Apa? Abimana terkejut. Dia bergegas maju dan meraih kerah baju pengemis kecil sebelum bertanya, "Siapa yang menculiknya? Ke mana mereka membawanya?"Pengemis kecil ketakutan. Kedua matanya tebersit rasa ngeri. Dia seketika hanya bisa menangis histeris.Abimana berteriak marah, "Cepat katakan! Kalau nggak, aku akan mengulitimu!"Pengemis kecil menyahut dengan gemetaran, "Di ... diculik be ... beberapa pengemis dan dibawa ke luar kota."Begitu mendapatkan jawaban, Abimana melepaskan pengemis kecil dan segera menuju ke luar kota.Usai melihat Abimana pergi jauh, pengemis kecil baru menghela napas lega. Namun, ketika menoleh, dia tidak sengaja menatap Andini sekilas.Andini sedang mengamati pengemis kecil dari atas sampai bawah. Pandangannya berhenti di dadanya yang menonjol.Pengemis kecil seketika panik dan buru-buru menutup dadanya. Tatapannya tampak gelisah dan penuh rasa bersalah. Dia melirik Andini beberapa kali dengan ketakutan dan waspada, lalu pergi dengan tergesa-gesa.Setelah me
Begitu melihat senyuman di wajah Byakta, di dalam benak Andini penuh dengan gambaran saat Byakta melindunginya di Kedai Arum.Byakta mengatakan siapa pun yang berani macam-macam pada Andini akan mati! Ketika diserang, Byakta meminta Andini pergi ke samping dan menjauhkannya dari area perkelahian. Byakta bahkan melindungi nyawa Andini dengan tubuhnya sendiri di saat genting.Andini teringat dengan sebagian wajah Byakta yang berlumuran darah. Tatapannya tertuju pada kerah baju yang masih ada noda darah.Ketika menyadari tatapan Andini, Byakta buru-buru menunduk untuk merapikan pakaiannya. Dia mencoba menyembunyikan noda darah itu dengan cemas.Tidak disangka, Andini berjalan ke arah Byakta dan berdiri di samping tempat tidurnya. Dia menunduk memandang Byakta dengan berlinang air mata. Tangannya yang mungil mengelus perban di kepala Byakta dengan lembut. Dia tidak berani mengerahkan tenaga karena khawatir akan menyakiti Byakta.Kala ini, Byakta sangat gugup. Kedekatan dan tindakan Andini
Byakta tertegun. Dia lupa memberikan buah haw di tangannya, lupa mengusap air mata Andini, bahkan lupa apa yang barusan dikatakan Andini.Apakah pendengaran Byakta salah? Dia memegang beberapa buah haw dan seketika diam membeku.Melihat ekspresi Byakta yang konyol, senyuman Andini justru makin lebar. Andini mengambil buah haw dari tangan Byakta, lalu memasukkan ke dalam mulut dan mengunyahnya. Kemudian, dia bertanya lagi, "Apa kamu mau menikahiku?"Byakta tersadar dari lamunannya dan segera menyahut, "Mau!"Byakta seakan-akan takut Andini akan menarik kembali kata-katanya jika dirinya masih tidak merespons. Dia mengatakan "mau" dengan berteriak sampai suaranya hampir memekakkan telinga Andini.Byakta segera tenang dan berucap, "Tapi, aku nggak punya kekuasaan dan pengaruh. Statusku juga rendah, jauh berbeda dengan statusmu. Aku nggak pantas untukmu."Byakta menunduk dengan sedikit kecewa. Dia masih mengingat jelas setiap kata yang diucapkan Laras kepadanya sebelumnya. Dia sangat paham
Rangga merasa enggan. Lantaran Dianti sudah diselamatkan dan kembali ke Kediaman Adipati, itu berarti sudah tidak ada masalah besar. Lagi pula, Dianti memang suka menangis. Menurut Rangga, hal ini tidak begitu serius sampai perlu mengirim orang ke markas militer untuk menyampaikan pesan.Namun, saat ini Rangga kebetulan tidak ingin tetap berada di sini. Dia melirik Andini sekilas sebelum pergi.Ketika melihat Rangga pergi dengan terburu-buru, Byakta berdiri di belakang Andini dan bertanya, "Apa kamu juga mau pulang untuk melihatnya?"Tatapan Andini menjadi sedikit dingin. Dia membalas, "Ini memang saatnya untuk pulang dan lihat apa trik yang sedang dimainkan Dianti."Byakta mengernyit sembari bertanya, "Trik? Apa ada yang janggal?"Andini mengangguk, lalu memberi tahu Byakta tentang pengemis kecil itu.Byakta bertanya dengan ekspresi serius, "Kalau begitu, ini memang ada yang janggal. Tapi, kenapa Nona Dianti melakukan itu?"Andini tidak menjawab. Dia tahu bahwa Dianti melakukan itu un
Begitu Andini melontarkan pertanyaan itu, tidak ada yang merespons.Apakah ucapan Andini salah? Tentu saja tidak. Mereka semua tahu bahwa toleransi alkohol Rangga sangat tinggi. Rangga sama sekali tidak mabuk dan tidak salah mengenali orang.Jangankan Abimana, bahkan Rangga yang berdiri di sana pun tidak bisa mengatakan bahwa ucapan Andini salah.Kresna sudah ingin marah sejak melihat Rangga. Sekarang, begitu mendengar ucapan Andini, dia tidak bisa menahan kesabarannya lagi.Kresna berujar dengan suara rendah, "Jenderal Rangga, leluhur Keluarga Biantara memang sudah mengikat perjanjian pernikahan dengan Keluarga Maheswara. Putri kandung kami juga tertukar 18 tahun lalu. Akibatnya, perjanjian pernikahan ini penuh dengan drama."Kresna meneruskan, "Tapi, sejak awal Keluarga Biantara cuma menjanjikan satu putri untuk menjadi menantu Keluarga Maheswara. Tolong Jenderal Rangga beri penjelasan mengenai masalah hari ini. Kalau nggak, aku akan meminta titah Kaisar untuk membatalkan perjanjian
Abimana tidak menyangka Andini masih berani marah pada Dianti, padahal Andini adalah dalangnya. Abimana seketika hendak menyerang Andini lagi. Dia menghardik, "Untuk apa kamu berteriak! Aku rasa kalau hari ini nggak beri pelajaran padamu, kamu akan benar-benar nggak tahu diri!"Laras yang melihat situasi memanas segera maju untuk melindungi Andini. Tidak disangka, kali ini dia didahului Rangga.Rangga meraih tinju Abimana yang hampir melayang. Dia mengernyit sembari berkata, "Mungkin benar-benar ada yang belum terungkap dibalik kejadian ini."Ini kesimpulan yang dibuat berdasarkan penilaian Rangga sendiri. Diamnya Dianti jelas menunjukkan bahwa masalah ini tidak sesederhana itu.Tidak disangka, begitu melihat Rangga berdiri di depan Andini, Kresna langsung membentak, "Jenderal Rangga, pikirkan baik-baik!"Kresna hanya memiliki dua putri. Mereka bukan untuk dipermainkan Rangga yang tidak bisa memilih.Kala ini, seorang pelayan masuk dengan tergesa-gesa. Dia menyampaikan, "Tuan Kresna, W
Tangisan pengemis kecil sangat menyedihkan. Semua orang menjadi tersentuh.Di dalam kamar, usai Dianti mendengar perkataan pengemis kecil, tubuhnya terus bergetar hebat. Kirana yang menyadarinya seketika mengernyit.Sementara itu, Kresna bertanya, "Kakak yang mana? Coba lihat, apa dia orangnya?" Dia menunjuk Andini.Andini tidak terkejut. Dia sudah tahu sejak awal bahwa di dalam hati Kresna dan lainnya, dia adalah orang jahat. Dia bahkan merasa bahwa nada bicara Kresna saat bertanya seolah-olah sudah menduga jawabannya.Menurut Andiri, Kresna pasti berharap pengemis kecil itu mengangguk. Dengan begitu, Kresna bisa memarahinya tanpa belas kasihan, menjatuhkan hukuman keluarga, dan melihatnya berlutut memohon ampun dengan sekujur tubuh yang penuh luka. Sepertinya hal itu baru bisa membuat mereka puas.Andini sudah menduganya. Bagaimanapun, dia sudah bukan putri mereka. Di dalam hati mereka, dia hanya orang asing yang tidak penting, tetapi masih bisa dimanfaatkan!Meskipun begitu, ketika
Andini memandang semua orang sekilas sebelum bertanya dengan pelan, "Dianti, apa kamu mau membela diri?"Kata-kata ini jelas membuat Dianti tersadar. Dianti buru-buru beranjak dari tempat tidur, lalu berlutut di hadapan Kresna dan Abimana. Dia menjelaskan sambil menangis, "Ayah, Kak Abimana, aku nggak sengaja. Aku benar-benar nggak sengaja!"Begitu mendengar suara Dianti, Abimana sama sekali tidak merasa iba lagi. Sebaliknya, dia menatap Dianti dengan tidak percaya, lalu bertanya dengan suara rendah, "Jadi, kamu cuma diam melihatku membunuh mereka?"Padahal Dianti mengeluarkan uang untuk menyewa para pengemis itu. Namun, ketika melihat Abimana menghunuskan pedang, Dianti sama sekali tidak menghentikannya!Jika para pengemis itu tidak berniat jahat pada Dianti, lantas apa arti dari pembunuhan yang dilakukan Abimana? Abimana tahu dirinya selalu gegabah, tetapi dia tidak pernah membunuh orang tak berdosa! Kini, dia malah mengotori tangannya demi Dianti.Dianti menggeleng dengan panik semb
Keesokan hari saat Andini bangun, sosok Surya sudah tak terlihat. Sementara itu, Endah tengah sibuk di dapur.Dengan kaki yang masih pincang, Andini berjalan ke ambang pintu, menatap Endah dengan heran, "Bibi Endah, kok hari ini bangunnya pagi sekali?"Matahari bahkan belum sepenuhnya terbit!Endah menyiapkan air untuk Andini mencuci muka, lalu menjawab, "Arjuna sudah pergi ke gunung sejak fajar bersama Anom. Aku hari ini nggak ada pekerjaan di ladang, jadi mampir ke sini untuk bantu-bantu sebentar."Saat berbicara, sudut bibir Endah menyiratkan senyuman kecil.Mengingat kejadian kemarin, Andini pun merasa perlu meminta maaf. "Maaf ya, Bi Endah. Kemarin aku asal bicara cuma untuk menakut-nakuti Anom."Endah buru-buru mengangguk. "Iya, aku tahu. Anak bandel itu memang perlu ditakut-takuti! Setelah pulang kemarin, dia nangis-nangis sambil janji nggak akan berjudi lagi.""Pagi ini juga semangat banget bangunnya. Kalau dia bisa meninggalkan kebiasaan buruk itu, lalu ikut Arjuna berburu, it
Rangga pernah menculik Andini dan akhirnya membuat Andini terjatuh ke Sungai Mentari. Dendam itu masih terus disimpan Laras di dalam hati sampai sekarang.Meskipun statusnya hanyalah seorang pelayan biasa dan tak bisa berbuat apa-apa pada Rangga, jangan harap dia bersedia mengikuti Rangga!Selesai bicara, Laras pun membalikkan badan dan melangkah ke arah Kalingga. Kalingga masih tidak mengatakan apa-apa. Setelah mendengar kata-kata Laras barusan, seulas senyuman tipis tidak bisa disembunyikan dari wajahnya.Senyuman ringan itu, sekalipun sangat tipis, tetap menyakitkan mata Rangga. Dia tidak mengerti. Kenapa Andini tidak mau bersamanya, bahkan pelayannya pun menolaknya?Rangga sontak melangkah maju, hendak menarik tangan Laras. Namun, baru satu langkah diambil, terdengar suara Kalingga yang datar. "Rangga."Hanya satu panggilan pelan, tetapi makna ancamannya sangat jelas. Apabila Rangga benar-benar menahan Laras, Kalingga pasti akan bertindak.Rangga pun berhenti. Aura yang dipancarkan
Jabal mencari tiga kuda terbaik dari kediaman dan berangkat malam itu juga menuju lokasi yang berjarak lebih dari 50 kilometer.Perjalanan tidak sepenuhnya mulus. Mayat perempuan itu ditemukan di sebuah desa kecil. Ketika mereka tiba, matahari sudah bersinar terik.Di luar desa, anak buah mereka sudah menunggu. Begitu turun dari kuda, Kalingga segera masuk ke desa. "Di mana?""Masih di tepi sungai," kata anak buah itu sambil menurunkan suaranya. "Jenderal Rangga juga ada di sana."Mendengar itu, Kalingga sempat tercengang sejenak. Dia mengikuti arah yang ditunjuk. Benar saja, di tepi sungai tak jauh dari sana, terlihat Rangga sedang membuka kain putih penutup mayat. Wajahnya memperlihatkan ekspresi jijik.Melihat itu, Kalingga merasa lega. Dari ekspresi Rangga, seharusnya itu bukan Andini. Namun, detik berikutnya, hatinya kembali diliputi amarah. Informasi itu datang dari bawahannya sendiri, kenapa Rangga bisa lebih dulu sampai di sini?Di belakang, Laras yang melihat mayat tertutup ka
Tingkah mereka yang berpura-pura mabuk tadi memang tak terlihat mencurigakan. Namun, akting setelah mereka "sadar" barusan sungguh buruk. Beberapa dari mereka bahkan langsung terbangun, padahal tidak disiram.Andini mengernyit pelan saat memikirkan hal ini, lalu secara refleks menoleh ke arah jendela. Di sana, dia melihat sosok tinggi besar itu berjalan ke arah barat, menuju ke bawah atap.Dia tak ingin berpikiran buruk tentang orang lain, tetapi saat itu di halaman hanya ada dia seorang yang bukan dari kalangan mereka. Mereka semua pura-pura mabuk, jelas-jelas untuk diperlihatkan kepadanya.Kenapa? Sedang mengujinya? Apakah karena sebelumnya dia secara tidak sengaja menunjukkan sedikit kemampuan bela dirinya?Namun, jika Surya hanya pemburu biasa, bagaimana mungkin dia bisa terpikir menggunakan cara semacam ini? Jangan-jangan identitasnya pun tidak sesederhana itu?Begitu benih kecurigaan tertanam, hal itu mulai tumbuh liar dalam hati. Andini berusaha keras mengingat semua kejadian se
Andini sama sekali tidak menyadari apa yang terjadi di belakangnya. Begitu keluar dari pagar bambu, kaki kirinya terasa sakit lagi. Langkahnya semakin pincang. Sebelum berjalan jauh, dia sudah mulai memanggil, "Bi Endah! Bi Endah!"Dia sama sekali tidak tahu, sebelum dia membuka mulut, sebilah belati nyaris menyentuh leher putihnya dari belakang, hanya sedikit lagi sudah akan menggorok tenggorokannya.Namun, saat dia memanggil nama Endah, belati itu tiba-tiba ditarik mundur, lalu pemiliknya buru-buru kembali ke dalam halaman.Tak lama kemudian, lampu di rumah Endah kembali menyala. Wanita itu bertanya, "Ada apa? Ada apa ini?"Andini memandang Endah dengan wajah penuh rasa bersalah. "Kak Arjuna dan teman-temannya mabuk semua, mereka tidur di luar. Aku khawatir mereka masuk angin kalau tidur di luar. Bisa Bibi bantu aku?"Di dalam pagar, para pria yang mendengarnya saling melirik, masing-masing mulai merasa bersalah."Aduh, ya sudah, aku ke sana sekarang!" sahut Endah cepat-cepat. Tak la
Kata "orang kasar" benar-benar mewujud saat ini. Andini sempat terpaku menatap mereka.Surya membelakangi Andini, tentu saja tidak menyadarinya. Namun, pria yang duduk di depannya melihat tatapan Andini, lalu melirik ke arah Surya dan mengangkat dagunya sedikit.Surya pun menoleh. Ketika melihat Andini sedang tersenyum sendiri ke arah mereka, Surya seperti baru menyadari sesuatu. Dia mendorong pria di sampingnya. "Tenang sedikit."Baru saat itu, rombongan pria itu menyadari bahwa masih ada seorang perempuan di sini. Mereka buru-buru minta maaf."Maaf ya, Nona. Kami ini orang-orang kasar, mulut kami kadang suka seenaknya!""Iya, Nona. Kalau tadi ada kata-kata yang nggak enak didengar, anggap saja kami cuma kentut!""Kamu yang kentutnya paling bau, hahahaha!""Sialan kamu!"Suasana kembali ceria, penuh tawa dan canda. Andini memandangi para pria itu. Meskipun kasar dan berisik, kehangatan dan keharmonisan ini adalah sesuatu yang belum pernah dia lihat sebelumnya.Andini pun tersenyum lem
Surya pertama kali turun ke medan perang saat usianya baru enam belas tahun.Sebagai seorang pangeran, ibunya tidak memiliki latar belakang yang kuat. Dia tahu dalam perebutan takhta, dirinya tak mungkin bisa menyaingi para kakaknya. Jika terus tinggal di ibu kota, mungkin suatu hari nanti dia akan menjadi mangsa di tangan orang lain.Karena itu, dia mengajukan diri untuk menjadi prajurit garis depan di bawah komando jenderal besar saat itu.Tahun itu, suku Tru sering mengganggu perbatasan. Rakyat Negara Darsa sangat menderita karena kekacauan itu.Dia memacu kuda di barisan paling depan, menyerbu ke medan perang. Pedang besarnya berayun liar. Saat bilah tajam itu menebas tubuh musuh, dia bahkan bisa mendengar jelas suara tulang yang terbelah.Darah hangat memercik ke wajahnya, dunia seolah-olah berubah merah seketika. Dia mendengar detak jantungnya sendiri begitu keras, tetapi tak bisa membedakan apakah itu karena takut atau justru karena gairah.Di medan perang yang kejam, di mana hi
Sambil bicara, Surya menoleh ke arah para pria kekar di belakang Anom, lalu berkata, "Kalian lakukan sendiri. Di sana ada kapak dan parang."Setelah itu, dia pun berbalik dan berjalan ke samping. Beberapa pria itu langsung maju dan menangkap Anom.Anom ketakutan setengah mati, berteriak dan menangis sambil terus memohon ampun. Namun, kekuatan para pria itu terlalu besar. Tangan Anom ditarik dan ditekan ke tanah.Kapak pun diangkat tinggi-tinggi, memantulkan kilatan dingin cahaya, lalu dihantamkan dengan keras."Argh!" Anom menjerit. Bagian selangkangannya langsung terasa hangat, seluruh tubuhnya jatuh lemas ke tanah. Namun ... ternyata tangannya masih utuh.Salah satu pria berkata dengan dingin, "Kalau masih berani ulangi lagi, kami nggak akan biarkan begitu mudah!"Pria lain mengeluarkan kantong uang dari balik bajunya dan menyerahkannya kepada Surya. "Ini, Kak.""Terima kasih. Kalian makan saja dulu sebelum pergi," ucap Surya."Siap! Nanti teman kita akan bawa daging dan arak ke sini
Endah masih terus menangis. Surya tidak tahu harus bagaimana menenangkannya. Meskipun sosoknya besar dan kekar, dia justru tampak kewalahan saat berdiri di samping Endah.Akhirnya, Andini yang menenangkan Endah untuk beberapa saat. Suasana hati Endah pun membaik. Melihat waktu sudah tidak pagi lagi dan dia masih harus turun ke ladang, Endah pun tidak berlama-lama di situ.Setelah mengantar Endah pergi, Surya menuju ke sisi barat halaman dan mulai sibuk bekerja. Dia berencana membangun atap untuk berteduh. Soalnya kalau hujan turun, dia tidak punya tempat untuk tidur.Melihat Surya sesibuk seperti itu, Andini akhirnya tak tahan untuk bertanya, "Kak Arjuna, kamu benar-benar percaya kalau Anom ambil uang itu buat bayar utang?"Uang itu bukan hasil kerja Andini, jadi dia merasa tidak berhak ikut campur. Namun, dia juga tidak tega melihat penyelamatnya ditipu.Tangan Surya tak berhenti bekerja, suaranya terdengar dalam dan tenang. "Dia pergi judi."Mendengar itu, Andini terkejut. "Kalau beg