Bola mata Bagas membulat sempurna kala membaca pesan yang dikirim Bian kepadanya. Alih-alih Bian merasa bersalah malah justru dia terkesan tidak peduli dan juga menikmati. Dia kerap kali mengunggah kegiatannya saat bersama Ilham. Namun untuk saat ini dia tidak bisa. Lelaki yang bergelar ayah tiri baginya sudah berada di rumah Nadia dengan Ayu dan juga Rendy."Chat siapa sih, kok gitu amat?" tanya Rendy membuat Bagas tersenyum."Nggak kok cuma orang nggak penting. Sarapan yuk. Laper aku! Sudah matang belum itu ayamnya?" tanya Bagas sembari kakinya berjinjit mencoba melihat ayam dalam penggorengan."Sebentar lagi, sabar. Kamu siapkan piring yang lain gih!" pinta Ayu. Gegas Bagas menyiapkan piring yang lain. Bersama Nadia, ibunya. Tidak berapa lama Randu keluar kamar bersama putranya yang lain. Mereka semua akhirnya duduk pada meja yang sama. Sambal terasi, sop buntut dan juga ayam goreng tepung bersama ikan sudah siap di meja. Sarapan yang menggugah selera. Dimana menu di atas meja be
"Halo, Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," jawab Ayu setelah mengetahui sahabatnya sudah menjawab teleponnya."Ada apa, Yu?" tanya Nita."Aku pengen minta tolong, Nit. Kira-kira kamu bisa nggak tolongin aku?""Bisa dong, gimana-gimana? Kamu mau minta tolong apa?" tanya Nita.****"Aku keknya sedikit khawatir ya soal Maura.""Ha? Apa aku nggak salah denger? Khawatir kamu bilang?""Iya," jawab Ayu dengan anggukan kepala. Meskipun orang yang ada di seberang telepon tidak melihat gerakannya."Aneh kamu, Yu.""Hem, aku bisa minta tolong nggak sama kamu? Buat ngawasi Maura. Aku takut dia bertindak nekat. Mas Ilham memutuskan kembali padaku, Nit.""What? Balikan sama Ilham? Serius?""Iya, aku tahu ini cukup konyol. Tapi memberi kesempatan kedua untuk membenahi sikapnya yang pernah salah itu apa salahnya sih? Mas Ilham memang punya masa lalu. Tapi dia juga berhak berubah di masa depan kan?""Iya, juga sih, Yu. Tapi apa kamu udah pikirkan matang-matang semua ini?""Alhamdulilah sudah, aku juga
"Baru sih, tiga bulanan. Kenapa? Kamu terkejut? Kok ekspresinya begitu?" tanya Maura."Aku? Lantas gimana dong?"Maura diam. Dia mencoba bersikap sedih dan juga kecewa."Laki-laki nggak bertanggung jawab itu namanya. Nggak jentel. "Maura mengangguk. Membenarkan ucapan lelaki yang kini duduk di hadapannya. Dalam hati wanita itu dia bersorak bahwa sudah bisa mengelabui orang yang baru saja dikenalnya."Sudah dibawa ke dokter?" tanya lelaki itu perhatian.Maura menggeleng."Oh ya kenalkan. Nama aku Bryan.""Maura." Lelaki itu mengulurkan tangannya dan disambut oleh Maura. Setelah itu keduanya berbincang akrab. Hingga Bryan memesankan beberapa makanan. Berharap Maura makan dengan lahap dan juga kebutuhan gizi sang jabang bayi terpenuhi."Kamu belum bilang sama aku, kamu ini single atau sudah menikah?" tanya Maura. Bryan yang mendengar pertanyaan Maura tersenyum lalu mengelap bibirnya dengan tisu. Kemudian dia menyeruput minuman sembari terus menatap Maura. Maura yang menunggu jawaban da
"Rendy kamu sudah makan?" tanya Ayu, sudah menjadi kebiasaan wanita itu jika pulang dari kantor dia menanyakan Rendy apakah sudah makan atau belum."Sudah, Ma. Tadi Simbok masak bakso.""Oh, Ya? Mau dong.""Masih kok katanya di dapur. Kata Simbok bisa Mama panasi sebelum makan. Papa mana, Ma?" tanya Rendy memperhatikan ke arah belakang Ayu. "Papa ada kok, katanya mandi duluan dia. Mama mandi dulu ya. Nanti kita makan lagi sama-sama. Tapi sebelum itu Mama mandi dulu, ok!""Oke, Ma." Tangan Rendy melingkar membentuk huruf O. Setelah Ayu bekerja satu kantor dengan Ilham. Mereka baru kali ini pulang bersama. Pulang dengan satu kendaraan. Ilham terlihat ada usaha untuk berubah. Terlihat dari caranya bersikap, dia juga berusaha terus bersama Ayu kemanapun mereka pergi. Ayu berjalan menuju kamarnya.Setelah membuka pintu lebar-lebar. Wanita itu menyapu seluruh ruangan. Terdengar suara gemericik dari arah kamar mandi. Ternyata Ilham tengah membersihkan badannya di kamar mandi yang ada di k
Wajah Maura pucat pasi. Entah apa yang ia rasa saat ini, suaranya yang tadi melengking kini tak terdengar. Ilham panik, dia terus saja memanggil istri sirinya. Sedangkan Ayu yang tengah mengemudi sesekali melihat kondisi Maura melalui kaca spion yang ada di atasnya. Seakan alam mengetahui semua. Bahwa ada manusia yang saat ini tengah membutuhkan pertolongan. Jalanan lengang membuat Ayu bisa cepat sampai di rumah sakit yang dituju. Mobil itu berhenti tepat di IGD rumah sakit. Dengan sigap dan cepat beberapa perawat sudah berlari membawa tempat tidur dorong. Menyambut Maura yang sudah diangkat oleh Ilham. "Kamu tenang ya, semuanya akan baik-baik saja." Maura menangis, menggenggam erat tangan Ilham yang dipaksa dilepas oleh salah satu perawat."Bapak tunggu disini dulu. Biar Ibu bisa ditangani dokter lebih cepat." Ilham berhenti mengikuti Maura, tangannya menyugar rambutnya kebelakang. Entah mengapa ada banyak kegundahan dan juga khawatir saat ini. Bagaimana keadaan calon bayi yang ki
"Terima kasih.""Bagaimana keadaan Maura?" tanya Ayu hati-hati."Maura akan dikuret. Janin yang dikandung tidak bisa lagi diselamatkan.""Innalillahi wa innailaihi roji'un."****Amelia turun dari mobilnya, kali ini dia diantar oleh supir Nadia. Karena Nadia dan juga suaminya ada acara mendadak. Sehingga tidak bisa mengantar Ibunya pulang ke rumah Ayu dan juga Ilham."Assalamualaikum." Salam yang diucapkan Amelia tidak dijawab. Wanita tua itu lantas berjalan masuk kedalam rumah. Namun alangkah terkejutnya kala melihat ada beberapa darah tercecer di teras. "Astagfirullahaladzim, ini darah apa?" tanya Amelia pada dirinya sendiri. Lantas tangannya memegang dada."Oma?" Rendy akhirnya keluar dari dalam rumah. Menatap sang Nenek dengan wajah yang … entah."Ini darah apa?""Nggak tahu Oma. Tadi Rendy sempet lihat ada Tante Maura dan juga Mama.""Astagfirullahaladzim." Amelia lantas merogoh ponsel yang ada di dalam tasnya Lantas menekan nomor yang bertuliskan Ayu. "Kamu dimana Ayu? Darah
"Nggak perlu, Ma. Ayu sudah kenyang!' padahal Ayu belum makan sesuatu sama sekali. Dia baru saja pulang dari kantor lantas pergi ke rumah sakit mengantar Maura. Entah mengapa rasa lapar yang tadi terasa kini sudah menguar begitu saja."Dimana Ilham?" tanya Amelia melihat ke arah belakang. "Di rumah sakit, Ma. Nemenin Maura.""Oh …."Tap … tapSuara langkah Rendy yang mendekati Amelia dan juga Ayu terdengar jelas ditelinga."Mama udah pulang?""Iya sayang." Ayu tersenyum lalu ia kembali menatap kunci mobil yang berada di atas meja."Ini buat Rendy. Sambal sama kecapnya ambil sendiri sesuai selera kamu. Dan ini buat kamu Ayu. Apapun yang terjadi kamu harus tetap makan. Jangan sampai sakit." Wanita yang bergelar mertua itu tersenyum sembari tangan kembali meracik bakso. Sedangkan Ayu hanya menerima mangkok itu dengan senyuman. Satu persatu bakso yang ada di hadapan Rendy di santap ya dengan nikmat.*****Ilham menatap Maura yang selalu menatap layar ponselnya. Entah apa yang ada di dala
Nita mengendarai motor maticnya menjemput anak sulungnya yang kebetulan bersekolah tidak jauh dari rumah. Rumah Nita yang terletak dua ratusan meter dengan jalan utama. Membuatnya mudah untuk bepergian. "Bunda kita makan dulu ya?" celetuk anak laki-laki itu."Iya, sayang. Tapi dibungkus aja ya. Nanti adik keburu nangis kalau kita nggak pulang-pulang.""Kan ada si Mbak?""Iya, sayang. Kita bungkus saja ya makannya lalu dibawa pulang. Habis itu kita makan sama-sama di rumah? Gimana?""Ya sudah kalau begitu." Akhirnya Nita membawa putranya menuju sebuah cafe yang tidak jauh dari sekolahan. Mereka memesan ayam geprek untuk dibawa pulang. "Mbak minumannya satu ya mbak. Es lemon tea.""Baik, Ibu." Pelayan itu akhirnya pergi setelah mencatat pesanan Nita. Kini Nita sibuk dengan putranya yang tengah berusaha membuka tas yang dibawanya."Bunda lihat, aku tadi dikasih buku sama ibu guru.""Wah, buat mewarnai ya? Bagus.""Nanti kita kerjain bareng-bareng ya?""Siap sayangku. Anak Sholehnya Bu