“Kakek percaya, kamu akan menjadi pemimpin yang hebat!” kata Jhony, memeluk Gibran penuh dengan rasa bangga
Kemudian satu persatu para dewan Direksi perusahaan Moon Light, yang rata-rata semuanya di duduki oleh anak-anak dari Jhony –sekitar tiga orang sisanya di duduki oleh saudara-saudara dari Jhony itu sendiri.
Mereka semua menyalami Gibran satu persatu. Menaruh rasa kepercayaannya pada laki-laki itu.
Gibran sendiri juga bertekad, untuk menjadi pemimpin yang tidak mengecewakan semua karyawannya dan terlebih keluarganya yang sudah memberikan tanggung jawab ini.
Sayangnya, upacara serah terma jabatan hanya di saksikan oleh para petinggi dan pemegang saham. Tidak di tunjukan secara terbuka bagi seluruh karyawan. Akan tetapi, sebagai gantinya. Gibran nanti akan berpidato untuk mengupcakan sepatah kata untuk karyawannya.
Acara serah terima jabatan berakhir setelah Jackson Fransisco memeluk Gibran Emilio Fransisco. Semua orang yang hadir bertepuk tangan untuk memeriahkan suasana.
Banyak dari para hadirin yang memuji kesuksesan yang di dapatkan Gibran. Apalagi visualnya yang tampan menjadi daya tarik utama.
“Aku dengar dia sudah bertunangan,” kata seorang hadirin
“Beruntung sekali wanita itu,” jawab salah satu teman satu mejanya.
Deolinda yang berada tidak jauh dari mereka berdua, dapat mendengar dengan jelas kalimat pujian itu. Namun Deolinda merasa tidak seberuntung yang orang itu katakan. Detik berikutnya, Deolinda bangkit, membawa tas selempang mahalnya dan berjalan keluar aula.
Orang-orang mungkin akan menyebutnya beruntung. Tapi baginya, kehidupannya tidak ada yang perlu disebut beruntung seperti itu.
Deolinda berpikir. Menjadi tunangan Gibran adalah suatu beban, karena sejujurnya dia sangat tidak ingin menjadi tunangan laki-laki itu. Tapi, lagi-lagi karena masalah bisnis.
Saat begitu keluar aula. Tepat di belokan, Deolinda tidak sengaja menambrak seseorang yang membuatnya berhasil meringis. Dan dia terkejut, dengan siapa orang yang bertabrakan dengannya itu
“Kau?!”
“Ternyata, kau karyawan disini?” Tanpa berpikir panjang, Deolinda menarik paksa id card yang mengantung di leher Binar. Membuat sang empunya, mencebik kesal
“Kemarikan!” usaha untuk mengambil kembali id card itu gagal. Deolinda memiliki gerak yang lebih cepat darinya. Deolinda pikir, ini adalah waktu yang sangat tepat untuk membalaskan dendamnya
“Kau mau ini. Ambil jika kau bisa!” segera Deolinda menancapkan kakinya untuk melangkah memasuki lift. Binar yang sial, tidak dapat menjangkau Deolinda. Pintu lift lebih dulu tertutup. Lantas Binar dibuat mengerang, prustasi.
***
Betapa prustasinya, Binar tanpa id card karyawannya. Dia tidak bisa mengakses keluar masuk pintu utama gedung. Hal itu menjadikannya tidak bisa untuk mendapati makan siang bersama teman-teman satu Divisinya di restoran depan gedung perusahaan.
Sebenarnya, bisa untuknya keluar masuk gedung. Tapi Binar harus menggunakan pintu darurat yang kalau ingin mengaksesnya harus bayar. Itu sebagai bentuk, hukuman bagi orang yang meninggalkan id cardnya saat bekerja
Alhasil Binar hanya mengisi perutnya dengan satu bungkus roti yang dia dapati di kantin perusahaan. untuk merileksasikan pikirannya, Binar memilih untuk pergi ke atap. Memakan satu bungkus roti itu, bersama semilir angin.
Sementara itu. Di waktu yang bersamaan, mungkin hanya berselang beberapa menit dari kedatangan Binar ke atap gedung. Gibran datang hanya dengan kemeja putih yang ia lipat bagian lengannya sampai menyentuh sikut.
Kedatangan Gibran ke atap untuk mengisap satu batang rokok. Kebiasaan merokoknya ini sebenarnya adalah salah satu rahasianya. Gibarn nekad untuk merokok hanya dalam waktu mendesak saja. Seperti sedang dalam keadaan sulit saja.
“Kau?!” Binar terkejut mendapati Gibran.
Gibran lebih terkejut lagi. Bertemu dengan Binar di gedung perusahaannya sendiri
“Kenapa?”
“Kau ngapain disini?”
Gibran terkekeh, pertanyaan Binar sangat konyol sekali
“Untuk bekerja. Apa lagi?”
“Apa? Kau, laki-laki mesum bekerja disini. Apa tidak salah?” dan Binar tidak sengaja melihat rokok ditangan Gibran. Hal itu membuat Binar semakin berpikir buruk
“Kau juga merokok. Jangan-jangan kau juga pengguna narkoba.”
“Tutup mulutmu. Kau akan habis, jika tidak menjaga sikapmu,” peringat Gibran. Akan tetapi Binar masih menyepelekan
“Memangnya kau siapa? Kenapa aku harus menjaga sikapku?”
Gibran terkekeh, seraya duduk di kursi yang sama Binar duduki itu. Dengan refleks Binar menjauhkan tubuhnya.
“Aku orang yang akan membuatmu menyesal, karena telah bersikap kasar kepadaku.”
“Bukannya kau yang bersikap kasar kepadaku.”
“Apa?”
“Kemarin.” Binar menatap Gibran dengan tatapan yang penuh dengan makna menikam “Kemarin, kau mencekal tanganku begitu saja.”
“Aku hanya ingi tahu siapa namamu.”
“Pembohong!”
“Siapa namamu?” Gibran teringat, jika semua karyawan disini pasti memiliki id card. Jadi untuk apa dia bertanya, jika dia bisa melihatnya dari id card itu. Tapi saat begitu dia melihatnya. Dalam dada wanita itu tidak ada id card karyawan yang mengantung
“Kemana id cardmu?” Gibran bertanya
Dengan santainya, Binar menjawab “Kau juga tidak memakai id cardmu.”
“Aku tidak butuh itu.”
Perkataan itu mampu membuat Binar menoleh cepat dan melemparkan tatapan penuh intimidasinya
“Semua karyawan pasti membutuhkan itu. Apa kau penyelusup?”
Gibran terkekeh pelan. Tidak habis pikir dengan apa yang wanita itu katakan. Gibran menjadi bertanya-tanya. Apakah penampilannya tidak cukup menjawab siapa sebenarnya seorang Gibran ini.
“Bagaimana denganmu? Apa kau juga seorang penyelusup?”
“Tidak mungkin.”
“Lalu kemana?”
“Apa aku harus memberitahumu?”
“Ya. Untuk membuat aku tidak berpikir jika kau adalah seorang penyelusup.”
Binar mendesis geram. Dia merasa kalah telak.
“Deolinda mengambilnya.”
Mendengar itu. Gibran terkejut. Lalu dia teringat dengan kejadian kemarin. Gibran bisa menyimpulkan jika hal ini erat kaitannya dengan kejadian kemarin
Detik setelahnya. Binar meringis prustasi “Bagaimana ini? Akan seberapa sulitnya. Aku bertahan hidup disini tanpa id card itu.”
“Aku bisa membantumu, mendapatkan id card itu.”
Binar terkejut, dia mentap Gibran dengan pandangan tidak percaya.
“Jangan konyol.”
“Jika aku mengatakan. Deolinda adalah teman dekatku, kau akan percaya jika aku akan bisa membantumu?”
“Semua laki-laki akan mengatakan, perempuan cantik adalah teman dekatnya.” Binar masih sangat tidak percaya.
“Bagaimana, jika aku mengatakan. Bahwa Deolinda adalah tunanganku.”
Binar malah tertawa. Sungguh apa yang dikatakan Gibran adalah konyol
Deolinda adalah orang yang sangat terkenal. Keluarganya juga tergolong keluarga konglomerat. Jadi, Binar rasa Gibran sangat mengada-ngada mengakui jika Deolinda adalah tunangannya. Memangnya dia siapa? Pikir Binar, Gibran adalah laki-laki biasa, sama sepertinya.
“Kau sangat tidak percaya rupanya.” Gibran mengeluarkan ponselnya, kemudian diberikannya kepada Binar “Tulis nomor ponselmu. Akan ku hubungi kau, jika aku berhasil mendapatkan id card itu.”
Binar tertawa “Kau sangat percaya diri sekali rupanya. Baiklah aku akan memberikan nomor ponselku. Jika kau berhasil mendapatkannya dalam waktu satu malam. Aku akan percaya, jika kau adalah tunangannya.”
Binar memberikan ponsel Gibran kembali, setelah sederet angka selesai ia tulis. Detik berikutnya, Binar memilih untuk pergi. Meninggalkan sesuatu pada hati Gibran
Setelah kepergian Binar. Gibran menyambungkan telponnya. Menelpon Deolinda. Untuk mendapati id card itu. Rasanya menggebu-gebu sekali, untuk bisa mendapatkan pembuktian itu. Sesungguhnya bukan karena ingin Binar percaya jika dirinya betulan tungangannya Deolinda. Melainkan dia ingin bertemu dengan wanita itu lagi.
Entah kenapa rasanya menyenangkan sekali. Gibran merasa sesuatu yang disebut sempurna itu, dapat ia rasakan. Dan, dia sangat ingin memilikinya. Mendekapnya dalam waktu yang sangat lama.
Sekitar pukul lima sore. Gibran dapat menyelesaikan pekerjaannya di hari pertamanya. Saat dia keluar dari ruangan kebesarannya, Adiwangsa telah menunggunya.Menundukan kepalanya hormat, lantas dia berkata “Kau akan langsung pulang, presdir?”Gibran menggeleng “Aku akan bertemu dengan Deolinda. Apa kau juga perlu mengikutiku?”Gibran berkata seperti itu, hanya untuk menyindir. Karena sejak posisi presdirnya ia duduki. Adiwangsa selalu tahu apa yang menjadi urusannya.“Katakan saja, jika kau butuh bantuanku. Aku akan segera menerima telponmu.” Adiwangsa mengulurkan tangan kanannya. Bermaksud memberikan sebuah tanda, untuk mempersilahkan Gibran berjalan terlebih dahuluSeraya berjalan, Gibran tersenyum tipis, mendengar apa yang diucapkan Adiwangsa tadi. Adiwangsa berkata seperti itu memiliki arti. Jika Gibran membutuhkan bantuannya saat bertemu dengan Deolinda. Hubungi saja dirinya, Adiwangsa akan segera menerima te
Dengan anggun, Delinda mengangkat cangkir kopinya lalu menengaknya sedikit. Setelah merasakan nikmatnya rasa kopi itu, Deolinda menyimpan kembali cangkirnya ke atas meja. Kemudian menatap Gibran yang berdiam diri di depannya“Kau hanya melihatku minum?” Deolinda menyindir, tingkah laku Gibran yang hanya mematung seperti benda mati. Padahal dia sudah memesan minumannya juga“Kau berurusan dengan wanita itu lagi?” Gibran malah bertanya. Hal itu membuat Deolinda mengerutkan alisnya“Apa maksudmu?”“Dia bekerja di perusahaanku. Jika kau ingin balas dendam, aku bisa melakukannya untukmu. Kau tidak harus mengambil Id Card karyawannya.”Mendengar itu, Deolinda terkekeh pelan. Dia merasa aneh kenapa Gibran mengikut campuri urusannya. Padahal sejak dua tahun yang lalu, laki-laki itu tidak ingin tahu urusannya.“Apa kau sedang menjadi bos yang baik untuknya?”Deolinda bertanya seperti
Binar buru-buru masuk ke dalam rumahnya, setelah menyelesaikan pekerjaannya di toko roti ibunya, tepat pada pukul sepuluh malam.Hal itu mampu membuat Embum bingung, melihat Binar yang kini sedang menggeledah tumpukan majalah yang berada di lemari bawah tv.“Kau mencari apa?” tanya Embun, seraya mengaitkan tas slempangnya pada penggantung pakaianBinar masih sibuk mencari “Aku mencari majalah fasion yang sempat ibu tunjukan padaku tadi.”Embun tahu, majalah yang dicari Binar adalah majalah fasion yang menampilkan biografi dari seorang Deolinda Diatmika, itu membuatnya menjadi berpikir yang tidak-tidak“Kenapa kau mencari itu?”Binar diam, dia tidak menjawab. Karena terlalu fokus mencari majalah itu di antara banyaknya majalah berbagai macamEmbun khawatir, jika Binar memang benar mempunyai urusan dengan Deolinda. Untuk memastikan, Embun gerak cepat menghampiri Binar dan bertanya sekali lagi dengan s
Setumpuk kertas Binar letakan di atas mesin pencetak. Dia sedang mencopy sebuah dokumen. setelah melihat mesinnya sudah mulai bekerja, Binar menghembuskan napasnya. Pagi ini sudah sangat memelahkan, entahlah kenapa mendadak pekerjaannya begitu sangat sulit ia kerjakan.Tiba-tiba saja, diantara teraturnya suara mesin pencetak. Binar menemukan sebuah sesuatu hal yang ada pada ingatannya.Dia teringat, jika semalam dia sempat akan mengunduh foto yang dikirim Fany, akan tetapi gagal karena dia kehabisan data internetnya. Semalam juga dia sudah berencana akan mengunduhnya di kantor, sebab di kantor memiliki akses wifi secara gratis bagi karyawannya.Segera Binar meronggoh ponselnya, dan menyambungkan perangkatnya pada wifi perusahaan. akan tetapi wifi itu tidak dapat terhubung, mungkin karena terlalu banyak perangkat yang tersambung jadi server mengalami sedikit gangguan.Alhasil Binar hanya bisa melenguh.“Kau kenapa?”Lenguhan Binar
Seperti biasanya, dalam rutinitas paginya. Embun akan pergi ke pasar untuk membeli bahan-bahan untuk toko rotinya. Hari ini lumyan, dia mendapati pesanan seratus bungkus roti, tentunya membuat Embun memiliki semangat yang lebih dari hari-hari biasanya.Dengan kedua kaki yang tidak lagi kuat, Embun berjalan dengan membawa beban di kedua tangannya. Saat dia berjalan melewati toko pakiannya Deolinda, langkah kakinya terhenti, apalagi matanya yang seolah terpaku di sana. Detak jantungnya mulai berdetak tidak teratur, saat wanita yang berada dihadapannya melepaskan kacamata hitammnya, kemudian dia tersenyum.Embun, membuang muka seraya mendengus. Dia enggan membalas sapaan manis itu.Juwita, dengen setelan mahal dan tas mewahnya itu melangkah satu langkah ke depan. Dalam tampilan kedua wanita itu sangat memperlihatkan sekali kesenjangan.“Apa kabarmu?” tanya JuwitaEmbun masih tampak tidak suka. Namun dia tidak akan tinggal diam saja “
“Aku sudah menjadwalkan ulang, pertemuan kita bersama beberapa klien, presdir.” Adiwangsa menyerahkan tab hitam kepada Gibran, yang berisi pergantian jadwalnya.Gibran mengangguk, kemudian bangkit dari kursi kebesarannya itu. Dan melepas setelannya, lalu mengantinya yang baru. Dengan jas berwarna hitam, yang diberikan Deolinda untuk ia kenakan dalam acaranya kali ini.“Apa ayah anda tidak mengetahui acara ini, presdir?” tanya Adiwangsa, saat Gibran sedang memakai jasnya.“Kenapa? Apa dia bertanya padamu? Atau kau yang berniat untuk memberitahunya?”Mendengar jawaban itu, Adiwansa menjadi tahu, jika Gibran tidak membicarakan ini kepada keluarganya“Tuan Jackson, pasti senang mendengar kabar ini.”“Ya. Aku pikir tidak perlu memberitahunya, jika ayah akan tahu dengan sendirinya.”“Acara itu, dihadiri banyak media. Itu akan sangat menguntungkan perusahaan. Anda pasti telah
Di dalam ruangan yang tampak mewah dan berkelas, wanita dengan tampilan menawan itu, sedang duduk di meja rias. Menatap pantulan dirinya yang rupawan di depan cermin, kadang Deolinda berpikir, kehidupannya begitu mewah, akan tetapi mengapa dirinya tidak bisa membeli kepuasannya dalam hidupnya sendiri. Sejak dulu, bahkan perihal laki-laki yang berhak untuk pendamping Deolinda, harus ditentukan oleh keluarga. Apakah dirinya terlahir untuk memperluas hubungan perusahaannya? Bukan untuk terlahir sebagai manusia yang penuh akan tanggung jawab? Kini wanita itu, mengalihkan tatapan matanya kepada sang ibu dibelakangnya. Yang kelihatan sedang sibuk dengan tab miliknya. “Ibu, kemari hanya untuk melihat tab,itu?” Deolinda menyindir. Wanita itu memang selalu ahli dalam hal semacam ini Sang ibu menghela napas, kemudian menyimpan tabnya ke atas meja dan mulai memperhatikan putrinya. “Kau cantik dengan dress itu.” Juwita kini memangku, satu majalah fasion yang bera
Mendengar pertanyaan dari wartawan itu, Gibran menarik bibirnya, kemudian berkata dengan tenang“Semua itu hanya rumor. Tolong, kedepannya jangan terlalu percaya dengan berita yang ada. Karena itu semua belum tentu benar.”Bukan hanya wartawan yang bertanya, semua wartawan yang ada mengangguk merasa puas dengan jawaban yang Gibran berikanSetelah mengatakan itu, Gibran menarik tangan Deolinda untuk berjalan menuju ruangan acara. Deolinda diam-diam tersenyum. Merasa lega dengan keadaan.“Kau memberikan jawaban yang sangat memuaskan. Ayahmu dan ayahku pasti akan senang mendengar itu,” bisik DeolindaGibran sedikit mengerinyitkan alisnya. Pasalnya ini adalah kali pertamanya Deolinda mengatakan pujian terhadapnya seperti ini.“Apa kau sedang mengungkapkan kekagumanmu?”Deolinda mendengus “Aku hanya sedang mengapresiasi usahamu. Tolong jangan percaya diri.”Gibran mengangguk, kemudian
Binar melihat pantulan dirinya di depan cermin, dia menghela napasnya pasrah. Raut wajahnya kentara sekali sedang merasa lelah. Saat ini semua karyawan sedang menggunjingnya. Jika sudah seperti ini, siapa yang harus disalahkan?Gibran? Binar yakin, Gibran pun adalah korban dari postingan orang jahat itu. Terdengar ponselnya berdering,pertanda pesan masuk. Lantas Binar pun membukanya. Dan dia semakin menurunkan wajahnya lesu,saat pesan itu memiliki pengirim dari Gibran. Dalam pesan itu, tertulis jika Binar ditunggu di atas rooftop oleh Gibran. Maka dengan gerak cepat, Binar beranjak menuju rooftop. Setelah sampai di atas gedung, Binar sudah bisa melihat Gibran. Laki-laki itu, sedang berdiri di depan pembatas, menghadap depan. Lantas Binar mendekat, ”Anda memanggil saya, di saat situasi seperti ini,tuan?“ Gibran menoleh, rambutnya sedikit tersibak oleh angin. Tatapan matanya dalam menatap Binar
Deolinda menggeram di depan meja riasnya. Tangannya yang menggenggam sebuah benda pipih yang disebut ponsel itu mengerat.Dia seketika bercermin, melihat pantulan dirinya di sana. Dan, Deolinda tersadar jika dirinya terlihat lebih cantik dibanding Binar. Tapi kenapa, Gibran lebih memilih gadis biasa itu?Sementara disudut ruangannya yang lain. Tepat di ruang kebesaran Argan Diatmika. Pria itu melihat sebuah postingan foto Gibran dan seorang gadis, yang dia tidak kenal itu di sebuah kedai.Kepalanya mendidih marah. Mengetahui Gibran bertemu dengan seorang gadis saat posisinya sudah resmi menjadi tunangan dari putrinya.“Ini yang kalian balas terhadap keluargaku?!“ katanya sendiri.Saat rasa amarahnya memuncak, pandangan Argan terhenti. Pada sebuah foto itu. Tepat pada kedai yang Gibran singgahi itu. Kedua alis Argan mengerinyit“Ini, bukannya di kedai milik Embun?“Dan, matany
Dengan langkah tergesa, Gibran masuk ke dalam rumahnya. Rupanya jalan-jalan malam tidak membuahkan hasil apapun. Malah membuatnya semakin dibuat suntuk. Apalagi, setelah bertemu dengan Binar tadi. Perkataan gadis itu yang membuat perasaannya suntuk seperti ini. Binar benar-benar telah mendepaknya jauh sekarang. Dan, hal itu sungguh membuat Gibran merasa prustasi. Saat langkahnya sampai pada ruangan makan. Di sana, sedang ada ibu,ayah,dan adiknya. Menatapnya secara kompak. “Kau tidak makan, Gibran?“ tanya Asmita kepada putranya itu Gibran menggeleng, “Apa ini semua rencana kalian?“ Gibran bertanya dengan pandangan yang bergantian menatap ibu dan ayahnya. Mereka diam, saling tatap. Dan, Gibran tahu. Itu adalah jawaban iya. Maka dari itu, Gibran mendengus Sementara Zeline, dia terlihat kebingungan. Dia sepenuhnya tidak mengerti masalah yang terjadi antara orang dewasa itu. Maka Zeline memilih diam, da
Jadwal untuk Binar mengajar Zeline, yang tidak lain dan tidak bukan merupakan adik dari Gibran.Itu sudah berada ditangan Binar. Jadwalnya cukup menguras tenanga, sebab Zeline meminta Binar untuk mengajarinya setiap malam dalam waktu hanya dua jam.Itu artinya, waktu Binar mengajari Zeline setelah dia pulang bekerja.Malam ini adalah, malam pertama untuk Binar maupun Zeline berhadapan. Binar sungguh dibuat takjub, dengan bagunan rumah ini. Sudah nyaris seperti istana“Aku harus memanggilmu dengan sebutan apa?” Zeline, gadis cantik itu bersuara“Ahh—senyamanmu saja, aku tidak masalah.”Wajah Zeline berubah senang “Baiklah, aku akan memanggilmu kakak saja bagaimana? Kau keliatan masih muda.”“Boleh,” Binar agak tersenyum canggung “Mana mungkin, umurku sudah menginjak angka dua lima.”“Sungguh?”Binar mengangguk, lalu setelahnya dia mulai menelisi
Deolinda memang sempat menolak bertunangan dengan Gibran. Dan menjalani hubungan itu dengan rasa keterpaksaan.Tapi, setiap hati manusia bisa berubah kapan saja. Dan Deolinda sudah merasakan itu, jika dirinya tidak akan lagi bermain-main bersama GibranAkan tetapi, Gibran menolaknya secara terang-terangan. Itu karena seorang gadis bernama Binar Anatari. Deolinda benar-benar kesal.Dan, semesta memang terlalu baik. Saat ini, tepat di lobby utama Deolinda bertemu dengan Binar. Sebelumnya Deolinda mendengus dan tertawa remeh“Kau masih ingat padaku?” katanya sarkastikBinar sudah dalam raut wajah yang malas menghadapi wanita angkuh itu “Untuk apa aku mengingatmu.”Deolinda terkekeh, tatapan matanya namun menajam. Lalu berjalan mendekati BinarDan betapa terkejutnya Binar, saat wanita itu mendorong pundaknya, dengan kesan angkuhBinar hanya mendesah pelan dalam hati dia ingin mencakar wajah it
“Dalam sebuah media, anda adalah orang yang menjuarai olimpiade matematika nasional dulu?” tanya seorang laki-laki dengan setelan jas hitamBinar mengangguk. Dalam hatinya mencelos takut, sebab tidak ada angin tidak ada hujan dirinya di datangi oleh orang-orang seperti ini“Anda tahu keluarga Fransisco?”Binar mengangguk lagi. ya, mereka adalah pemilik perusahaan tempatnya bekerja“Nona Zeline Alieen Fransisco, putra kedua dari Jackson Fransisco, sedang membutuhkan pengajar pribadi untuk mata pelajaran matematika. Dan Anda memiliki pengalaman yang bagus untuk itu. Apakah anda ingin menerima tawaran kami?”Binar, nyaris tersedak ludahnya sendiri. Tawaran macam apa ini? Sungguh dia semalam tidak bermimpi apapun. Tapi bukankah itu tawaran yang sangat bagus?“Kami akan membayar anda.” Lalu laki-laki berjas hitam itu mengeluarkan sebuah kertas “Keluarga tuan Jackson membayar anda seperti yang
Jackson benar-benar sangat marah kepada Gibran. Putranya itu telah melakukan kesalahan besar, kepada keluarga Diatmika.Gibran tidak mengantar Deolinda pulang ke rumah, demi untuk bertemu seorang gadis lain. Di mana letak harga diri keluarganya?“Apa Gibran selalu bertindak sendiri seperti ini?” Jackson bertanya kepada Adiwangsa“Ya tuan, saya sendiri tidak mengetahui, jika Tuan Gibran akan bertemu dengan wanita lain seperti ini?”“Siapa wanita itu?”Adiwangsa, melihat foto itu. Dan dia sedikit mengingat dengan wajah wanita yang berada di foto berhadapan dengan Gibran.Ya, itu adalah wanita yang sempat bertemu dengan Gibran, di lobby perusahaan.“Saya tidak mengetahui dengan jelas siapa wanita itu. Yang saya tahu, dia juga berkerja di Moon Light.”“Aku minta. Kau terus awasi wanita itu. Jika sampai dia melebihi batas, beri tahu aku.”Adiwangsa menganggu
Sungguh kalimat Gibran mampu membuat Binar terdiam cukup lama. Dalam keterdiaman itu, selamanya Gibran tidak akan pernah tahu jika hatinya telah jatuh dengan menjijikan. Hanya karena sebuah kata yang keluar dari mulut laki-laki ituSampai, Mobil milik Gibran terparkir di depan rumah Binar. Sejak saat itu, Binar tidak pernah membuka mulutnya untuk berbicara.“Terima kasih, telah mengantarku pulang.” Segera Binar membuka pintu, dan meranjakan dirinya keluarSebelum Binar masuk ke dalam rumahnya, Gibran menurunkan kaca mobilnya “Ingat. Aku masih akan menagih hutangmu.”Tolong, katakan sekali lagi kepada laki-laki itu. Binar benar-benar kehilangan cara bagaimana untuk mengatakan jika dirinya tidak ingin melakukan hal itu.“Aku tidak akan pulang. Sebelum kau menganggukan kepalamu.”Apa? Binar semakin dibuat terkejut. Laki-laki di depannya ini benar-benar, membuatnya prustasi“Iya, tuan.” Pada
Mobil mewah berwarna hitam, masuk ke dalam kawasan rumah yang luas dan mewah milik keluarga terpandang yaitu Diatmika.Seorang wanita yang tampak anggun dengan gaunnya, keluar dari mobil mewah itu, dengan pintu yang dibukakan oleh supirnya. Di luar sudah ada asisten pribadinya yang menunggu. Sang nyonya langsung memberikan tas seharga mobil itu kepadanya.Deolinda sendiri, berharap jika ibu maupun ayahnya sedang tidak ada di rumah. Deolinda tidak mau kedatangannya tanpa Gibran ke rumah di ketahui oleh kedua orang tuanya.Pikirkan saja. Mana ada tunangan yang tidak mengantar kekasihnya pulang ketika sudah pergi bersama. Hal itu pasti akan membuat Gibran terlihat jelek di keluarganya. Dan Deolinda enggan itu terjadi“Ibu dengar, supir pribadimu yang menjemput.” Suara bariton lembut namun tegas itu, mengudara. Saat dirinya dan asisten pribadinya menginjak ruangan keluarga. Ternyata Juwita sedang dipijat dengan majalah fasion yang dibacanya