Lafaz hamdalah mengalir dari setiap bibir orang yang hadir menyaksikan akad nikah Sekar dengan Deni. Kinan menitikkan air mata bahagianya saat melihat Deni menyentuh dahi adiknya lantas melafazkan doa. Sesuatu yang tak dilakukan Ardi saat menghalalkannya dulu.Pantaskah jika Kinan merasa iri dengan apa yang dialami adiknya saat ini? Bukankah dirinya dulu juga merasa bahagia saat mendengar akad yang diucapkan Ardi? Walaupun ternyata bahagia itu hanya sesaat, tak sebanding dengan kepahitan hidup yang harus dijalaninya hingga saat ini."Kamu menangis, Nan?"Sontak saja Kinan menolehkan kepalanya ke asal suara. Wak Siti yang duduk di sebelahnya mengusap punggung tangan kanan Kinan dengan perlahan."Kinan merasa bahagia, Wak. Tak menyangka akhirnya Sekar menemukan jodohnya. Semoga mereka bahagia, sakinah mawaddah warahmah. Bahagia hingga menua," ujar Kinan sembari mengusap bulir bening yang sempat membasahi pipinya."Kamu sendiri bahagia, Nan?"Lagi-lagi pert
Tak ada niat dalam hati Kinan untuk membuat malu suaminya. Namun sepertinya laki-laki ini harus paham dan mengerti mengapa sang putra tak dekat dengan dirinya.Anak kecil lebih peka perasaannya, itu yang sering Kinan dengar dari para orang tua. Rafif merasa tak nyaman dengan ayahnya, mungkin karena sang ayah memang tak dekat dengannya. Tak pernah ingin mengakrabkan diri, memberikan kasih sayang untuk sang putera."Dek, didengar orang malu," tukas Ardi sembari menyikut lengan Kinan.Kinan menolehkan kepalanya sebelum akhirnya memutuskan duduk di kursi plastik yang berada di belakang Mang Rusdi, saudara sepupu ayahnya itu."Mengapa harus malu? Abang yang harusnya malu tak mampu mengurusi anak sendiri!" sahut Kinan saat melihat Ardi mendudukkan tubuh di kursi kosong tepat di sebelahnya.Kinan memutuskan memangku Rafif dan tak kembali ke dalam rumah. Lagi pula Sekar dan Deni pun sudah berjalan beriringan menuju ke pelaminan. Akad nikah selesai, tinggal resepsiny
"Lima juta rupiah? Siapa yang bilang seperti itu? Bukankah kita malam kemarin hanya menyerahkan uang lima ratus ribu kepada Ibu? Mengapa jadi lima juta rupiah?" tanya Kinan pura-pura bingung sembari mengernyitkan dahinya.Kinan menggenggam sendok yang ada di tangannya kuat-kuat. Jangan sampai Ardi tahu bahwa dirinya saat ini sedang membohongi suaminya itu. "Jangan keras-keras mengatakan lima ratus ribunya! Tak enak didengar orang," sahut Ardi dengan cepat. Laki-laki itu menekan lengan Kinan sedikit lebih dalam, menegaskan pintanya sebelum Kinan kembali mengeraskan suaranya. Para penyanyi orgen tunggal sedang bersiap untuk memberikan penampilan terbaik mereka. Sementara pimpinan grup hiburan itu sedang mengecek suara alat musik mereka, sudah layak untuk didengarkan atau belum. Tentu saja tak ingin mengecewakan para tamu nantinya.Awalnya Kinan hendak meminta bantuan pada grup musik tempatnya bernaung untuk menjadi penghibur di acara resepsi adikn
Kinan memeluk tubuh Rafif dan berjalan ke arah luar tenda. Hiruk-pikuk keramaian pesta sejak dulu sering membuatnya sakit kepala. Mendudukkan tubuh sedikit agak jauh dari keramaian tentu lebih baik bagi Kinan.Melayangkan pandangannya ke area luar tenda, pilihan Kinan jatuh pada teras rumah Yuk Marni. Wanita yang sudah menjadi janda sejak setahun yang lalu itu masih terhitung kerabat jauh Kinan dari pihak ibunya. Rumah itu terbuka. Dan memang seperti itulah kebiasaan masyarakat di sini. Jika ada tetangga yang berdekatan rumah mengadakan hajatan, para tetangga akan membiarkan pintu rumah depan mereka terbuka. Kebiasaan ini untuk memberi kesempatan kepada empu hajatan jika hendak menggunakan rumah mereka untuk keperluan hajatan tersebut. Tak jarang sebagian keluarga sang empu hajatan yang berasal dari luar kampung akan menjadikan teras rumah mereka sebagai tempat untuk beristirahat, melepas penat.Kinan melangkah masuk ke teras rumah. Melongo
"Wak tak akan memaksamu untuk percaya, Nan. Semua kembali kepadamu. Wak hanya menyampaikan apa yang Wak rasakan."Memang kata-kata Wak Siti itu diucapkan dengan kalimat yang sangat lembut. Namun tetap saja, hati Kinan terasa bak dihantam palu besar yang sungguh membuat jiwanya oleng seketika."Wak tahu, suamimu memang merupakan laki-laki dengan tipe yang sangat keras. Sulit untuk membantahnya. Mungkin sifat itu merupakan turunan dari mertuamu. Ego mereka tinggi. Ingin selalu dihargai."Wak Siti tampak diam sesaat. Kinan menolehkan kepala, mencoba memperhatikan wajah tua yang ada di sampingnya. Entah apakah hanya perasaan Kinan saja, tampak wanita itu agak ragu untuk meneruskan ucapannya.Semakin raja hari meninggi, suasana resepsi pernikahan Sekar semakin meriah saja. Tamu datang dan pergi silih berganti. Tampak panitia konsumsi yang merupakan para muda-mudi di kampung mereka itu sibuk sekali. Hilir mudik membawa wadah yang berisi lauk, tentunya
Kinan merasa bimbang. Haruskah menceritakan semua yang dirasakannya pada Wak Siti? Apakah itu berarti dirinya akan mengumbar aib rumah tangganya kepada orang lain?Wanita ini sudah dianggapnya tak ubah nenek sendiri. Apakah layak jika Kinan berbagi rasa dan perih dengannya?"Tak usah merasa ragu, Nan. Wak hanya ingin tahu saja. Tak ingin berniat mencampuri urusan rumah tanggamu."Kinan memejamkan matanya. Mencoba menemukan kekuatan untuk memberinya keputusan."Yuk Kinan, ini kue, lakso, dan es jeruknya. Ayuk ambilkan dulu! Bakinya mau Sari ambil kembali."Ucapan Sari yang muncul dengan baki yang berisi sepiring kue, dua mangkuk lakso, dan tiga gelas es jeruk berhasil menyelamatkan Kinan sesaat. Ada jeda waktu yang tersedia sebelum Kinan menentukan keputusan yang akan dikatakannya.Gegas Kinan meraih piring, mangkuk, dan gelas-gelas itu. Menjajarkannya di lantai yang ada di hadapan mereka."Terima kasih ya, Sari!" uj
Dua minggu berlalu sejak pembicaraan Kinan dengan Wak Siti. Kinan mencoba mengambil hal-hal baik dari petuah yang disampaikan wanita itu kepadanya. Rumah tangga menyatukan dua manusia yang berbeda, baik watak maupun sifat. Bukan untuk mencari kekurangan, tapi hakikat pernikahan adalah saling menutupi kekurangan.Mencoba bertahan, mungkin itu yang harus dilakukan Kinan saat ini. Bohong jika dirinya mengatakan tak ada cinta pada laki-laki yang menjadi menyandang status sebagai suaminya itu. Entahlah, cinta itu muncul memang murni dari hatinya atau karena guna-guna yang sempat diutarakannya pada Wak Siti saat itu.Ingatan Kinan melayang pada pembicaraan di teras rumah Yuk Marni saat pernikahan adiknya."Kamu merasa diguna-gunai oleh Ardi, Nan? Seperti itu maksudmu?" tanya Wak Siti saat Kinan mempertanyakan hal itu."Entahlah, Wak. Banyak orang yang mempertanyakan hal itu pada Kinan. Bagaimana bisa seorang Kinan dengan segala yang dimilikinya melabuhkan hati pada se
"Tak ada, Kak." Hanya kalimat singkat itu yang diberikan Kinan sebagai jawaban atas pertanyaan wanita di sampingnya ini."Masih tentang Ardi? Dalam hidupmu rasanya hanya satu masalah yang ada, Nan. Suamimu sendiri. Kakak rasa masalah hidupmu tak akan pernah berubah, hanya terpusat pada sosok yang sama. Suamimu sendiri."Kinan terkekeh mendengarkan ucapan wanita yang sudah dianggapnya tak ubah kakaknya sendiri itu."Separah itukah aku, Kak?""Bagi Kakak, tak tahu bagi orang lain. Pikiran orang kan tak sama, Nan. Eh, Ardi masih belum berubah ya?" tanya Dinda sembari memalingkan wajahnya menatap Kinan. Kinan menggelengkan kepala sebagai jawaban atas pertanyaan Dinda itu."Masih sama, Kak. Uangnya untuk cicilan dan tabungan, uangku untuk kebutuhan rumah tangga. Sulit mengubah cara berpikirnya, Kak."Kali ini Kinan mengucapkan kalimatnya dengan lebih santai. Petuah Wak Siti masih melekat di ingatannya. Paling tidak sam
"Bang,dimana kau!" pekik Kinan dengan langkah yang tergesa. Mengabaikan tatapan heran dia lelaki yang memandangnya sejak mematikan mesin motor tadi. Tak peduli tanah yang sedikit becek akibat hujan sesaat barusan, Kinan tak dapat lagi menahan lama-lama emosi yang menggelegak di dadanya. Pernyataan yang disampaikan Fauzan tadi benar-benar membuatnya naik pitam. Mengapa sosok itu harus dia? Bukankah selama ini lelaki itu yang seolah menjadi sahabat dekat mendiang suaminya? Hanya berpura-pura ternyata. Lelaki itu tak lebih dari manusia munafik. Berpura-pura baik, menikam dari belakang. Kinan sempat tercengang saat mendengar nama yang disebutkan Fauzan itu. Menggelengkan kepala menunjukkan ketidakpercayaannya. Bahkan Kinan sempat meminta Fauzan mengulanginya kembali. Memastikan agar lelaki itu tak salah mengeja nama yang akhirnya akan menjadi fitnah. Namun Fauzan mempertegas semuanya. Gendang telinganya tak salah menangkap gelombang suara. Sosok i
Tak ada jawaban yang keluar dari bibir Fauzan. Lelaki itu tampak merasa serba salah. "Mengapa Abang tak menjawab pertanyaanku? Jangan bilang Abang menyesal telah mengatakan semua ini kepadaku!" tukas Kinan dengan tegas. Tatapan mata Kinan semakin menghujam. Membuat Fauzan semakin gelisah. Helaan napas panjang Fauzan terdengar jelas di tengah pemakaman yang sepi tanpa peziarah lainnya. Tampak beban berat seolah menggurat di wajah lelaki itu. "Abang tak bilang begitu. Hanya saja, Abang pikir semua kisah itu telah terungkap tanpa sisa. Ternyata Abang salah. Harusnya Ardi pergi tanpa belenggu rasa bersalah yang selalu membebaninya."Kinan mengernyitkan dahinya. Tak lama kemudian tangan kanannya bergerak ke arah pelipis. Memijatnya perlahan untuk menghalau rasa sakit yang mulai mendera. "Aku tak paham apa yang Abang katakan. Mungkin lebih baik Abang katakan saja langsung. Tak perlu berbelit-belit. Lagi pula aku tak ingin berlama-
Fauzan tampak tersentak. Sepertinya tak menduga jika Kinan akan menanyakan hal ini kepadanya. "Mengapa Abang terlihat terkejut? Abang pikir … aku tak tahu semua itu? Aku tahu, bukan tak tahu apa-apa seperti yang Abang pikirkan."Kinan mencoba menepis keraguan di hati Fauzan. Dirinya tahu tentang masa lalu suaminya. Pun dirinya mencoba berdamai dengan semua itu. Walaupun perceraian yang semoga menjadi penyelesaiannya saat itu. "Setelah Ardi pergi? Atau justru saat awal kalian menikah dulu?"Kinan menggelengkan kepalanya. Perlahan namun pasti. "Bukan keduanya. Aku tahu beberapa waktu sebelum kepergian almarhum. Dan itu pun secara tak sengaja. Berawal dari banyak hal yang memang almarhum coba sembunyikan. Namun Allah punya kehendak, yang mungkin tak sama seperti yang kita harapkan."Kembali Fauzan tertegun. Tak mampu lagi berkata apa-apa. "Aku tak akan dan tak sedang ingin membicarakan hal itu lagi. Aku hanya ingin mem
Beranjak dari posisi berjongkok, Kinan masih tertegun. Tak mengenal sosok yang ada di belakangnya. Bahkan setelah Kinan membalikkan tubuhnya, tetap saja tak ada ingatan yang tersisa tentang lelaki ini. "Maaf … Abang siapa? Mengenal almarhum suami saya?" tanya Kinan sembari menunjukkan raut wajah bingungnya. Dahinya mengernyit mencoba menguatkan kerja memori otaknya. "Ini makam Ardi kan? Soalnya petunjuk yang aku dapatkan tadi menunjukkan arah ini."Seolah tak peduli dengan pertanyaan Kinan, lelaki itu memajukan tubuh dan menajamkan netranya. Kacamata hitam yang tadi dikenakannya berpindah tempat. Tak lagi menempel di hidung, melainkan menggantung di kancing kemeja kotak-kotak yang dikenakannya."Tak salah lagi. Benar, ini makam Ardi."Lirih lelaki itu berkata sembari menurunkan tubuhnya. Mengambil posisi berjongkok di tempat yang tadinya ditempati oleh Kinan. Bibir lelaki itu berkomat-kamit. Kedua telapak tangannya menengadah.
Kinan menatap pilu nisan yang masih terbuat dari sebilah papan. Nama suaminya tertulis di sana. Tanah kuning di hadapannya belum sempurna mengering. Masih membasah, sama seperti hatinya yang belum juga mampu menerima kepergian lelaki ini sepenuhnya. Kepergian lelaki ini masih meninggalkan duka di hatinya. Tak pernah disangka jika mereka sedang dalam situasi tak baik ketika lelaki ini harus pergi selamanya. Itu yang paling menimbulkan penyesalan terbesar di hati Kinan hingga saat ini. Perceraian mereka memang urung terjadi. Namun kenyataan pahit ini jauh lebih menyesakkan dadanya. "Bang … bantu aku! Berikan petunjuk padaku! Aku sedang berjuang membuktikan jika dirimu tak salah kala itu. Sesuai apa yang kamu tuliskan dalam surat itu. Tapi apalagi yang dapat aku lakukan saat ini, Bang? Aku tak tahu bagaimana lagi harus mencari petunjuknya. Aku gagal, Bang."Tak hanya isakan tangis, Kinan juga menumpahkan air matanya. Area pemakaman yang sepi membuat Kinan m
Arman tercengang. Sepasang mata lelaki itu tampak terbelalak. Rahangnya mengeras. Bahkan ekor netra Kinan masih mampu menangkap gerakan terkepalnya telapak kedua tangan lelaki itu. "Abang terkejut aku tahu semuanya? Abang salah jika berpikir akan dapat menutupi bangkai selamanya."Kinan tersenyum sinis. Bentuk penguatan pada diri sendiri agar tak terlihat lemah di hadapan Arman. Kedok lelaki ini harus terbuka sekarang juga. "Pasti Hanif yang mengatakan kepadamu. Benar kan, Nan?" tanya Arman dengan lirih sembari mengacak rambutnya dengan kasar. Kinan diam. Satu hal yang dapat ditangkap dirinya atas ucapan Arman itu. Lelaki ini hanya mengatakan semua itu pada Hanif dan keluarganya. Tidak pada orang lain. "Setidaknya lelaki itu lebih jujur dibandingkan Abang."Kalimat yang singkat itu mengalir dari bibir Kinan. Namun mampu meluluhlantakkan hati Arman seketika. Sebegitu rendahkah dirinya di mata Kinan sekarang? "Kamu ta
Arman terperanjat. Kelihatan sekali jika laki-laki itu tak menyangka atas kalimat yang diucapkan Kinan. "Abang terkejut? Atau pura-pura terkejut? Masih ingin bersandiwara?" lanjut Kinan seolah tak memberi Arman kesempatan untuk bicara. Arman tampak gugup. Sesaat. Kembali berusaha menguasai diri. Namun Kinan mampu menangkap segala perubahan raut wajahnya lelaki itu dengan seksama. "Tak perlu gugup. Tak perlu berdalih untuk menutupi kebohongan Abang. Aku sudah tahu semuanya, Bang."Kali ini Kinan menurunkan nada suaranya. Sedikit melemah walaupun dengan telapak tangan yang terkepal. "Jika Abang tanya perasaanku setelah mengetahui semua ini, jujur aku kecewa. Kecewa pada sikap Abang. Kecewa pada pilihan yang Abang buat bertahun silam."Kinan menyunggingkan senyum sinisnya. Kembali menegakkan wajah ke arah Arman yang tampak kikuk seketika. "Abang masih belum paham arah pembicaraanmu ini, Nan. Semoga apa pun yang ada di
"Maksudmu? Abang tak paham. Bukankah apa yang Abang ketahui sudah Abang jelaskan semua kepadamu?"Arman yang muncul selang lima menit kemudian tampak terkejut mendengar pertanyaan yang dilontarkan Kinan itu. Kinan yang memilih tetap berdiri sama sekali tak ada niat untuk menyampaikan basa-basi. "Abang tak usah lagi berpura-pura. Tak usah berlagak tak tahu apa-apa."Mengernyitkan dahi, Arman sepertinya masih mencoba berlagak tak paham arah pembicaraan Kinan ini. "Abang memang tak tahu apa-apa, Nan. Lagipula kisah itu sudah lama. Sudah jelas apa yang terjadi sebenarnya. Mengapa kamu mengungkit-ungkitnya lagi?"Arman mengambil posisi duduk. Berharap hal yang sama dilakukan Kinan. Tak elok rasanya bicara sambil berdiri. "Abang bertanya mengapa aku mengungkitnya? Atau Abang memang sengaja ingin mengubur kisah itu agar dilupakan orang begitu saja?" Kali ini Kinan menegakkan wajahnya. Menghujam Arman dengan netranya yang se
Kinan menatap tegak bangunan yang ada di hadapannya. Kali kedua menginjakkan kaki ke halaman ini, namun perasaannya sungguh berbeda. Jika dulu langkahnya diiringi kekhawatiran, sekarang sungguh berbeda. Tak ada rasa khawatir yang dirasakannya sama sekali. Justru semangat yang menggebu ingin bertemu dengan sang pemilik rumah. Kecurigaannya jelaslah bukan tanpa alasan. Bukan tanpa dasar. Ada banyak hal mengganjal yang layak disebut sebagai bahan pertimbangan. "Ingin bertemu siapa, Yuk?"Kinan menolehkan kepalanya ke arah samping kiri. Posisi asal sumber suara yang menegurnya tadi. Seorang wanita yang hampir sebaya dengan Yuk Diana tampak berdiri tegak. Menatap Kinan dengan sedikit curiga. Kjnan tak marah. Wajar saja itu dilakukan wanita yang sepertinya merupakan pekerja rumah tangga di bangunan di hadapannya ini. Wanita ini tentu mendapat amanah untuk memastikan para tamu yang datang tak salah orang. Tak salah sasaran. "Pak Ar