Alana terdiam. ‘Janji? Untuk berada di samping Eric? Bisakah aku melakukannya?’ batinnya.Dia lalu menatap lekat manik mata Liana yang masih digenangi banyak air mata. “Aku ....” Kali ini Alana yang menautkan kedua tangannya, dia merasa ragu dengan keputusan apa yang harus dibuatnya. Jika dia tidak melarikan dari sini, otomatis nyawa anaknya akan terus terancam. Tapi ....Alana kembali melihat pada Liana yang memberikan tatapan penuh harap padanya. 'Mama terlihat sangat berharap, bahwa aku akan berada di samping Eric. Tapi, bagaimana dengan nasib putraku jika aku tetap berada dekat dengan para iblis ini,' batinnya.Alana memejamkan matanya, saat ini dia harus mengambil keputusan yang tidak akan merugikan siapa pun. ‘Baiklah, memang sepertinya hanya itu keputusan yang terbaik.’ “Aku ... aku berjanji Ma, aku akan selalu berada di samping Eric. Memberikan kasih sayangku padanya, agar dia tidak merasa kesepian lagi,” jawabnya kemudian.Liana tersenyum, dia tampak begitu lega dengan ja
Detak jantung Eric langsung berpacu dengan cepatnya, telinganya seakan berdengung saat mendengar panggilan papa yang keluar dari mulut Alden untuknya. Hatinya juga berdesir, perasaan ini sungguh asing, namun tidak membuatnya sampai membencinya.Eric memegang kedua pundak Alden, dia lalu berjongkok menyejajarkan tingginya dengan Alden. “Kamu panggil aku apa?” tanyanya dengan detak jantung yang sudah terdengar sangat keras.“Papa, bukankah papa adalah papa Alden. Jadi bukankah Alden harus memanggil dengan nama itu?” jawabnya.“Bisa kau ulangi lagi panggilan itu, aku ingin mendengarnya lagi,” pinta Eric.Alden mengangguk. “Papa, papa, papa,” ucapnya berkali-kali.“Anakku,” ucap Eric dan langsung memeluk Alden dengan eratnya.Alden juga mengangkat tangannya dan balas memeluk Eric dengan tangan mungilnya.Alana tersenyum. Melihat reaksi Eric, sepertinya dia benar-benar bisa menerima Alden. Tidak, Bukan hanya menerimanya, tapi dia juga terlihat sangat menyayanginya. Mungkinkah, rasa
Waktu sudah menunjukkan pukul 20.30 malam, Alana keluar dari kamarnya. Dia berniat untuk menghampiri Alden, karena biasanya Alden tidak pernah bisa tidur tanpa dia dongengi.Ceklek! Dia membuka pintu kamar Alden dan melihat putranya yang masih sibuk bermain seorang diri di dalam kamarnya. “Alden, belum tidur?” tanyanya seraya masuk ke dalam dan menghampiri Alden.Mendengar suara mamanya, Alden pun langsung menoleh dan tersenyum. “Ma liat deh, papa beliin Aldem mobil remote control. Bagus kan, Ma?” ucapnya memberitahu.“Iya, gimana? Alden suka?”“Suka banget Ma hehe,” jawabnya.“Udah bisa cara maininnya?”“Ini sih gampang Ma, liat ya.” Alden lalu menunjukkan bagaimana caranya memainkan mobil dengan remote control di tangannya.Alana hanya tersenyum, melihat bagaimana lihainya Alden dalam memainkannya. Memang anaknya ini sangat cerdas, padahal ini adalah pertama kalinya dia memainkan ini. Tapi dia langsung bisa sangat lihai dalam memainkannya, tanpa bertanya.“Anak mama memang
“Papa mau kan tidur sama Alden dan mama?” tanya Alden, karena dari tadi Eric masih diam mematung dengan posisi memunggunginya.Eric memejamkan matanya, dia menghela nafasnya lalu berbalik menghadap Alden. “Dengar Alden, papa tidak –““Jadi Papa tidak mau tidur sama Alden?” tanya Alden yang memotong ucapan Eric seraya menunduk menunjukkan ekspresi sedihnya.“Ahh tidak, bukan seperti itu maksud papa.”“Jadi papa mau?” tanya Alden lagi yang seperti memojokkan Eric. Tampak Eric yang seperti kebingungan, entah harus bagaimana menjawab pertanyaan Alden.“Hah.” Eric kembali menghela nafasnya dan akhirnya dia pun menyetujui permintaan Alden untuk tidur bersamanya. “Baiklah, papa akan tidur di sini,” jawabnya.“Benarkah?” tanya Alden dengan tersenyum.Eric pun mengangguk, memberi jawaban atas pertanyaan Alden.“Yey ....”“Sssttt, jangan berisik Alden. Papa kan tadi sudah bilang, nanti mamamu bangun,” ujar Eric seraya menaruh jari telunjuknya di bibirnya.“Ups, maaf Pa,” jawab Alden y
Alana telah selesai mendandani Alden dengan pakaian sekolahnya. Dia merapikan bagian pundak Alden dan juga merapikan rambutnya hingga Alden terlihat begitu tampan. “Sudah selesai, ckck. Anak mama memang benar-benar tampan,” pujinya.“Hehe, tentu aja Ma. Alden kan sangat mirip dengan papa, papa juga sangat tampan, kan? Karena itulah Alden juga tampan,” jawabnya.Alana tersenyum samar, ketika mendengar jawaban Alden. 'Kau memang sangat mirip dengan papamu, tapi mama harap sifatmu tidak mirip dengannya,' batinnya.“Hmm, Alden. Alden ke ruang makan duluan ya. Mama mau ke kamar mama dulu, takutnya ada yang papa butuhin.”“Iya,” jawabnya seraya mengangguk.Alana lalu berdiri, dia menggandeng Alden keluar dari kamarnya. Saat Alana membuka pintunya, tampak Annie yang sudah berdiri di luar sana. “Selamat pagi Nona,” sapanya.“Pagi Annie. Annie, tolong bawa Alden ke ruang makan lebih dulu. Nanti aku menyusul,” ucapnya.“Baik Nona,” jawabnya, “mari Tuan Muda.” Annie menggenggam tangan Ald
Alden masih menunggu sendirian di ruang makan, sudah 20 menit berlalu namun kedua orang tuanya tetap tak kunjung datang ke ruang makan.“Apa Anda ingin makan lebih dulu, Tuan Muda?” tanya salah satu pelayan yang bertugas melayani di meja makan.“Ahh tidak Bibi, Alden mau nunggu mama dan papa aja,” jawabnya.“Baiklah, Tuan Muda.” Pelayan itu pun kembali mundur dan berbaris kembali dengan pelayan lain di samping meja makan.Alden melihat ke sisi kirinya, di mana di sana merupakan arah masuk menuju ruang makan, seketika senyum langsung tersungging di bibirnya saat melihat Eric sudah masuk ke ruang makan. Namun, senyuman itu tiba-tiba menghilang, dan berganti dengan keningnya yang berkerut ketika dia menyadari bahwa mamanya tidak ikut bersama dengan papanya.“Mama mana, Pa?” tanyanya pada Eric yang baru saja duduk di tempatnya.“Mamamu di belakang, nanti juga datang,” jawab Eric apa adanya.Alden terdiam, dia bisa melihat dari raut wajah papanya. Kalau ada yang terjadi antara papa
Eric dan Alden sudah sampai di depan pintu gerbang sekolah Alden. Tampak Jeff yang turun lebih dulu dan membukakan pintu mobilnya untuk Alden. Eric juga ikut turun dari sana dan juga Ronald yang memang Eric ajak ke sana.“Alden, ini paman Ronald. Mulai hari ini, dia akan mengawalmu. Dengar, papa melakukan ini bukannya papa tidak mau kau hidup bebas. Tapi papa sedang sangat mengkhawatirkanmu, kamu mengerti kan maksud papa?” ucapnya.“Iya Pa, Alden ngerti kok,” jawabnya.“Bagus, kamu memang seorang anak yang bijaksana,” pujinya seraya mengusap kepala Alden.Saat Alden dan juga Eric sedang berbincang, tampak ada seorang anak lainnya yang juga baru sampai di sekolah. Dia turun dari mobilnya, dan tersenyum saat melihat Alden yang juga baru sampai dan masih berdiri di depan pintu gerbang dengan 3 orang laki-laki.“Alden sedang bersama siapa? Kenapa dia dikerubungi laki-laki tinggi dan besar itu. Apa jangan-jangan dia mau diculik?” gumam anak itu yang tak lain adalah Cedric. Merasa Al
Glek! Kembali, Alana menelan salivanya karena kegugupannya. Kenapa dia merasa begitu tertekan saat ini, padahal bibi Han hanya duduk di depannya dan menatapnya saja. Tapi, kenapa hal itu membuatnya bungkam dan tidak bisa mengatakan apa pun.Alis bibi Han tampak berkerut, karena dari tadi Alana terus menerus terdiam tanpa ada sepatah kata pun yang terucap dari mulutnya. “Nona, Anda bilang ada sesuatu yang ingin Anda tanyakan pada saya, apa itu?” tanyanya.Alana kembali menarik nafasnya berusaha menenangkan dirinya. 'Aku tidak boleh mengulur waktu lagi, aku harus segera meluruskan ini, mama Liana berhak atas kasih sayang anaknya dan begitu pun dengan Eric, dia juga berhak atas kasih sayang ibunya. Karena itu, aku tidak boleh takut,' batinnya.“Itu ... bibi Han, aku ... aku ingin bertanya masalah Eri,” ujarnya.“Tuan? Ada apa dengan tuan, Nona?”Alana lalu mengangkat wajahnya, balas menatap bibi Han dengan tatapan seriusnya. “Apa kau, menyayangi Eric dengan tulus?” tanyanya kemudian
"A-ada apa? Sudah kubilang kan untuk jangan banyak bicara, istirahatlah!”“Da-dadaku sakit,” ucap Alana dengan begitu lemahnya.Dada Eric kembali berdebar dengan begitu kerasnya, saat mendengar apa yang Alana katakan. “A-aku akan memanggil dokter, dokter akan memeriksamu dan menyembuhkannya.” Dia kembali berbalik, dan hendak melangkah pergi. Namun, langkahnya itu kembali terhenti saat dia merasakan tangan Alana yang menahannya.Sontak, Eric pun kembali berbalik dan melihat pada Alana. Tampak Alana yang menggeleng, berusaha mencegah Eric agar tetap di sisinya. “Tidak usah, jangan panggil dokter. Tetaplah di sisiku, aku merasa waktuku tidak lama lagi, aku tidak bisa menahannya,” ucapnya.“A-apa yang kau katakan, kenapa kau mengatakan hal itu Alana. Tolong jangan membuatku takut!” ucap Eric.“Eric, bolehkah aku meminta sesuatu padamu?” tanyanya.“Katakanlah, apa pun yang kau inginkan. Aku akan mengabulkannya, aku pasti mengabulkannya,” jawabnya.“Tersenyumlah, aku ingin melihatmu
Eric terpaku, melihat keadaan Alana saat ini. Ruangan itu begitu sunyi, hanya terdengar suara alat monitor yang mengukur detak jantung Alana saat ini. Tangannya yang bergetar itu lalu terangkat, menyentuh dahi Alana yang basah karena keringat. “Istriku, Alana,” ucapnya, “apa kau mendengarku? Aku memanggilmu istriku, bukankah kau selalu memintaku untuk memanggilmu seperti itu? Karena itu bangunlah, dan dengarkan hal itu sepuasmu. Aku akan mengucapkannya berkali-kali sampai kau puas. Aku akan selalu pamit padamu ketika aku akan berangkat ke mana pun dan mengecup keningmu. Jadi kumohon, bangunlah. Bangunlah.” Air mata Eric terus mengalir. Dia lalu membungkuk, menempelkan keningnya pada kening Alana, hingga air matanya itu mengenai kening Alana.Tanpa Eric sadari, jari telunjuk Alana bergerak. Matanya yang tertutup itu juga mulai bergerak-gerak, menunjukkan bahwa Alana akan segera sadar. “A-aku ingin me-mendengarnya la-lagi,” ucapnya dengan suara lemah.Deg!Eric terperanjat ketika
Eric saat ini sudah berada kembali di rumah sakit. Dia masih berada di dalam mobilnya, menunduk menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Matanya terus terbuka dan sesaat kemudian air mata pun jatuh membasahi telapak tangannya.Jeff menoleh ke belakang, melihat keadaan Eric yang benar-benar kacau. “Tuan,” panggilnya dengan lirih.Eric masih bergeming, dia masih menunduk dengan wajahnya yang masih tertutup kedua tangannya. Entah kenapa, saat ini perasaannya begitu takut, dadanya berdebar dengan begitu keras, hatinya juga terasa begitu sakit. Dia juga enggan untuk turun dari mobil dan kembali kepada Alana. Kenapa tubuhnya begitu bergetar, seakan ingin memberitahu keadaan yang saat ini sebenarnya sedang terjadi.“Jeff, aku merasa takut,” ucapnya seraya membuka kedua tangannya dan memperlihatkan wajahnya yang saat ini sudah dipenuhi dengan air mata.Jeff tersentak melihat itu. Ini sungguh pertama kalinya dia melihat tuannya yang menangis sampai seperti ini. “Tuan, apakah Anda baik-baik
Eric masuk ke dalam mobilnya, tampak dia mengeluarkan ponselnya dari dalam saku jasnya dan menghubungi seseorang. “Jeff, apa kau sudah menemukan pelakunya?” tanyanya.“Tuan, pelakunya sudah melarikan diri. Ini adalah pembunuhan berencana, jadi sepertinya mereka sudah menyiapkannya dengan baik. Dan sepertinya orang yang merencanakan ini bukan orang sembarangan,” jawab Jeff dari seberang telepon.“Tidak papa, tidak usah kau lanjutkan. Sekarang kau pergilah ke kediaman Carlson. Karena aku juga akan ke sana.”“Baik Tuan,” jawab Jeff. Dan setelah itu sambungan telepon pun terputus. Eric langsung menyalakan mesin mobilnya dan bergerak melaju meninggalkan area rumah sakit.Di perjalanan menuju kediaman Carlson, Eric mencengkeram erat kemudi mobilnya, menunjukkan kemarahannya saat ini yang begitu besar. Terlebih, dia tidak menyangkanya sama sekali, bahwa papa dan juga kakaknya akan tega membunuhnya. Baiklah, dia memang mengakui bahwa hubungannya dengan keluarganya memang tidak baik. Tapi,
Eric membelokkan mobilnya, memasuki pintu gerbang rumah sakit. Dia lalu memarkirkan mobilnya dan langsung keluar dari sana. Dengan cepat Eric membuka pintu mobil bagian belakangnya dan menggendong Alana masuk ke dalam rumah sakit dengan diikuti oleh Silvia dan juga yang lainnya.“Dokter! Dokter!” teriak Eric seraya melihat ke sana kemari mencari keberadaan dokter untuk menangani Alana. Dia terus berjalan, dengan Alana yang berada di gendongannya dan mulutnya tak henti-hentinya memanggil dokter. Air matanya sudah semakin deras menetes, tubuhnya juga sudah bergetar dengan sangat hebatnya.Setelah berkali-kali memanggil nama dokter dengan suara kerasnya. Tampak dari kejauhan terlihat beberapa perawat dan juga seorang dokter yang datang menghampirinya. “Ada apa, Pak?” tanya dokter itu dengan raut wajah seriusnya.“I-istriku, to-tolong selamatkan istriku, di-dia tertembak,” jawab Eric dengan terbata-bata.“Kalau begitu kita harus langsung mengoperasinya untuk mengeluarkan peluru itu.
Alana meminta pada Ronald untuk menghentikan mobilnya di saat dia melihat Eric yang sedang berdiri sembari memegang ponsel di telinganya. “Mama tunggu di sini. Biar aku yang menemui Eric,” ucapnya.Liana pun mengangguk, dia memegang tangan Alana terlebih dulu sebelum Alana keluar dari mobil. “Terima kasih sayang, terima kasih karena sudah mau menolong Eric,” ucapnya.Alana membalas pegangan tangan Liana itu dengan lembut. Dia lalu menggelengkan kepalanya seraya tersenyum. “Ini sudah tugasku sebagai istri Ma, aku harus melindungi suamiku,” jawabnya. Alana pun lalu turun dari mobil, dia berjalan hendak menghampiri Eric. Di sisi jalan yang lain. Terlihat Silvia dan Christ yang sedang berada di dalam mobil mereka. Silvia membuka kaca mobilnya, dan melihat jalanan yang sedikit sepi saat ini. “Sayang, bukankah itu Alana?” ucapnya pada Christ.Deg! Christ langsung menghentikan mobilnya sesaat setelah mendengar nama Alana yang terlontar dari mulut Silvia. Dia lalu menoleh pada sesosok wa
Liana terus berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya, tampak dia menggigiti kuku jarinya karena perasaan takut dan panik yang saat ini dia rasakan. “Bagaimana aku harus memberitahu Alana tentang masalah ini, aku harus segera memberitahunya sebelum semuanya terlambat,” gumamnya.Tubuh Liana bergetar saat mengingat kembali obrolan antara suami dan putranya. Air matanya kembali menetes, dia masih merasa tidak percaya bahwa suaminya dan Erland akan merencanakan hal sekejam ini kepada Eric.“Aku harus pergi ke rumah Eric sekarang, tapi aku harus memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang tahu mengenai kepergianku. Aku harus berhati-hati atau semuanya akan gagal,” gumamnya lagi.***Eric’s MansionSaat ini Alana tengah duduk di ruang keluarga seorang diri. Dia sedang melukis wajah Eric yang ada di ingatannya. Sudah lama dia tidak melukis, rasanya tangannya ini begitu tegang. Tapi entah kenapa, hari ini rasanya dia sangat ingin sekali melukis, dan wajah yang ingin dia lukis adalah Eric
Alana menaruh kembali gelas itu di nakas yang ada di samping tempat tidur, dia lalu berjalan memutari tempat tidur dan naik ke atas ranjang. Alana menarik selimutnya, dan membaringkan tubuhnya dengan posisi miring menghadap pada Eric. Dia kembali tersenyum, memperhatikan Eric yang sudah menutup matanya.Eric yang sebenarnya memang belum sepenuhnya tertidur itu merasa risi dengan apa yang Alana lakukan saat ini, dia tahu bahwa Alana terus menatapnya tanpa mau memalingkan wajahnya itu darinya. Dengan terpaksa dia pun membuka kembali matanya dan melihat Alana yang tersenyum padanya.“Apa kau hanya akan melihatku?” tanyanya.“Iya, biarkan aku melihatmu sampai aku puas. Kau sangat tampan Eric, aku suka melihat wajahmu,” jawab Alana dengan beraninya.Psshhh! Seketika wajah Eric kembali memerah, sesaat setelah mendengar apa yang Alana katakan. 'Wajahku memanas lagi, kenapa aku merasa wanita ini semakin berani menggodaku,' batinnya.“Kemarikan tanganmu,” pinta Alana.“Kenapa?” tanya Eri
“Aku ada satu rencana, dan sepertinya hanya rencana ini yang harus kita lakukan. Jika Papa mengizinkannya, maka aku akan langsung melakukannya,” ucap Erland.“Apa itu?” tanya Erian lagi.“Membunuhnya,” jawab Erland dengan raut wajah dingin.Tidak ada raut keterkejutan atau pun marah dari wajah Erian setelah mendengar rencana dari Erland, justru dia lebih terlihat memikirkan rencana yang Erland lontarkan itu.“Hanya itu satu-satunya cara Pa, jika kita ingin menghentikan pergerakan Eric untuk menghancurkan Carlson Group, jalan satu-satunya adalah dengan menyingkirkannya. Maka semuanya akan kembali seperti semula,” ujar Erland yang mencoba meyakinkan papanya agar mengizinkannya untuk melakukan rencana itu.Tampak Erian yang kembali melihat pada Erland, dia lalu menepuk bahu Erland dengan senyum yang tersungging di bibirnya. “Kamu memang putraku Erland, sifatmu benar-benar sama denganku. Baiklah, lakukan rencana itu. Aku mengandalkanmu,” ucapnya kemudian, yang memberikan persetujuan