Saat ini, Dianti yang diabaikan di luar Paviliun Persik tiba-tiba saja membelalakkan mata, dipenuhi ketidakpercayaan.Di sampingnya, seorang pelayan wanita berbisik, "Nona, kenapa Tuan Abimana seperti orang gila? Apa terjadi sesuatu?"Dahi Dianti sedikit berkerut, dia sendiri pun tidak tahu. Namun, kegilaan mendadak Abimana ini justru memberinya sebuah kesempatan.Kesempatan untuk berpura-pura menyedihkan di hadapan Kirana dan mendapatkan kembali rasa sayang darinya!Dianti tahu, meskipun Kresna dan Kirana telah menyelamatkan hidupnya, kasih sayang mereka tak lagi seperti dulu.Mungkin hari ini, dengan memanfaatkan kesempatan ini, dia bisa merebut kembali perhatian dan kasih sayang mereka.Dengan pikiran seperti itu, Dianti pun segera mencari Kirana. Namun, dia diberi tahu bahwa Kirana sedang menerima tamu di ruang depan.Untuk menunjukkan betapa menyedihkannya dirinya, saat tiba di ruang depan, Dianti sengaja tidak melihat ke arah tamu yang hadir.Dengan pipi berlinang air mata, dia l
Orang-orang di Negara Darsa percaya bahwa anak adalah anugerah dari langit. Para dewi di langit memilih keluarga mana yang layak, lalu mengirimkan anak-anak satu per satu ke dunia.Ada beberapa anak yang nakal, enggan turun ke dunia. Jika para dewi marah, mereka akan mencubit anak itu. Tanda lahir kecil sudah pasti karena dicolek para dewi. Kalau sedikit lebih besar, itu pasti karena dicubit.Jika lebih besar lagi, itu tandanya si anak terlalu nakal sampai para dewi tak tahan lagi dan langsung menendangnya turun ke dunia.Hati Kirana terasa sangat sakit saat mendengarnya. Dulu saat melihat pengasuh mengganti popok untuk Andini, dia juga sempat berkata bahwa Andini pasti sangat nakal sampai-sampai dicubit oleh dewi. Karena di pinggang Andini memang ada tanda lahir.Begitu mengingat ini, tatapan Kirana perlahan beralih ke arah Dianti. "Apa kamu punya tanda lahir?"Dianti panik. Dia terus-menerus menggeleng. "Ibu, jangan dengarkan omong kosong perempuan ini ...."Sebelum dia sempat menyel
Tidak boleh dipikirkan lagi, jangan dipikirkan lagi .... Kirana hampir tak mampu menahan diri!Tepat saat itu, beberapa pelayan yang sebelumnya membawa Dianti pergi akhirnya kembali bersama Dianti."Lapor, Nyonya, kami sudah memeriksa. Nggak ada tanda lahir di pinggang Nona Dianti," ujar salah satu pelayan.Mendengar itu, Utari segera berkata, "Dia memang bukan anak kandung, tentu saja nggak punya tanda lahir!"Dianti pun langsung menangis dan berteriak, "Ibu! Bukan begitu! Jangan dengarkan omong kosong perempuan jahat ini!"Bagi Kirana, ini seperti palu besar yang menghantam langsung ke kepalanya. Dunia terasa berputar.Sebenarnya, dia pernah curiga pada Dianti. Namun, orang-orang yang dia kirim untuk menyelidiki, tidak membawa pulang satu pun petunjuk.Pernah suatu waktu, dia bahkan sempat berpikir bahwa Dianti dan Andini adalah anak kembar, bahwa salah satu dari mereka telah dicuri oleh bidan saat persalinan.Karena itu, Kirana menyayangi keduanya. Dia tak sanggup kehilangan salah s
"Apa katamu?" Kresna tercengang dan sontak berdiri dari kursinya. Kirana juga membelalakkan mata, menatap Abimana dengan ekspresi tidak percaya.Dianti pun sangat terkejut. Dia tiba-tiba mengerti kenapa Abimana bersikap begitu aneh tadi. Ternyata karena hal ini? Karena Andini telah meninggal?Namun, saat ini Dianti sama sekali tidak merasa bahagia. Yang ada hanya kepanikan.Andini sudah mati. Lalu, bagaimana dia bisa membersihkan diri dari pengakuan Utari? Kepada siapa lagi dia bisa melemparkan kesalahan? Apa yang harus dia lakukan? Kepanikan luar biasa melanda Dianti.Tanpa disangka, Abimana tiba-tiba menerjang ke arahnya, menarik kerah bajunya dan membentak, "Siapa kamu sebenarnya? Jawab!"Dianti ketakutan setengah mati. Dia belum pernah melihat Abimana segalak ini. Air matanya terus mengalir deras, tetapi dia tetap bersikeras. "Kak ... jangan begitu padaku. Aku adikmu! Aku adik kandungmu!""Bidan sendiri yang bilang! Aku ditukar waktu lahir! Dia sendiri yang mengaku! Lihat wajahku!
"Baik!" Para pelayan buru-buru mengiakan dan segera menyeret Dianti keluar dari aula.Dianti masih terus memohon, "Ayah! Aku benar-benar anak kandung Ayah! Ayah jangan percaya kata-kata mereka!"Namun, Kresna bahkan tidak meliriknya lagi, seolah-olah tak sudi memberinya satu pandangan pun.....Setengah bulan kemudian, Andini perlahan membuka matanya. Yang pertama kali dia lihat adalah balok-balok kayu tua di langit-langit. Dia ... di mana?Kenangan perlahan-lahan membanjiri benaknya. Saat teringat dirinya jatuh ke Sungai Mentari, jantung Andini langsung berdebar kencang karena takut.Dia awalnya mengira, air sungai itu tenang dan arusnya tidak terlalu deras. Meskipun jatuh, dia seharusnya masih bisa berenang dan naik ke permukaan. Tak disangka, arus bawah sungai begitu kuat.Tubuhnya langsung terseret ke dasar sungai. Dia beberapa kali mencoba berenang naik, tetapi kekuatan air begitu besar hingga membuat dirinya seperti daun yang terombang-ambing tak berdaya. Kesadarannya pun lenyap.
Arjuna tidak pernah menyangka, benda kecil yang dia ukir bertahun-tahun, kini muncul kembali di hadapannya.Liontin keselamatan itu seolah-olah adalah kunci yang membuka kembali ingatan yang telah lama dia kubur dalam-dalam.Darah, perang, dan mayat berserakan .... Semua kenangan itu kembali membanjiri pikirannya, membuat hatinya bergetar hebat."Terima kasih, Kak Arjuna." Suara lembut terdengar, menyadarkan Arjuna dari lamunannya.Dia mengalihkan pandangan dari liontin itu, menatap Andini sejenak, lalu mengangguk pelan sebelum berbalik pergi. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.Namun, wanita itu tampaknya sudah sangat terbiasa dengan sikapnya. Dia tersenyum ramah pada Andini. "Jangan takut. Dia memang begitu orangnya, nggak suka bicara. Tapi, hatinya baik sekali. Dulu waktu ada serangan serigala di hutan, dia yang menyelamatkan satu desa ini!"Saat berbicara, wanita itu hendak menceritakan semua yang terjadi di masa lalu. Namun, pikiran Andini masih dipenuhi oleh hal lain. Dia
Telapak tangan yang kasar itu dipenuhi dengan kapalan tebal. Namun, kehangatan yang mengalir dari sana tetap bisa menembus lapisan hati Andini sedikit demi sedikit."Anak baik, kamu pasti sangat menderita." Terdengar helaan napas yang lembut. Tanpa disadari, air mata pun jatuh dari sudut mata Endah.Siapa yang bisa menyalahkannya? Luka-luka di tubuh Andini benar-benar terlalu menyakitkan untuk dilihat.Arjuna bilang, pakaian yang Andini kenakan saat itu tampak seperti milik pelayan dari keluarga bangsawan. Kalau benar begitu, keluarga bangsawan itu sungguh tak tahu diri. Apa nyawa seorang pelayan tak ada artinya?Kalau orang tua gadis ini melihatnya, mereka pasti akan sangat hancur hatinya. Endah tidak tega mengungkapkan hal itu, takut akan membuka luka lama dalam hati Andini.Namun, melihat air mata Endah, mata Andini pun ikut memerah. "Jangan begini, Bibi Endah. Aku sudah aman sekarang."Kini, dia sudah jauh dari ibu kota, jauh dari orang-orang itu. Semua telah berlalu. Mereka pasti
Bagaimana bisa pecah sampai seperti ini?Mata Andini langsung berkaca-kaca. Gelang itu adalah lambang pengakuan Keluarga Muhadir padanya, juga bukti hubungan dirinya dengan Byakta.Selama ini, Andini selalu menjaganya dengan hati-hati, tidak pernah menyangka akhirnya akan hancur seperti ini.Rasa perih itu menyebar di dadanya. Andini menunduk, tidak ingin Arjuna melihat air matanya. Akhirnya, dia hanya berkata dengan suara rendah, "Terima kasih, Kak Arjuna."Setelah itu, dia berbalik dan bersandar pada dinding, melompat kembali ke dalam kamar dengan perlahan.Namun, Arjuna tetap melihatnya, setetes air mata yang jatuh tepat di atas pecahan gelang giok itu.....Pada saat yang sama, di ibu kota yang berjarak lebih dari 150 kilometer.Berita tentang ditemukannya Andini sampai ke telinga Kresna dan Kirana, membuat mereka langsung tergesa-gesa berangkat ke luar kota.Sepanjang perjalanan, Kirana terus merasa gelisah. Meskipun Kresna menggenggam tangannya erat, telapak tangan Kirana tetap d
Dalam keadaan linglung, Andini teringat saat dulu dirinya ditangkap oleh Panji dan dibawa masuk ke gua.Waktu itu, dia juga berlari sekuat tenaga ke dalam hutan, hingga akhirnya tidak tahu sudah berapa lama dia terjebak di sana. Pada akhirnya, Rangga yang menggendongnya keluar dari hutan itu.Andini tak ingin mengulang nasib yang sama. Jadi, sambil terus berlari, dia juga memperhatikan keadaan di belakangnya. Melihat Anom masih belum menyerah mengejar, dia mulai panik.Malam kian larut. Hanya dalam waktu singkat setelah menerobos masuk ke hutan, Andini sudah tidak bisa melihat apa-apa saking gelapnya. Hal yang paling dia khawatirkan akhirnya terjadi.Krek! Suara tajam menggema. Kakinya terjepit jebakan hewan!"Anom! Jangan ke sini lagi!" teriak Andini panik. "Di sini banyak jebakan! Aku juga kena!"Mendengar itu, suara langkah kaki Anom pun terhenti. Mungkin karena teringat pada temannya yang juga cedera, Anom akhirnya memutuskan untuk tidak lanjut mengejar, lalu berbalik dan pergi.Di
Tepat saat itu, terdengar suara samar-samar dari arah halaman.Andini tersentak, segera bangkit dan mengintip ke luar. Dia pun melihat bayangan seseorang yang mondar-mandir di halaman."Siapa di sana?""Aku."Suara itu terdengar cukup familier.Andini mencoba menebak, "Anom?""Benar!" sahut Anom, lalu berjalan ke depan pintu sambil berkata, "Ibuku masak sup ayam malam ini. Tapi gara-gara kejadian Bi Diah, jadi lupa. Tadi baru dipanaskan lagi, terus aku disuruh antar ke sini."Memang benar, Endah sering membuatkan sup ayam untuknya setiap beberapa hari sekali. Andini tidak terlalu curiga, jadi berkata, "Taruh saja di depan pintu, nanti aku ambil.""Baik!" Jawaban Anom cepat dan ringan.Tak lama kemudian, Andini melihat Anom keluar dari halaman. Dia bangkit, tertatih-tatih menuju pintu.Begitu membuka pintu, memang benar ada semangkuk sup ayam di atas lantai. Dia perlahan berjongkok, hendak mengambil mangkuk itu.Tepat saat itu, dari sudut halaman, tiba-tiba muncul bayangan. Sebelum Andi
Saat Surya kembali ke Desa Teluk Horta, matahari sudah terbenam. Dari kejauhan, dia langsung melihat halaman rumahnya dikerumuni oleh banyak orang.Hatinya langsung mencelos, tak tahu apa yang sedang terjadi. Seseorang melihatnya dan langsung berteriak, "Itu dia! Dia sudah kembali!"Semua orang pun serentak menoleh ke arah Surya.Begitu memasuki halaman, Surya langsung melihat Diah terbaring di tengah halaman. Di samping, Andini sedang berlutut.Terlihat dia memegang sebatang jarum sulam dan sedang menusukkannya ke tubuh Diah, yang matanya tampak sayu, antara sadar dan tidak."Ada apa ini?" Suara Surya terdengar dalam.Endah segera melangkah ke depan, menjelaskan, "Ihatra bertengkar sama ayahnya, terus kabur ke dalam hutan. Ayahnya takut terjadi apa-apa, jadi ikut masuk hutan juga.""Diah menunggu di rumah sampai langit hampir gelap. Dia panik dan langsung pingsan. Untungnya gadis ini menguasai ilmu medis. Baru dua tusukan jarum saja, Diah langsung siuman."Mendengar itu, tatapan Surya
Melihat punggung Surya yang semakin menjauh, Endah hanya bisa menghela napas, lalu berbalik dan berkata kepada Andini, "Aku rebus dulu ayamnya, nanti aku balik lagi ke sini."Usai berkata begitu, dia pun pergi.Andini duduk di dalam rumah, memandangi punggung Endah yang perlahan menghilang. Dia juga melihat dengan jelas bahwa Anom belum pergi.Anak itu masih berdiri di tempatnya, menatap Andini dari balik jendela. Saat Andini memandang balik ke arahnya, Anom buru-buru mengalihkan pandangan dan berseru, "Bu, tunggu aku!"Setelah itu, dia pun berbalik dan pergi. Namun, sorot mata Anom tak luput dari pandangan Andini.Tatapan yang dilontarkan padanya mengandung kebencian. Perasaan itu terlalu familier bagi Andini. Dulu ketika Dianti diam-diam memandangnya, sorot mata itu sama persis.Dua jam kemudian, Surya akhirnya tiba di kota kecil. Dia menjual hasil buruannya ke rumah makan yang sudah akrab dengannya, lalu berkeliling sesaat dan masuk ke sebuah gang kecil. Kemudian, dia mendorong pint
Keesokan hari saat Andini bangun, sosok Surya sudah tak terlihat. Sementara itu, Endah tengah sibuk di dapur.Dengan kaki yang masih pincang, Andini berjalan ke ambang pintu, menatap Endah dengan heran, "Bibi Endah, kok hari ini bangunnya pagi sekali?"Matahari bahkan belum sepenuhnya terbit!Endah menyiapkan air untuk Andini mencuci muka, lalu menjawab, "Arjuna sudah pergi ke gunung sejak fajar bersama Anom. Aku hari ini nggak ada pekerjaan di ladang, jadi mampir ke sini untuk bantu-bantu sebentar."Saat berbicara, sudut bibir Endah menyiratkan senyuman kecil.Mengingat kejadian kemarin, Andini pun merasa perlu meminta maaf. "Maaf ya, Bi Endah. Kemarin aku asal bicara cuma untuk menakut-nakuti Anom."Endah buru-buru mengangguk. "Iya, aku tahu. Anak bandel itu memang perlu ditakut-takuti! Setelah pulang kemarin, dia nangis-nangis sambil janji nggak akan berjudi lagi.""Pagi ini juga semangat banget bangunnya. Kalau dia bisa meninggalkan kebiasaan buruk itu, lalu ikut Arjuna berburu, it
Rangga pernah menculik Andini dan akhirnya membuat Andini terjatuh ke Sungai Mentari. Dendam itu masih terus disimpan Laras di dalam hati sampai sekarang.Meskipun statusnya hanyalah seorang pelayan biasa dan tak bisa berbuat apa-apa pada Rangga, jangan harap dia bersedia mengikuti Rangga!Selesai bicara, Laras pun membalikkan badan dan melangkah ke arah Kalingga. Kalingga masih tidak mengatakan apa-apa. Setelah mendengar kata-kata Laras barusan, seulas senyuman tipis tidak bisa disembunyikan dari wajahnya.Senyuman ringan itu, sekalipun sangat tipis, tetap menyakitkan mata Rangga. Dia tidak mengerti. Kenapa Andini tidak mau bersamanya, bahkan pelayannya pun menolaknya?Rangga sontak melangkah maju, hendak menarik tangan Laras. Namun, baru satu langkah diambil, terdengar suara Kalingga yang datar. "Rangga."Hanya satu panggilan pelan, tetapi makna ancamannya sangat jelas. Apabila Rangga benar-benar menahan Laras, Kalingga pasti akan bertindak.Rangga pun berhenti. Aura yang dipancarkan
Jabal mencari tiga kuda terbaik dari kediaman dan berangkat malam itu juga menuju lokasi yang berjarak lebih dari 50 kilometer.Perjalanan tidak sepenuhnya mulus. Mayat perempuan itu ditemukan di sebuah desa kecil. Ketika mereka tiba, matahari sudah bersinar terik.Di luar desa, anak buah mereka sudah menunggu. Begitu turun dari kuda, Kalingga segera masuk ke desa. "Di mana?""Masih di tepi sungai," kata anak buah itu sambil menurunkan suaranya. "Jenderal Rangga juga ada di sana."Mendengar itu, Kalingga sempat tercengang sejenak. Dia mengikuti arah yang ditunjuk. Benar saja, di tepi sungai tak jauh dari sana, terlihat Rangga sedang membuka kain putih penutup mayat. Wajahnya memperlihatkan ekspresi jijik.Melihat itu, Kalingga merasa lega. Dari ekspresi Rangga, seharusnya itu bukan Andini. Namun, detik berikutnya, hatinya kembali diliputi amarah. Informasi itu datang dari bawahannya sendiri, kenapa Rangga bisa lebih dulu sampai di sini?Di belakang, Laras yang melihat mayat tertutup ka
Tingkah mereka yang berpura-pura mabuk tadi memang tak terlihat mencurigakan. Namun, akting setelah mereka "sadar" barusan sungguh buruk. Beberapa dari mereka bahkan langsung terbangun, padahal tidak disiram.Andini mengernyit pelan saat memikirkan hal ini, lalu secara refleks menoleh ke arah jendela. Di sana, dia melihat sosok tinggi besar itu berjalan ke arah barat, menuju ke bawah atap.Dia tak ingin berpikiran buruk tentang orang lain, tetapi saat itu di halaman hanya ada dia seorang yang bukan dari kalangan mereka. Mereka semua pura-pura mabuk, jelas-jelas untuk diperlihatkan kepadanya.Kenapa? Sedang mengujinya? Apakah karena sebelumnya dia secara tidak sengaja menunjukkan sedikit kemampuan bela dirinya?Namun, jika Surya hanya pemburu biasa, bagaimana mungkin dia bisa terpikir menggunakan cara semacam ini? Jangan-jangan identitasnya pun tidak sesederhana itu?Begitu benih kecurigaan tertanam, hal itu mulai tumbuh liar dalam hati. Andini berusaha keras mengingat semua kejadian se
Andini sama sekali tidak menyadari apa yang terjadi di belakangnya. Begitu keluar dari pagar bambu, kaki kirinya terasa sakit lagi. Langkahnya semakin pincang. Sebelum berjalan jauh, dia sudah mulai memanggil, "Bi Endah! Bi Endah!"Dia sama sekali tidak tahu, sebelum dia membuka mulut, sebilah belati nyaris menyentuh leher putihnya dari belakang, hanya sedikit lagi sudah akan menggorok tenggorokannya.Namun, saat dia memanggil nama Endah, belati itu tiba-tiba ditarik mundur, lalu pemiliknya buru-buru kembali ke dalam halaman.Tak lama kemudian, lampu di rumah Endah kembali menyala. Wanita itu bertanya, "Ada apa? Ada apa ini?"Andini memandang Endah dengan wajah penuh rasa bersalah. "Kak Arjuna dan teman-temannya mabuk semua, mereka tidur di luar. Aku khawatir mereka masuk angin kalau tidur di luar. Bisa Bibi bantu aku?"Di dalam pagar, para pria yang mendengarnya saling melirik, masing-masing mulai merasa bersalah."Aduh, ya sudah, aku ke sana sekarang!" sahut Endah cepat-cepat. Tak la