Kalingga pun turut mengangkat gelasnya. "Aku juga berharap Ayah sehat, panjang umur, dan bahagia." Tentu saja, Andini mengikuti Kalingga mengangkat gelasnya.Lukman akhirnya merasa lebih tenang dan terlihat cukup senang. Namun, pandangannya tetap mengarah ke Rangga.Dari ketiga anaknya, dua sudah memberi ucapan selamat, hanya Rangga yang belum. Hal ini membuat wajah Lukman kembali muram.Seakan-akan menyadari suasana yang semakin kaku, barulah Rangga mengambil gelasnya dan berkata, "Aku berharap Ayah panjang umur dan sehat selalu."Setelah itu, Lukman kembali tersenyum dan meneguk habis anggur dalam gelasnya. Namun, setelah meneguknya, dia tidak lupa menambahkan, "Kalau kamu nggak membuatku marah, aku tentu bisa panjang umur!"Suasana tiba-tiba menjadi dingin. Malika menatap Lukman dengan kesal dan menepuk lengannya pelan.Saat itu juga, Lukman menyadari bahwa ucapannya telah merusak suasana yang baru saja mencair. Wajahnya tampak canggung.Tak disangka, Rangga terkekeh-kekeh pelan. "H
Alis Andini langsung berkerut. Seharusnya tadi dia tidak ceroboh hingga menjatuhkan peralatan makannya. Benar saja, sebelum dia sempat duduk tegak kembali, semua perhatian sudah tertuju padanya.Lukman tiba-tiba menggebrak meja dengan marah. "Kurang ajar! Sekarang dia kakak iparmu!"Raut wajah Kalingga seketika diliputi kekesalan. Tatapannya yang tertuju ke bawah pun dipenuhi dengan hawa dingin.Andini perlahan duduk tegak, meletakkan peralatan makannya kembali ke atas meja, dan berusaha untuk tidak menarik perhatian lebih lanjut. Namun, kali ini semua orang di keluarga itu sudah menatapnya, kecuali Rangga.Mata Rangga hanya menatap ke arah Lukman dengan dingin dan angkuh, sudut bibirnya bahkan menyiratkan sedikit ejekan. "Yang sedang dibahas adalah masalah perceraian, apa hubungannya dengan orang lain?"Kata kakak ipar tidak akan pernah keluar dari mulutnya. Jadi, bagi Rangga, saat ini Andini hanyalah orang luar.Namun, bagi Malika, tindakan Andini yang menjatuhkan peralatan makan tad
Nayshila segera berdiri. Dengan ekspresi penuh kegembiraan, dia menghentikan Lukman. "Ayah pasti terlalu bahagia sampai bingung! Kak Lingga ini jelas-jelas membaik karena diobati oleh Kak Andini, apa gunanya memanggil tabib lain?"Mendengar itu, Lukman segera mengangguk berulang kali. "Benar, benar! Semua ini berkat Andin! Kita harus berterima kasih padanya!"Bahkan, ekspresi Rangga yang semula muram pun menjadi lebih tenang saat ini. Dia tidak pernah berpikir bahwa suatu hari nanti, kaki kakaknya akan merasakan sensasi kembali. Ini adalah berita yang luar biasa bagi seluruh keluarga.Dalam sekejap, tatapan semua orang di keluarga itu terhadap Andini berubah menjadi penuh rasa terima kasih, seolah-olah orang-orang yang tadi menatapnya dengan kesal bukanlah mereka.Untungnya, Andini tidak peduli. Cepat atau lambat, dia akan meninggalkan keluarga ini. Jadi, tidak masalah bagaimana sikap mereka terhadapnya. Selama Kalingga bisa sembuh, itu sudah cukup untuknya.Andini berpikir untuk menem
Kepergian Rangga membuat Lukman sangat marah. Dia langsung duduk kembali di kursinya, menunjuk ke arah Rangga pergi. Dengan napas memburu, dia berkata, "Dasar anak durhaka! Main pergi begitu saja! Kalau punya nyali, jangan pernah kembali lagi!"Malika segera maju, menepuk punggung suaminya dengan nada sedikit menyalahkan, "Lihat dirimu, bicara sembarangan lagi! Satu bulan penuh kamu menunggu kepulangannya. Sekarang dia pergi, kamu masih harus menunggunya lagi, 'kan?"Lukman terdiam. Ucapan istrinya benar. Dia semakin kesal dan memutar bola matanya beberapa kali.Rangga sudah sebulan tidak pulang. Setiap kali mereka mengutus orang untuk menanyakan kabar, jawaban yang diberikan selalu sama, yaitu urusan militer.Namun, sekarang sedang tidak ada perang. Urusan militer apa yang sampai membuatnya terus tinggal di luar?Akhirnya, mereka memanfaatkan hari ulang tahun Lukman untuk memanggil Rangga pulang. Siapa sangka, malah berakhir dengan perpisahan yang tidak menyenangkan.Melihat situasi i
Malika pun merasa jengkel. "Memangnya bisa apa kalau aku menjemputnya? Rangga juga nggak akan pulang!""Kalau begitu, cari cara agar dia mau pulang!" Lukman membalas dengan nada kesal, melirik Malika tajam. "Kalau suami istri bertengkar, ya harus baikan. Kalau terus tinggal terpisah seperti ini, kapan mereka bisa rujuk?"Sambil berkata demikian, dia kembali mengarahkan pandangannya ke arah punggung Kalingga dan Andini yang semakin menjauh. "Lihat saja Lingga dan Andin, betapa harmonisnya mereka sekarang."Malika ikut menoleh, menatap putra dan menantunya. Terlihat Andini yang tengah mendorong kursi roda, sesekali membungkukkan tubuhnya sedikit ke depan untuk berbincang dengan Kalingga.Kalingga pun akan menoleh ke arahnya, membalas percakapan. Wajahnya mungkin tidak menunjukkan kebahagiaan yang mencolok, tetapi ada ketenangan dan kenyamanan di sana.Jika dibandingkan dengan masa-masa saat dia mengurung diri di dalam kamar dan menolak bertemu siapa pun, jelas keadaannya sudah jauh lebih
Malika akhirnya berhasil membawa Dianti kembali ke kediaman Keluarga Maheswara seperti yang diharapkannya. Namun, yang tidak dia duga adalah Rangga ternyata juga pulang.Malika sempat mengira bahwa Rangga kembali karena tahu Dianti sudah dibawa pulang, sehingga hatinya terasa lebih lega. "Suami istri itu harus membicarakan segala sesuatu dengan terbuka. Mana ada suami istri yang bertengkar selama ini?"Sambil berbicara, Malika mendorong Dianti sedikit ke arah Rangga. "Nah, Ibu sudah membawanya kembali untukmu. Jangan marah lagi. Kalian sudah lama nggak bertemu, bicaralah baik-baik. Ibu nggak akan mengganggu."Setelah itu, Malika berbalik dan pergi untuk memberi mereka waktu berdua.Dianti yang didorong hampir saja jatuh ke dalam pelukan Rangga. Namun, dia merasakan dengan jelas penolakan dari pria itu sehingga buru-buru menghentikan langkahnya. Dia pun hanya berdiri diam di sampingnya dengan patuh.Jarak mereka begitu dekat, sampai-sampai ujung jarinya hampir menyentuh punggung tangan
Rangga menatap Dianti dengan dingin. Dia tahu Dianti sama sekali tidak sesederhana seperti yang terlihat. Pasti ada niat tersembunyi di balik sikapnya.Namun, tidak masalah. Tujuan Rangga pulang adalah untuk menghentikan perkembangan hubungan Andini dan Kalingga. Jadi, meskipun harus menggunakan alasan ini untuk pergi ke sana, dia tidak keberatan. Dengan ekspresi dingin, Rangga menyetujuinya.Saat itu, Kalingga sedang membimbing Andini melempar batu. Dibandingkan sebulan yang lalu, Andini sudah mengalami banyak peningkatan. Kini, bahkan dengan jarak 10 langkah dari pohon payung, dia sudah bisa mengenai batangnya setiap kali melempar. Hanya saja, akurasinya masih belum sempurna.Andini pun duduk di tangga, sementara Kalingga memegang tangannya, membantu menyesuaikan posisinya.Saat harus membidik target, Kalingga secara alami lebih dekat ke wajah Andini, memastikan bahwa dia benar-benar fokus.Ketika Rangga masuk, pemandangan itulah yang langsung menyambutnya. Andini menutup mata kiriny
Rangga akhirnya tersadar. Dia menunduk menatap Kalingga. "Bagaimana kondisi kakimu sekarang, Kak?"Jelas-jelas bukan itu yang dia pedulikan. Kalingga tentu saja menyadari hal itu, makanya dia hanya menjawab singkat, "Lumayan."Sampai di situasi ini, jika Rangga dan Dianti tahu diri, mereka seharusnya pergi. Namun, jelas sekali Rangga tidak tahu diri."Sudah lama aku nggak bermain catur denganmu. Hari ini kebetulan ada waktu luang, bagaimana kalau kita main satu ronde?" Maksud Rangga begitu jelas.Kalingga refleks ingin menolak, tetapi sebelum dia sempat berkata apa-apa, Dianti telah membuka suara, "Itu ide bagus. Aku juga ingin mengobrol dengan Kak Andini. Banyak hal yang ingin kubahas."Kata banyak itu sengaja ditekankan.Andini akhirnya mengangkat kepalanya dan menatap Dianti. Wajah Dianti masih terlihat selembut biasanya, tetapi tatapannya jelas menunjukkan bahwa dia punya sesuatu untuk disampaikan. Sikapnya pun cukup mendominasi.Kening Andini sedikit berkerut. Rasanya aneh melihat
Dalam keadaan linglung, Andini teringat saat dulu dirinya ditangkap oleh Panji dan dibawa masuk ke gua.Waktu itu, dia juga berlari sekuat tenaga ke dalam hutan, hingga akhirnya tidak tahu sudah berapa lama dia terjebak di sana. Pada akhirnya, Rangga yang menggendongnya keluar dari hutan itu.Andini tak ingin mengulang nasib yang sama. Jadi, sambil terus berlari, dia juga memperhatikan keadaan di belakangnya. Melihat Anom masih belum menyerah mengejar, dia mulai panik.Malam kian larut. Hanya dalam waktu singkat setelah menerobos masuk ke hutan, Andini sudah tidak bisa melihat apa-apa saking gelapnya. Hal yang paling dia khawatirkan akhirnya terjadi.Krek! Suara tajam menggema. Kakinya terjepit jebakan hewan!"Anom! Jangan ke sini lagi!" teriak Andini panik. "Di sini banyak jebakan! Aku juga kena!"Mendengar itu, suara langkah kaki Anom pun terhenti. Mungkin karena teringat pada temannya yang juga cedera, Anom akhirnya memutuskan untuk tidak lanjut mengejar, lalu berbalik dan pergi.Di
Tepat saat itu, terdengar suara samar-samar dari arah halaman.Andini tersentak, segera bangkit dan mengintip ke luar. Dia pun melihat bayangan seseorang yang mondar-mandir di halaman."Siapa di sana?""Aku."Suara itu terdengar cukup familier.Andini mencoba menebak, "Anom?""Benar!" sahut Anom, lalu berjalan ke depan pintu sambil berkata, "Ibuku masak sup ayam malam ini. Tapi gara-gara kejadian Bi Diah, jadi lupa. Tadi baru dipanaskan lagi, terus aku disuruh antar ke sini."Memang benar, Endah sering membuatkan sup ayam untuknya setiap beberapa hari sekali. Andini tidak terlalu curiga, jadi berkata, "Taruh saja di depan pintu, nanti aku ambil.""Baik!" Jawaban Anom cepat dan ringan.Tak lama kemudian, Andini melihat Anom keluar dari halaman. Dia bangkit, tertatih-tatih menuju pintu.Begitu membuka pintu, memang benar ada semangkuk sup ayam di atas lantai. Dia perlahan berjongkok, hendak mengambil mangkuk itu.Tepat saat itu, dari sudut halaman, tiba-tiba muncul bayangan. Sebelum Andi
Saat Surya kembali ke Desa Teluk Horta, matahari sudah terbenam. Dari kejauhan, dia langsung melihat halaman rumahnya dikerumuni oleh banyak orang.Hatinya langsung mencelos, tak tahu apa yang sedang terjadi. Seseorang melihatnya dan langsung berteriak, "Itu dia! Dia sudah kembali!"Semua orang pun serentak menoleh ke arah Surya.Begitu memasuki halaman, Surya langsung melihat Diah terbaring di tengah halaman. Di samping, Andini sedang berlutut.Terlihat dia memegang sebatang jarum sulam dan sedang menusukkannya ke tubuh Diah, yang matanya tampak sayu, antara sadar dan tidak."Ada apa ini?" Suara Surya terdengar dalam.Endah segera melangkah ke depan, menjelaskan, "Ihatra bertengkar sama ayahnya, terus kabur ke dalam hutan. Ayahnya takut terjadi apa-apa, jadi ikut masuk hutan juga.""Diah menunggu di rumah sampai langit hampir gelap. Dia panik dan langsung pingsan. Untungnya gadis ini menguasai ilmu medis. Baru dua tusukan jarum saja, Diah langsung siuman."Mendengar itu, tatapan Surya
Melihat punggung Surya yang semakin menjauh, Endah hanya bisa menghela napas, lalu berbalik dan berkata kepada Andini, "Aku rebus dulu ayamnya, nanti aku balik lagi ke sini."Usai berkata begitu, dia pun pergi.Andini duduk di dalam rumah, memandangi punggung Endah yang perlahan menghilang. Dia juga melihat dengan jelas bahwa Anom belum pergi.Anak itu masih berdiri di tempatnya, menatap Andini dari balik jendela. Saat Andini memandang balik ke arahnya, Anom buru-buru mengalihkan pandangan dan berseru, "Bu, tunggu aku!"Setelah itu, dia pun berbalik dan pergi. Namun, sorot mata Anom tak luput dari pandangan Andini.Tatapan yang dilontarkan padanya mengandung kebencian. Perasaan itu terlalu familier bagi Andini. Dulu ketika Dianti diam-diam memandangnya, sorot mata itu sama persis.Dua jam kemudian, Surya akhirnya tiba di kota kecil. Dia menjual hasil buruannya ke rumah makan yang sudah akrab dengannya, lalu berkeliling sesaat dan masuk ke sebuah gang kecil. Kemudian, dia mendorong pint
Keesokan hari saat Andini bangun, sosok Surya sudah tak terlihat. Sementara itu, Endah tengah sibuk di dapur.Dengan kaki yang masih pincang, Andini berjalan ke ambang pintu, menatap Endah dengan heran, "Bibi Endah, kok hari ini bangunnya pagi sekali?"Matahari bahkan belum sepenuhnya terbit!Endah menyiapkan air untuk Andini mencuci muka, lalu menjawab, "Arjuna sudah pergi ke gunung sejak fajar bersama Anom. Aku hari ini nggak ada pekerjaan di ladang, jadi mampir ke sini untuk bantu-bantu sebentar."Saat berbicara, sudut bibir Endah menyiratkan senyuman kecil.Mengingat kejadian kemarin, Andini pun merasa perlu meminta maaf. "Maaf ya, Bi Endah. Kemarin aku asal bicara cuma untuk menakut-nakuti Anom."Endah buru-buru mengangguk. "Iya, aku tahu. Anak bandel itu memang perlu ditakut-takuti! Setelah pulang kemarin, dia nangis-nangis sambil janji nggak akan berjudi lagi.""Pagi ini juga semangat banget bangunnya. Kalau dia bisa meninggalkan kebiasaan buruk itu, lalu ikut Arjuna berburu, it
Rangga pernah menculik Andini dan akhirnya membuat Andini terjatuh ke Sungai Mentari. Dendam itu masih terus disimpan Laras di dalam hati sampai sekarang.Meskipun statusnya hanyalah seorang pelayan biasa dan tak bisa berbuat apa-apa pada Rangga, jangan harap dia bersedia mengikuti Rangga!Selesai bicara, Laras pun membalikkan badan dan melangkah ke arah Kalingga. Kalingga masih tidak mengatakan apa-apa. Setelah mendengar kata-kata Laras barusan, seulas senyuman tipis tidak bisa disembunyikan dari wajahnya.Senyuman ringan itu, sekalipun sangat tipis, tetap menyakitkan mata Rangga. Dia tidak mengerti. Kenapa Andini tidak mau bersamanya, bahkan pelayannya pun menolaknya?Rangga sontak melangkah maju, hendak menarik tangan Laras. Namun, baru satu langkah diambil, terdengar suara Kalingga yang datar. "Rangga."Hanya satu panggilan pelan, tetapi makna ancamannya sangat jelas. Apabila Rangga benar-benar menahan Laras, Kalingga pasti akan bertindak.Rangga pun berhenti. Aura yang dipancarkan
Jabal mencari tiga kuda terbaik dari kediaman dan berangkat malam itu juga menuju lokasi yang berjarak lebih dari 50 kilometer.Perjalanan tidak sepenuhnya mulus. Mayat perempuan itu ditemukan di sebuah desa kecil. Ketika mereka tiba, matahari sudah bersinar terik.Di luar desa, anak buah mereka sudah menunggu. Begitu turun dari kuda, Kalingga segera masuk ke desa. "Di mana?""Masih di tepi sungai," kata anak buah itu sambil menurunkan suaranya. "Jenderal Rangga juga ada di sana."Mendengar itu, Kalingga sempat tercengang sejenak. Dia mengikuti arah yang ditunjuk. Benar saja, di tepi sungai tak jauh dari sana, terlihat Rangga sedang membuka kain putih penutup mayat. Wajahnya memperlihatkan ekspresi jijik.Melihat itu, Kalingga merasa lega. Dari ekspresi Rangga, seharusnya itu bukan Andini. Namun, detik berikutnya, hatinya kembali diliputi amarah. Informasi itu datang dari bawahannya sendiri, kenapa Rangga bisa lebih dulu sampai di sini?Di belakang, Laras yang melihat mayat tertutup ka
Tingkah mereka yang berpura-pura mabuk tadi memang tak terlihat mencurigakan. Namun, akting setelah mereka "sadar" barusan sungguh buruk. Beberapa dari mereka bahkan langsung terbangun, padahal tidak disiram.Andini mengernyit pelan saat memikirkan hal ini, lalu secara refleks menoleh ke arah jendela. Di sana, dia melihat sosok tinggi besar itu berjalan ke arah barat, menuju ke bawah atap.Dia tak ingin berpikiran buruk tentang orang lain, tetapi saat itu di halaman hanya ada dia seorang yang bukan dari kalangan mereka. Mereka semua pura-pura mabuk, jelas-jelas untuk diperlihatkan kepadanya.Kenapa? Sedang mengujinya? Apakah karena sebelumnya dia secara tidak sengaja menunjukkan sedikit kemampuan bela dirinya?Namun, jika Surya hanya pemburu biasa, bagaimana mungkin dia bisa terpikir menggunakan cara semacam ini? Jangan-jangan identitasnya pun tidak sesederhana itu?Begitu benih kecurigaan tertanam, hal itu mulai tumbuh liar dalam hati. Andini berusaha keras mengingat semua kejadian se
Andini sama sekali tidak menyadari apa yang terjadi di belakangnya. Begitu keluar dari pagar bambu, kaki kirinya terasa sakit lagi. Langkahnya semakin pincang. Sebelum berjalan jauh, dia sudah mulai memanggil, "Bi Endah! Bi Endah!"Dia sama sekali tidak tahu, sebelum dia membuka mulut, sebilah belati nyaris menyentuh leher putihnya dari belakang, hanya sedikit lagi sudah akan menggorok tenggorokannya.Namun, saat dia memanggil nama Endah, belati itu tiba-tiba ditarik mundur, lalu pemiliknya buru-buru kembali ke dalam halaman.Tak lama kemudian, lampu di rumah Endah kembali menyala. Wanita itu bertanya, "Ada apa? Ada apa ini?"Andini memandang Endah dengan wajah penuh rasa bersalah. "Kak Arjuna dan teman-temannya mabuk semua, mereka tidur di luar. Aku khawatir mereka masuk angin kalau tidur di luar. Bisa Bibi bantu aku?"Di dalam pagar, para pria yang mendengarnya saling melirik, masing-masing mulai merasa bersalah."Aduh, ya sudah, aku ke sana sekarang!" sahut Endah cepat-cepat. Tak la