Wajah Kresna tampak muram. Dia menangkupkan kedua tangan dan memberi hormat pada Byakta sebelum berucap, "Kami masih ada urusan keluarga yang perlu ditangani, jadi nggak bisa menemani Wakil Jenderal Byakta lebih lama."Kresna jelas sekali sedang mengusir Byakta.Untungnya, Byakta sama sekali tidak merasa dipermalukan. Dia tahu statusnya begitu rendah. Jika mau bersama dengan Andini, dia pasti akan menghadapi banyak rintangan. Dia sudah lama menyiapkan diri untuk menghadapi semua ini. Namun, dia khawatir pada Andini.Byakta khawatir sesudah dirinya pergi, Andini akan menghadapi Keluarga Adipati sendirian dan dipersulit. Saat ini, tatapannya pada Andini tebersit perhatian yang dalam.Andini tersenyum pada Byakta, lalu mengangguk dan mengisyaratkannya untuk jangan khawatir.Andini sudah cukup lama kembali ke Kediaman Adipati dan mengalami berbagai macam kesulitan. Dia sudah terbiasa menghadapi semua kesulitan ini. Tidak akan terjadi apa-apa padanya. Byakta tetap khawatir. Akan tetapi, di
Ucapan Andini seperti pisau yang menusuk dada Kresna.Kresna membantah, "Nggak. Bukan Ayah yang mau membuangmu ke penatu istana. Permaisuri yang memberi titah. Ayah juga nggak berdaya."Setelah melontarkan ini, Kresna masih merasa dadanya begitu sesak hingga kesulitan bernapas. Dia menarik napas berkali-kali sebelum berucap, "A ... Ayah juga bukan nggak peduli padamu. Hanya saja, Kaisar terus mengawasi Keluarga Adipati."Kresna menjelaskan, "Ayah takut kalau salah langkah sedikit saja, Kaisar akan menemukan alasan untuk melawan kita! Ayah khawatir Keluarga Adipati akan hancur di tangan Ayah. Jadi, Ayah terpaksa ....""Terpaksa membuangku," sambung Andini dengan tenang.Andini bisa paham. Sebagai pemimpin keluarga, Kresna bertanggung jawab atas nasib ratusan orang di Kediaman Adipati. Andini bisa memahami kesulitan dan pilihan yang harus diambil Kresna.Namun, Andini tidak bisa memahami kejadian tiga tahun lalu. Kresna jelas-jelas melihat Dianti yang memecahkan mangkuk kaca itu, tetapi
Ekspresi Abimana tampak muram. Dia berucap dengan suara rendah, "Aku tahu kejadian hari ini adalah salahku. Tapi, aku sudah berjanji untuk membantumu mencari jodoh. Aku pasti akan tepati."Abimana melanjutkan, "Meski kamu nggak menganggapku sebagai kakak, aku selalu menganggapmu sebagai adikku. Aku nggak akan mungkin membiarkanmu menikah dengan pria yang nggak punya kekuasaan dan nggak bisa melindungimu!"Perkataan Abimana hampir beberapa kali membuat Andini tertawa. Abimana selalu menganggap Andini sebagai adiknya?Dari semua perbuatan Abimana, apa yang dia lakukan pada Andini sebagai kakak yang baik? Namun, Andini sudah sering mengatakan ini sebelumnya. Dia tidak mau membahasnya lagi sekarang. Lagi pula, meskipun dia mengatakannya, Abimana juga tidak akan mengingatnya.Andini menimpali dengan dingin, "Tapi, hari ini dia sudah melindungiku. Kalau nggak ada dia, mungkin aku sudah terbaring di dalam peti mati."Jika Byakta tidak menangkis beberapa serangan mematikan saat itu, bagaimana
Andini juga tahu bahwa mereka tidak akan bisa mengerti. Bagaimana mungkin orang yang tidak punya hati bisa mengerti betapa berharganya hati yang tulus?Melihat Andini yang tidak berbicara, Kirana berkata, "Andin, Ibu tahu kamu masih menyimpan dendam pada kami karena beberapa hal di masa lalu. Tapi, dalam masalah ini, ayah dan kakakmu benar-benar memikirkan yang terbaik untukmu!"Kirana berkomentar, "Wakil Jenderal Byakta memang baik. Bagi keluarga biasa, dia memang pasangan yang luar biasa, tapi nggak bagimu. Dia nggak bisa memberikan yang kamu inginkan ....""Dia nggak bisa memberikan yang aku inginkan atau yang Keluarga Adipati inginkan?" tanya Andini menyela ucapan Kirana.Abimana tersentak dan langsung menegur, "Andini, Ayah dan Ibu cuma peduli padamu. Jangan nggak tahu diri!"Peduli? Andini mendengus dingin sebelum menimpali, "Apa ucapanku salah? Dia punya semua yang aku inginkan. Dia juga bisa memberikannya padaku."Selesai berbicara, Andini melihat satu per satu wajah anggota Ke
Dianti tidak berhenti menangis. Mungkin karena tangisan Dianti terlalu menyedihkan sehingga Kirana merasa iba. Dia berkomentar, "Di dunia ini, nggak ada wanita yang mau merusak kesuciannya sendiri. Mungkin Dian benar-benar nggak bersalah."Tidak disangka, Andini mendengus dingin sebelum membalas, "Tapi, tadi Dianti juga sudah bilang bahwa dia khawatir kalian nggak menginginkannya. Kalau hari ini kesuciannya dirusak, kalian pasti sangat kasihan padanya dan akan melemparkan semua kesalahan padaku.""Kalian akan menyayanginya dan melindunginya. Jenderal Rangga juga akan merasa bersalah, lalu segera menikahinya. Kalau itu sungguh terjadi, Dianti akan mendapatkan semua yang dia inginkan," sambung Andini.Ketika Andini mengatakan ini, semua tatapan tertuju pada Dianti.Dianti menggeleng dengan panik sembari mengelak, "Nggak. Itu nggak benar. Bukan seperti itu ...."Andini tertawa sinis, lalu menambahkan, "Apalagi, dia sudah mengirim orang untuk memberi tahu Abimana. Dia tahu bahwa Abimana ak
Maksud Andini adalah dia akan terus berusaha demi dirinya dan Byakta.Byakta merasa terharu, tetapi juga merasa rendah diri. Katanya, "Apa aku pantas menerima ini ...."Tidak disangka, Andini tiba-tiba memanggil dengan serius, "Byakta."Byakta langsung menengadah. Dia melihat Andini sedang mengernyit dan menatapnya dengan serius. Andini memperingatkan, "Ke depannya, jangan membahayakan dirimu lagi. Aku akan bergantung padamu seumur hidupku. Kamu harus melindungi dirimu sendiri terlebih dulu baru bisa melindungiku."Byakta tertegun. Begitu Andini mengatakan akan bergantung pada dirinya seumur hidup, hati Byakta terasa tertekan. Dia tidak tahu ini karena kepalanya terluka atau bukan. Sejak Andini bertanya apakah dia mau menikahinya, dia merasa dirinya seperti melayang di awan, seakan-akan semuanya tidak nyata.Ketika Andini menyerahkan tanggung jawab sebesar ini kepada Byakta, Byakta baru menyadari bahwa semua ini nyata.Andini melanjutkan, "Aku tahu kamu buru-buru keluar untuk mencari p
Sayangnya, Andini hanya menatap kedua mata Rangga dengan dingin seraya membalas, "Nggak perlu penasaran. Aku memang mau memilihnya. Kalau kamu bersikeras menanyakan alasan, mungkin jawabannya adalah cinta muncul tanpa disadari dan menjadi makin dalam seiring waktu."Mendengar ini, aura di sekujur tubuh Rangga seketika menjadi suram. Bahkan kedua matanya tampak dingin.Makin dalam? Andini benar-benar memiliki cinta yang mendalam! Jika seperti itu, Andini tidak akan mungkin tiba-tiba mencintai Byakta!Rangga tertawa dingin sebelum berkata, "Cintamu benar-benar bisa berubah dalam sekejap, ya." Sindirannya terdengar sangat jelas.Andini mengerti maksud Rangga. Dia menimpali dengan ekspresi dingin, "Jenderal Rangga, perasaanku padamu cuma sebatas cinta monyet. Bukannya dulu kamu nggak pernah menganggapku? Kenapa sekarang justru terlihat seakan-akan sangat peduli?"Andini sudah berkata seperti itu. Bagaimana mungkin Rangga mengakui bahwa dirinya peduli?Rangga menggertakkan gigi dengan ekspr
Laras benar-benar takut Abimana akan melukai Andini.Andini tertawa ringan. "Nggak apa-apa!”Namun, Laras tiba-tiba berseru kaget, "Nona, Anda terluka!"Andini tertegun. "Nggak kok."Abimana tidak menyerangnya lagi, bagaimana mungkin dia terluka?Laras mengangkat tangan kirinya. Di lengan bajunya terdapat bercak darah."Kenapa ada begitu banyak darah?" Laras tampak cemas. "Ini darah siapa?"Melihat bercak darah besar di lengan bajunya, ada sesuatu di dalam hati Andini yang membuatnya tiba-tiba merasa perih dan nyeri."Darah Rangga." Saat mengucapkan itu, dia tidak bisa menahan diri untuk tersenyum pahit dan menggeleng sedikit.Baru kali ini Andini menyadari bahwa Rangga begitu kekanak-kanakan. Jelas sekali ketika berada di luar kamar Byakta, Rangga masih menyembunyikannya dengan sangat baik. Bahkan saat di kamar Dianti, dia sengaja menyembunyikan tangannya di belakang punggung agar tak seorang pun tahu bahwa dia terluka.Namun barusan, dia justru sengaja menggulung lengan bajunya di ha
Keesokan hari saat Andini bangun, sosok Surya sudah tak terlihat. Sementara itu, Endah tengah sibuk di dapur.Dengan kaki yang masih pincang, Andini berjalan ke ambang pintu, menatap Endah dengan heran, "Bibi Endah, kok hari ini bangunnya pagi sekali?"Matahari bahkan belum sepenuhnya terbit!Endah menyiapkan air untuk Andini mencuci muka, lalu menjawab, "Arjuna sudah pergi ke gunung sejak fajar bersama Anom. Aku hari ini nggak ada pekerjaan di ladang, jadi mampir ke sini untuk bantu-bantu sebentar."Saat berbicara, sudut bibir Endah menyiratkan senyuman kecil.Mengingat kejadian kemarin, Andini pun merasa perlu meminta maaf. "Maaf ya, Bi Endah. Kemarin aku asal bicara cuma untuk menakut-nakuti Anom."Endah buru-buru mengangguk. "Iya, aku tahu. Anak bandel itu memang perlu ditakut-takuti! Setelah pulang kemarin, dia nangis-nangis sambil janji nggak akan berjudi lagi.""Pagi ini juga semangat banget bangunnya. Kalau dia bisa meninggalkan kebiasaan buruk itu, lalu ikut Arjuna berburu, it
Rangga pernah menculik Andini dan akhirnya membuat Andini terjatuh ke Sungai Mentari. Dendam itu masih terus disimpan Laras di dalam hati sampai sekarang.Meskipun statusnya hanyalah seorang pelayan biasa dan tak bisa berbuat apa-apa pada Rangga, jangan harap dia bersedia mengikuti Rangga!Selesai bicara, Laras pun membalikkan badan dan melangkah ke arah Kalingga. Kalingga masih tidak mengatakan apa-apa. Setelah mendengar kata-kata Laras barusan, seulas senyuman tipis tidak bisa disembunyikan dari wajahnya.Senyuman ringan itu, sekalipun sangat tipis, tetap menyakitkan mata Rangga. Dia tidak mengerti. Kenapa Andini tidak mau bersamanya, bahkan pelayannya pun menolaknya?Rangga sontak melangkah maju, hendak menarik tangan Laras. Namun, baru satu langkah diambil, terdengar suara Kalingga yang datar. "Rangga."Hanya satu panggilan pelan, tetapi makna ancamannya sangat jelas. Apabila Rangga benar-benar menahan Laras, Kalingga pasti akan bertindak.Rangga pun berhenti. Aura yang dipancarkan
Jabal mencari tiga kuda terbaik dari kediaman dan berangkat malam itu juga menuju lokasi yang berjarak lebih dari 50 kilometer.Perjalanan tidak sepenuhnya mulus. Mayat perempuan itu ditemukan di sebuah desa kecil. Ketika mereka tiba, matahari sudah bersinar terik.Di luar desa, anak buah mereka sudah menunggu. Begitu turun dari kuda, Kalingga segera masuk ke desa. "Di mana?""Masih di tepi sungai," kata anak buah itu sambil menurunkan suaranya. "Jenderal Rangga juga ada di sana."Mendengar itu, Kalingga sempat tercengang sejenak. Dia mengikuti arah yang ditunjuk. Benar saja, di tepi sungai tak jauh dari sana, terlihat Rangga sedang membuka kain putih penutup mayat. Wajahnya memperlihatkan ekspresi jijik.Melihat itu, Kalingga merasa lega. Dari ekspresi Rangga, seharusnya itu bukan Andini. Namun, detik berikutnya, hatinya kembali diliputi amarah. Informasi itu datang dari bawahannya sendiri, kenapa Rangga bisa lebih dulu sampai di sini?Di belakang, Laras yang melihat mayat tertutup ka
Tingkah mereka yang berpura-pura mabuk tadi memang tak terlihat mencurigakan. Namun, akting setelah mereka "sadar" barusan sungguh buruk. Beberapa dari mereka bahkan langsung terbangun, padahal tidak disiram.Andini mengernyit pelan saat memikirkan hal ini, lalu secara refleks menoleh ke arah jendela. Di sana, dia melihat sosok tinggi besar itu berjalan ke arah barat, menuju ke bawah atap.Dia tak ingin berpikiran buruk tentang orang lain, tetapi saat itu di halaman hanya ada dia seorang yang bukan dari kalangan mereka. Mereka semua pura-pura mabuk, jelas-jelas untuk diperlihatkan kepadanya.Kenapa? Sedang mengujinya? Apakah karena sebelumnya dia secara tidak sengaja menunjukkan sedikit kemampuan bela dirinya?Namun, jika Surya hanya pemburu biasa, bagaimana mungkin dia bisa terpikir menggunakan cara semacam ini? Jangan-jangan identitasnya pun tidak sesederhana itu?Begitu benih kecurigaan tertanam, hal itu mulai tumbuh liar dalam hati. Andini berusaha keras mengingat semua kejadian se
Andini sama sekali tidak menyadari apa yang terjadi di belakangnya. Begitu keluar dari pagar bambu, kaki kirinya terasa sakit lagi. Langkahnya semakin pincang. Sebelum berjalan jauh, dia sudah mulai memanggil, "Bi Endah! Bi Endah!"Dia sama sekali tidak tahu, sebelum dia membuka mulut, sebilah belati nyaris menyentuh leher putihnya dari belakang, hanya sedikit lagi sudah akan menggorok tenggorokannya.Namun, saat dia memanggil nama Endah, belati itu tiba-tiba ditarik mundur, lalu pemiliknya buru-buru kembali ke dalam halaman.Tak lama kemudian, lampu di rumah Endah kembali menyala. Wanita itu bertanya, "Ada apa? Ada apa ini?"Andini memandang Endah dengan wajah penuh rasa bersalah. "Kak Arjuna dan teman-temannya mabuk semua, mereka tidur di luar. Aku khawatir mereka masuk angin kalau tidur di luar. Bisa Bibi bantu aku?"Di dalam pagar, para pria yang mendengarnya saling melirik, masing-masing mulai merasa bersalah."Aduh, ya sudah, aku ke sana sekarang!" sahut Endah cepat-cepat. Tak la
Kata "orang kasar" benar-benar mewujud saat ini. Andini sempat terpaku menatap mereka.Surya membelakangi Andini, tentu saja tidak menyadarinya. Namun, pria yang duduk di depannya melihat tatapan Andini, lalu melirik ke arah Surya dan mengangkat dagunya sedikit.Surya pun menoleh. Ketika melihat Andini sedang tersenyum sendiri ke arah mereka, Surya seperti baru menyadari sesuatu. Dia mendorong pria di sampingnya. "Tenang sedikit."Baru saat itu, rombongan pria itu menyadari bahwa masih ada seorang perempuan di sini. Mereka buru-buru minta maaf."Maaf ya, Nona. Kami ini orang-orang kasar, mulut kami kadang suka seenaknya!""Iya, Nona. Kalau tadi ada kata-kata yang nggak enak didengar, anggap saja kami cuma kentut!""Kamu yang kentutnya paling bau, hahahaha!""Sialan kamu!"Suasana kembali ceria, penuh tawa dan canda. Andini memandangi para pria itu. Meskipun kasar dan berisik, kehangatan dan keharmonisan ini adalah sesuatu yang belum pernah dia lihat sebelumnya.Andini pun tersenyum lem
Surya pertama kali turun ke medan perang saat usianya baru enam belas tahun.Sebagai seorang pangeran, ibunya tidak memiliki latar belakang yang kuat. Dia tahu dalam perebutan takhta, dirinya tak mungkin bisa menyaingi para kakaknya. Jika terus tinggal di ibu kota, mungkin suatu hari nanti dia akan menjadi mangsa di tangan orang lain.Karena itu, dia mengajukan diri untuk menjadi prajurit garis depan di bawah komando jenderal besar saat itu.Tahun itu, suku Tru sering mengganggu perbatasan. Rakyat Negara Darsa sangat menderita karena kekacauan itu.Dia memacu kuda di barisan paling depan, menyerbu ke medan perang. Pedang besarnya berayun liar. Saat bilah tajam itu menebas tubuh musuh, dia bahkan bisa mendengar jelas suara tulang yang terbelah.Darah hangat memercik ke wajahnya, dunia seolah-olah berubah merah seketika. Dia mendengar detak jantungnya sendiri begitu keras, tetapi tak bisa membedakan apakah itu karena takut atau justru karena gairah.Di medan perang yang kejam, di mana hi
Sambil bicara, Surya menoleh ke arah para pria kekar di belakang Anom, lalu berkata, "Kalian lakukan sendiri. Di sana ada kapak dan parang."Setelah itu, dia pun berbalik dan berjalan ke samping. Beberapa pria itu langsung maju dan menangkap Anom.Anom ketakutan setengah mati, berteriak dan menangis sambil terus memohon ampun. Namun, kekuatan para pria itu terlalu besar. Tangan Anom ditarik dan ditekan ke tanah.Kapak pun diangkat tinggi-tinggi, memantulkan kilatan dingin cahaya, lalu dihantamkan dengan keras."Argh!" Anom menjerit. Bagian selangkangannya langsung terasa hangat, seluruh tubuhnya jatuh lemas ke tanah. Namun ... ternyata tangannya masih utuh.Salah satu pria berkata dengan dingin, "Kalau masih berani ulangi lagi, kami nggak akan biarkan begitu mudah!"Pria lain mengeluarkan kantong uang dari balik bajunya dan menyerahkannya kepada Surya. "Ini, Kak.""Terima kasih. Kalian makan saja dulu sebelum pergi," ucap Surya."Siap! Nanti teman kita akan bawa daging dan arak ke sini
Endah masih terus menangis. Surya tidak tahu harus bagaimana menenangkannya. Meskipun sosoknya besar dan kekar, dia justru tampak kewalahan saat berdiri di samping Endah.Akhirnya, Andini yang menenangkan Endah untuk beberapa saat. Suasana hati Endah pun membaik. Melihat waktu sudah tidak pagi lagi dan dia masih harus turun ke ladang, Endah pun tidak berlama-lama di situ.Setelah mengantar Endah pergi, Surya menuju ke sisi barat halaman dan mulai sibuk bekerja. Dia berencana membangun atap untuk berteduh. Soalnya kalau hujan turun, dia tidak punya tempat untuk tidur.Melihat Surya sesibuk seperti itu, Andini akhirnya tak tahan untuk bertanya, "Kak Arjuna, kamu benar-benar percaya kalau Anom ambil uang itu buat bayar utang?"Uang itu bukan hasil kerja Andini, jadi dia merasa tidak berhak ikut campur. Namun, dia juga tidak tega melihat penyelamatnya ditipu.Tangan Surya tak berhenti bekerja, suaranya terdengar dalam dan tenang. "Dia pergi judi."Mendengar itu, Andini terkejut. "Kalau beg