Safira membuntuti truk berisikan persenjataan dan bahan-bahan peledak. Safira memakai jaket kulit hitam, dipadu dengan celana jeans kulit hitam, juga tidak lupa memakai kacamata hitam. Truk tersebut melaju dengan kecepatan tinggi. Tepat dibelakangnya, ada tiga iringan mobil sedan, mengawasi truk tersebut. Safira sengaja menjaga jarak motornya dengan iringan tersebut, agar tidak dicurigai. Safira terus saja menguntit dari jalan demi jalan, berlanjut gang demi gang, hingga truk dan tiga mobil tersebut berhenti, seorang pria membuka pagar dari seng, tiga mobil tersebut masuk bersama dengan truk tersebut. Safira memarkirkan motornya dipinggir jalan, dan mendekati tempat tersebut. Dari luar, ada tulisan dispanduk ada pembangunan didalam. Safira menyelinap masuk, saat dua mobil sedan keluar. Safira segera masuk dan memukul leher pria, yang membuka pagar hingga pingsan. Safira menyeret tubuh pria tersebut menjauhi pagar. Safira memindai keberadaan targetnya, melalui kacamatanya. Safira berj
“Aw…..” teriak Safira meringis kesakitan membuat satu kelas menatap dirinya. Safira tiba-tiba merintih seperti orang kesakitan. Bu Adelicia, sedang menerangkan pelajaran langsung mendekati Safira. Para bodyguard Safira, yang duduk didekatnya juga terkejut dan langsung panik melihat nonanya kesakitan. “Ada apa Fir?” tanya bu Adelicia nampak panik. “Sakit bu…..” ucap Safira lirih, dan tiba-tiba matanya melotot menatap langit-langit atap sekolah, dan tidak lama kemudian, Safira sudah tidak sadarkan diri. “Bawa dia ke uks…..” pekik bu Adelicia semakin panik. Semua para bodyguard Safira, bergerak mengikuti Feri mengendong Safira ke uks. Saat bu Adelicia hendak ikut, “Ibu lanjutkan saja pelajarannya, biar kami urus nona kami….” jelas Thoriq. Hanya bodyguard Safira yang keluar dari kelas. Bu Adelicia pun melanjutkan menjelasan pelajaran. “Bu…..” panggil Fikri tiba-tiba. “Ya Fikri, ada apa?” tanya Adelicia menghentikan menerangkan pelajaran. “Permisi mau ke wc bu, sakit perut…..” jela
Breaking news “Telah terjadinya pengeboman bus pariwisata pagi tadi pukul 08:00 wib. Tidak ada korban jiwa. Semua penumpang selamat, berkat seorang pria yang memberitahu akan adanya pengeboman di bus tersebut. Tidak beberapa lama setelah semua penumpang diselematkan, bus tersebut pun meledak.” Seorang pria diruang kerjanya mematikan tv. Seorang pria bersetelan hitam memasuki ruangan. “Maaf bos, pak Devano ingin menemui anda.” sang bos langsung memberikan kode mempersilahkan sang tamu masuk. “Kenapa kamu melakukannya?” tanya Barra saat sang tamu duduk disampingnya. “Kedatangan aku kesini ingin mempertanyakan itu? Sepertinya ada pengkhianat yang berusaha menghancurkan nama baik kita.” jawab Devano. “Siapa pengkhianat itu? Bahan peledak itu terindenfikasi sebagai Semtex milikmu!” “Semua senjata dan bahan peledak milikku sebelumnya aman dan aku sudah memeriksanya.” “Lalu kenapa peledakmu terdeteksi saat pengeboman tersebut?” “Aku yakin ada pengkhianat? Jika tidak seorang pengkhian
Safira mendekati kamar Fikri, namun pintu kamarnya terkunci. Safira berbalik badan hendak mengambil kunci cadangan. Dia terperanjat, saat melihat Fikri berdiri di depannya dengan wajah datar. “Saya, mau ambil pakaian untuk di cuci.” jawab Safira jujur mencoba bersikap tenang. “Siapa yang suruh?” tanya Fikri datar menyandarkan tubuhnya di dinding. “Kan memang tugasku untuk mencuci semua pakaian keluarga pak Hartawan. Tapi, kamarmu terkunci. Kenapa sih kamarmu terus di kunci, kayak menyembunyikan sesuatu?” “Bukan urusanmu.” jawabnya cuek. “Jika kau kunci terus, bagaimana aku mengambil pakaianmu, untuk di cuci?” “Kau ini mengerti bahasa orang nggak sih hah? Sudah berapa kali ku bilang, jangan pernah menyentuh pakaianku, termasuk mencucinya, berdiri di depan kamarku. Itu semua adalah larangan dan tidak boleh kau lakukan. Pergi dari hadapanku, aku bisa mencuci sendiri pakaianku, tidak usah sok baik.” Fikri mendorong Safira dengan kasar. “Dasar nyebelin. Mati aja kau... ku bunuh kau y
Saat pulang dari sekolahnya, Safira melihat kerumunan, dia yang tidak sengaja lewat akhirnya mendekaati kerumunan itu dan menanyai apa sebenarnya yang telah terjadi. Mereka menjawab, baru saja terjadi tabrak lari. Segera Safira menerobos kerumunan melihat si korban dan betapa kaget diri nya setelah melihat sosok wanita Hanum yang tergeletak bersimbah darah. Segera ketiga pengawal Safira membopong wanita itu hendak memasukkan nya kedalam mobil. Kebetulan Fikri dan kawan-kawan nya juga melewati jalan tersebut, karena penasaran melihat banyak orang, akhirnya Fikri mendekat dan betapa terkejut nya dia melihat sosok mamanya yang di bopong oleh Bodyguard Safira. Dia hanya mematung sejenak sebelum akhirnya dia berkata. “Sebentar! Tidak ada yang bisa membawa nya kecuali saya,” ujar seseorang laki-laki mendekati ibu nya. Seketika Safira dan ketiga kawan nya menoleh ke sumber suara. “Saya anaknya.” Fikri mendekati bu Hanum, dan ingin memangku tubuh yang sudah tak sadarkan diri itu. “Tidak pe
Fikri berkali-kali memantulkan bola dengan keras, lalu melakukan Dribble atau mengiring bola, lalu melakukan Shooting (teknik menembak bola) atau memasukkan bola kekeranjang net. Berulang kali dia melakukan hal yang sama, mantulkan bola, mengiring bola dan memasukkannya kekeranjang net, dia lakukan dengan keras demi meminimalisir amarah yang berusaha dia pendam. Fikri seperti orang kerasukkan melakukan teknik demi teknik dalam permainan bola basket. “Kau dikeluarkan dari sekolah ini!” ujar seseorang mendekati Fikri. Fikri membanting bola dengan keras, hingga mengelinding jauh. Fikri berbalik badan, menatap orang yang berdiri tidak jauh darinya, Fikri tersenyum sinis menyepelekan kata-kata orang itu. “Atas dasar apa, bapak mengeluarkan saya? Apa kesalahan fatal yang telah saya perbuat, sehingga anda mengeluarkan saya dari sekolah ini?” tanyanya sinis. “Anda tidak perlu banyak bertanya! Mulai dari sekarang kau bukan lagi siswa Sma N Bangko. Silahkan keluar dari sekolah ini!” perintah
Jiwa-jiwa yang terbuang, Aku lah jiwa itu Jiwa-jiwa yang tak pernah mendapat ketentraman hidup. Jiwa-jiwa yang selalu berontak atas ketidakadilan dunia. Jiwa-jiwa yang sudah lama hancur, diakibatkan tangan-tangan kekar yang seharusnya melindungi, malah membuat bencana lain dalam kehidupan. Jiwa-jiwa ingin kebebasan. Kebebasan, dimana tidak ada orang suka mengurui, melarang melakukan ini dan itu. Kebebasanku sangat sederhana, dimana aku bisa tertawa ditengah-tengah keramaian yang selalu aku benci. Dimana sendiriku tidak digangu, dan saatku memakai handsfree ditelingaku, tolong jangan ada menyapaku dan berbicara padaku! karena salah satu alasanku memakai handsfree disetiap saat adalah, agar orang-orang tidak mengajakku bicara dan aku tidak mendengar apa yang dibicarakan orang lain dibelakangku tentang keburukanku. Bahagiaku sederhana, tapi untuk mendapatkan itu semua, seperti mencari jarum ditumpukan jerami. Fikri Wiyaja Kusuma dan Safira Ramadhani. Fikri masuk kedalam kelas dal
“Maaf, aku sengaja melakukannya. Aku melakukannya supaya kamu tidak hilang kesadaran. Kita harus tetap terjaga hingga esok! itu satu-satu cara untuk bertahan hidup. Agar kita tidak mati sia-sia, tanpa membalaskan dendam kepada mereka, yang telah berani cari masalah dengan kita,” ujar Safira perlahan. Denyut jantungnya mulai melambat, namun dia berusaha keras untuk tetap berbicara, pada Fikri untuk menjelaskan sesuatu.“Kita harus menabrak diri satu sama lain, supaya kita tetap tersadar. Kita tak boleh mati disini Fik, kita harus kuat dan berusaha keras keluar dari ruangan ini,” ujar Safira berusaha tidak pesimis.“Baikah.” jawab Fikri sangat pelan. Keduanya pun berusaha untuk saling menabrakkan diri satu sama lain. Ketika salah satu tidak lagi berusaha menabrak kursi satu sama lain, tetap ada salah satu diantara mereka bangkit, berusaha menabrak rekannya.Para bodyguard Safira dibawa kerumah sakit, saat ditemukan tidak sadarkan diri. Saat para bodyguard Safira terbangun, mereka langsun