Safira melangkah, berjalan perlahan menuju wc. Dia merasakan ada yang mengikutinya. Detik kemudian, sebuah tinju, menghantam wajah pria itu. Saat sang pria hendak lari, beberapa orang menodong senjata, ke arah sang pria, membuatnya harus menyerah. Sang pria ditangkap dan dibawa dirumah kosong, yang didalamnya banyak terdapat gudang, atau pun kamar. Didalam sanalah, para tawanan Safira berkumpul. Setiap ada penangkapan terjadi, orang-orang yang menjadi tawanan Safira sengaja dipisahkan. Agar tidak terjadinya rencana untuk kabur secara bersama-sama.Safira akhirnya pulang, namun baru saja, dirinya masuk kedalam rumah. Bunyi bel, membuatnya berbalik dan membukakan pintu. Safira heran, saat mendapatkan paket untuk dirinya.Dengan penasaran membukanya, dan betapa terkejutnya dia, saat melihat sebuah boneka yang berlumuran darah, dilehernya terdapat pisau tertancap. Dia juga membaca surat, disamping boneka tersebut.“Hentikan atau kau memilih mati!” Safira hanya tersenyum dingin, saat membac
Safira memasuki mobilnya yang baru dibeli lagi oleh Abraham, di ikuti para bodyguardnya dari samping kiri, dan kanan, dari posisi belakang ada lima orang pria, siap siaga mengawasi nonanya, dari berbagai serangan yang tidak diinginkan. Dari posisi depan ada lima orang. Semua mata lagi-lagi terpana, melihat Safira datang dengan banyak bodyguardnya. Sehingga saat masuk kelas, beberapa orang itu, harus menambahkan beberapa bangku untuk diduduki para bodyguard Safira. Penambahan bodyguard itu atas paksaan Abraham, walaupun Safira tidak menyentujuinya. Abraham tidak ingin, ada yang mengusik permaisurinya lagi. Para bodyguard siaga, dan langsung mengeluarkan pistol saat beberapa orang menembaki mereka dengan brutal. Mereka tau target para penyerang adalah nona mereka. Saat itu pula lah, mereka tetap siaga melindungi yang nona. Para bodyguard merunduk dalam posisi melingkar mengelilingi Safira, lalu membuka jas hitam mereka secara serempak dan menutupi kepala Safira. Tiga orang memberondon
Safira duduk di sofa rumah sakit dalam diam. Perlahan Candra bangkit dari ranjangnya, mendekati sofa dimana Safira duduk. “Kamu kenapa? Apa ada masalah?” tanya pria itu duduk disamping Safira. “Kenapa kau disini? Ayo kembali keranjangmu, kau harus istirahat,” ujar Safira menatap pria itu dengan panik. Dia harus menyembunyikan masalahnya. “Cerita saja. Apa ini ada masalahnya dengan penculikanku?” tanyanya dengan wajah penasaran. Safira mengelengkan kepalanya perlahan. Berat baginya harus berbagi masalah dengan orang lain. “Katakan saja. Mana tahu aku bisa membantu? Jika tidak, setidaknya dengan berbagi cerita, pemikiranmu jadi lapang, dan tidak seperti orang yang terintimidasi,” ujarnya menatap Safira lekat. “Aku di pecat,” ujar Safira akhirnya. Sejenak Candra hanya diam, menghela napas kasar. “Kau tenang saja, kau akan tetap bersekolah. Dengan syarat kau, harus membantuku. Aku akan membiayai sekolahmu.” Candra mengusap-usap pundak Safira perlahan. Safira menatap Candra diam,”Aku
Didepan kelas, Safira memghela nafas panjang, sebelum memutuskan memasuki kelas. Semua mata menatap dirinya, kini dirinya menjadi sorotan satu kelas. Perlahan melangkah memasuki kelas, dan matanya tak berpaling menatap siswa-siswi dikelas itu, dan berakhir pada Davina, beserta kawan-kawannya. Dia mengepalkan kedua tangannya, dengan geram. “Permisi bu.” Safira berujar perlahan sambil membungkuk tubuhnya, kearah bu guru sedang menjelaskan pelajaran. Bu Adelicia Calista tersenyum, menatap gadis itu prihatin. Prihatin dengan apa, yang telah terjadi pada Safira. Safira mempercepat langkahnya, menuju kursinya. Dia melihat ada tatapan benci, dan bahagia dari teman-teman sekelasnya, karena dirinya telah dihukum dan dikeluarkan dari sekolah Sma N Bangko. Segera Safira meraih tasnya, dan melangkah kedepan kelas. “Maaf ibu tidak bisa membantumu,” ujar bu Adelicia perlahan, mengusap-usap kepala Safira. Safira membalas senyum itu, namun hatinya mendidih ingin merobek tubuh Davina dan kawan-kawa
Safira berdiri dihalaman sekolah, menatapnya lama, berat langkahnya untuk meninggalkan sekolah. Dia sangat-sangat berharap impiannya, akan tercapai. Namun semuanya hanya mimpi belaka. Mimpi, yang tak akan pernah menjadi nyata. Safira melangkah tanpa tujuan, rasanya malas sekali pulang kerumah. Terus berjalan, hingga sesuatu membuatnya berteriak kesakitan. Safira terjerembab di aspal, seseorang menabraknya. Safira meringis menatap para laki-laki, tersenyum sinis padanya. Mereka adalah orang suruhan Abraham Adhitama. Beberapa laki-laki itu, menarik tangannya kuat. “Lepaskan.” Safira meronta melepaskan diri. Namun, tidak lama kemudian, dirinya tidak sadarkan diri, mereka meyuntikkan obat bius kelengannya. Beberapa laki-laki itu, membawanya kedalam mobil. Saat sadar, telah mendapati dirinya dalam sebuah kamar, yang luas. Safira sempat kebingungan, bingung dimana sekarang berada, sebelum akhirnya satu persatu anak tangga dia turuni. Terlihat banyak orang dibawah sana, meliuk-liukkan bad
Safira duduk dikantin bersama para bodyguardnya, sedangkan Fikri dan sahabatnya juga duduk tidak jauh dari mereka. Saat hendak menyuap nasi goreng, tiba-tiba dia memikirkan sebuah ide. Safira cepat meraih handphonenya, dan menelpon seseorang. Sebelum itu Safira menjauh, dari para bodyguardnya.“Kalian makan saja dulu, saya hanya menelpon seseorang sebentar!” perintah Safira membuat para bodyguard, yang sudah berdiri, kembali duduk. Namun mereka tidak sepenuhnya makan, melainkan tetap mengawasi Safira, dari kejauhan.“Bagaimana kabarmu?”“Baik.....”“Aku punya rencana untuk menjebak pak Barra!” ucap Safira langsung menjelaskan idenya. Candra hanya bisa mengerutkan keningnya, tatkala mendengarkan ide gila dari rekannya itu."Itu terlalu bahaya Ra. Mana mungkin kita bisa melakukannya, mereka itu kejam. Jika mereka membunuhku, dan tidak memberiku ampun, bagaimana?""Apa kau mau kasus ini tidak pernah terungkap? Berkorban lah sedikit demi mengungkapkan kebenaran ini. Aku yakin, mereka akan
Saat Safira hendak keluar kelas, tepat berada didepan pintu, Fikri tiba-tiba menyenggolnya. Safira tidak terima dengan perlakuan Fikri, segera mengejar Fikri berjalan menjauhi kelas. Safira menarik bajunya dengan kasar. Fikri menatapnya dingin, “Ada apa?” tanyanya datar. Seolah-olah tidak melakukan apa-apa. “Kau ini, benar-benar pria menyebalkan,” ucap Safira menahan marah. “Kau menyenggolku, dan kau pergi tanpa meminta maaf! Dasar manusia astral,” “Kau tadi menyenggolku, dan pergi tanpa meminta maaf..... Dasar manusia astral,” ucap Safira dengan nada ketus. Fikri menatap Safira dengan senyum sinis. “Kenapa? Kau tidak suka? Tapi, aku suka melakukannya! Sampai akhirnya kau menyerah dan keluar dari rumahku. Akan kubuat dirimu, tidak betah menjadi sopirku! Akan kubuat kau menyesal telah menerima pekerjaan ini! Lihat saja nanti, akan kubongkar semua kebusukanmu!” jelasnya melepaskan tangan Safira, dari bajunya dengan kasar. Juga mendorong tubuh Safira, menjauh dari nya. “Kau terlalu
Safira membuntuti truk berisikan persenjataan dan bahan-bahan peledak. Safira memakai jaket kulit hitam, dipadu dengan celana jeans kulit hitam, juga tidak lupa memakai kacamata hitam. Truk tersebut melaju dengan kecepatan tinggi. Tepat dibelakangnya, ada tiga iringan mobil sedan, mengawasi truk tersebut. Safira sengaja menjaga jarak motornya dengan iringan tersebut, agar tidak dicurigai. Safira terus saja menguntit dari jalan demi jalan, berlanjut gang demi gang, hingga truk dan tiga mobil tersebut berhenti, seorang pria membuka pagar dari seng, tiga mobil tersebut masuk bersama dengan truk tersebut. Safira memarkirkan motornya dipinggir jalan, dan mendekati tempat tersebut. Dari luar, ada tulisan dispanduk ada pembangunan didalam. Safira menyelinap masuk, saat dua mobil sedan keluar. Safira segera masuk dan memukul leher pria, yang membuka pagar hingga pingsan. Safira menyeret tubuh pria tersebut menjauhi pagar. Safira memindai keberadaan targetnya, melalui kacamatanya. Safira berj