakan Revandro sebagai "jalang" sudah duduk dengan sikap angkuh, seolah ruang makan tersebut adalah tahtanya. Jia menilai wanita itu sekilas, cukup untuk memahami ambisinya yang begitu terang-terangan untuk menjadi nyonya di rumah ini. Tatapannya pada Revandro juga tidak bisa disembunyikan—ada obsesi dan keinginan mendalam untuk memonopoli perhatian pria itu.Para pelayan dan bawahan yang tengah sibuk menata hidangan sempat terhenti dan menatap terkejut saat melihat Revandro masuk sambil menggendong Jia. Kejutan mereka semakin menjadi saat Revandro berjalan mendekat dan mengambil posisi di salah satu kursi besar, memangku Jia dengan santai seolah menunjukkan pada semua orang ba
Jia berdiri tegak di depan Revandro, menatapnya penuh amarah sebelum tiba-tiba menampar wajahnya dengan kekuatan yang cukup keras untuk membuat keheningan menyelimuti ruangan. Suara tamparan itu menggema, mengejutkan semua orang di sekitar mereka. Jia mendesis, penuh kemarahan yang tak tertahankan. “Inikah yang kau inginkan, Revandro?!”Revandro tidak langsung menjawab. Ia hanya mengusap sudut bibirnya yang pecah karena tamparan Jia, pandangannya tetap tak berubah—terlalu tenang dan, yang lebih mengesalkan, masih menyimpan senyuman samar. “Kalau itu yang kau inginkan,” katanya pelan, “tampar aku lagi, Jia.”Jia mendengus kesal, namun senyum licik tersirat di wajahnya. Tanpa ragu, ia mencengkeram kerah Revandro dengan kedua tangan, menariknya lebih dekat hingga mereka hampir bertatapan langsung. “Kau benar-benar sudah sakit jiwa, Revandro,” ujarnya tajam. “Dari psikopat, obsesi gila, sampai sekarang… kau masokis?”Setiap hinaan Jia hanya membuat Revandro semakin terhibur, matanya me
Jia melangkah keluar dari ruangan dengan napas yang masih tertahan di dadanya. Dinding mansion yang megah, dengan dekorasi yang berkilauan dan ornamen mahal, seolah semakin sempit, menekan setiap ruang di sekitarnya, menyisakan sedikit tempat untuk bernapas. Namun langkahnya tetap tegas, tidak memperlihatkan kegelisahan atau kebingungan yang sebenarnya tengah melanda dirinya."Bagus, sekarang aku malah merasa menyesal sudah kembali." gumannya pelan.Setiap langkah terasa berat, seolah suara tawa Revandro masih mengekor di belakangnya, berbisik di telinganya dengan nada mengusik yang hanya bisa ia dengar. Hatinya menegang—mengingat seberapa dalam pria itu bisa mempengaruhinya, menggoyahkan ketenangannya hanya dengan satu kalimat atau sentuhan. Jia tiba di ujung koridor, berhenti sejenak untuk mengumpulkan dirinya. Kedua tangannya bergetar, dan dengan sedikit emosi yang ia benci untuk tunjukkan, ia menekan punggung tangannya pada bibirnya, seolah-olah bisa menghapus bekas kehangatan n
Saat Jia membuka pintu, udara di dalam kamar menyambutnya dengan kehangatan yang tak terduga, meski ada rasa dingin samar yang menyelubungi. Di tengah ruangan, Revandro berdiri dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celana, pandangannya terpaku pada dirinya seolah menunggu momen ini dengan sabar dan antusiasme yang terbungkus rapi di balik sikapnya yang tenang.Jia memandangnya dengan wajah tanpa ekspresi, namun ada kilatan di matanya yang tidak bisa dia sembunyikan. Sebuah perasaan yang menggumpal, menekan dadanya. Seolah seluruh emosinya tertahan di ujung bibirnya, siap untuk meledak kapan saja. Namun, Jia menahan diri, membiarkan keheningan yang penuh ketegangan ini berlama-lama.Revandro melangkah mendekat, matanya menelusuri wajah Jia dengan lembut tapi penuh intensitas, menyiratkan sesuatu yang lebih dari sekadar perasaan biasa. Dia berhenti tepat di depannya, cukup dekat hingga Jia bisa merasakan napasnya yang hangat, menyapu lembut wajahnya.“Tidak mudah bagimu kembali ke s
Ketegangan di antara mereka hanya menyisakan keheningan sejenak, tapi kehangatan itu meresap seperti bara kecil yang tak kunjung padam di antara kabut dingin. Jia berdiri di sana, memandangi Revandro yang kini tampak begitu rapuh meski wajahnya masih menyiratkan otoritas. Rasanya ganjil; di balik ketegasan dan ketidaksukaannya pada sikap pria itu, ada sesuatu yang menahan Jia untuk beranjak jauh.Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Tiba-tiba, pintu kamar terbuka dengan suara yang tak sabaran, dan salah satu anak buah Revandro, Marcus, masuk dengan napas terengah-engah. Tatapannya menatap langsung pada Revandro, sebelum sekilas melirik Jia dengan ketegangan yang jelas tak dapat disembunyikan.“Maafkan gangguannya, Tuan,” katanya, suaranya tercekat. “Tapi kita punya masalah besar. Orang-orang dari Keluarga Liniero baru saja muncul, dan mereka mengancam ingin bertemu langsung dengan Anda. Mereka bilang—”Marcus terhenti, tampaknya ragu untuk melanjutkan dengan Jia yang ada di r
Di luar mansion, udara malam terasa menusuk tulang. Jia menggigil, tidak tahu apakah karena dingin atau karena adrenalin yang masih mengalir dalam tubuhnya. Marcus memimpin jalan menuju mobil hitam yang diparkir tak jauh dari sana, dan mereka masuk dengan cepat.Saat mesin dinyalakan, Jia mengalihkan pandangannya ke mansion yang semakin menjauh, kepalanya penuh pertanyaan dan perasaan yang bercampur aduk. Perasaan hangat aneh yang ia rasakan saat bertukar pandang dengan Revandro masih terngiang, meskipun jauh di dalam hatinya ia tahu bahwa pria itu masih menyimpan terlalu banyak misteri. Kegelapan yang mengelilingi Revandro membuatnya sulit mempercayai setiap gerakan, setiap tatapan, dan setiap kalimat yang keluar dari bibirnya.Marcus menatapnya sekilas dari kursi pengemudi, ekspresi tegasnya sedikit melunak. "Jia, kau baik-baik saja?"Jia menghela napas panjang, mencoba menyusun pikirannya yang masih kacau. "Marcus, apa sebenarnya yang sedang terjadi? Mengapa Keluarga Liniero samp
Jia terpaku sejenak, jantungnya berdegup kencang, namun bukan dalam arti yang membuat nyaman. Tatapan Revandro mengunci dirinya, sebuah tatapan yang tak hanya mengintimidasi, namun juga begitu mendalam, hampir menelan dirinya seutuhnya. Ia mendapati dirinya terjebak antara amarah dan perasaan rumit yang belum bisa ia jelaskan.Dengan suara yang tertahan dan bergetar, Jia menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara. "Revandro," ujarnya tegas, "Jika kau benar-benar peduli padaku, kau akan memberiku ruang. Kau tidak akan selalu memegang kendali seperti ini."Revandro mengangkat sebelah alis, tangannya perlahan melonggarkan genggaman di bahu Jia, namun ia tidak mundur. "Jia," gumamnya lembut namun intens, "Jika aku memberimu ruang, kau akan pergi. Kau akan meninggalkanku.""Bukan itu maksudku. Kau harus mengerti… jika terus seperti ini, kau hanya akan membuatku ingin menjauh lebih cepat," ucapnya, suaranya sedikit melunak, namun tetap dengan ketegasan yang tak bisa diganggu gugat. "A
Dalam diam malam itu, Jia berdiri di balkon kamar, menghadap langit yang gelap. Udara malam membawa aroma hujan, menenangkan namun menekan, seolah alam pun merasakan ketegangan yang tak terucap di antara mereka berdua. Di bawah sinar redup lampu-lampu taman, bayangan Revandro berdiri di belakangnya, tak bergerak. Dia diam-diam mengamatinya, tak berani mendekat, hanya sekadar mengawasi."Jia," suara Revandro pecah di antara keheningan. Nada suaranya lembut, namun dengan dorongan penuh kegelisahan. "Apa yang akan kau lakukan sekarang?"Jia menghela napas dalam, tak segera menjawab. Ia merasa terjebak dalam situasi yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya, namun juga tak sepenuhnya ingin lepas dari Revandro. Ada sisi gelap dalam dirinya yang tertarik pada pria ini, pada kekuatan serta kekejaman yang dilunakkan hanya saat ia bersamanya.“Aku... hanya ingin memastikan bahwa apa pun yang kulakukan, itu bukan karena dirimu saja, Revandro,” jawabnya pelan. Suaranya hampir hilang dalam hembus