Entah mengapa, hatinya terasa perih.Kalingga teringat bagaimana keluarga Adipati Kresna memilih untuk diam saja ketika kebenaran tiga tahun lalu terungkap kemarin. Amarah di dadanya pun seketika membara.Namun, saat itu juga, Laras berkata, "Dulu, waktu Wakil Jenderal Byakta mendengar bahwa Nona suka usus sapi, dia bahkan sengaja belajar masak dari koki utama di Kedai Arum.""Sebelum berangkat menumpas perampok, dia masih sempat meninggalkan resepnya. Aku sudah menghafalnya di kepala, tapi ... aku belum pernah mencobanya."Kalingga mengangguk kecil dan menekan amarah yang mulai mendidih di hatinya. Saat ini, yang lebih penting adalah Andini. Oleh karena itu, dia menoleh ke Jabal di belakangnya. "Pergi beli usus sapi."Jabal langsung menjawab, "Baik!" lalu bergegas pergi.Sementara itu, Kalingga kembali menatap pintu kamar Andini yang masih tertutup rapat.Hatinya terasa semakin berat. Dia tidak tahu apakah usus sapi benar-benar bisa membuat Andini membuka pintunya, tetapi dia harus me
Setelah hampir dua jam, mereka akhirnya selesai mencuci usus sapi.Laras dan Jabal segera membawa bahan itu ke dapur untuk dimasak, sementara Andini menarik satu kotak kecil berisi 100 batu kerikil dan mulai berlatih melemparnya ke arah pohon payung. Kalingga hanya duduk di sampingnya dan mengamatinya dalam diam.Mungkin karena sinar matahari hari ini begitu hangat, hanya dengan melihatnya seperti ini saja, hatinya terasa lebih tenang.Namun, tiba-tiba, Andini membuka suara, "Kak Kalingga nggak penasaran?"Pandangan matanya tetap terfokus pada pohon payung, tetapi hatinya jauh dari tenang. Kata-kata terakhir Ratih terlalu mengejutkan baginya. Dia membutuhkan waktu yang lama untuk benar-benar mencerna semuanya.Namun, yang membuatnya heran adalah Kalingga dan Laras tidak menanyakannya sama sekali. Seolah-olah, selama dia keluar dari kamarnya, itu sudah cukup membuat mereka bahagia. Seolah-olah, hal lain tidak lagi penting.Kalingga agak terkejut mendengar pertanyaannya. Dia terdiam seje
Andini masih mengerutkan alisnya. Dia berbicara dengan suara dingin, "Nggak ada yang perlu dilihat, aku baik-baik saja. Nggak perlu repot-repot mengkhawatirkanku, Dik."Satu panggilan itu sudah cukup untuk memperjelas jarak di antara mereka, juga menunjukkan dengan gamblang keadaan hubungan mereka sekarang.Tidak peduli seperti apa hubungan mereka di masa lalu, kini dia adalah kakak iparnya. Rangga seharusnya tidak lagi memiliki pikiran yang tidak sepantasnya terhadapnya.Rasa sakit di hati Rangga semakin mendalam. Matanya mulai memerah. Tanpa sadar, dia maju selangkah. "An ...."Tak disangka, Andini justru melangkah mundur. Jarak di antara mereka masih begitu jauh, tetapi Andini tetap tidak membiarkannya mendekat. Wanita ini benar-benar menolak kehadirannya!Di balik lengan bajunya, kedua tangan Rangga terkepal erat. Dia menatap wajah Andini yang begitu dingin, tidak bisa memercayai bahwa wanita yang dulu begitu menyukainya, kini benar-benar tidak memiliki perasaan sedikit pun padanya
Mendengar jawaban Andini, entah mengapa Kalingga merasa lebih lega. "Bagus kalau kamu bisa melepaskannya." Setidaknya, dia tidak akan lagi bersedih karena Rangga yang bodoh itu.Andini tersenyum tipis. Setelah makan, dia kembali berlatih. Namun, dia tiba-tiba teringat sesuatu dan berkata, "Mulai hari ini, aku nggak akan lagi berlatih menusukkan jarum."Dia merasa bertemu dengan Rangga saat ini bukanlah keputusan yang bijak. Apakah Rangga benar-benar akan menceraikan Dianti atau tidak, itu bukan urusannya. Dia tidak ingin orang lain berpikir bahwa itu terjadi karena dirinya.Kalingga mengangguk ringan, menyatakan persetujuannya. Tiba-tiba, Andini melanjutkan, "Aku ingin langsung menusukkan jarum ke kakimu. Berani nggak?"Sebenarnya, dia sudah cukup memahami seberapa dalam dan seberapa kuat tekanan yang harus diberikan saat menusukkan jarum.Bagaimana mungkin Kalingga tidak menyadari bahwa ini adalah tantangan yang sengaja dilemparkan padanya?Kalingga hanya tersenyum. "Kalau aku bilang
Tuduhan dalam perkataan Malika sangat jelas. Terlebih lagi, dia menggunakan kata "kalaupun niatnya memang baik". Hal ini membuktikan bahwa di dalam hatinya, dia juga tidak sepenuhnya memercayai Dianti.Bagaimana mungkin Dianti tidak menyadarinya? Namun, dia juga tidak berani menentang Malika. Sambil menangis, dia hanya bisa mengangguk. "Ini salahku yang bertindak gegabah."Kirana berdiri di samping, melihat Dianti yang penuh kesedihan, tetapi dia pun tidak tahu harus berkata apa.Mereka tentu percaya bahwa Dianti tidak bersalah, tetapi mereka juga menyadari bahwa masalah disebabkan oleh Dianti.Malika lantas berkata, "Tenanglah, aku nggak akan membiarkan Rangga menceraikanmu. Setelah kemarahannya reda, aku akan menyuruhnya menjemputmu."Itu adalah kalimat yang sama seperti sebelumnya. Namun, kapan amarah Rangga akan mereda? Berapa lama Dianti harus menunggu? Malika tidak mengatakan apa-apa mengenai hal itu.Dianti terus menangis sambil mengusap air matanya, tetapi di dalam matanya, ter
Hari demi hari berlalu. Dalam sekejap, sudah sebulan berlalu.Selama sebulan ini, Andini sama sekali tidak pernah melangkah keluar dari paviliun Kalingga. Setiap hari, selain berlatih melempar batu, sesekali dia akan membaca buku strategi perang milik Kalingga atau bermain catur dengannya. Hari-harinya terasa menyenangkan dan penuh makna.Rangga tidak pernah datang. Tepatnya, selain pelayan yang datang setiap hari untuk membersihkan, tidak ada seorang pun dari luar yang berkunjung.Andini terkadang merasa paviliun Kalingga seperti tempat persembunyian yang jauh dari dunia luar. Dia bisa mengisolasi dirinya dari segala permasalahan dan kekacauan. Jika bisa terus seperti ini, rasanya tidak buruk juga.Namun, ini tetap bukan tempat persembunyian yang sesungguhnya.Hari ini, Malika mengirim seseorang untuk menyampaikan pesan bahwa hari ini adalah ulang tahun Lukman, jadi keluarga harus berkumpul untuk makan bersama.Sejak Kalingga cedera, dalam setahun hanya ada dua kesempatan di mana dia
Kalingga pun turut mengangkat gelasnya. "Aku juga berharap Ayah sehat, panjang umur, dan bahagia." Tentu saja, Andini mengikuti Kalingga mengangkat gelasnya.Lukman akhirnya merasa lebih tenang dan terlihat cukup senang. Namun, pandangannya tetap mengarah ke Rangga.Dari ketiga anaknya, dua sudah memberi ucapan selamat, hanya Rangga yang belum. Hal ini membuat wajah Lukman kembali muram.Seakan-akan menyadari suasana yang semakin kaku, barulah Rangga mengambil gelasnya dan berkata, "Aku berharap Ayah panjang umur dan sehat selalu."Setelah itu, Lukman kembali tersenyum dan meneguk habis anggur dalam gelasnya. Namun, setelah meneguknya, dia tidak lupa menambahkan, "Kalau kamu nggak membuatku marah, aku tentu bisa panjang umur!"Suasana tiba-tiba menjadi dingin. Malika menatap Lukman dengan kesal dan menepuk lengannya pelan.Saat itu juga, Lukman menyadari bahwa ucapannya telah merusak suasana yang baru saja mencair. Wajahnya tampak canggung.Tak disangka, Rangga terkekeh-kekeh pelan. "H
Alis Andini langsung berkerut. Seharusnya tadi dia tidak ceroboh hingga menjatuhkan peralatan makannya. Benar saja, sebelum dia sempat duduk tegak kembali, semua perhatian sudah tertuju padanya.Lukman tiba-tiba menggebrak meja dengan marah. "Kurang ajar! Sekarang dia kakak iparmu!"Raut wajah Kalingga seketika diliputi kekesalan. Tatapannya yang tertuju ke bawah pun dipenuhi dengan hawa dingin.Andini perlahan duduk tegak, meletakkan peralatan makannya kembali ke atas meja, dan berusaha untuk tidak menarik perhatian lebih lanjut. Namun, kali ini semua orang di keluarga itu sudah menatapnya, kecuali Rangga.Mata Rangga hanya menatap ke arah Lukman dengan dingin dan angkuh, sudut bibirnya bahkan menyiratkan sedikit ejekan. "Yang sedang dibahas adalah masalah perceraian, apa hubungannya dengan orang lain?"Kata kakak ipar tidak akan pernah keluar dari mulutnya. Jadi, bagi Rangga, saat ini Andini hanyalah orang luar.Namun, bagi Malika, tindakan Andini yang menjatuhkan peralatan makan tad
Dalam keadaan linglung, Andini teringat saat dulu dirinya ditangkap oleh Panji dan dibawa masuk ke gua.Waktu itu, dia juga berlari sekuat tenaga ke dalam hutan, hingga akhirnya tidak tahu sudah berapa lama dia terjebak di sana. Pada akhirnya, Rangga yang menggendongnya keluar dari hutan itu.Andini tak ingin mengulang nasib yang sama. Jadi, sambil terus berlari, dia juga memperhatikan keadaan di belakangnya. Melihat Anom masih belum menyerah mengejar, dia mulai panik.Malam kian larut. Hanya dalam waktu singkat setelah menerobos masuk ke hutan, Andini sudah tidak bisa melihat apa-apa saking gelapnya. Hal yang paling dia khawatirkan akhirnya terjadi.Krek! Suara tajam menggema. Kakinya terjepit jebakan hewan!"Anom! Jangan ke sini lagi!" teriak Andini panik. "Di sini banyak jebakan! Aku juga kena!"Mendengar itu, suara langkah kaki Anom pun terhenti. Mungkin karena teringat pada temannya yang juga cedera, Anom akhirnya memutuskan untuk tidak lanjut mengejar, lalu berbalik dan pergi.Di
Tepat saat itu, terdengar suara samar-samar dari arah halaman.Andini tersentak, segera bangkit dan mengintip ke luar. Dia pun melihat bayangan seseorang yang mondar-mandir di halaman."Siapa di sana?""Aku."Suara itu terdengar cukup familier.Andini mencoba menebak, "Anom?""Benar!" sahut Anom, lalu berjalan ke depan pintu sambil berkata, "Ibuku masak sup ayam malam ini. Tapi gara-gara kejadian Bi Diah, jadi lupa. Tadi baru dipanaskan lagi, terus aku disuruh antar ke sini."Memang benar, Endah sering membuatkan sup ayam untuknya setiap beberapa hari sekali. Andini tidak terlalu curiga, jadi berkata, "Taruh saja di depan pintu, nanti aku ambil.""Baik!" Jawaban Anom cepat dan ringan.Tak lama kemudian, Andini melihat Anom keluar dari halaman. Dia bangkit, tertatih-tatih menuju pintu.Begitu membuka pintu, memang benar ada semangkuk sup ayam di atas lantai. Dia perlahan berjongkok, hendak mengambil mangkuk itu.Tepat saat itu, dari sudut halaman, tiba-tiba muncul bayangan. Sebelum Andi
Saat Surya kembali ke Desa Teluk Horta, matahari sudah terbenam. Dari kejauhan, dia langsung melihat halaman rumahnya dikerumuni oleh banyak orang.Hatinya langsung mencelos, tak tahu apa yang sedang terjadi. Seseorang melihatnya dan langsung berteriak, "Itu dia! Dia sudah kembali!"Semua orang pun serentak menoleh ke arah Surya.Begitu memasuki halaman, Surya langsung melihat Diah terbaring di tengah halaman. Di samping, Andini sedang berlutut.Terlihat dia memegang sebatang jarum sulam dan sedang menusukkannya ke tubuh Diah, yang matanya tampak sayu, antara sadar dan tidak."Ada apa ini?" Suara Surya terdengar dalam.Endah segera melangkah ke depan, menjelaskan, "Ihatra bertengkar sama ayahnya, terus kabur ke dalam hutan. Ayahnya takut terjadi apa-apa, jadi ikut masuk hutan juga.""Diah menunggu di rumah sampai langit hampir gelap. Dia panik dan langsung pingsan. Untungnya gadis ini menguasai ilmu medis. Baru dua tusukan jarum saja, Diah langsung siuman."Mendengar itu, tatapan Surya
Melihat punggung Surya yang semakin menjauh, Endah hanya bisa menghela napas, lalu berbalik dan berkata kepada Andini, "Aku rebus dulu ayamnya, nanti aku balik lagi ke sini."Usai berkata begitu, dia pun pergi.Andini duduk di dalam rumah, memandangi punggung Endah yang perlahan menghilang. Dia juga melihat dengan jelas bahwa Anom belum pergi.Anak itu masih berdiri di tempatnya, menatap Andini dari balik jendela. Saat Andini memandang balik ke arahnya, Anom buru-buru mengalihkan pandangan dan berseru, "Bu, tunggu aku!"Setelah itu, dia pun berbalik dan pergi. Namun, sorot mata Anom tak luput dari pandangan Andini.Tatapan yang dilontarkan padanya mengandung kebencian. Perasaan itu terlalu familier bagi Andini. Dulu ketika Dianti diam-diam memandangnya, sorot mata itu sama persis.Dua jam kemudian, Surya akhirnya tiba di kota kecil. Dia menjual hasil buruannya ke rumah makan yang sudah akrab dengannya, lalu berkeliling sesaat dan masuk ke sebuah gang kecil. Kemudian, dia mendorong pint
Keesokan hari saat Andini bangun, sosok Surya sudah tak terlihat. Sementara itu, Endah tengah sibuk di dapur.Dengan kaki yang masih pincang, Andini berjalan ke ambang pintu, menatap Endah dengan heran, "Bibi Endah, kok hari ini bangunnya pagi sekali?"Matahari bahkan belum sepenuhnya terbit!Endah menyiapkan air untuk Andini mencuci muka, lalu menjawab, "Arjuna sudah pergi ke gunung sejak fajar bersama Anom. Aku hari ini nggak ada pekerjaan di ladang, jadi mampir ke sini untuk bantu-bantu sebentar."Saat berbicara, sudut bibir Endah menyiratkan senyuman kecil.Mengingat kejadian kemarin, Andini pun merasa perlu meminta maaf. "Maaf ya, Bi Endah. Kemarin aku asal bicara cuma untuk menakut-nakuti Anom."Endah buru-buru mengangguk. "Iya, aku tahu. Anak bandel itu memang perlu ditakut-takuti! Setelah pulang kemarin, dia nangis-nangis sambil janji nggak akan berjudi lagi.""Pagi ini juga semangat banget bangunnya. Kalau dia bisa meninggalkan kebiasaan buruk itu, lalu ikut Arjuna berburu, it
Rangga pernah menculik Andini dan akhirnya membuat Andini terjatuh ke Sungai Mentari. Dendam itu masih terus disimpan Laras di dalam hati sampai sekarang.Meskipun statusnya hanyalah seorang pelayan biasa dan tak bisa berbuat apa-apa pada Rangga, jangan harap dia bersedia mengikuti Rangga!Selesai bicara, Laras pun membalikkan badan dan melangkah ke arah Kalingga. Kalingga masih tidak mengatakan apa-apa. Setelah mendengar kata-kata Laras barusan, seulas senyuman tipis tidak bisa disembunyikan dari wajahnya.Senyuman ringan itu, sekalipun sangat tipis, tetap menyakitkan mata Rangga. Dia tidak mengerti. Kenapa Andini tidak mau bersamanya, bahkan pelayannya pun menolaknya?Rangga sontak melangkah maju, hendak menarik tangan Laras. Namun, baru satu langkah diambil, terdengar suara Kalingga yang datar. "Rangga."Hanya satu panggilan pelan, tetapi makna ancamannya sangat jelas. Apabila Rangga benar-benar menahan Laras, Kalingga pasti akan bertindak.Rangga pun berhenti. Aura yang dipancarkan
Jabal mencari tiga kuda terbaik dari kediaman dan berangkat malam itu juga menuju lokasi yang berjarak lebih dari 50 kilometer.Perjalanan tidak sepenuhnya mulus. Mayat perempuan itu ditemukan di sebuah desa kecil. Ketika mereka tiba, matahari sudah bersinar terik.Di luar desa, anak buah mereka sudah menunggu. Begitu turun dari kuda, Kalingga segera masuk ke desa. "Di mana?""Masih di tepi sungai," kata anak buah itu sambil menurunkan suaranya. "Jenderal Rangga juga ada di sana."Mendengar itu, Kalingga sempat tercengang sejenak. Dia mengikuti arah yang ditunjuk. Benar saja, di tepi sungai tak jauh dari sana, terlihat Rangga sedang membuka kain putih penutup mayat. Wajahnya memperlihatkan ekspresi jijik.Melihat itu, Kalingga merasa lega. Dari ekspresi Rangga, seharusnya itu bukan Andini. Namun, detik berikutnya, hatinya kembali diliputi amarah. Informasi itu datang dari bawahannya sendiri, kenapa Rangga bisa lebih dulu sampai di sini?Di belakang, Laras yang melihat mayat tertutup ka
Tingkah mereka yang berpura-pura mabuk tadi memang tak terlihat mencurigakan. Namun, akting setelah mereka "sadar" barusan sungguh buruk. Beberapa dari mereka bahkan langsung terbangun, padahal tidak disiram.Andini mengernyit pelan saat memikirkan hal ini, lalu secara refleks menoleh ke arah jendela. Di sana, dia melihat sosok tinggi besar itu berjalan ke arah barat, menuju ke bawah atap.Dia tak ingin berpikiran buruk tentang orang lain, tetapi saat itu di halaman hanya ada dia seorang yang bukan dari kalangan mereka. Mereka semua pura-pura mabuk, jelas-jelas untuk diperlihatkan kepadanya.Kenapa? Sedang mengujinya? Apakah karena sebelumnya dia secara tidak sengaja menunjukkan sedikit kemampuan bela dirinya?Namun, jika Surya hanya pemburu biasa, bagaimana mungkin dia bisa terpikir menggunakan cara semacam ini? Jangan-jangan identitasnya pun tidak sesederhana itu?Begitu benih kecurigaan tertanam, hal itu mulai tumbuh liar dalam hati. Andini berusaha keras mengingat semua kejadian se
Andini sama sekali tidak menyadari apa yang terjadi di belakangnya. Begitu keluar dari pagar bambu, kaki kirinya terasa sakit lagi. Langkahnya semakin pincang. Sebelum berjalan jauh, dia sudah mulai memanggil, "Bi Endah! Bi Endah!"Dia sama sekali tidak tahu, sebelum dia membuka mulut, sebilah belati nyaris menyentuh leher putihnya dari belakang, hanya sedikit lagi sudah akan menggorok tenggorokannya.Namun, saat dia memanggil nama Endah, belati itu tiba-tiba ditarik mundur, lalu pemiliknya buru-buru kembali ke dalam halaman.Tak lama kemudian, lampu di rumah Endah kembali menyala. Wanita itu bertanya, "Ada apa? Ada apa ini?"Andini memandang Endah dengan wajah penuh rasa bersalah. "Kak Arjuna dan teman-temannya mabuk semua, mereka tidur di luar. Aku khawatir mereka masuk angin kalau tidur di luar. Bisa Bibi bantu aku?"Di dalam pagar, para pria yang mendengarnya saling melirik, masing-masing mulai merasa bersalah."Aduh, ya sudah, aku ke sana sekarang!" sahut Endah cepat-cepat. Tak la