"Saya ingin mengundurkan diri, Pak."Dua bola Maya Khalid membelalak."Kenapa berhenti, kamu tersinggung soal kemarin?""Nggak Pak, sama sekali bukan sebab kemarin. Ini masalah suami Pak. Suami saya berencana membangun usaha, tapi jika saya juga bekerja, maka anak kami tidak ada tempat untuk saya titipkan."Khalid berpikir sejenak, tapi dia tak mungkin mengubah peraturan untuk memperbolehkan guru membawa anak ke sekolah. Tentu jika ia mengijinkan Arini, akan banyak tenaga pengajar lain yang berlaku demikian.Khalid menarik napas."Oke, jika itu yang kamu inginkan. Silahkan. Tapi tidak ada pesangon karena kamu hanya bekerja dua hari.""Tidak apa, Pak. Terima kasih untuk kesempatan terbaik ini. Permisi Pak."Arini membalikkan badan. Lalu dengan cepat dia kembali ke rumah. Sementara masih di ruangannya, Khalid tampak menghubungi seseorang.[Hallo, Din][Hallo, Mas Khalid.][Arini mengundurkan dirinya, Din][Mengundurkan diri? Kenapa, Mas?][Dia bilang suaminya mau membuka usaha.][Usaha
"Mas Khalif?"Lelaki di hadapan Arini menyunggingkan selarik senyuman."Bisa kita bicara?"Arini menghela napas, lalu memberi kesempatan untuk lelaki itu berbicara dengannya.*"Jadi sudah lima belas hari koma?"Khalif bertanya tak percaya."Iya, Mas.""Saya memang tak tahu banyak tentang dunia kedokteran, tapi saya yakin Abi pasti akan segera bangun."Arini menyambut perkataan itu dengan senyuman."Mas tahu darimana jika Mas Abi masuk rumah sakit?""Adinda yang ngabari.""Dinda?""Iya benar. Oya, mumpung sudah di sini, boleh nggak ketemu Naina?"Arini terdiam sejenak, sebenarnya ia ingin memperjelas dari mana Dinda bisa tahu jika Abi masuk rumah sakit, tapi ajakan Khalif untuk menemui Naina membuat keinginan itu sedikit teredam.Mereka kembali melanjutkan perjalanan menuju sekolah Naina. Masih ada lima belas menit lagi sebelum pulang, Khalif mengajak Arini duduk menikmati ketoprak yang ada di depan pekarangan sekolah."Mbak Dinda kok bisa tahu ya jika Mas Abi dirawat?"Akhirnya ada j
Raden Ayu tengah sibuk mengawasi setiap guru yang mengajar di Yayasan yang ia pimpin. Dua hari kemarin, salah satu guru yang ia percayai untuk menggantikan posisi Arini menjadi ketua pelaksana wisuda tahun ini ditemukan melarikan diri, dengan membawa sejumlah uang yang sudah dikumpulkan oleh wali murid ke rekening milik pribadinya.Entah kenapa ia sebegitu percaya pada wanita itu seperti dahulu mempercayai Arini. Padahal jelas, tidak ada Arini kedua yang ia kenal di dunia ini.Raden Ayu menarik napas berat, ternyata mencari orang yang bisa dipercaya bukanlah hal mudah. Bertahun-tahun Arini bekerja padanya, mulai dari mengelola keuangan Yayasan bahkan tak jarang Ayu kadang meminta wanita itu membuat rincian pengeluaran bulanan rumah tangganya. Tak sekalipun ia menemukan Arini berbuat curang.Semestinya ia tidak membenci Arini, bukankah pertemuannya dengan Abi juga terjadi tanpa ketersengajaan?Semua itu murni skenario Allah.Tapi, kenapa ia justru membenci keduanya?Dan yang paling men
"Maafkan saya Mbak, saya butuh uang."Anya semakin tak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi. "Lalu apa hubungannya sama Dinda?"Gio terdiam sejenak, berbagai perasaan campur aduk menerpa jiwanya. Ingin memilih jujur, lalu bagaimana jika Dinda marah setelah nanti tahu."Katakan Gio, apa hubungan Dinda dengan surat itu?"Sesaat suasana benar-benar hening. Tapi detik berikutnya,"Mbak Adinda meminta saya untuk menulis surat itu lalu menyerahkannya sama Mbak Anya, sebab beliau ingin kalian saling salah paham satu sama lain.""Tapi kenapa?"Gio menggigit bibir penuh khawatir, dia mulai merasa tersudut atas kekujurannya itu."Em ... Karena, karena Mbak Dinda tidak terima dengan keputusan Mas Abi yang sudah memutuskan pertunangan mereka dengan sepihak."Anya menarik napas berat."Selain surat itu, apalagi yang sudah kamu lakukan?""Tapi tolong Mbak, jangan ceritakan apapun pada Mbak Dinda. Saya takut dia akan menuntut saya apalagi setelah saya menerima semua uang yang dia serahkan."
"Mama? Mbak Anya?"Tatapan mereka bertemu tanpa kata.Arini begitu terhenyak dengan apa yang kini ia saksikan. Bukankah tadi pagi bahkan dia sempat menelpon kakak ipar tersebut. Dimana tanggapan buruk diberikan sang kakak ipar untuknya. Tapi sekarang?Antara bahagia dan takut. Mungkinkah kedatangan mereka justru membawa maksud tak baik? Akankah ibu mertua memintanya malam ini juga untuk mengangkat kaki dari ruangan itu?Sejenak hati dipenuhi oleh sekian banyak pertanyaan, hingga akhirnya perkataan yang keluar dari bibir Anya, meluruhlah semua praduga buruk akan ibu mertua dan kakak ipar."Kamu datang dengan maksud baik, Arini. Apa kamu mengijinkan kami masuk?"Dua bola mata Arini basah, ia begitu bahagia sekaligus terharu dengan maksud kedatangan ibu mertua dan kakak iparnya. Wanita itu mencoba melangkah lebih dekat. Lalu seketika ia memeluk tubuh sang mama. Pelukan Pertama seorang menantu pada ibu mertua. Arini merindukan hal ini semenjak tujuh tahun yang lalu.Terlihat begitu terla
"Kamu mau 'kan Nak memaafkan Nenek?"Naina yang bersembunyi di balik tubuh Fatimah perlahan menarik tubuhnya keluar. Tanpa dipinta, ia seketika memeluk tubuh Neneknya."Nenek ...," ucapnya yang menbuat sang nenek merasa begitu terharu.Anya ikut mendekat, ia memegang ibundanya agar tetap seimbang dalam berdiri."Masya Allah, cucu shalihah Nenek, Mama dan Papamu pasti sangat bangga punya anak secantik dan seshalihah ini."Sang nenek mengecup kedua pipi Naina. Lalu beliau mengajak cucunya itu untuk berjalan mendekati ranjang Abi. Dua mata bocah itu tertuju pada ayah yang sudah siap dengan senyuman tģerindahnya."Papa ...."Naina berlari memeluk papanya. Abi pun membalas pelukan sang anak dengan begitu erat, tak hanya itu. Berkali-kali lelaki tersebut mengecup pucuk kepala Naina. Berhari-hari berada di alam bawah sadar, ketika membuka mata. Rindu pada orang terkasih terasa begitu berat."Papa kangen banget sama Naina.""Naina juga kangen sama Papa. Jangan sakit lagi ya, Pa. Naina takut."
Dinda menenggelamkan diri dalam rangkulan sang kakak. Air mata tak henti membanjiri wajah. Raden Ayu sampai tak tahu harus berbuat apa. Sama seperti Adinda, hatinya pun sakit.Ia mengusap kepala sang adik dengan penuh kelembutan. Mencoba menenangkan Dinda yang tampak begitu terpukul atas kejadian yang menimpanya tersebut.Sedang di hadapan mereka, Raden Mas Arya tampak berapi-api."Dimana rumahnya? Berapa nomor handphonenya? Mas akan kasih pelajaran bedebah itu, biar dia sadar akan apa yang sudah dia lakukan sama kamu!""Sudah Mas, kita jangan gegabah. Kita harus bisa menyikapi masalah ini dengan tenang.""Mas tidak bisa tenang, sebelum dia bertanggung jawab atas perbuatannya, Ma. Jika dia berusaha melarikan diri, meja hijau yang akan membuatnya sadar.""Tenang dulu, Mas. Biarkan Dinda yang bicara langsung sama Aryan."Dinda menatap sang kakak dengan tatapan perih."Mas Aryan udah menghubungi Dinda, Mbak.""Lalu apa katanya?"Arya dengan segera memotong pembicaraan Dinda."Mas Aryan a
Acara telah usai, Arini kembali ke kamar setelah sekian lama menyambut tamu hingga kakinya terasa pegal. Wanita itu memilih merebahkan diri di atas ranjang. Sepertinya bayi kecil yang berada di dalam rahimnya tidak suka jika dia terlalu lama berdiri. Semenjak tadi siang sampai detik ini, sang bayi tidak berhenti menendang. Jika sudah begini, tak ada lain obatnya selain jemari sang papa yang bertugas mengusap-usap perut.Arini menghela napas, ingin menyuruh ART untuk memanggil Abi. Tapi rasa segan menuntunnya untuk menunda keinginan itu. Sekitar lima belas menit berlalu, Arini sudah bangkit, duduk, tidur, tapi rahimnya masih tak tenang. Sang bayi masih tak mau berhenti berputar dan menendang. Tiba-tiba terdengar pintu terbuka. Wajah Arini seketika berbinar. Dalam bayangan pasti itu Abi. Tapi ternyata ..."Ma ...."Arini menarik napas berat, ternyata Naina?"Masuk Sayang, ada apa?"Naina melangkah menuju ranjang tempat sang ibu duduk. Lalu dia naik menyeimbangkan duduk dengan sang i
Tiga bulan kemudian ...Arini tersentak dari tidur, dia merasa ranjang tempat ia berbaring sudah basah oleh cairan. Arini segera bangkit untuk mengecek. Ia berdiri, namun sesuatu seperti meletus dari jalan lahir wanita itu.Astaghfirullah, Arini begitu ketakutan saat tahu jika yang keluar tersebut adalah air ketuban. Dengan bersegera ia membangunkan sang suami."Mas bangun, Mas."Abi yang baru saja tertidur sekitar dua jam karena baru pulang dari klinik terlihat berat membuka mata."Ada apa, Sayang?"Abi masih berbicara dengan tenang. Tapi tidak dengan Arini."Mas, pecah ketuban?"Mendengar ucapan sang istri, Abi tersentak hebat, ia bangkit hingga ke posisi duduk."Mana coba Mas lihat?"Arini menunjuk lantai yang sudah basah oleh cairan ketubannya."Astaghfirullah, kita ke rumah sakit sekarang? Kamu duduk dulu, jangan banyak bergerak. Biar Mas beresin baju-baju sama perlengkapan bayi."Abi membantu Arini duduk, dia segera mengganti pakaian dan setelah itu memilihkan pakaian ganti untu
Acara telah usai, Arini kembali ke kamar setelah sekian lama menyambut tamu hingga kakinya terasa pegal. Wanita itu memilih merebahkan diri di atas ranjang. Sepertinya bayi kecil yang berada di dalam rahimnya tidak suka jika dia terlalu lama berdiri. Semenjak tadi siang sampai detik ini, sang bayi tidak berhenti menendang. Jika sudah begini, tak ada lain obatnya selain jemari sang papa yang bertugas mengusap-usap perut.Arini menghela napas, ingin menyuruh ART untuk memanggil Abi. Tapi rasa segan menuntunnya untuk menunda keinginan itu. Sekitar lima belas menit berlalu, Arini sudah bangkit, duduk, tidur, tapi rahimnya masih tak tenang. Sang bayi masih tak mau berhenti berputar dan menendang. Tiba-tiba terdengar pintu terbuka. Wajah Arini seketika berbinar. Dalam bayangan pasti itu Abi. Tapi ternyata ..."Ma ...."Arini menarik napas berat, ternyata Naina?"Masuk Sayang, ada apa?"Naina melangkah menuju ranjang tempat sang ibu duduk. Lalu dia naik menyeimbangkan duduk dengan sang i
Dinda menenggelamkan diri dalam rangkulan sang kakak. Air mata tak henti membanjiri wajah. Raden Ayu sampai tak tahu harus berbuat apa. Sama seperti Adinda, hatinya pun sakit.Ia mengusap kepala sang adik dengan penuh kelembutan. Mencoba menenangkan Dinda yang tampak begitu terpukul atas kejadian yang menimpanya tersebut.Sedang di hadapan mereka, Raden Mas Arya tampak berapi-api."Dimana rumahnya? Berapa nomor handphonenya? Mas akan kasih pelajaran bedebah itu, biar dia sadar akan apa yang sudah dia lakukan sama kamu!""Sudah Mas, kita jangan gegabah. Kita harus bisa menyikapi masalah ini dengan tenang.""Mas tidak bisa tenang, sebelum dia bertanggung jawab atas perbuatannya, Ma. Jika dia berusaha melarikan diri, meja hijau yang akan membuatnya sadar.""Tenang dulu, Mas. Biarkan Dinda yang bicara langsung sama Aryan."Dinda menatap sang kakak dengan tatapan perih."Mas Aryan udah menghubungi Dinda, Mbak.""Lalu apa katanya?"Arya dengan segera memotong pembicaraan Dinda."Mas Aryan a
"Kamu mau 'kan Nak memaafkan Nenek?"Naina yang bersembunyi di balik tubuh Fatimah perlahan menarik tubuhnya keluar. Tanpa dipinta, ia seketika memeluk tubuh Neneknya."Nenek ...," ucapnya yang menbuat sang nenek merasa begitu terharu.Anya ikut mendekat, ia memegang ibundanya agar tetap seimbang dalam berdiri."Masya Allah, cucu shalihah Nenek, Mama dan Papamu pasti sangat bangga punya anak secantik dan seshalihah ini."Sang nenek mengecup kedua pipi Naina. Lalu beliau mengajak cucunya itu untuk berjalan mendekati ranjang Abi. Dua mata bocah itu tertuju pada ayah yang sudah siap dengan senyuman tģerindahnya."Papa ...."Naina berlari memeluk papanya. Abi pun membalas pelukan sang anak dengan begitu erat, tak hanya itu. Berkali-kali lelaki tersebut mengecup pucuk kepala Naina. Berhari-hari berada di alam bawah sadar, ketika membuka mata. Rindu pada orang terkasih terasa begitu berat."Papa kangen banget sama Naina.""Naina juga kangen sama Papa. Jangan sakit lagi ya, Pa. Naina takut."
"Mama? Mbak Anya?"Tatapan mereka bertemu tanpa kata.Arini begitu terhenyak dengan apa yang kini ia saksikan. Bukankah tadi pagi bahkan dia sempat menelpon kakak ipar tersebut. Dimana tanggapan buruk diberikan sang kakak ipar untuknya. Tapi sekarang?Antara bahagia dan takut. Mungkinkah kedatangan mereka justru membawa maksud tak baik? Akankah ibu mertua memintanya malam ini juga untuk mengangkat kaki dari ruangan itu?Sejenak hati dipenuhi oleh sekian banyak pertanyaan, hingga akhirnya perkataan yang keluar dari bibir Anya, meluruhlah semua praduga buruk akan ibu mertua dan kakak ipar."Kamu datang dengan maksud baik, Arini. Apa kamu mengijinkan kami masuk?"Dua bola mata Arini basah, ia begitu bahagia sekaligus terharu dengan maksud kedatangan ibu mertua dan kakak iparnya. Wanita itu mencoba melangkah lebih dekat. Lalu seketika ia memeluk tubuh sang mama. Pelukan Pertama seorang menantu pada ibu mertua. Arini merindukan hal ini semenjak tujuh tahun yang lalu.Terlihat begitu terla
"Maafkan saya Mbak, saya butuh uang."Anya semakin tak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi. "Lalu apa hubungannya sama Dinda?"Gio terdiam sejenak, berbagai perasaan campur aduk menerpa jiwanya. Ingin memilih jujur, lalu bagaimana jika Dinda marah setelah nanti tahu."Katakan Gio, apa hubungan Dinda dengan surat itu?"Sesaat suasana benar-benar hening. Tapi detik berikutnya,"Mbak Adinda meminta saya untuk menulis surat itu lalu menyerahkannya sama Mbak Anya, sebab beliau ingin kalian saling salah paham satu sama lain.""Tapi kenapa?"Gio menggigit bibir penuh khawatir, dia mulai merasa tersudut atas kekujurannya itu."Em ... Karena, karena Mbak Dinda tidak terima dengan keputusan Mas Abi yang sudah memutuskan pertunangan mereka dengan sepihak."Anya menarik napas berat."Selain surat itu, apalagi yang sudah kamu lakukan?""Tapi tolong Mbak, jangan ceritakan apapun pada Mbak Dinda. Saya takut dia akan menuntut saya apalagi setelah saya menerima semua uang yang dia serahkan."
Raden Ayu tengah sibuk mengawasi setiap guru yang mengajar di Yayasan yang ia pimpin. Dua hari kemarin, salah satu guru yang ia percayai untuk menggantikan posisi Arini menjadi ketua pelaksana wisuda tahun ini ditemukan melarikan diri, dengan membawa sejumlah uang yang sudah dikumpulkan oleh wali murid ke rekening milik pribadinya.Entah kenapa ia sebegitu percaya pada wanita itu seperti dahulu mempercayai Arini. Padahal jelas, tidak ada Arini kedua yang ia kenal di dunia ini.Raden Ayu menarik napas berat, ternyata mencari orang yang bisa dipercaya bukanlah hal mudah. Bertahun-tahun Arini bekerja padanya, mulai dari mengelola keuangan Yayasan bahkan tak jarang Ayu kadang meminta wanita itu membuat rincian pengeluaran bulanan rumah tangganya. Tak sekalipun ia menemukan Arini berbuat curang.Semestinya ia tidak membenci Arini, bukankah pertemuannya dengan Abi juga terjadi tanpa ketersengajaan?Semua itu murni skenario Allah.Tapi, kenapa ia justru membenci keduanya?Dan yang paling men
"Mas Khalif?"Lelaki di hadapan Arini menyunggingkan selarik senyuman."Bisa kita bicara?"Arini menghela napas, lalu memberi kesempatan untuk lelaki itu berbicara dengannya.*"Jadi sudah lima belas hari koma?"Khalif bertanya tak percaya."Iya, Mas.""Saya memang tak tahu banyak tentang dunia kedokteran, tapi saya yakin Abi pasti akan segera bangun."Arini menyambut perkataan itu dengan senyuman."Mas tahu darimana jika Mas Abi masuk rumah sakit?""Adinda yang ngabari.""Dinda?""Iya benar. Oya, mumpung sudah di sini, boleh nggak ketemu Naina?"Arini terdiam sejenak, sebenarnya ia ingin memperjelas dari mana Dinda bisa tahu jika Abi masuk rumah sakit, tapi ajakan Khalif untuk menemui Naina membuat keinginan itu sedikit teredam.Mereka kembali melanjutkan perjalanan menuju sekolah Naina. Masih ada lima belas menit lagi sebelum pulang, Khalif mengajak Arini duduk menikmati ketoprak yang ada di depan pekarangan sekolah."Mbak Dinda kok bisa tahu ya jika Mas Abi dirawat?"Akhirnya ada j
"Saya ingin mengundurkan diri, Pak."Dua bola Maya Khalid membelalak."Kenapa berhenti, kamu tersinggung soal kemarin?""Nggak Pak, sama sekali bukan sebab kemarin. Ini masalah suami Pak. Suami saya berencana membangun usaha, tapi jika saya juga bekerja, maka anak kami tidak ada tempat untuk saya titipkan."Khalid berpikir sejenak, tapi dia tak mungkin mengubah peraturan untuk memperbolehkan guru membawa anak ke sekolah. Tentu jika ia mengijinkan Arini, akan banyak tenaga pengajar lain yang berlaku demikian.Khalid menarik napas."Oke, jika itu yang kamu inginkan. Silahkan. Tapi tidak ada pesangon karena kamu hanya bekerja dua hari.""Tidak apa, Pak. Terima kasih untuk kesempatan terbaik ini. Permisi Pak."Arini membalikkan badan. Lalu dengan cepat dia kembali ke rumah. Sementara masih di ruangannya, Khalid tampak menghubungi seseorang.[Hallo, Din][Hallo, Mas Khalid.][Arini mengundurkan dirinya, Din][Mengundurkan diri? Kenapa, Mas?][Dia bilang suaminya mau membuka usaha.][Usaha