Kemudian, seorang kasim muda segera menarik Dianti. Namun, semuanya sudah terlambat.Bunga bakawali hancur karena ditekan Dianti. Bahkan, beberapa kuntum bunga telah masuk ke tanah. Bunga-bunga itu tidak terlihat indah lagi.Kasim yang ketakutan terduduk di tanah dan bergumam, "Gawat ...."Kasim tiba-tiba teringat sesuatu. Dia menarik ujung gaun Dianti dan berseru, "Kamu yang menghancurkan bunga-bunga ini! Putri menyuruh orang untuk membeli bunga ini dari Ifra dengan harga mahal! Aku dan guruku baru berhasil menanam 2 kuntum bunga ini setelah berusaha keras!"Kasim menambahkan, "Beberapa bulan lagi, bunga ini akan mekar. Tapi, kamu malah menghancurkannya! Kamu harus ganti rugi!"Sesudah itu, kasim menangis histeris sehingga semua orang mengerumuninya. Gaun Dianti juga ternodai tanah. Dia makin panik karena ditertawakan lagi. Dianti menarik gaunnya dan membentak, "Lepaskan!""Aku nggak mau! Ganti rugi dulu!" tegas kasim. Dia bertekad untuk meminta Dianti bertanggung jawab. Jadi, dia tid
Rangga paham hari ini Safira tidak akan membiarkan mereka pergi begitu saja. Apalagi kasim muda itu berlutut di depan Safira dan mengadu sambil menangis, "Putri, dia merusak bungamu!"Safira melihat ke arah yang ditunjuk kasim. Dia memarahi, "Lancang sekali! Beraninya kamu merusak bunga bakawali kesukaanku! Dianti! Apa kamu tahu bunga bakawali ini sangat mahal?"Dianti yang dimarahi gemetaran di pelukan Rangga. Sebelum Dianti sempat bicara, Abimana memberi hormat dan menjelaskan, "Putri, kejadian ini nggak disengaja. Dian nggak berniat merusak bunga kesukaan Putri. Orang yang nggak tahu apa-apa nggak salah, mohon Putri selidiki dulu."Pelayan di samping Safira menegur, "Lancang! Tentu saja dia salah karena merusak bunga kesukaan Putri! Dia harus dihukum! Apa Tuan Abimana bermaksud mengkritik Putri nggak bijaksana?"Abimana memberi hormat lagi, lalu menimpali, "Saya nggak berani. Tapi, Dian memang jatuh. Semua orang bisa menjadi saksi."Safira mendengus dan menanggapi, "Memangnya kenapa
Nayshila yang berdiri di samping melihat ekspresi Andini yang getir. Dia tiba-tiba merasa tidak nyaman.Namun, begitu teringat Andini yang menyebabkan Dianti mengalami semua ini, dia menasihati, "Kita memang bertengkar sejak kecil, tapi aku tahu kamu nggak jahat. Bagaimanapun, 3 tahun yang lalu Dianti nggak salah. Kalau kamu mencelakainya, hati-hati nanti kamu yang celaka."Selesai bicara, Nayshila berjalan ke samping dan berbincang dengan putri bangsawan lain. Hanya saja, dia terus memperhatikan Andini.Nayshila melihat Andini berjalan ke sudut dengan ekspresi kecewa. Dia memandangi bunga yang tidak terlalu indah. Tatapannya kosong.Pesta musim semi hari ini berakhir karena Safira pergi dengan marah. Saat Nayshila kembali ke kediaman Keluarga Maheswara, hari masih terang.Rangga sudah kembali ke kediaman. Dia sedang berlatih pedang di halaman ketika Nayshila mencarinya.Jadi, Nayshila hanya berdiri di samping dan mengamati Rangga. Dia tidak mengganggu kakaknya. Setelah Rangga selesai
Nayshila menyeka air matanya yang hampir menetes dan bertanya, "Apa waktu itu Andini memang berniat mencelakai Dianti?"Rangga mengangguk. Saat dia sampai, mangkuk itu sudah pecah. Andini sedang berlutut di lantai dan menuduh Dianti yang memecahkan mangkuk sambil berlinang air mata.Namun, semua anggota Keluarga Biantara melihat kejadiannya. Mana mungkin mereka memfitnah Andini?Andini yang berniat mencelakai Dianti terlebih dahulu. Sudah seharusnya dia dihukum. Hanya saja, Rangga tidak menyangka Andini akan dihukum selama 3 tahun.Nayshila menghela napas dan berucap, "Hari ini dia juga mencelakai Dianti."Kemudian, Nayshila menyalahkan Rangga, "Tapi, kamu juga salah. Kenapa kamu tiba-tiba memberikan gaun kepada Andini? Jangan lupa, sekarang kamu itu tunangan Dianti."Rangga tidak pernah ditegur Nayshila. Dia mengangkat alisnya dan menegur dengan aura mengintimidasi, "Kamu nggak usah peringatkan aku."Nayshila mundur beberapa langkah dan menimpali, "Aku takut kamu gegabah. Kamu juga ta
Mendengar perkataan Abimana, Andini mendengus dan menanggapi, "Kalau ini dianggap salah, itu berarti 3 tahun yang lalu kalian juga salah."Semua orang di aula tertegun. Kirana yang terpukul tidak bisa berdiri dengan stabil. Dia mundur beberapa langkah dan berucap, "Kamu ...."Andini melirik Kirana sekilas dan tidak bersuara. Kirana menyeka air matanya, lalu berujar, "Aku tahu kamu masih menyalahkan kami! Tapi Andin, masalahnya berbeda. Dulu kejadiannya mendadak dan nggak disengaja!"Kirana melanjutkan, "Tapi, hari ini kamu berencana mencelakai Dian! Kedua masalah ini nggak bisa disamakan!"Andini tertawa dan menimpali, "Aku berencana mencelakai Dianti? Bagus!"Abimana bertanya, "Apa itu salah? Apa kamu berani bilang kamu nggak mendapatkan perintah dari Putri untuk menghasut Dian masuk ke istana?""Aku memang mendapatkan perintah dari Putri untuk membawa Dianti masuk ke istana," sahut Andini dengan lantang. Dia tidak merasa bersalah sedikit pun.Andini tidak melihat orang-orang di aula
Baju Ainun kelonggaran. Dia yang bungkuk terlihat sangat lemah. Namun, Ainun tetap berusaha menghampiri Andini dan menepuk punggungnya.Ainun menghibur, "Tenang saja. Selama ada Nenek, nggak ada yang berani sakiti kamu."Ucapan Ainun ditujukan kepada Kresna. Sudah jelas dia berniat memperingatkan Kresna. Sebenarnya, Andini tidak takut sedikit pun. Apa hukuman Keluarga Adipati lebih menyiksa daripada hukuman cambuk di penatu istana dan kurungan Baskoro?Biarpun Kresna menyuruh orang untuk menghajar Andini sampai sekarat, Andini juga tidak akan tunduk. Dia juga tidak peduli jika mereka menghajarnya sampai mati!Namun, ucapan Ainun membuat Andini berlinang air mata. Andini berusaha menahan emosinya dan bertanya dengan lirih, "Nenek kurang sehat, kenapa Nenek keluar?"Meskipun suara Andini sangat kecil, Abimana bisa mendengarnya. Hati Abimana terasa sakit. Dia merasa Andini memendam kesedihan yang mendalam.Akan tetapi, atas dasar apa Andini merasa sedih? Hari ini Andini memang berbuat sal
Semua orang di aula terdiam sesudah Andini melontarkan perkataannya. Selain suara tangisan Dianti yang masih terdengar, orang lain tidak tahu harus berkata apa.Ainun memandangi Andini sejenak. Akhirnya, dia mendesah dan berucap, "Andin, jangan bersedih .... Tapi Andin, jelas-jelas kamu tahu Putri berniat mencelakai Dian, tapi kamu menghasut Dian pergi ke pesta. Kamu memang salah, apa kamu mengakuinya?"Sebelum Andini bicara, Kresna berkata, "Bu, Andini memang keras kepala. Nggak masalah kalau dia nggak mau mengakuinya. Ibu nggak usah marah kepadanya."Kresna khawatir Ainun akan tumbang karena kesal kepada Andini. Namun, mana mungkin Andini tega membuat Ainun kesal?Andini mengangguk dan menyahut, "Aku mengakuinya."Mendengar ucapan Andini, Kresna dan Abimana kaget. Padahal tadi Andini masih begitu keras kepala. Kenapa sekarang sikap Andini tiba-tiba berubah?Ainun berujar, "Kalau begitu, Nenek hukum kamu nggak boleh keluar selama 1 bulan untuk introspeksi diri. Bagaimana menurutmu?"A
Ainun memandang Abimana dan lainnya, lalu menatap Kresna dan melanjutkan, "Kamu bilang aku pilih kasih, tapi bagaimana dengan kalian? Kalian jauh lebih parah! Kalau aku nggak membela Andin, apa dia masih bisa hidup di Kediaman Adipati?"Ainun mengembuskan napas dan berjalan ke luar sembari meneruskan, "Semua orang punya hati. Biarpun bukan anak kandung, kalian sudah membesarkannya selama bertahun-tahun. Apa kalian nggak merasa kasihan padanya?"Kresna dan lainnya terdiam di tempat. Mereka memandangi sosok Ainun yang menjauh. Setelah Ainun menghilang dari pandangan mereka, Kresna baru bertanya, "Siapa yang memberi tahu masalah hari ini kepada Ibu?"Abimana tidak bicara. Ekspresinya sangat muram. Dia masih memikirkan tampang Andini saat memanggilnya "kakak" tadi.Kirana juga tidak tahu. Hanya Dianti yang melihat mereka dan menyahut, "Mungkin ... pelayanku yang membocorkan masalah ini waktu ambil obat dari tabib kediaman."Bagaimanapun, pelayan Ainun mencari tabib kediaman 3 kali sehari.
Keesokan hari saat Andini bangun, sosok Surya sudah tak terlihat. Sementara itu, Endah tengah sibuk di dapur.Dengan kaki yang masih pincang, Andini berjalan ke ambang pintu, menatap Endah dengan heran, "Bibi Endah, kok hari ini bangunnya pagi sekali?"Matahari bahkan belum sepenuhnya terbit!Endah menyiapkan air untuk Andini mencuci muka, lalu menjawab, "Arjuna sudah pergi ke gunung sejak fajar bersama Anom. Aku hari ini nggak ada pekerjaan di ladang, jadi mampir ke sini untuk bantu-bantu sebentar."Saat berbicara, sudut bibir Endah menyiratkan senyuman kecil.Mengingat kejadian kemarin, Andini pun merasa perlu meminta maaf. "Maaf ya, Bi Endah. Kemarin aku asal bicara cuma untuk menakut-nakuti Anom."Endah buru-buru mengangguk. "Iya, aku tahu. Anak bandel itu memang perlu ditakut-takuti! Setelah pulang kemarin, dia nangis-nangis sambil janji nggak akan berjudi lagi.""Pagi ini juga semangat banget bangunnya. Kalau dia bisa meninggalkan kebiasaan buruk itu, lalu ikut Arjuna berburu, it
Rangga pernah menculik Andini dan akhirnya membuat Andini terjatuh ke Sungai Mentari. Dendam itu masih terus disimpan Laras di dalam hati sampai sekarang.Meskipun statusnya hanyalah seorang pelayan biasa dan tak bisa berbuat apa-apa pada Rangga, jangan harap dia bersedia mengikuti Rangga!Selesai bicara, Laras pun membalikkan badan dan melangkah ke arah Kalingga. Kalingga masih tidak mengatakan apa-apa. Setelah mendengar kata-kata Laras barusan, seulas senyuman tipis tidak bisa disembunyikan dari wajahnya.Senyuman ringan itu, sekalipun sangat tipis, tetap menyakitkan mata Rangga. Dia tidak mengerti. Kenapa Andini tidak mau bersamanya, bahkan pelayannya pun menolaknya?Rangga sontak melangkah maju, hendak menarik tangan Laras. Namun, baru satu langkah diambil, terdengar suara Kalingga yang datar. "Rangga."Hanya satu panggilan pelan, tetapi makna ancamannya sangat jelas. Apabila Rangga benar-benar menahan Laras, Kalingga pasti akan bertindak.Rangga pun berhenti. Aura yang dipancarkan
Jabal mencari tiga kuda terbaik dari kediaman dan berangkat malam itu juga menuju lokasi yang berjarak lebih dari 50 kilometer.Perjalanan tidak sepenuhnya mulus. Mayat perempuan itu ditemukan di sebuah desa kecil. Ketika mereka tiba, matahari sudah bersinar terik.Di luar desa, anak buah mereka sudah menunggu. Begitu turun dari kuda, Kalingga segera masuk ke desa. "Di mana?""Masih di tepi sungai," kata anak buah itu sambil menurunkan suaranya. "Jenderal Rangga juga ada di sana."Mendengar itu, Kalingga sempat tercengang sejenak. Dia mengikuti arah yang ditunjuk. Benar saja, di tepi sungai tak jauh dari sana, terlihat Rangga sedang membuka kain putih penutup mayat. Wajahnya memperlihatkan ekspresi jijik.Melihat itu, Kalingga merasa lega. Dari ekspresi Rangga, seharusnya itu bukan Andini. Namun, detik berikutnya, hatinya kembali diliputi amarah. Informasi itu datang dari bawahannya sendiri, kenapa Rangga bisa lebih dulu sampai di sini?Di belakang, Laras yang melihat mayat tertutup ka
Tingkah mereka yang berpura-pura mabuk tadi memang tak terlihat mencurigakan. Namun, akting setelah mereka "sadar" barusan sungguh buruk. Beberapa dari mereka bahkan langsung terbangun, padahal tidak disiram.Andini mengernyit pelan saat memikirkan hal ini, lalu secara refleks menoleh ke arah jendela. Di sana, dia melihat sosok tinggi besar itu berjalan ke arah barat, menuju ke bawah atap.Dia tak ingin berpikiran buruk tentang orang lain, tetapi saat itu di halaman hanya ada dia seorang yang bukan dari kalangan mereka. Mereka semua pura-pura mabuk, jelas-jelas untuk diperlihatkan kepadanya.Kenapa? Sedang mengujinya? Apakah karena sebelumnya dia secara tidak sengaja menunjukkan sedikit kemampuan bela dirinya?Namun, jika Surya hanya pemburu biasa, bagaimana mungkin dia bisa terpikir menggunakan cara semacam ini? Jangan-jangan identitasnya pun tidak sesederhana itu?Begitu benih kecurigaan tertanam, hal itu mulai tumbuh liar dalam hati. Andini berusaha keras mengingat semua kejadian se
Andini sama sekali tidak menyadari apa yang terjadi di belakangnya. Begitu keluar dari pagar bambu, kaki kirinya terasa sakit lagi. Langkahnya semakin pincang. Sebelum berjalan jauh, dia sudah mulai memanggil, "Bi Endah! Bi Endah!"Dia sama sekali tidak tahu, sebelum dia membuka mulut, sebilah belati nyaris menyentuh leher putihnya dari belakang, hanya sedikit lagi sudah akan menggorok tenggorokannya.Namun, saat dia memanggil nama Endah, belati itu tiba-tiba ditarik mundur, lalu pemiliknya buru-buru kembali ke dalam halaman.Tak lama kemudian, lampu di rumah Endah kembali menyala. Wanita itu bertanya, "Ada apa? Ada apa ini?"Andini memandang Endah dengan wajah penuh rasa bersalah. "Kak Arjuna dan teman-temannya mabuk semua, mereka tidur di luar. Aku khawatir mereka masuk angin kalau tidur di luar. Bisa Bibi bantu aku?"Di dalam pagar, para pria yang mendengarnya saling melirik, masing-masing mulai merasa bersalah."Aduh, ya sudah, aku ke sana sekarang!" sahut Endah cepat-cepat. Tak la
Kata "orang kasar" benar-benar mewujud saat ini. Andini sempat terpaku menatap mereka.Surya membelakangi Andini, tentu saja tidak menyadarinya. Namun, pria yang duduk di depannya melihat tatapan Andini, lalu melirik ke arah Surya dan mengangkat dagunya sedikit.Surya pun menoleh. Ketika melihat Andini sedang tersenyum sendiri ke arah mereka, Surya seperti baru menyadari sesuatu. Dia mendorong pria di sampingnya. "Tenang sedikit."Baru saat itu, rombongan pria itu menyadari bahwa masih ada seorang perempuan di sini. Mereka buru-buru minta maaf."Maaf ya, Nona. Kami ini orang-orang kasar, mulut kami kadang suka seenaknya!""Iya, Nona. Kalau tadi ada kata-kata yang nggak enak didengar, anggap saja kami cuma kentut!""Kamu yang kentutnya paling bau, hahahaha!""Sialan kamu!"Suasana kembali ceria, penuh tawa dan canda. Andini memandangi para pria itu. Meskipun kasar dan berisik, kehangatan dan keharmonisan ini adalah sesuatu yang belum pernah dia lihat sebelumnya.Andini pun tersenyum lem
Surya pertama kali turun ke medan perang saat usianya baru enam belas tahun.Sebagai seorang pangeran, ibunya tidak memiliki latar belakang yang kuat. Dia tahu dalam perebutan takhta, dirinya tak mungkin bisa menyaingi para kakaknya. Jika terus tinggal di ibu kota, mungkin suatu hari nanti dia akan menjadi mangsa di tangan orang lain.Karena itu, dia mengajukan diri untuk menjadi prajurit garis depan di bawah komando jenderal besar saat itu.Tahun itu, suku Tru sering mengganggu perbatasan. Rakyat Negara Darsa sangat menderita karena kekacauan itu.Dia memacu kuda di barisan paling depan, menyerbu ke medan perang. Pedang besarnya berayun liar. Saat bilah tajam itu menebas tubuh musuh, dia bahkan bisa mendengar jelas suara tulang yang terbelah.Darah hangat memercik ke wajahnya, dunia seolah-olah berubah merah seketika. Dia mendengar detak jantungnya sendiri begitu keras, tetapi tak bisa membedakan apakah itu karena takut atau justru karena gairah.Di medan perang yang kejam, di mana hi
Sambil bicara, Surya menoleh ke arah para pria kekar di belakang Anom, lalu berkata, "Kalian lakukan sendiri. Di sana ada kapak dan parang."Setelah itu, dia pun berbalik dan berjalan ke samping. Beberapa pria itu langsung maju dan menangkap Anom.Anom ketakutan setengah mati, berteriak dan menangis sambil terus memohon ampun. Namun, kekuatan para pria itu terlalu besar. Tangan Anom ditarik dan ditekan ke tanah.Kapak pun diangkat tinggi-tinggi, memantulkan kilatan dingin cahaya, lalu dihantamkan dengan keras."Argh!" Anom menjerit. Bagian selangkangannya langsung terasa hangat, seluruh tubuhnya jatuh lemas ke tanah. Namun ... ternyata tangannya masih utuh.Salah satu pria berkata dengan dingin, "Kalau masih berani ulangi lagi, kami nggak akan biarkan begitu mudah!"Pria lain mengeluarkan kantong uang dari balik bajunya dan menyerahkannya kepada Surya. "Ini, Kak.""Terima kasih. Kalian makan saja dulu sebelum pergi," ucap Surya."Siap! Nanti teman kita akan bawa daging dan arak ke sini
Endah masih terus menangis. Surya tidak tahu harus bagaimana menenangkannya. Meskipun sosoknya besar dan kekar, dia justru tampak kewalahan saat berdiri di samping Endah.Akhirnya, Andini yang menenangkan Endah untuk beberapa saat. Suasana hati Endah pun membaik. Melihat waktu sudah tidak pagi lagi dan dia masih harus turun ke ladang, Endah pun tidak berlama-lama di situ.Setelah mengantar Endah pergi, Surya menuju ke sisi barat halaman dan mulai sibuk bekerja. Dia berencana membangun atap untuk berteduh. Soalnya kalau hujan turun, dia tidak punya tempat untuk tidur.Melihat Surya sesibuk seperti itu, Andini akhirnya tak tahan untuk bertanya, "Kak Arjuna, kamu benar-benar percaya kalau Anom ambil uang itu buat bayar utang?"Uang itu bukan hasil kerja Andini, jadi dia merasa tidak berhak ikut campur. Namun, dia juga tidak tega melihat penyelamatnya ditipu.Tangan Surya tak berhenti bekerja, suaranya terdengar dalam dan tenang. "Dia pergi judi."Mendengar itu, Andini terkejut. "Kalau beg