“Aku mohon, lepaskan aku. Jika kau ingin menculikku benar-benar tidak ada gunanaya. Aku hanya wanita dengan tubuh kurus. Aku mohon,” kata Binar penuh dengan permohonan
“Aku hanya ingin tahu siapa namamu.” Akhirnya Gibran bersuara. Entah kenapa, sejak melihat aksi wanita ini yang tegas membuat dirinya penasaran, tentang wanita ini lebih jauh.
“Omong kosong! Kau pasti laki-laki mesum yang ingin menculiku bukan?” Binar melepaskan cekalan itu dengan paksa
“Laki-laki mesum? Kau mengataiku laki-laki mesum?” Gibran tidak menyangka jika wanita yang menjadi pusat rasa penasarannya itu mengatainya dengan sebutan laki-laki yang tidak ada harganya sama sekali.
Sepanjang hidupnya. Gibran selalu dipenuhi dengan kalimat yang menjungjungnya tinggi. Dan kali ini, ada wanita yang mengatainya dengan sebutan rendahan seperti itu. Hal itu cukup membuatnya kesal.
“Ya. Tampangmu kuat sekali! Dan ... “ Binar memundurkan perlahan tubuhnya itu, menjauh dari jangkauan Gibran “Kau jangan coba-coba mendekatiku lagi.” setelah mengatakan itu, buru-buru Binar berlari sekencang mungkin. Menyelamatkan dirinya dari jangkauan Gibran.
Padahal, maksud Gibran benar-benar hanya ingin mengetahui namanya.
Saat Binar berlari, sesuatu keluar dari dalam tas slempangnya. Gibran melihat jika itu adalah sebuah Id Card para karyawan yang bekerja di Moon Light.
Gibran menjadi mengenali wanita itu. Jika dia adalah salah satu karyawan di perusahaannya yang akan dia pimpin.
***
Disinilah Gibran sekarang. Di toko pakaian milik Deolinda. Gibran sendiri sudah mengenakan setelan jasnya dan dia sangat puas dengan hasilnya.
Di depan cermin, Gibran melihat setiap inci tubunya. Bolehkan dia memuji dirinya sendiri? Jika boleh Gibran akan mengatakan jika dirinya sangat tampan. Apalagi dengan jabatan yang akan dia dapati.
Dalam kesempurnaan kehidupan yang Gibran miliki itu, Gibran merasa semuanya tidak cukup sempurna saat melihat Deolinda yang tampak tidak perduli dengannya. Wanita itu bahkan memilih ponselnya, ketibang dirinya.
Seraya menarik simpul dasinya yang terasa longgar, Gibran bersuara “Kau, akan datang untuk upacaraku besok?”
Gibran melihat Deolinda melepaskan perhatiannya pada ponselnya dari pantulan cermin, dan menatap Gibran yang masih membelakanginya.
“Apa semuanya akan peduli dengan ketidak mauan ku?”
Deolinda merasa, dirinya sangat malas untuk hadir di acara Gibran besok. Tapi keluarganya sangat menentang keras rasa malasnya itu. Sehingga membuat Deolinda mau tidak mau harus pergi ke perusahaan Gibran
“Kalau begitu, aku akan pilihkan busana untukmu.” Gibran sangat percaya diri sekali, dengan apa yang hendak ia lakukan. Padahal sudah jelas, jika Deolinda sering menolak pemberiannya
“Apa perlu?” Deolinda tampak tidak begitu tertarik, dia memilih untuk menarik ponselnya lagi untuk ia perhatikan.
“Ku rasa perlu.”
Deolinda hanya diam, tidak merespon apapun lagi. tapi Gibran mengerti, jika diamnya wanita itu adalah persetujuan baginya. Jadi Gibran, melangkahkan kakinya menuju lemari kaca yang menampilkan beberapa dress mewah
Deolinda melihat Gibran berdiri di depan lemari kacanya, kemudian dia bersuara “Kau ingin aku mengenakan dress itu?”
“Ya. Ku rasa ini sangat cocok untukmu.”
“Baiklah. Aku akan memakainya besok. Tapi ... “ Deolinda sengaja mengantungkan kalimatnya, membuat Gibran menunggu. Wanita itu beranjak dari duduknya, meninggalkan ponselnya di atas meja. Kemudian melangkah mendekat ke arah Gibran. Dan tersenyum. Akan tetapi senyuman itu tidak memiliki kesan manis
“Kau harus membayarnya. Pakaian itu tidak gratis.”
Gibran terkekeh pelan “Berapa harganya? Akan ku bayar saat ini juga.”
Deolinda merubah raut wajahnya menjadi lebih manis. Dia juga mengukur senyumannya yang apik. Akan tetapi kesan dinginnya masih saja terasa mencuat, kemudian bersuara “Kau memang laki-laki sempurna. Aku jadi tidak tega menyia-nyiakanmu.” Setelah mengatakan kalimat yang membuat Gibran terkejut, Deolinda langsung meranjakan kakinya. Kini hanya terdengar suara heals-nya saja yang bergemelatuk dengan marmer. Meski begitu, Gibran tetap tidak menyembunyikan senyumannya.
***
Tidak ada jadwal khusu yang harus Gibran lakukan. Untuk itu, dia memilih pulang dan akan merebahkan tubuhnya saja di atas ranjang miliknya.
Begitu dia masuk ke dalam rumahnya yang megah. Gibran sudah di sambut dengan pelayan rumahnya. Wanita yang mengenakan seragam khusus pelayan itu bersuara, meski begitu Gibran tetap berjalan dengan gaya cool-nya.
“Tuan muda. Nyonya mencari anda. Saya diperintahkan untuk menyampaikan pesan, jika anda harus segera menemuinya.”
“Dimana ibu sekarang?” tanya Gibran, yang kakinya baru saja menginjak anak tangga.
Gibran tetap berjalan, dan pelayan itu juga tetap mengikutinya.
“Biar saya panggilkan untuk anda, tuan muda.”
Sang tuan muda memasuki kamarnya, dan sang pelayan berjalan menjalankan tugasnya.
Di dalam kamarnya, setelah berganti pakaian dan membasuh muka dan kakinya. Gibran sama sekali tidak berselera untuk merebahkan tubuhnya di atas kasur. Alhasil dia berdiri di depan rak buku besar. Dan mengambil buku secara acak, kemudian membaca halaman pertama
Suara ketuka pintu terdengar, yang Gibran yakini itu adalah ibunya. Makan dari itu Gibran langsung saja menyuruhnya masuk. Karena pintu juga sengaja tidak ia kunci.
Asmita Batari Fransisco. Wanita cantik, yang selalu mengedepankan kecantikan fisik itu masuk secara perlahan ke dalam kamar putranya.
Gibran tidak membalikan badannya, dia sudah terlanjr fokus membaca buku yang di peganggnya. Sehingga membuat Asmita, memeluknya dari belakang.
“Astaga! Putra ibu rupanya sudah besar,ya. Dia bahkan akan menjadi seorang Direktur Utama menggantikan ayahnya.”
Mendengar itu Gibran terkekeh, kemudian tangannya terulur menyimpan kembali bukunya secara berdiri ke tempatnya semula.
“Apa ibu senang dengan kabar bahagia ini?”
“Tentu saja, ibu senang.” Sang ibu kemudian menepuk pundak Gibran sedikit keras. Bukan apa-apa. Asmita hanya dibuat geregetan saja “Kenapa kau sangat hebat, hah? Ibu sungguh bangga memiliki kamu, nak!”
Asmita benar-benar bangga. Gibran akhirnya mendulang pucak tertinggi dalam kehidupannya. Yaitu menjadi pewaris untuk perusahaan keluarganya. Asmita sendiri tidak pernah mengira, jika hari dimana Gibran akan sukses akan datang secepat ini. Tepat di usia Gibran yang menginjak usia 28 tahun.
“Syukurlah, jika ini membuat ibu bahagia. Katakan saja, apa yang ingin ibu rasakan lagi. Aku akan memberikannya.”
“Tentu saja, ibu ingin melihat kau dan Deolinda menikah. Setelah itu, ibu benar-benar menjadi manusia yang paling bahagia di bumi ini.”
Mendengar harapan dari sang ibu, Gibran hanya tersenyum kemudian memeluk tubuh sang ibu erat. Gibran sendiri sangat tidak yakin dengan pernikahannya bersama Deolinda akan terjadi dalam waktu cepat. Seperti yang di ketahui jika keduanya sama-sama tidak memiliki rasa cinta satu sama lain. Jadi menurutnya, itu akan berproses dalam waktu yang lama.
“Kakek percaya, kamu akan menjadi pemimpin yang hebat!” kata Jhony, memeluk Gibran penuh dengan rasa banggaKemudian satu persatu para dewan Direksi perusahaan Moon Light, yang rata-rata semuanya di duduki oleh anak-anak dari Jhony –sekitar tiga orang sisanya di duduki oleh saudara-saudara dari Jhony itu sendiri.Mereka semua menyalami Gibran satu persatu. Menaruh rasa kepercayaannya pada laki-laki itu.Gibran sendiri juga bertekad, untuk menjadi pemimpin yang tidak mengecewakan semua karyawannya dan terlebih keluarganya yang sudah memberikan tanggung jawab ini.Sayangnya, upacara serah terma jabatan hanya di saksikan oleh para petinggi dan pemegang saham. Tidak di tunjukan secara terbuka bagi seluruh karyawan. Akan tetapi, sebagai gantinya. Gibran nanti akan berpidato untuk mengupcakan sepatah kata untuk karyawannya.Acara serah terima jabatan berakhir setelah Jackson Fransisco memeluk Gibran Emilio Fransisco. Semua orang yang ha
Sekitar pukul lima sore. Gibran dapat menyelesaikan pekerjaannya di hari pertamanya. Saat dia keluar dari ruangan kebesarannya, Adiwangsa telah menunggunya.Menundukan kepalanya hormat, lantas dia berkata “Kau akan langsung pulang, presdir?”Gibran menggeleng “Aku akan bertemu dengan Deolinda. Apa kau juga perlu mengikutiku?”Gibran berkata seperti itu, hanya untuk menyindir. Karena sejak posisi presdirnya ia duduki. Adiwangsa selalu tahu apa yang menjadi urusannya.“Katakan saja, jika kau butuh bantuanku. Aku akan segera menerima telponmu.” Adiwangsa mengulurkan tangan kanannya. Bermaksud memberikan sebuah tanda, untuk mempersilahkan Gibran berjalan terlebih dahuluSeraya berjalan, Gibran tersenyum tipis, mendengar apa yang diucapkan Adiwangsa tadi. Adiwangsa berkata seperti itu memiliki arti. Jika Gibran membutuhkan bantuannya saat bertemu dengan Deolinda. Hubungi saja dirinya, Adiwangsa akan segera menerima te
Dengan anggun, Delinda mengangkat cangkir kopinya lalu menengaknya sedikit. Setelah merasakan nikmatnya rasa kopi itu, Deolinda menyimpan kembali cangkirnya ke atas meja. Kemudian menatap Gibran yang berdiam diri di depannya“Kau hanya melihatku minum?” Deolinda menyindir, tingkah laku Gibran yang hanya mematung seperti benda mati. Padahal dia sudah memesan minumannya juga“Kau berurusan dengan wanita itu lagi?” Gibran malah bertanya. Hal itu membuat Deolinda mengerutkan alisnya“Apa maksudmu?”“Dia bekerja di perusahaanku. Jika kau ingin balas dendam, aku bisa melakukannya untukmu. Kau tidak harus mengambil Id Card karyawannya.”Mendengar itu, Deolinda terkekeh pelan. Dia merasa aneh kenapa Gibran mengikut campuri urusannya. Padahal sejak dua tahun yang lalu, laki-laki itu tidak ingin tahu urusannya.“Apa kau sedang menjadi bos yang baik untuknya?”Deolinda bertanya seperti
Binar buru-buru masuk ke dalam rumahnya, setelah menyelesaikan pekerjaannya di toko roti ibunya, tepat pada pukul sepuluh malam.Hal itu mampu membuat Embum bingung, melihat Binar yang kini sedang menggeledah tumpukan majalah yang berada di lemari bawah tv.“Kau mencari apa?” tanya Embun, seraya mengaitkan tas slempangnya pada penggantung pakaianBinar masih sibuk mencari “Aku mencari majalah fasion yang sempat ibu tunjukan padaku tadi.”Embun tahu, majalah yang dicari Binar adalah majalah fasion yang menampilkan biografi dari seorang Deolinda Diatmika, itu membuatnya menjadi berpikir yang tidak-tidak“Kenapa kau mencari itu?”Binar diam, dia tidak menjawab. Karena terlalu fokus mencari majalah itu di antara banyaknya majalah berbagai macamEmbun khawatir, jika Binar memang benar mempunyai urusan dengan Deolinda. Untuk memastikan, Embun gerak cepat menghampiri Binar dan bertanya sekali lagi dengan s
Setumpuk kertas Binar letakan di atas mesin pencetak. Dia sedang mencopy sebuah dokumen. setelah melihat mesinnya sudah mulai bekerja, Binar menghembuskan napasnya. Pagi ini sudah sangat memelahkan, entahlah kenapa mendadak pekerjaannya begitu sangat sulit ia kerjakan.Tiba-tiba saja, diantara teraturnya suara mesin pencetak. Binar menemukan sebuah sesuatu hal yang ada pada ingatannya.Dia teringat, jika semalam dia sempat akan mengunduh foto yang dikirim Fany, akan tetapi gagal karena dia kehabisan data internetnya. Semalam juga dia sudah berencana akan mengunduhnya di kantor, sebab di kantor memiliki akses wifi secara gratis bagi karyawannya.Segera Binar meronggoh ponselnya, dan menyambungkan perangkatnya pada wifi perusahaan. akan tetapi wifi itu tidak dapat terhubung, mungkin karena terlalu banyak perangkat yang tersambung jadi server mengalami sedikit gangguan.Alhasil Binar hanya bisa melenguh.“Kau kenapa?”Lenguhan Binar
Seperti biasanya, dalam rutinitas paginya. Embun akan pergi ke pasar untuk membeli bahan-bahan untuk toko rotinya. Hari ini lumyan, dia mendapati pesanan seratus bungkus roti, tentunya membuat Embun memiliki semangat yang lebih dari hari-hari biasanya.Dengan kedua kaki yang tidak lagi kuat, Embun berjalan dengan membawa beban di kedua tangannya. Saat dia berjalan melewati toko pakiannya Deolinda, langkah kakinya terhenti, apalagi matanya yang seolah terpaku di sana. Detak jantungnya mulai berdetak tidak teratur, saat wanita yang berada dihadapannya melepaskan kacamata hitammnya, kemudian dia tersenyum.Embun, membuang muka seraya mendengus. Dia enggan membalas sapaan manis itu.Juwita, dengen setelan mahal dan tas mewahnya itu melangkah satu langkah ke depan. Dalam tampilan kedua wanita itu sangat memperlihatkan sekali kesenjangan.“Apa kabarmu?” tanya JuwitaEmbun masih tampak tidak suka. Namun dia tidak akan tinggal diam saja “
“Aku sudah menjadwalkan ulang, pertemuan kita bersama beberapa klien, presdir.” Adiwangsa menyerahkan tab hitam kepada Gibran, yang berisi pergantian jadwalnya.Gibran mengangguk, kemudian bangkit dari kursi kebesarannya itu. Dan melepas setelannya, lalu mengantinya yang baru. Dengan jas berwarna hitam, yang diberikan Deolinda untuk ia kenakan dalam acaranya kali ini.“Apa ayah anda tidak mengetahui acara ini, presdir?” tanya Adiwangsa, saat Gibran sedang memakai jasnya.“Kenapa? Apa dia bertanya padamu? Atau kau yang berniat untuk memberitahunya?”Mendengar jawaban itu, Adiwansa menjadi tahu, jika Gibran tidak membicarakan ini kepada keluarganya“Tuan Jackson, pasti senang mendengar kabar ini.”“Ya. Aku pikir tidak perlu memberitahunya, jika ayah akan tahu dengan sendirinya.”“Acara itu, dihadiri banyak media. Itu akan sangat menguntungkan perusahaan. Anda pasti telah
Di dalam ruangan yang tampak mewah dan berkelas, wanita dengan tampilan menawan itu, sedang duduk di meja rias. Menatap pantulan dirinya yang rupawan di depan cermin, kadang Deolinda berpikir, kehidupannya begitu mewah, akan tetapi mengapa dirinya tidak bisa membeli kepuasannya dalam hidupnya sendiri. Sejak dulu, bahkan perihal laki-laki yang berhak untuk pendamping Deolinda, harus ditentukan oleh keluarga. Apakah dirinya terlahir untuk memperluas hubungan perusahaannya? Bukan untuk terlahir sebagai manusia yang penuh akan tanggung jawab? Kini wanita itu, mengalihkan tatapan matanya kepada sang ibu dibelakangnya. Yang kelihatan sedang sibuk dengan tab miliknya. “Ibu, kemari hanya untuk melihat tab,itu?” Deolinda menyindir. Wanita itu memang selalu ahli dalam hal semacam ini Sang ibu menghela napas, kemudian menyimpan tabnya ke atas meja dan mulai memperhatikan putrinya. “Kau cantik dengan dress itu.” Juwita kini memangku, satu majalah fasion yang bera
Binar melihat pantulan dirinya di depan cermin, dia menghela napasnya pasrah. Raut wajahnya kentara sekali sedang merasa lelah. Saat ini semua karyawan sedang menggunjingnya. Jika sudah seperti ini, siapa yang harus disalahkan?Gibran? Binar yakin, Gibran pun adalah korban dari postingan orang jahat itu. Terdengar ponselnya berdering,pertanda pesan masuk. Lantas Binar pun membukanya. Dan dia semakin menurunkan wajahnya lesu,saat pesan itu memiliki pengirim dari Gibran. Dalam pesan itu, tertulis jika Binar ditunggu di atas rooftop oleh Gibran. Maka dengan gerak cepat, Binar beranjak menuju rooftop. Setelah sampai di atas gedung, Binar sudah bisa melihat Gibran. Laki-laki itu, sedang berdiri di depan pembatas, menghadap depan. Lantas Binar mendekat, ”Anda memanggil saya, di saat situasi seperti ini,tuan?“ Gibran menoleh, rambutnya sedikit tersibak oleh angin. Tatapan matanya dalam menatap Binar
Deolinda menggeram di depan meja riasnya. Tangannya yang menggenggam sebuah benda pipih yang disebut ponsel itu mengerat.Dia seketika bercermin, melihat pantulan dirinya di sana. Dan, Deolinda tersadar jika dirinya terlihat lebih cantik dibanding Binar. Tapi kenapa, Gibran lebih memilih gadis biasa itu?Sementara disudut ruangannya yang lain. Tepat di ruang kebesaran Argan Diatmika. Pria itu melihat sebuah postingan foto Gibran dan seorang gadis, yang dia tidak kenal itu di sebuah kedai.Kepalanya mendidih marah. Mengetahui Gibran bertemu dengan seorang gadis saat posisinya sudah resmi menjadi tunangan dari putrinya.“Ini yang kalian balas terhadap keluargaku?!“ katanya sendiri.Saat rasa amarahnya memuncak, pandangan Argan terhenti. Pada sebuah foto itu. Tepat pada kedai yang Gibran singgahi itu. Kedua alis Argan mengerinyit“Ini, bukannya di kedai milik Embun?“Dan, matany
Dengan langkah tergesa, Gibran masuk ke dalam rumahnya. Rupanya jalan-jalan malam tidak membuahkan hasil apapun. Malah membuatnya semakin dibuat suntuk. Apalagi, setelah bertemu dengan Binar tadi. Perkataan gadis itu yang membuat perasaannya suntuk seperti ini. Binar benar-benar telah mendepaknya jauh sekarang. Dan, hal itu sungguh membuat Gibran merasa prustasi. Saat langkahnya sampai pada ruangan makan. Di sana, sedang ada ibu,ayah,dan adiknya. Menatapnya secara kompak. “Kau tidak makan, Gibran?“ tanya Asmita kepada putranya itu Gibran menggeleng, “Apa ini semua rencana kalian?“ Gibran bertanya dengan pandangan yang bergantian menatap ibu dan ayahnya. Mereka diam, saling tatap. Dan, Gibran tahu. Itu adalah jawaban iya. Maka dari itu, Gibran mendengus Sementara Zeline, dia terlihat kebingungan. Dia sepenuhnya tidak mengerti masalah yang terjadi antara orang dewasa itu. Maka Zeline memilih diam, da
Jadwal untuk Binar mengajar Zeline, yang tidak lain dan tidak bukan merupakan adik dari Gibran.Itu sudah berada ditangan Binar. Jadwalnya cukup menguras tenanga, sebab Zeline meminta Binar untuk mengajarinya setiap malam dalam waktu hanya dua jam.Itu artinya, waktu Binar mengajari Zeline setelah dia pulang bekerja.Malam ini adalah, malam pertama untuk Binar maupun Zeline berhadapan. Binar sungguh dibuat takjub, dengan bagunan rumah ini. Sudah nyaris seperti istana“Aku harus memanggilmu dengan sebutan apa?” Zeline, gadis cantik itu bersuara“Ahh—senyamanmu saja, aku tidak masalah.”Wajah Zeline berubah senang “Baiklah, aku akan memanggilmu kakak saja bagaimana? Kau keliatan masih muda.”“Boleh,” Binar agak tersenyum canggung “Mana mungkin, umurku sudah menginjak angka dua lima.”“Sungguh?”Binar mengangguk, lalu setelahnya dia mulai menelisi
Deolinda memang sempat menolak bertunangan dengan Gibran. Dan menjalani hubungan itu dengan rasa keterpaksaan.Tapi, setiap hati manusia bisa berubah kapan saja. Dan Deolinda sudah merasakan itu, jika dirinya tidak akan lagi bermain-main bersama GibranAkan tetapi, Gibran menolaknya secara terang-terangan. Itu karena seorang gadis bernama Binar Anatari. Deolinda benar-benar kesal.Dan, semesta memang terlalu baik. Saat ini, tepat di lobby utama Deolinda bertemu dengan Binar. Sebelumnya Deolinda mendengus dan tertawa remeh“Kau masih ingat padaku?” katanya sarkastikBinar sudah dalam raut wajah yang malas menghadapi wanita angkuh itu “Untuk apa aku mengingatmu.”Deolinda terkekeh, tatapan matanya namun menajam. Lalu berjalan mendekati BinarDan betapa terkejutnya Binar, saat wanita itu mendorong pundaknya, dengan kesan angkuhBinar hanya mendesah pelan dalam hati dia ingin mencakar wajah it
“Dalam sebuah media, anda adalah orang yang menjuarai olimpiade matematika nasional dulu?” tanya seorang laki-laki dengan setelan jas hitamBinar mengangguk. Dalam hatinya mencelos takut, sebab tidak ada angin tidak ada hujan dirinya di datangi oleh orang-orang seperti ini“Anda tahu keluarga Fransisco?”Binar mengangguk lagi. ya, mereka adalah pemilik perusahaan tempatnya bekerja“Nona Zeline Alieen Fransisco, putra kedua dari Jackson Fransisco, sedang membutuhkan pengajar pribadi untuk mata pelajaran matematika. Dan Anda memiliki pengalaman yang bagus untuk itu. Apakah anda ingin menerima tawaran kami?”Binar, nyaris tersedak ludahnya sendiri. Tawaran macam apa ini? Sungguh dia semalam tidak bermimpi apapun. Tapi bukankah itu tawaran yang sangat bagus?“Kami akan membayar anda.” Lalu laki-laki berjas hitam itu mengeluarkan sebuah kertas “Keluarga tuan Jackson membayar anda seperti yang
Jackson benar-benar sangat marah kepada Gibran. Putranya itu telah melakukan kesalahan besar, kepada keluarga Diatmika.Gibran tidak mengantar Deolinda pulang ke rumah, demi untuk bertemu seorang gadis lain. Di mana letak harga diri keluarganya?“Apa Gibran selalu bertindak sendiri seperti ini?” Jackson bertanya kepada Adiwangsa“Ya tuan, saya sendiri tidak mengetahui, jika Tuan Gibran akan bertemu dengan wanita lain seperti ini?”“Siapa wanita itu?”Adiwangsa, melihat foto itu. Dan dia sedikit mengingat dengan wajah wanita yang berada di foto berhadapan dengan Gibran.Ya, itu adalah wanita yang sempat bertemu dengan Gibran, di lobby perusahaan.“Saya tidak mengetahui dengan jelas siapa wanita itu. Yang saya tahu, dia juga berkerja di Moon Light.”“Aku minta. Kau terus awasi wanita itu. Jika sampai dia melebihi batas, beri tahu aku.”Adiwangsa menganggu
Sungguh kalimat Gibran mampu membuat Binar terdiam cukup lama. Dalam keterdiaman itu, selamanya Gibran tidak akan pernah tahu jika hatinya telah jatuh dengan menjijikan. Hanya karena sebuah kata yang keluar dari mulut laki-laki ituSampai, Mobil milik Gibran terparkir di depan rumah Binar. Sejak saat itu, Binar tidak pernah membuka mulutnya untuk berbicara.“Terima kasih, telah mengantarku pulang.” Segera Binar membuka pintu, dan meranjakan dirinya keluarSebelum Binar masuk ke dalam rumahnya, Gibran menurunkan kaca mobilnya “Ingat. Aku masih akan menagih hutangmu.”Tolong, katakan sekali lagi kepada laki-laki itu. Binar benar-benar kehilangan cara bagaimana untuk mengatakan jika dirinya tidak ingin melakukan hal itu.“Aku tidak akan pulang. Sebelum kau menganggukan kepalamu.”Apa? Binar semakin dibuat terkejut. Laki-laki di depannya ini benar-benar, membuatnya prustasi“Iya, tuan.” Pada
Mobil mewah berwarna hitam, masuk ke dalam kawasan rumah yang luas dan mewah milik keluarga terpandang yaitu Diatmika.Seorang wanita yang tampak anggun dengan gaunnya, keluar dari mobil mewah itu, dengan pintu yang dibukakan oleh supirnya. Di luar sudah ada asisten pribadinya yang menunggu. Sang nyonya langsung memberikan tas seharga mobil itu kepadanya.Deolinda sendiri, berharap jika ibu maupun ayahnya sedang tidak ada di rumah. Deolinda tidak mau kedatangannya tanpa Gibran ke rumah di ketahui oleh kedua orang tuanya.Pikirkan saja. Mana ada tunangan yang tidak mengantar kekasihnya pulang ketika sudah pergi bersama. Hal itu pasti akan membuat Gibran terlihat jelek di keluarganya. Dan Deolinda enggan itu terjadi“Ibu dengar, supir pribadimu yang menjemput.” Suara bariton lembut namun tegas itu, mengudara. Saat dirinya dan asisten pribadinya menginjak ruangan keluarga. Ternyata Juwita sedang dipijat dengan majalah fasion yang dibacanya