Eric dan Jeff berdiri di depan ruang rawat Alden. Saat ini Jeff hanya terdiam, entah kenapa dia merasa kesal karena sepertinya Eric sama sekali tidak percaya padanya. Bukankah dia ini sahabatnya, dia bukan hanya sekretaris pribadinya, kan. Atau Eric tidak menganggapnya sebagai sahabat? Pikirnya.“Ada apa denganmu Jeff? Tadi kau memegangi kepalamu, apa kau sakit? Dan kenapa saat ini kau terlihat marah padaku?” tanya Eric.Dengan wajah kecewanya, Jeff akhirnya melihat pada Eric. “Tuan, saya tahu saya hanyalah sekretaris pribadi Anda. Tapi saya ini adalah tangan kanan Anda, bukan? Tapi kenapa Anda tidak mempercayai saya?” tanyanya, “saya, saya bukan hanya tangan kanan Anda. Tapi saya juga sahabat Anda. Saya mengerti Anda telah kehilangan kepercayaan kepada orang lain. Tapi saya?” Lanjutnya.Kening Eric berkerut. Dia sama sekali tidak mengerti dengan arah pembicaraan Jeff saat ini. “Katakan dengan jelas, apa maksud ucapanmu Jeff!”“Sekarang saya tahu, kenapa Anda sangat perhatian kepa
Alana berdiri di depan jendela kaca besar di kamarnya. Dia terus diam sembari menatap pemandangan yang terlihat melalui jendela kamarnya. Dia lalu mendongak, menatap pada birunya langit dan cerahnya sinar matahari. Hari ini dunia terlihat begitu terangnya, tapi kenapa hatinya tidak bisa secerah hari ini. Kenapa hatinya tetap terasa gelap, kenapa sinar matahari tidak bisa menerangi kegelapan di hidupnya.Clakkk! Lagi-lagi Alana mengeluarkan air matanya. Hidup ini terasa begitu sulit, dia rela disiksa seberat apa pun, dia juga rela jika harus hidup kelaparan, dia rela menjadi gelandangan. Asalkan dia bisa bersama dan melihat putranya. Hukuman berat apa bagi seorang ibu selain terpisah dari anaknya. Rasanya begitu sulit, rasanya begitu sakit. Sungguh dia lebih memilih untuk mati dari pada terus terpisah dengan putranya.“Hiks hiks, bagaimana aku hidup sekarang?” gumamnya di sela-sela tangisnya. Namun tiba-tiba, ekspresi wajah Alana menajam. Dia lalu berbalik dan berlari ke arah pintu d
“Alden tidak sendiri, masih ada paman. Paman akan menjaga Alden, paman berjanji. Paman tidak akan meninggalkan Alden. Karena itu, maukah Alden ikut dengan paman?” tanyanya.Alden terdiam, dia masih fokus melihat pada Eric. Berusaha untuk mendapatkan keputusannya sendiri. Dia lalu menunduk, kembali menatap makam bunda dan ayahnya secara bergantian. 'Paman adalah orang asing, kami baru saja bertemu dan berkenalan. Bunda bilang, jangan terlalu percaya kepada orang asing. Tapi, paman adalah orang yang baik. Paman merawatku selama di rumah sakit. Jadi, haruskah aku percaya padanya?’ batinnya.Tampak kedua tangan mungil Alden yang berada di atas pahanya itu mengepal. Di umurnya yang baru menginjak 5 tahun. Dia sudah ditinggalkan orang-orang yang di sayanginya. Dimulai dari mamanya dan sekarang oleh kedua orang tua angkatnya. Dia hanya sendirian sekarang, apa yang bisa seorang anak kecil lakukan jika hidup seorang diri. Akankah dia menjadi seorang gelandangan dan putus sekolah? Pikirnya.
Air mata Alana langsung menetes, ketika dia melihat putra yang dirindukannya itu berada di hadapannya saat ini. Dia menutup mulutnya dengan kedua tangannya sebagai bukti rasa tidak percaya yang dia rasakan saat ini.Tak berbeda dengan Alana, Alden juga mulai meneteskan air matanya. Karena dia tidak menyangka, bahwa dia akan bertemu dengan mamanya, mama yang sangat dia rindukan dan yang sangat ingin dia peluk.Alden hendak melangkah, dan menghampiri Alana. Namun, niatnya itu dia urungkan saat dia melihat Alana yang menaruh jari telunjuknya di bibirnya dan menggelengkan kepalanya meminta kepadanya untuk tidak mengatakan apa pun dan juga mendekatinya.Melihat itu, raut wajah Alden langsung berubah, dia tidak mengerti kenapa mamanya melarang dirinya untuk memanggil dan menghampirinya.Alana melihat pada Eric yang saat ini masih sibuk berbicara dengan bibi Han. Dia harus berusaha menahan Alden untuk tidak memanggil dan menghampirinya atau semuanya akan terbongkar.‘Maafkan mama Alden,
“Mungkin? Jadi maksudmu, Alden bisa putraku atau bisa juga bukan? Jika dia putraku, kau pikir siapa ibunya? Bukankah, aku hanya pernah tidur denganmu. Atau mungkin ... kau adalah ibunya?”Deg! Ucapan Eric itu benar-benar membuat detak jantung Alana langsung berpacu dengan cepat, hingga membuatnya membeku seketika.Detak jantung Alana semakin berdetak dengan cepatnya saat dia menyadari Eric yang mendekat padanya. “Jawab, bukankah jika dia putraku. Maka, kau adalah ibunya?” tanyanya lagi.“A-apa maksudmu, aku ... aku tidak mengerti. Aku bertanya, dan kau justru bertanya balik?” ucap Alana.Eric memegang dagu Alana dan mendongakkannya agar dia menatap padanya. Karena dari tadi, Alana terus saja menunduk. Dan itu membuat Eric kesulitan untuk membaca raut wajah yang sedang Alana tunjukkan.“Karena kau bodoh! Bukankah aku sudah bilang, aku hanya pernah tidur denganmu, jika dia bukan anakmu. Lalu bagaimana mungkin dia jadi anakku,” jelasnya.Glek! Lagi-lagi Alana menelan salivanya. Men
Seperti tidak ada pilihan lain, Alden pun mengangguk. Namun, di dalam pikirannya. Dia masih tidak mengerti, kenapa mamanya terlihat sangat ketakutan. “Apakah paman Eric, menjahati Mama?’ tanyanya.Deg! Alana tersentak, dia tidak menyangka sama sekali bahwa Alden akan memikirkan pertanyaan seperti itu. Sekarang apa yang harus dijawabnya, haruskah dia mengatakan bahwa Eric memanglah jahat? Tapi Alden masih kecil, pikirannya tidak boleh diisi oleh hal-hal negatif seperti ini.“Ma, jawab. Apakah paman Eric selalu menjahati Mama?”“Ahh tidak sayang, hanya saja ... mama tidak mau tinggal di sini. Mama hanya ingin hidup sama kamu, seperti dulu,” jawabnya kemudian.Alden terdiam, kenapa dia merasa jika mamanya itu sedang menyembunyikan sesuatu.Alana melirik pada Alden, putranya ini sangat cerdas. Kemungkinan besar dia akan menyadari keanehan yang terjadi dalam dirinya. Dan sebelum hal itu terjadi, dia harus melakukan sesuatu. “Ahh sayang, bagaimana kalau sekarang kita tidur. Mama akan c
Sinar bulan telah berganti dengan cerahnya sinar matahari. Eric, Alden dan juga Alana sudah berada di ruang makan. Saat ini mereka sedang melakukan sarapan pagi bersama. Tampak Eric yang hanya terdiam karena memperhatikan Alana yang sedang sibuk melayani Alden, dia bahkan menyuapi Alden layaknya anaknya sendiri.Melihat pemandangan itu, membuat alis Eric berkerut. Dia tidak mengerti dengan sikap Alana pada Alden. Semalam dia melihat Alana yang tidur di kamar Alden sembari memeluknya. Dan sekarang dia melayani Alden layaknya seorang ibu. ‘Aku sungguh tidak mengerti, apa yang dipikirkan wanita ini?’ batinnya. “Alden, apa tidurmu nyenyak, semalam?” tanyanya kemudian.Alden pun melihat pada Eric, setelah mendengar pertanyaan darinya. “Iya Paman. Sangat nyenyak,” jawabnya.“Apa ada yang menidurkanmu, hingga tidurmu bisa sangat nyenyak?” tanyanya lagi.“Ahh itu, ma ... Bibi Alana semalam datang ke kamarku. Karena dia tahu, kalau Alden habis kecelakaan. Jadi dia ngerawat Alden,” jawabnya
“Apa yang kau katakan Jeff?!” tanya Eric dengan nada suara yang tinggi.“Tadi bibi Han menghubungi saya, jika tuan Erland datang ke rumah dan bertemu dengan Alden,” jawab Jeff.Raut wajah Eric berubah, kini terlihat kemarahan besar yang telah menyelimuti wajah itu. Tampak kedua tangannya juga mengepal, membuktikan seberapa marahnya dia saat ini. “Apakah pengawal-pengawal di sana membiarkan dia masuk ke rumahku?” tanyanya.“Sepertinya, mereka tidak berani menghalangi tuan Erland, Tuan. Karena status tuan Erland yang merupakan kakak dari Anda. Itu artinya, tuan Erland juga masih majikan mereka,” jelas Jeff.“Cih, mau dia kakakku atau ayahku pun. Seharusnya dia tidak bisa masuk seenaknya ke dalam rumahku!” kesalnya. “Lalu, bagaimana keadaan Alden? Apa dia baik-bauk saja?”“Bibi Han bilang, Alden baik-baik saja Tuan.”Eric menelan salivanya, hatinya kembali merasakan sesuatu yang tidak nyaman. Erland sudah melihat Alden, karena Alden sangat mirip dengannya. Sepertinya dia akan beran
"A-ada apa? Sudah kubilang kan untuk jangan banyak bicara, istirahatlah!”“Da-dadaku sakit,” ucap Alana dengan begitu lemahnya.Dada Eric kembali berdebar dengan begitu kerasnya, saat mendengar apa yang Alana katakan. “A-aku akan memanggil dokter, dokter akan memeriksamu dan menyembuhkannya.” Dia kembali berbalik, dan hendak melangkah pergi. Namun, langkahnya itu kembali terhenti saat dia merasakan tangan Alana yang menahannya.Sontak, Eric pun kembali berbalik dan melihat pada Alana. Tampak Alana yang menggeleng, berusaha mencegah Eric agar tetap di sisinya. “Tidak usah, jangan panggil dokter. Tetaplah di sisiku, aku merasa waktuku tidak lama lagi, aku tidak bisa menahannya,” ucapnya.“A-apa yang kau katakan, kenapa kau mengatakan hal itu Alana. Tolong jangan membuatku takut!” ucap Eric.“Eric, bolehkah aku meminta sesuatu padamu?” tanyanya.“Katakanlah, apa pun yang kau inginkan. Aku akan mengabulkannya, aku pasti mengabulkannya,” jawabnya.“Tersenyumlah, aku ingin melihatmu
Eric terpaku, melihat keadaan Alana saat ini. Ruangan itu begitu sunyi, hanya terdengar suara alat monitor yang mengukur detak jantung Alana saat ini. Tangannya yang bergetar itu lalu terangkat, menyentuh dahi Alana yang basah karena keringat. “Istriku, Alana,” ucapnya, “apa kau mendengarku? Aku memanggilmu istriku, bukankah kau selalu memintaku untuk memanggilmu seperti itu? Karena itu bangunlah, dan dengarkan hal itu sepuasmu. Aku akan mengucapkannya berkali-kali sampai kau puas. Aku akan selalu pamit padamu ketika aku akan berangkat ke mana pun dan mengecup keningmu. Jadi kumohon, bangunlah. Bangunlah.” Air mata Eric terus mengalir. Dia lalu membungkuk, menempelkan keningnya pada kening Alana, hingga air matanya itu mengenai kening Alana.Tanpa Eric sadari, jari telunjuk Alana bergerak. Matanya yang tertutup itu juga mulai bergerak-gerak, menunjukkan bahwa Alana akan segera sadar. “A-aku ingin me-mendengarnya la-lagi,” ucapnya dengan suara lemah.Deg!Eric terperanjat ketika
Eric saat ini sudah berada kembali di rumah sakit. Dia masih berada di dalam mobilnya, menunduk menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Matanya terus terbuka dan sesaat kemudian air mata pun jatuh membasahi telapak tangannya.Jeff menoleh ke belakang, melihat keadaan Eric yang benar-benar kacau. “Tuan,” panggilnya dengan lirih.Eric masih bergeming, dia masih menunduk dengan wajahnya yang masih tertutup kedua tangannya. Entah kenapa, saat ini perasaannya begitu takut, dadanya berdebar dengan begitu keras, hatinya juga terasa begitu sakit. Dia juga enggan untuk turun dari mobil dan kembali kepada Alana. Kenapa tubuhnya begitu bergetar, seakan ingin memberitahu keadaan yang saat ini sebenarnya sedang terjadi.“Jeff, aku merasa takut,” ucapnya seraya membuka kedua tangannya dan memperlihatkan wajahnya yang saat ini sudah dipenuhi dengan air mata.Jeff tersentak melihat itu. Ini sungguh pertama kalinya dia melihat tuannya yang menangis sampai seperti ini. “Tuan, apakah Anda baik-baik
Eric masuk ke dalam mobilnya, tampak dia mengeluarkan ponselnya dari dalam saku jasnya dan menghubungi seseorang. “Jeff, apa kau sudah menemukan pelakunya?” tanyanya.“Tuan, pelakunya sudah melarikan diri. Ini adalah pembunuhan berencana, jadi sepertinya mereka sudah menyiapkannya dengan baik. Dan sepertinya orang yang merencanakan ini bukan orang sembarangan,” jawab Jeff dari seberang telepon.“Tidak papa, tidak usah kau lanjutkan. Sekarang kau pergilah ke kediaman Carlson. Karena aku juga akan ke sana.”“Baik Tuan,” jawab Jeff. Dan setelah itu sambungan telepon pun terputus. Eric langsung menyalakan mesin mobilnya dan bergerak melaju meninggalkan area rumah sakit.Di perjalanan menuju kediaman Carlson, Eric mencengkeram erat kemudi mobilnya, menunjukkan kemarahannya saat ini yang begitu besar. Terlebih, dia tidak menyangkanya sama sekali, bahwa papa dan juga kakaknya akan tega membunuhnya. Baiklah, dia memang mengakui bahwa hubungannya dengan keluarganya memang tidak baik. Tapi,
Eric membelokkan mobilnya, memasuki pintu gerbang rumah sakit. Dia lalu memarkirkan mobilnya dan langsung keluar dari sana. Dengan cepat Eric membuka pintu mobil bagian belakangnya dan menggendong Alana masuk ke dalam rumah sakit dengan diikuti oleh Silvia dan juga yang lainnya.“Dokter! Dokter!” teriak Eric seraya melihat ke sana kemari mencari keberadaan dokter untuk menangani Alana. Dia terus berjalan, dengan Alana yang berada di gendongannya dan mulutnya tak henti-hentinya memanggil dokter. Air matanya sudah semakin deras menetes, tubuhnya juga sudah bergetar dengan sangat hebatnya.Setelah berkali-kali memanggil nama dokter dengan suara kerasnya. Tampak dari kejauhan terlihat beberapa perawat dan juga seorang dokter yang datang menghampirinya. “Ada apa, Pak?” tanya dokter itu dengan raut wajah seriusnya.“I-istriku, to-tolong selamatkan istriku, di-dia tertembak,” jawab Eric dengan terbata-bata.“Kalau begitu kita harus langsung mengoperasinya untuk mengeluarkan peluru itu.
Alana meminta pada Ronald untuk menghentikan mobilnya di saat dia melihat Eric yang sedang berdiri sembari memegang ponsel di telinganya. “Mama tunggu di sini. Biar aku yang menemui Eric,” ucapnya.Liana pun mengangguk, dia memegang tangan Alana terlebih dulu sebelum Alana keluar dari mobil. “Terima kasih sayang, terima kasih karena sudah mau menolong Eric,” ucapnya.Alana membalas pegangan tangan Liana itu dengan lembut. Dia lalu menggelengkan kepalanya seraya tersenyum. “Ini sudah tugasku sebagai istri Ma, aku harus melindungi suamiku,” jawabnya. Alana pun lalu turun dari mobil, dia berjalan hendak menghampiri Eric. Di sisi jalan yang lain. Terlihat Silvia dan Christ yang sedang berada di dalam mobil mereka. Silvia membuka kaca mobilnya, dan melihat jalanan yang sedikit sepi saat ini. “Sayang, bukankah itu Alana?” ucapnya pada Christ.Deg! Christ langsung menghentikan mobilnya sesaat setelah mendengar nama Alana yang terlontar dari mulut Silvia. Dia lalu menoleh pada sesosok wa
Liana terus berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya, tampak dia menggigiti kuku jarinya karena perasaan takut dan panik yang saat ini dia rasakan. “Bagaimana aku harus memberitahu Alana tentang masalah ini, aku harus segera memberitahunya sebelum semuanya terlambat,” gumamnya.Tubuh Liana bergetar saat mengingat kembali obrolan antara suami dan putranya. Air matanya kembali menetes, dia masih merasa tidak percaya bahwa suaminya dan Erland akan merencanakan hal sekejam ini kepada Eric.“Aku harus pergi ke rumah Eric sekarang, tapi aku harus memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang tahu mengenai kepergianku. Aku harus berhati-hati atau semuanya akan gagal,” gumamnya lagi.***Eric’s MansionSaat ini Alana tengah duduk di ruang keluarga seorang diri. Dia sedang melukis wajah Eric yang ada di ingatannya. Sudah lama dia tidak melukis, rasanya tangannya ini begitu tegang. Tapi entah kenapa, hari ini rasanya dia sangat ingin sekali melukis, dan wajah yang ingin dia lukis adalah Eric
Alana menaruh kembali gelas itu di nakas yang ada di samping tempat tidur, dia lalu berjalan memutari tempat tidur dan naik ke atas ranjang. Alana menarik selimutnya, dan membaringkan tubuhnya dengan posisi miring menghadap pada Eric. Dia kembali tersenyum, memperhatikan Eric yang sudah menutup matanya.Eric yang sebenarnya memang belum sepenuhnya tertidur itu merasa risi dengan apa yang Alana lakukan saat ini, dia tahu bahwa Alana terus menatapnya tanpa mau memalingkan wajahnya itu darinya. Dengan terpaksa dia pun membuka kembali matanya dan melihat Alana yang tersenyum padanya.“Apa kau hanya akan melihatku?” tanyanya.“Iya, biarkan aku melihatmu sampai aku puas. Kau sangat tampan Eric, aku suka melihat wajahmu,” jawab Alana dengan beraninya.Psshhh! Seketika wajah Eric kembali memerah, sesaat setelah mendengar apa yang Alana katakan. 'Wajahku memanas lagi, kenapa aku merasa wanita ini semakin berani menggodaku,' batinnya.“Kemarikan tanganmu,” pinta Alana.“Kenapa?” tanya Eri
“Aku ada satu rencana, dan sepertinya hanya rencana ini yang harus kita lakukan. Jika Papa mengizinkannya, maka aku akan langsung melakukannya,” ucap Erland.“Apa itu?” tanya Erian lagi.“Membunuhnya,” jawab Erland dengan raut wajah dingin.Tidak ada raut keterkejutan atau pun marah dari wajah Erian setelah mendengar rencana dari Erland, justru dia lebih terlihat memikirkan rencana yang Erland lontarkan itu.“Hanya itu satu-satunya cara Pa, jika kita ingin menghentikan pergerakan Eric untuk menghancurkan Carlson Group, jalan satu-satunya adalah dengan menyingkirkannya. Maka semuanya akan kembali seperti semula,” ujar Erland yang mencoba meyakinkan papanya agar mengizinkannya untuk melakukan rencana itu.Tampak Erian yang kembali melihat pada Erland, dia lalu menepuk bahu Erland dengan senyum yang tersungging di bibirnya. “Kamu memang putraku Erland, sifatmu benar-benar sama denganku. Baiklah, lakukan rencana itu. Aku mengandalkanmu,” ucapnya kemudian, yang memberikan persetujuan