Safira duduk di sofa rumah sakit dalam diam. Perlahan Candra bangkit dari ranjangnya, mendekati sofa dimana Safira duduk. “Kamu kenapa? Apa ada masalah?” tanya pria itu duduk disamping Safira. “Kenapa kau disini? Ayo kembali keranjangmu, kau harus istirahat,” ujar Safira menatap pria itu dengan panik. Dia harus menyembunyikan masalahnya. “Cerita saja. Apa ini ada masalahnya dengan penculikanku?” tanyanya dengan wajah penasaran. Safira mengelengkan kepalanya perlahan. Berat baginya harus berbagi masalah dengan orang lain. “Katakan saja. Mana tahu aku bisa membantu? Jika tidak, setidaknya dengan berbagi cerita, pemikiranmu jadi lapang, dan tidak seperti orang yang terintimidasi,” ujarnya menatap Safira lekat. “Aku di pecat,” ujar Safira akhirnya. Sejenak Candra hanya diam, menghela napas kasar. “Kau tenang saja, kau akan tetap bersekolah. Dengan syarat kau, harus membantuku. Aku akan membiayai sekolahmu.” Candra mengusap-usap pundak Safira perlahan. Safira menatap Candra diam,”Aku
Didepan kelas, Safira memghela nafas panjang, sebelum memutuskan memasuki kelas. Semua mata menatap dirinya, kini dirinya menjadi sorotan satu kelas. Perlahan melangkah memasuki kelas, dan matanya tak berpaling menatap siswa-siswi dikelas itu, dan berakhir pada Davina, beserta kawan-kawannya. Dia mengepalkan kedua tangannya, dengan geram. “Permisi bu.” Safira berujar perlahan sambil membungkuk tubuhnya, kearah bu guru sedang menjelaskan pelajaran. Bu Adelicia Calista tersenyum, menatap gadis itu prihatin. Prihatin dengan apa, yang telah terjadi pada Safira. Safira mempercepat langkahnya, menuju kursinya. Dia melihat ada tatapan benci, dan bahagia dari teman-teman sekelasnya, karena dirinya telah dihukum dan dikeluarkan dari sekolah Sma N Bangko. Segera Safira meraih tasnya, dan melangkah kedepan kelas. “Maaf ibu tidak bisa membantumu,” ujar bu Adelicia perlahan, mengusap-usap kepala Safira. Safira membalas senyum itu, namun hatinya mendidih ingin merobek tubuh Davina dan kawan-kawa
Safira berdiri dihalaman sekolah, menatapnya lama, berat langkahnya untuk meninggalkan sekolah. Dia sangat-sangat berharap impiannya, akan tercapai. Namun semuanya hanya mimpi belaka. Mimpi, yang tak akan pernah menjadi nyata. Safira melangkah tanpa tujuan, rasanya malas sekali pulang kerumah. Terus berjalan, hingga sesuatu membuatnya berteriak kesakitan. Safira terjerembab di aspal, seseorang menabraknya. Safira meringis menatap para laki-laki, tersenyum sinis padanya. Mereka adalah orang suruhan Abraham Adhitama. Beberapa laki-laki itu, menarik tangannya kuat. “Lepaskan.” Safira meronta melepaskan diri. Namun, tidak lama kemudian, dirinya tidak sadarkan diri, mereka meyuntikkan obat bius kelengannya. Beberapa laki-laki itu, membawanya kedalam mobil. Saat sadar, telah mendapati dirinya dalam sebuah kamar, yang luas. Safira sempat kebingungan, bingung dimana sekarang berada, sebelum akhirnya satu persatu anak tangga dia turuni. Terlihat banyak orang dibawah sana, meliuk-liukkan bad
Safira duduk dikantin bersama para bodyguardnya, sedangkan Fikri dan sahabatnya juga duduk tidak jauh dari mereka. Saat hendak menyuap nasi goreng, tiba-tiba dia memikirkan sebuah ide. Safira cepat meraih handphonenya, dan menelpon seseorang. Sebelum itu Safira menjauh, dari para bodyguardnya.“Kalian makan saja dulu, saya hanya menelpon seseorang sebentar!” perintah Safira membuat para bodyguard, yang sudah berdiri, kembali duduk. Namun mereka tidak sepenuhnya makan, melainkan tetap mengawasi Safira, dari kejauhan.“Bagaimana kabarmu?”“Baik.....”“Aku punya rencana untuk menjebak pak Barra!” ucap Safira langsung menjelaskan idenya. Candra hanya bisa mengerutkan keningnya, tatkala mendengarkan ide gila dari rekannya itu."Itu terlalu bahaya Ra. Mana mungkin kita bisa melakukannya, mereka itu kejam. Jika mereka membunuhku, dan tidak memberiku ampun, bagaimana?""Apa kau mau kasus ini tidak pernah terungkap? Berkorban lah sedikit demi mengungkapkan kebenaran ini. Aku yakin, mereka akan
Saat Safira hendak keluar kelas, tepat berada didepan pintu, Fikri tiba-tiba menyenggolnya. Safira tidak terima dengan perlakuan Fikri, segera mengejar Fikri berjalan menjauhi kelas. Safira menarik bajunya dengan kasar. Fikri menatapnya dingin, “Ada apa?” tanyanya datar. Seolah-olah tidak melakukan apa-apa. “Kau ini, benar-benar pria menyebalkan,” ucap Safira menahan marah. “Kau menyenggolku, dan kau pergi tanpa meminta maaf! Dasar manusia astral,” “Kau tadi menyenggolku, dan pergi tanpa meminta maaf..... Dasar manusia astral,” ucap Safira dengan nada ketus. Fikri menatap Safira dengan senyum sinis. “Kenapa? Kau tidak suka? Tapi, aku suka melakukannya! Sampai akhirnya kau menyerah dan keluar dari rumahku. Akan kubuat dirimu, tidak betah menjadi sopirku! Akan kubuat kau menyesal telah menerima pekerjaan ini! Lihat saja nanti, akan kubongkar semua kebusukanmu!” jelasnya melepaskan tangan Safira, dari bajunya dengan kasar. Juga mendorong tubuh Safira, menjauh dari nya. “Kau terlalu
Safira membuntuti truk berisikan persenjataan dan bahan-bahan peledak. Safira memakai jaket kulit hitam, dipadu dengan celana jeans kulit hitam, juga tidak lupa memakai kacamata hitam. Truk tersebut melaju dengan kecepatan tinggi. Tepat dibelakangnya, ada tiga iringan mobil sedan, mengawasi truk tersebut. Safira sengaja menjaga jarak motornya dengan iringan tersebut, agar tidak dicurigai. Safira terus saja menguntit dari jalan demi jalan, berlanjut gang demi gang, hingga truk dan tiga mobil tersebut berhenti, seorang pria membuka pagar dari seng, tiga mobil tersebut masuk bersama dengan truk tersebut. Safira memarkirkan motornya dipinggir jalan, dan mendekati tempat tersebut. Dari luar, ada tulisan dispanduk ada pembangunan didalam. Safira menyelinap masuk, saat dua mobil sedan keluar. Safira segera masuk dan memukul leher pria, yang membuka pagar hingga pingsan. Safira menyeret tubuh pria tersebut menjauhi pagar. Safira memindai keberadaan targetnya, melalui kacamatanya. Safira berj
“Aw…..” teriak Safira meringis kesakitan membuat satu kelas menatap dirinya. Safira tiba-tiba merintih seperti orang kesakitan. Bu Adelicia, sedang menerangkan pelajaran langsung mendekati Safira. Para bodyguard Safira, yang duduk didekatnya juga terkejut dan langsung panik melihat nonanya kesakitan. “Ada apa Fir?” tanya bu Adelicia nampak panik. “Sakit bu…..” ucap Safira lirih, dan tiba-tiba matanya melotot menatap langit-langit atap sekolah, dan tidak lama kemudian, Safira sudah tidak sadarkan diri. “Bawa dia ke uks…..” pekik bu Adelicia semakin panik. Semua para bodyguard Safira, bergerak mengikuti Feri mengendong Safira ke uks. Saat bu Adelicia hendak ikut, “Ibu lanjutkan saja pelajarannya, biar kami urus nona kami….” jelas Thoriq. Hanya bodyguard Safira yang keluar dari kelas. Bu Adelicia pun melanjutkan menjelasan pelajaran. “Bu…..” panggil Fikri tiba-tiba. “Ya Fikri, ada apa?” tanya Adelicia menghentikan menerangkan pelajaran. “Permisi mau ke wc bu, sakit perut…..” jela
Breaking news “Telah terjadinya pengeboman bus pariwisata pagi tadi pukul 08:00 wib. Tidak ada korban jiwa. Semua penumpang selamat, berkat seorang pria yang memberitahu akan adanya pengeboman di bus tersebut. Tidak beberapa lama setelah semua penumpang diselematkan, bus tersebut pun meledak.” Seorang pria diruang kerjanya mematikan tv. Seorang pria bersetelan hitam memasuki ruangan. “Maaf bos, pak Devano ingin menemui anda.” sang bos langsung memberikan kode mempersilahkan sang tamu masuk. “Kenapa kamu melakukannya?” tanya Barra saat sang tamu duduk disampingnya. “Kedatangan aku kesini ingin mempertanyakan itu? Sepertinya ada pengkhianat yang berusaha menghancurkan nama baik kita.” jawab Devano. “Siapa pengkhianat itu? Bahan peledak itu terindenfikasi sebagai Semtex milikmu!” “Semua senjata dan bahan peledak milikku sebelumnya aman dan aku sudah memeriksanya.” “Lalu kenapa peledakmu terdeteksi saat pengeboman tersebut?” “Aku yakin ada pengkhianat? Jika tidak seorang pengkhian