“Riana, ada 10 loyang pizza yang harus kamu antarkan segera ke lima alamat berbeda, tapi dahulukan pesanan atas nama Tuan Mahesa,” titah sang manajer, ” beliau adalah pelanggan setia kita.”
“Baik, Pak.”
Dengan segera, Riana pun bersiap lalu mengerjakan apa yang diperintahkan oleh atasannya itu
Namun, begitu tiba di depan rumah mewah sang pelanggan setia, pelanggan terhormat itu tampak tak juga membuka pintu meski bell ditekan berulang kali.
Ketika Riana melihat pintu yang sedikit terbuka, ia pun memutuskan untuk masuk saja ke dalam ruang tamu.
"Permisi!" teriaknya.
Sayangnya, tak ada sahutan.
Mengingat perintah sang atasan, Riana tak ingin ambil resiko. Jadi, ia memutuskan untuk berteriak lebih kencang, "Permisi, Tuan Mahesa. Saya dari Pizza Delicious mau mengantarkan pesanan Anda."
Lagi-lagi, tak ada sahutan.
"Jangan-jangan tidak ada siapapun di rumah ini?" gumam Riana bingung.
Ia pun meletakkan kotak pizza di meja tamu dan hendak pergi.
Namun, langkah Riana tiba-tiba terhenti saat mendengar suara langkah kaki dari anak tangga.
Perempuan itu terkejut karena seorang lelaki tampan dengan bola mata sebiru laut miliknya, kini berdiri tepat di hadapannya.
"Engh, maaf karena sudah lancang masuk ke rumah Anda, Tuan. Tadi, aku sudah mencoba menekan bell berulang kali, tapi tidak ada yang keluar. Aku ke sini untuk mengantar pizza pesanan Anda."
Dengan sedikit gugup karena lancang masuk ke rumah orang, Riana pun menunjukkan kotak pizza yang dibawanya.
Untungnya, pria bernama Mahesa itu hanya memperhatikan Riana selama beberapa detik, kemudian segera menerima pizza.
Riana tersenyum tipis.
Ia mengira Mahesa akan memberikan uangnya. Akan tetapi, sungguh di luar dugaan, Mahesa tiba-tiba melempar kotak pizza itu ke atas meja ruang tamu dan kini tangannya berada di kedua lengan Riana.
"T-tuan... "
"Erika, kau begitu cantik. Aku senang kau datang. Aku merindukanmu."
Sentuhan jemari Mahesa yang membelai pipinya, membuat Riana bergidik dan panik.
"Lepaskan! Jangan lancang! Aku bukan Erika!" teriak Riana sembari menepis kasar tangan Mahesa.
Hanya saja, gerakan Mahesa lebih cepat. Ia menarik tubuh Riana hingga berada di dalam dekapannya.
"Jangan pergi lagi! Aku sangat mencintaimu."
"Sudah kubilang aku bukan Erika! Lepaskan aku! Tolooong!"
Dalam posisi sedekat ini, Riana bisa mencium bau alkohol dari mulut Mahesa.
Bersusah-payah Riana berusaha melepaskan diri, namun tentu saja tenaganya tak sebanding dengan Mahesa.
"I want you tonight, Baby," bisik Mahesa yang makin membuat Riana bergidik ngeri.
"Jangan! Aku mohon! Biarkan aku pulang!"
Meski Riana terus berteriak, menangis dan memukuli dada Mahesa, lelaki itu seakan tak peduli.
Tak lama, bibir yang masih murni itu kini dijamah oleh seorang lelaki.
Hati Riana hancur bersamaan dengan saat dimana Mahesa merenggut keperawanannya.
Sungguh, ia menyesal. Mengapa Riana harus mengantarkan pizza ke rumah lelaki brengsek yang mengambil kesuciannya?
*****
"Laki-laki brengsek! Dasar lelaki jahat! Dia sudah merenggut kesucianku." Riana memaki lelaki bertubuh jangkung dengan kulit sewarna madu yang saat ini sedang tidur telungkup di atas ranjang.
Sambil menyeka air mata, Riana melayangkan pandangan tajam dan penuh kemarahan.
Kesuciannya telah dinodai oleh Mahesa, lelaki yang bahkan baru pertama kali bertemu dengannya.
Dan, kini Riana hanya bisa menangisi kejadian semalam.
Ia merasa begitu terhina dan merasa seperti perempuan murahan.
Mahesa bahkan langsung tertidur pulas setelah mendapat kepuasan.
"Engghh ... " Mahesa bergumam pelan dalam tidurnya. Membuat Riana sontak mengangkat kepala dan panik.
Kejadian semalam membuat Riana trauma.
Ia harus bergegas pergi sebelum lelaki itu bangun dan kembali menyentuhnya.
Secepat mungkin Riana berpakaian, lalu melirik tajam sebentar ke arah Mahesa yang masih tertidur, sebelum akhirnya pergi meninggalkan rumah itu.
Dugaan Riana tak meleset.
Tak berselang lama, Mahesa tampak terbangun sambil satu tangannya meraba ke sisi tempat tidur.
Saat menyadari tempat tidur itu kosong, Mahesa pun beringsut duduk dan terkejut sebab hanya ada dirinya saja di dalam kamar itu.
"Erika?" Pandangan Mahesa berpendar ke sekeliling.
Helaan napas berat seketika keluar dari mulutnya setelah sadar jika kekasihnya telah meninggal.
"Lalu siapa yang tidur denganku tadi?" gumam Mahesa mengingat kejadian semalam.
Pria itu menyugar rambut frustasi. Tapi, matanya berhenti di satu sudut.
Ada sebuah topi berwarna merah yang tergeletak di lantai kamarnya.
"Aku seperti tidak asing dengan warna topinya?"
Segera, Mahesa turun dari tempat tidur dan memungut topi dan membaca bordiran di atasnya.
"Delicious pizza?!" paniknya, "apakah itu berarti tadi aku ... "
Merasa harus memastikan sesuatu, Mahesa pun segera ke ruang kerjanya untuk memeriksa kamera CCTV.
Di sana, ia melihat seorang pengantar pizza yang masuk ke ruang tamu rumahnya. Namun, kejadian berikutnya membuat Mahesa langsung terhenyak kaget. Dalam pengaruh alkohol, ia langsung memaksa menyentuh wanita itu dan membawanya ke kamar.
"Sial! Tidak salah lagi. Aku memang sudah menyentuhnya," decak Mahesa sambil mengacak rambut.
"Siapa yang kau sentuh?"
Mahesa sontak menoleh ke arah ambang pintu dan menemukan Leo, sekretaris yang juga sahabatnya, tengah berdiri penasaran di sana.
"Apa kau baru saja bercinta dengan seseorang? Kali ini, model dan aktris mana yang berkencan denganmu, Tuan Mahesa?"
Leo melangkah menghampiri Mahesa sambil membenamkan kedua tangannya ke dalam saku celana.
Melihat itu, Mahesa pun menggelengkan kepalanya malas. "Aku tidak sedang kencan dengan siapa pun!"
"Lalu? Kau bilang tadi kau baru saja menyentuh seorang wanita? Wanita mana yang kau maksud?" tanya sekretarisnya itu bingung.
"Aku tidak tahu siapa dia. Yang aku ingat, semalam itu aku mabuk berat. Aku mendengar suara wanita dari lantai bawah dan saat aku menghampirinya, yang terlihat dalam mataku dia adalah Erika. Akhirnya, aku menyentuhnya.”
“Tapi setelah terbangun, kau baru sadar kalau kau menyentuh orang lain?” interogasi Leo yang dijawab dengan anggukan cepat oleh Mahesa.
“Dia wanita pengantar pizza. Entah bagaimana dia datang ke rumahku, padahal aku tidak merasa memesan apa pun."
"Pizza?” panik Leo, “tunggu, apa wanita itu masih perawan?"
Sejenak Mahesa terdiam, seperti sedang memikirkan sesuatu. Lalu ia pun mengangguk setelah mengingat ada noda merah di atas sprei miliknya.
"Astaga,” ujar Leo, “sebenarnya, akulah yang memesan pizza untukmu."
Mahesa sontak menatap tajam Leo. "Jadi, kau yang membuat wanita pengantar pizza itu datang ke rumahku?"
Segera, ia menyambar kerah kemeja Leo dengan kasar.
Ia marah karena ternyata semua masalah ini bermula dari Leo yang memesankan pizza untuknya.
Panik, Leo pun menahan tangan Mahesa. "Dengarkan aku dulu. Aku sama sekali tidak bermaksud apa-apa. Aku khawatir karena sejak kemarin pagi, kau tidak mau menyentuh makananmu. Jadi, kupikir sebaiknya aku memesan pizza dari toko favoritmu saja. Tapi, yang terjadi justru di luar dugaan."
Mahesa lalu melepaskan cengkraman tangannya dari kerah kemeja sekretarisnya itu dengan menghempaskannya kasar, hingga Leo hampir jatuh.
"Pertama kalinya aku tidur dengan seorang wanita yang masih perawan. Dan sialnya, aku tidak memakai pengaman," gerutu Mahesa sembari memijat keningnya dan melihat monitor CCTV yang masih memperlihatkan wajah wanita pengantar pizza itu.
"Bagaimana jika wanita itu hamil?" lanjutnya.
"Tuan, kau hanya melakukannya satu kali, 'kan? Belum tentu langsung jadi bayi,” ucap Leo menenangkan, “jangan khawatir, aku akan mencari wanita itu ke tempat kerjanya dan memberikannya uang sebagai permintaan maaf karena kejadian itu."
Sesaat Mahesa terdiam seakan meresapi perkataan Leo. Tapi, kemudian Mahesa mengangguk setuju dengan ucapan sekretarisnya.
Ya, mereka hanya melakukannya satu kali, belum tentu percintaan semalam akan membuat wanita pengantar pizza itu hamil.
"Kau benar. Berikan saja dia uang, lalu suruh dia melupakan apa yang baru saja kulakukan," perintah Mahesa.
Pria itu pun melangkah ke arah sofa di sudut ruangan dan duduk di sana.
Namun, matanya menatap lekat pada bingkai foto yang berdiri di atas nakas–foto Erika, kekasihnya yang meninggal dua tahun lalu, tampak tersenyum manis.
Meski sudah berlalu cukup lama, kepergian Erika masih menyisakan luka yang mendalam di hati Mahesa.
Andai saja dalam kecelakaan mobil itu Mahesa ikut mati bersama kekasihnya, mereka bisa bersama. Sayang, takdir malah membawa pergi kekasihnya dan menyisakan dirinya saja yang selamat.
Mahesa menyugar rambutnya kasar. “Aku tidak akan mau memiliki keturunan selain darimu, Erika.”
"Aku pulang," salam Rania lesu begitu masuk ke dalam rumahnya.Waktu sudah menunjukkan pukul 23:00 WIB. Namun, ia terkejut begitu melihat sang adik dan Ibu tampak khawatir di ambang pintu.Bahkan, gadis berusia 14 tahun itu sampai berlari menghampirinya. "Kak Riana dari mana saja? Aku dan Ibu khawatir pada kakak." "Apa yang terjadi, Ri?" Kini, Rita, sang ibu, yang bertanya melihat penampilan sang anak sedikit acak-acakan. Riana pun menahan tangis dan duduk di kursi.Ia berpikir bagaimana cara memberitahu sang ibu jika dipecat akibat dianggap tak becus mengantarkan pesanan lainnya. Padahal, saat itu Riana sedang dilecehkan oleh seorang lelaki brengsek. “Nak–”"Aku dipecat, Bu." Ibu dan adik Riana itu tampak terkejut dan saling melempar tatapan iba. "Memangnya, ada masalah apa di tempat kerja sampai kau dipecat?" tanya sang ibu. Riana menghela napas sebelum akhirnya berbohong, "Hanya masalah kecil, Bu." Namun, ia menghindari kontak mata dengan ibunya. "Tidak apa-apa, Nak,” ucap
"Tuan, kau akan ke mana? Kenapa kau membereskan pakaian ke dalam koper?" Malam ini, Leo baru saja akan menemui Mahesa untuk memberikannya undangan pernikahan dari salah satu kolega kerja mereka.Namun, kening Leo dibuat berkerut saat melihat Mahesa yang sedang memasukan beberapa pakaian ke dalam koper. Biasanya, Mahesa akan memberitahunya setiap ia akan pergi ke manapun. "Aku muak dengan perjodohan yang diatur ayahku. Selama dua pekan ke depan, aku mengambil cuti dan akan pergi ke Jepang. Biar saja mereka mencariku. Aku tidak peduli," jawab Mahesa sambil memasukan barang penting lainnya. "Lalu bagaimana dengan kantor?" "Pertanyaan konyol! Aku masih bisa mengatur perusahaan bahkan meskipun aku pergi selama satu bulan." "Jadi aku harus ikut?" Leo menunjuk dirinya sendiri. Kali ini gerakan tangan Mahesa terhenti. Mahesa berdiri seraya memicingkan mata ke arah Leo. "Harusnya kau sudah tahu tanpa bertanya. Cepat bersiap sebelum sore, atau aku akan memecatmu!" "Baik, Tuan." Ancama
‘Ceroboh!’ maki Riana pada dirinya sendiri. Kenapa ia tidak membuang alat test kehamilan itu ke tempat lain? Sekarang, ibunya sudah menemukan benda itu dan pasti juga sudah melihat dua garis merah yang tertera di sana. "Riana, ibu sedang bertanya padamu! Benda ini punyamu, 'kan?" tanya Rita kembali. Ditunjukkannya alat test kehamilan yang dimaksud.Riana masih bergeming di tempatnya berdiri, hingga membuat Rita geram."Jawab!" bentaknya."I-iya, Bu. Alat itu punyaku," jawab Riana seraya menundukan wajah. Seketika itu juga, Rita langsung syok dan memegangi dadanya sendiri. "Hhh ... Riana." "Ibu!" Yasmin yang sejak tadi bersembunyi di dalam kamar karena takut melihat ibunya memarahi kakaknya, kini langsung menghampiri Rita saat tahu Rita mendadak lemas dan hampir jatuh terduduk di lantai. "Ibu, maafkan aku Bu. Aku tidak jujur pada Ibu," panik Riana.Dibantunya sang ibu duduk di kursi. Riana juga segera berlutut di depan kaki ibunya dan memohon maaf. Ia pun menangis."Selama men
"Aku harus pergi ke mana? Aku tidak punya tujuan untuk tinggal," ucap Riana sambil melangkah tak tentu arah sembari mengangkat tas berisi pakaian miliknya. Langkah Riana terasa berat. Matanya memanas membayangkan saat ibunya mengusirnya. TIN!Seorang pemilik mobil membunyikan klakson dengan keras karena merasa Riana menghalangi laju mobilnya. "Hei! Minggir! Kau pikir ini jalan nenek moyangmu!""Maaf." Begitu Riana menyingkir, mobil itu pun melaju kencang melewati dirinya. "Aku harus cari tempat tinggal. Tapi aku juga tidak punya uang untuk membayar kontrakan. Apa aku harus tinggal di kolong jembatan?" gumam Riana dalam hati. Namun, Riana merasa ragu saat membayangkannya. Mendadak perutnya terasa mual. Terik matahari juga membuat kepala Riana terasa pusing. Menundukkan pandangan, Riana terbelalak kaget saat melihat sedikit darah yang luruh dari jalan lahirnya. "Ya Tuhan! Bayiku!" Namun, detik selanjutnya tali tas itu pun lepas dari genggaman Riana, kemudian jatuh ke aspal be
Sungguh Aram merasa iba. Riana tampak sedih dan tidak berdaya. "Apa kau mau menceritakannya padaku?" tanya Aram.Tangis Riana yang sedari ditahannya itu pun tumpah. Tak ada kata lagi yang keluar dari mulut gadis itu, hanya isakan yang terdengar dan bahunya yang bergetar akibat tangisnya. Sedikit ragu, Aram menggerakan satu tangannya dan mengusap pelan punggung Riana. "Menangislah kalau itu bisa membuatmu lebih tenang. Aku akan sabar menunggumu bercerita." Setelah puas menguras air matanya, Riana lalu mengusap pipinya yang basah dengan tangannya dan menatap pada Aram yang sejak tadi menatapnya. "Aku hamil dan tidak mau menggugurkan kandunganku ... " Riana menceritakan semuanya pada Aram. Termasuk dengan saat dimana dirinya diperkosa oleh Mahesa. Meski awalnya Riana merasa ragu bercerita pada dokter muda itu, namun sikap Aram membuat Riana merasa bahwa lelaki itu berniat baik padanya. "Sekarang aku tidak tahu harus tinggal di mana. Aku tidak punya tujuan. Bahkan aku pun tidak pu
"Mama pulang!" suara Riana terdengar menggema di ruang tengah. "Kenzie? Mama pulang, sayang!" Riana mulai memanggil nama putranya yang sudah berusia lima tahun itu. "Kenzie?" Namun, alisnya mengernyit saat sang anak tak juga datang dan menyahut panggilannya. "Ke mana dia?" Panik, Riana yang baru saja menghempaskan pantatnya di kursi karena lelah habis pulang kerja, akhirnya bangkit berdiri dan melangkah menuju kamar Kenzie. Saat membuka pintu, Riana dibuat terkejut dengan suara teriakan yang memaksanya menutup telinga dengan kedua telapak tangan. "Surprise! Happy birthday Mama! Happy birthday Mama!" Ternyata, Aram dan Kenzie sengaja bersembunyi demi memberi sebuah kejutan ulang tahun untuknya. Riana terharu, manik matanya sampai berkaca-baca. Tak terlukiskan rasa bahagia yang membuncah di dalam dadanya. "Selamat ulang tahun, Mama!" Kenzie menghampirinya sambil memeluk erat kaki Riana. "Terima kasih, sayang." Riana berjongkok dan memeluk Kenzie sambil mengecupi puncak kepala
"Sebenarnya bossmu itu aku atau ayahku?" Mata Mahesa menyipit sinis ke arah Leo. Namun, sekretarisnya itu berpura-pura tidak mendengar. "Lima belas menit lagi pesta dimulai. Segeralah bersiap-siap, Tuan." "Lalu apa kau akan terus berdiri di sana dan melihatku berganti pakaian?" Mahesa menatap kesal pada Leo. Leo tahu jika sebenarnya Mahesa kesal dengan pertunangan ini, namun tidak tahu harus meluapkannya ke mana. "Aku akan tetap berdiri di sini hanya sampai kau turun dari tempat tidurmu. Baru aku akan keluar dari kamar ini." Mendengus masam, Mahesa menyibak selimut tebal yang menutupi kakinya, kemudian bangkit dari ranjang. "Kau lihat? Aku sudah turun dari tempat tidurku. Sekarang keluarlah dari kamarku dan biarkan aku bersiap-siap!" "Dengan senang hati, Tuan Mahesa. Oh iya, ada satu hal yang lupa kusampaikan padamu." Leo menahan langkahnya dan berbalik menatap Mahesa. Alis Mahesa mengernyit. "Tolong pasang sedikit senyum di wajahmu saat berhadapan dengan para tamu.
"Om, tadi Om bilang mau obati tanganku?" Ucapan Kenzie membuyarkan lamunan Mahesa. Pria itu pun mengerjapkan mata, lalu mengangguk. "Ah, iya. Ayo kita masuk ke dalam mobil Om. Biar Om bantu berdiri." Kenzie tersenyum dan membiarkan Mahesa menuntunnya memasuki mobil. Setelah pria itu membuka kap belakang, Kenzie pun duduk di sana. "Aww ... sakit!" "Maaf, tahan sedikit ya," pinta Mahesa sembari tetap mengoleskan obat merah di luka Kenzie. "Boleh Om tahu, kenapa kau mau menyebrang jalan sampai hampir tertabrak mobil Om? Jujur, tadi itu Om terkejut melihatmu tiba-tiba melintas di depan. Untung saja hanya tersenggol, jadi lukamu tidak parah." "Tadi aku sedang duduk di bangku itu sambil memegang robot mainanku yang baru saja dibelikan mama." Kenzie menunjuk bangku yang tadi didudukinya. "Tapi ada anak nakal yang mencurinya dan lari menyebrang jalan. Aku mau mengejarnya ... " "Tapi malah hampir tertabrak oleh mobil Om," tebak Mahesa. Kenzie mengangguk dengan bibir yang meng
“Kalau begitu tunggu apa lagi? Ayo masuk!” Mahesa mempersilakan Nessie masuk ke dalam mobilnya.Nessie tersenyum dan duduk di kursi belakang bersama pengasuh dan Andra.Tentu saja Nessie mendekap Andra di atas pangkuannya. Tak sedikit pun Nessie berniat memberikan Andra kepada pengasuh yang duduk di sampingnya.Mobil Mahesa lantas melaju meninggalkan lapas dan merambat di jalan raya.Seulas senyum tipis tersungging di bibir Riana. Sambil tangannya mendekap punggung Anna yang kini tertidur di atas pangkuan, Riana mendesah lega dalam hati.“Aku senang melihat Nessie dan Andra tersenyum sebahagia itu,” batin Riana.***“Ayo Pa! Lempar bolanya ke mari!” Kenzie berseru pada Mahesa yang berdiri cukup jauh di hadapannya.Sedangkan Kenzie sendiri duduk di atas pelampung bebek warna kuning dan mengangkat kedua tangannya ke atas, bersiap menyambut lemparan bola dari Mahesa.Saat ini ayah dan anak itu sedang bermain bola di dalam kolam renang. Sesekali tawa mereka akan terdengar sampai ke teling
Momen yang sangat Riana tunggu-tunggu selama ini adalah momen kebebasan Nessie dari dalam penjara.Dan hari ini Nessie akan bebas. Dengan segera Riana bersemangat mendandani Andra dan memakaikan baju terbaik untuk balita tersebut.Bahkan Riana mengemasi barang-barang Andra serta pakaiannya ke dalam koper.“Sayang, kau sudah siap?” tanya Mahesa yang masuk ke dalam kamar dengan penampilannya yang sudah rapi dengan stelan kemeja berwarna biru tua.Sementara Riana sendiri tampak manis dengan celana jeans pensil dan baju kaus biru muda yang dipadukan dengan cardigan putih.“Sudah. Sekarang aku hanya tinggal menyisir rambut Andra. Sebentar lagi dia akan siap,” kata Riana sambil menyisiri rambut Andra yang duduk di atas pangkuannya.Karena masih balita dan sedang aktif-aktifnya, terkadang Andra tak bisa diam hingga membuat Riana sedikit kesulitan saat menyisir rambut bocah itu.“Tahan ya, sayang. Biar Tante rapika dulu rambutnya.”Bibir Mahesa mengulum senyum memperhatikan istrinya yang tela
Malam hari, Mahesa mencari keberadaan istrinya yang entah berada di mana. Mahesa terbangun dilarut malam dan keningnya berkerut saat tak menemukan Riana di sampingnya. "Riana? Sayang, kau di mana?" Mahesa memanggil, ragu-ragu saat mengeraskan suaranya karena takut anak-anak itu akan terbangun mendengar teriakannya. "Oekk ... Oekk ... " Suara tangisan balita terdengar dari arah kamar Anna. Hal itu membuat langkah Mahesa terhenti. "Anna bangun?" segera Mahesa memutar langkahnya menuju kamar putri keduanya. Begitu membuka pintu kamar, Mahesa langsung berseru memanggil nama anaknya. "Anna!" "Aaakhh!" kedatangan Mahesa yang tiba-tiba membuat Riana memekik terkejut sambil menutupi dadanya yang tadi sempat ia keluarkan karena akan menyusui Anna. Namun setelah tahu yang masuk ke kamar Anna adalah Mahesa, Riana pun tidak lagj menutupi dadanya dan kembali melanjutkan menyusui Anna. "Kau datang membuatku terkejut." Riana berkomentar. Mahesa menutup pintu kamar, lalu melangkah mengham
Masih berada di rumah Aram, Riana turun ke lantai bawah dan berkeliling sejenak seolah sedang bernostalgia melihat-lihat kembali isi di dalam rumah tersebut.Riana ingat dulu dirinya seringkali berkunjung ke rumah Ara, bersama Kenzie. Ternyata isi rumah tersebut sudah banyak berubah. Termasuk letak beberapa furniture yang diubah sedemikian rupa."Lukisan itu?" dari sekian banyak benda yang ada di penjuru rumah Aram, perhatian Riana justru terpaku pada sebuah lukisan kuno yang menampilkan gambar seorang nenek tua yang sedang duduk manis di kursinya. Nenek tua itu mengenakan selendang berwarna abu yang telah pudar, serta kain jarik sebagai penutup kakinya yang telah keriput. Sementara rambutnya yang telah berubah dibiarkan tersanggul ke belakang. "Ini adalah lukisan kesayangan Bu Risma," gumam Riana sedih sambil menyapukan jemarinya pada permukaan lukisan yang terpajang rendah di dinding ruang tengah."Aku tidak percaya kau masih mengingatnya, Riana. Kau masih ingat dengan lukisan kes
Setelah sarapan, Mahesa langsung mengabari Leo bahwa ia akan berangkat ke kantor sangat siang. Mahesa meminta Leo untuk menghandle sedikit pekerjaannya sampai Mahesa sendiri tiba di sana.Begitu Leo menyanggupi, Mahesa pun mengakhiri teleponnya dan masuk ke dalam mobil, dimana Riana yang menggendong Anna dan seorang pengasuh yang menggendong Andra sudah berada di dalam mobil tersebut.“Kita mau belanja di mall mana, sayang?” Mahesa bertanya pada Riana yang duduk di sampingnya.“Mall mana saja. Aku tidak masalah.”“Bagaimana kalau di mall yang dekat dengan kantorku” Mahesa bertanya lagi.Riana mengangguk setuju.Riana tahu kalau mall yang dekat dengan kantor Mahesa adalah mall terbesar yang ada di Jakarta. Namun Riana tidak menolak saat Mahesa menawarkan pergi ke mall tersebut.Sebab lelaki itu tidak akan keberatan meski Riana berbelanja sepuasnya di sana.Sejurus kemudian, mobil Mahesa pun tiba di baseman mall. Riana menggendong Anna turun dari mobil setelah Mahesa membukakan pintu mo
“Sayang! Sayang!” pagi ini Mahesa berseru memanggil-manggil istrinya.Lelaki itu baru keluar dari kamar mereka namun sudah heboh mencari Riana seperti ingin menyampaikan sebuah berita baik.Seruan Mahesa yang lantang tentu saja sampai di telinga Riana yang sedang menata sarapan di atas meja.“Aku di sini.” Riana balas berteriak.Segera Mahesa mempercepat langkahnya menghampiri sang istri.“Selamat pagi!” lelaki itu mendaratkan ciuman singkat di pipi kanan Riana.“Pagi,” balas Riana sambil tersenyum tipis. Tangannya sibuk menata makanan.“Pagi-pagi begini sudah heboh mencariku. Tidak biasanya. Aku yakin kau belum cuci mukamu, kan? Ada apa?” tanya Riana.Mahesa yang mendengar ucapan istrinya itu spontan menyentuh wajahnya yang memang belum sempat dicuci.Semua itu gara-gara Mahesa terbangun oleh sebuah pesan yang masuk ke ponselnya. Pesan yang membawa kabar bahagia untuknya, mungkin juga untuk Riana.Itulah mengapa Mahesa sangat bersemangat memberitahukan kabar ini pada istrinya.“I hav
Banyak yang berubah setelah satu tahun. Beberapa juga pergi dari kehidupan Mahesa dan Riana.Termasuk Gustav, yang meninggal empat bulan setelah kelahiran Annastasya Anderson, cucu keduanya.Sekarang Riana dan Mahesa yang sedang merindukan Gustav pun mengunjungi makamnya.Riana memegang keranjang kecil berisi kelopak bunga. Sementara Mahesa memegangi payung hitam.“Sekarang Kenzie sudah semakin pintar, Pa. Nilainya selalu bagus dalam mata pelajaran. Jika Papa masih hidup, Papa pasti akan sangat bangga pada Kenzie,” ucap Mahesa sambil menceritakan soal Kenzie pada makam ayah kandungnya.Riana yang berjongkok di samping Mahesa pun tersenyum tipis. Tangan kanannya mengusap punggung Mahesa.Riana tahu bagaimana perasaan Mahesa saat ini.Meskipun lelaki itu mencoba untuk menampilkan senyum di wajahnya, tetap saja Mahesa tak bisa menutupi matanya yang berkaca-kaca.“Kau pasti sangat merindukan Papa, ya?” tanya Riana sambil berbisik di telinga Mahesa.Mahesa menangkap tangan Riana yang menye
Satu tahun kemudian…Mobil mewah Mahesa berhenti di pekarangan depan sebuah panti asuhan yang bernama ‘Muara Kasih Bunda’.Begitu turun dari mobil, mereka langsung disapa oleh pemilik panti yang bernama Bu Yani.Sambil menggendong Anna yang sudah berusia satu tahun, Riana berjalan beriringan dengan Mahesa memasuki panti asuhan tersebut yang tampak ramai oleh suara anak-anak balita yang sedang bermain dan berlalu Lalang.“Silakan Tuan, Nyonya.” Bu Yani mempersilakan mereka untuk masuk ke sebuah kamar dimana terdapat seorang anak laki-laki berusia satu tahun lebih yang tertidur di atas ranjang.Riana menghela napas melihat betapa pulasnya balita lucu tersebut. Di tangannya tergenggam sebuah kalung berbandul dinosaurus.Riana tersenyum. Ia tahu siapa yang memberikan kalung dinosaurus itu pada anak laki-laki tersebut.“Andra sedang tidur. Tapi dia sudah tidur dari setengah jam yang lalu. Jika Tuan Mahesa dan Nyonya Riana mau bicara dengannya, saya akan bangunkan dia,” kata Bu Yani yang be
“Aku akan memberikan nama Anna,” jawab Riana yang kemudian membuat kening Mahesa mengernyit.“Anna? Hanya Anna saja?”Riana menggelengkan kepala. “Nama panjangnya bisa kau yang berikan. Aku hanya ingin dia diberi nama Anna.”Mahesa tersenyum. Kemudian mengangguk-anggukan kepala, lalu lelaki tampan itu pun berpikir sejenak.“Anna? Baiklah. Aku harus mencari nama panjang yang sesuai dengan nama depannya. Tapi apa ya?” gumam Mahesa sambil mengurut dagunya dengan ibu jari dan telunjuk.“Ah, aku tahu. Bagaimana kalau Annastasya Anderson?” tanya Mahesa sambil memberikan usul nama yang menurutnya paling bagus.“Annastasya?” ulang Riana.Mahesa mengangguk. “Ya. Yang penting nama panggilannya tetap Anna, kan?”Mendengar itu, Riana kemudian mengangguk setuju. “Itu nama yang cantik. Aku sangat menyukainya.”“Ya. Nama yang cantik. Secantik orangnya,” balas Mahesa sambil tersenyum lebar.“Tuan, Nyonya, bayinya sudah dimandikan. Sekarang dia sudah siap untuk menyusu pada ibunya,” kata seorang pera