“Eric!”Sebuah suara keras menggelegar yang memanggilnya itu akhirnya bisa menyadarkan Eric dari amarahnya. Dia menghentikan aksi pemukulannya kepada Erland, dan melirik dengan tajam kepada asal suara itu.Nafas memburu keluar dari mulut Eric, dia lalu mengusap keringat yang berada di bawah matanya. Dan berdiri tegak menghadap papanya yang tadi memanggilnya.Plakk!Erian kembali menampar Eric dengan kerasnya, hingga wajah Eric terhempas ke samping. “Kau sudah keterlaluan, kau berani memukul kakakmu!” ucapnya dengan suara tinggi.Eric menyeka dengan ibu jarinya darah yang keluar dari sudut bibirnya, hasil dari tamparan papanya tadi. “Bukannya papa yang bilang, siapa yang lebih kuat dialah pemenangnya. Aku sudah membuat kakak babak belur. Bukankah itu artinya aku yang menang,” jawabnya dengan santai.Erian mengepalkan tangannya, ucapan Eric yang kurang ajar membuatnya benar-benar tidak bisa mengendalikan amarah. “Pulanglah, dan pikirkan kesalahanmu, papa akan memberikanmu satu kes
Alana tersentak dengan apa yang Eric katakan. Dia pun langsung melihat ke sekitarnya. Dan kembali terkejut setelah mengetahui bahwa ini bukanlah kamarnya.“I-ituuu, aku ... aku ....” Entah bagaimana Alana harus memberi alasan, tidak mungkin dia jujur kan kalau dirinya menyelinap masuk ke sini untuk mencari ponselnya.“Jangan bilang kau ke sini karena untuk menca –““Kau terluka?” tanya Alana yang memotong ucapan Eric, tampak tangannya itu juga menyentuh pipi Eric yang memerah dan memar akibat tamparan Erian.Deg!Eric yang memang masih membungkuk di hadapan Alana itu langsung diam membatu saat merasakan hangat tangan Alana yang menyentuh wajahnya. Pandangannya itu lalu fokus melihat mata Alana yang justru terus melihat ke arah lukanya.Grep!Eric memegang tangan Alana yang menyentuh wajahnya itu hingga membuat Alana terkejut.“Berani sekali kau memotong pembicaraanku, kau juga telah berani menyentuhku tanpa seizinku,” ucap Eric dengan dingin.Namun, sepertinya Alana tidak m
Eric terbangun dari tidurnya, tangannya itu terangkat dan menyentuh kedua matanya.Tuk!Eric terkejut saat merasakan sesuatu yang jatuh ke keningnya. Matanya itu kembali terbuka dan tersentak saat melihat kepala Alana yang ternyata menyentuh keningnya. Sepertinya tanpa sadar kepalanya itu jatuh dan akhirnya berada di kening Eric sekarang.“Dia masih ada di sini?” gumamnya.Eric lalu melihat jam dinding yang ada di kamarnya. “Pukul 4 subuh? Aku, aku tidur selama itu? Aku?”Eric seakan terkejut, karena dia bisa tidur sangat lama. Bahkan lebih dari 8 jam, sedangkan biasanya dia tidak pernah tidur dengan lama, paling lama dia hanya tidur 1 jam, karena dia memang tidak pernah bisa tidur dengan tenang. Tapi saat ini, apa yang terjadi padanya.Eric lalu kembali melihat pada Alana yang wajahnya masih ada di kening Eric. “Apa semua ini karenanya? Tidak! Tidak mungkin ini karena gadis ini, ini pasti karena aku terlalu lelah, karena itulah aku bisa tidur dengan nyenyak. Iya, pasti karena i
Matahari sudah semakin meninggi, hari pun semakin terik. Tampak seorang anak laki-laki duduk di sebuah kursi yang ada di taman depan gedung sekolahnya. Anak laki-laki yang tak lain adalah Alden itu hanya duduk diam menunduk dengan memandang rumput hijau yang tumbuh di tanah. Dia tidak mengatakan apa pun, hanya diam dengan wajah sedihnya.Dari kejauhan, seorang anak laki-laki yang sedang bermain dengan teman-temannya, terus menatap ke arah Alden. Dia seperti tertarik dan ingin menghampiri Alden yang terus duduk seorang diri di taman. “Teman-teman, apa kalian tahu siapa anak itu?” tanyanya.Teman-temannya yang sedang bermain dengannya pun melihat ke arah jari telunjuk anak laki-laki itu yang mengarah pada Alden.“Ohh, itu kan Alden. Dia satu kelas dengan kita.”“Benarkah? Kok aku enggak pernah liat ya,” ujar anak laki-laki itu.“Hmm karena dia memang pendiam. Padahal di awal pertama masuk sekolah, dia termasuk anak yang ceria. Tapi tidak tahu kenapa sekarang dia jadi pendiam,” jawa
Malam harinya, saat ini waktu sudah menunjukkan pukul 20.03 malam. Dimana para keluarga di seluruh penjuru dunia tengah menghabiskan waktu bersantai mereka bersama dengan keluarga mereka masing-masing.Tak beda jauh juga dengan keluarga Cedric. Saat ini dia dan kedua orang tuanya tengah berada di ruang santai, duduk bersama di sana sambil menyalakan televisi dan memakan camilan.“Sayang, hari ini Cedric sudah membuatku senang,” ujar Silvia yang merupakan ibu dari Cedric kepada suaminya Christian.Membuat Christ dan Cedric langsung menatap padanya.“Memangnya apa yang dia lakukan” tanya Christ yang sepertinya penasaran.Dengan senyum lebarnya, Silvia meraih Cedric dan memeluknya sambil menjawab pertanyaan Christ. “Hmm hari ini dia menghabiskan bekalnya, juga sayur brokoli yang kumasakkan,” jawab Silvia.Christ yang tersentak itu langsung melirik pada Cedric. “Benarkah? Kau bilang kau tidak suka sayuran itu?” tanyanya.“Iya, aku memang tidak suka. Bukan aku juga yang habiskan,” j
Eric menatap tajam pada Alana, tatapannya itu semakin membuat Alana merasa gugup dan panik. Bahkan saking paniknya, suara telanan saliva dari Alana terdengar sangat jelas.“Kau ....”Mendengar suara Eric yang begitu dekat membuat dada Alana terus berdebar dengan kuatnya. Dia menunduk, menutup matanya. Karena tatapan tajam Eric, selalu membuat nyalinya menciut. Benar-benar menakutkan.“Kau! Apa kau hanya akan berdiam diri? Ayo bantu lepas jasku,” ucap Eric.“Ehh?” Alana langsung mengangkat kembali wajahnya, setelah mendengar apa yang Eric katakan. ‘Jadi, dia bukan mau menginterogasi atau memukulku, melainkan memintaku untuk melepaskan jasnya?’ batinnya yang kebingungan.“Kau masih diam? Apa aku harus mengatakannya dua kali?” kesalnya.“Ahh, ohh i-iya,” jawab Alana yang langsung tersadar dari lamunannya setelah mendengar suara Eric yang kesal.Alana pun berpindah posisi ke belakang Eric dan mengangkat tangannya untuk menyentuh jas Eric.“Tunggu!” Tahan Eric, sontak tangan Alana
Tanpa terasa malam yang sunyi itu kini telah berubah menjadi hari yang cerah dengan bunyi burung-burung yang menghiasinya.“Euukkkkhhh.” Eric merenguh dalam tidurnya, dia lalu bergerak-gerak mempererat pelukannya pada bantal gulingnya, namun dia merasa bantal gulingnya saat ini terasa lebih nyaman dan juga lebih hangat, itulah yang membuatnya terus mempererat dan semakin mempererat pelukannya.Terasa burung-burung yang berkicau semakin berisik dan mengganggu tidurnya. Eric pun mulai membuka matanya, dengan terpaksa dia harus merelakan rasa nyaman dan hangatnya saat ini karena gangguan burung-burung itu yang seakan memaksanya untuk segera bangun. Namun, saat Eric mulai membuka matanya, betapa terkejutnya dia bahwa ternyata yang dia peluk itu bukanlah bantal gulingnya, melainkan Alana.Eric masih diam mematung dengan masih memeluk Alana, tampak posisi kepalanya saat ini berada tepat di dada Alana dan tangannya juga melingkar dengan eratnya pada pinggang Alana. Eric terus terdiam, d
Alana berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya. Tampak tangannya itu dia pautkan satu sama lain, dari ekspresi dan gerak geriknya terlihat jelas bahwa dia saat ini sedang merasa gugup, karena hari ini dia akan mencoba untuk keluar dari mansion ini.Alana melihat ke arah jam dinding yang saat ini sudah menunjukkan pukul 09. 10 pagi. “Bagaimana pun caranya aku harus bisa pergi dari sini, aku tidak bisa menahannya lagi. Aku harus bertemu dengan putraku. Jika aku sudah bisa lari dari sini, aku dan anakku akan pergi jauh dari kota ini. Agar iblis bernama Eric itu tidak bisa menemukanku,” gumamnya.Alana menyiapkan dirinya sebaik mungkin untuk pelariannya ini, dengan helaan nafas yang keluar dari mulutnya, Alana pun mulai melangkah mendekati pintu kamarnya. Dia berharap, saat dia membuka pintu kamarnya nanti, semuanya akan berjalan dengan lancar tanpa hambatan apa pun.Dengan tangannya yang gemetar, Alana meraih gagang pintu di depannya dan mengayunkannya ke bawah. Ceklek!Pintu pun t
"A-ada apa? Sudah kubilang kan untuk jangan banyak bicara, istirahatlah!”“Da-dadaku sakit,” ucap Alana dengan begitu lemahnya.Dada Eric kembali berdebar dengan begitu kerasnya, saat mendengar apa yang Alana katakan. “A-aku akan memanggil dokter, dokter akan memeriksamu dan menyembuhkannya.” Dia kembali berbalik, dan hendak melangkah pergi. Namun, langkahnya itu kembali terhenti saat dia merasakan tangan Alana yang menahannya.Sontak, Eric pun kembali berbalik dan melihat pada Alana. Tampak Alana yang menggeleng, berusaha mencegah Eric agar tetap di sisinya. “Tidak usah, jangan panggil dokter. Tetaplah di sisiku, aku merasa waktuku tidak lama lagi, aku tidak bisa menahannya,” ucapnya.“A-apa yang kau katakan, kenapa kau mengatakan hal itu Alana. Tolong jangan membuatku takut!” ucap Eric.“Eric, bolehkah aku meminta sesuatu padamu?” tanyanya.“Katakanlah, apa pun yang kau inginkan. Aku akan mengabulkannya, aku pasti mengabulkannya,” jawabnya.“Tersenyumlah, aku ingin melihatmu
Eric terpaku, melihat keadaan Alana saat ini. Ruangan itu begitu sunyi, hanya terdengar suara alat monitor yang mengukur detak jantung Alana saat ini. Tangannya yang bergetar itu lalu terangkat, menyentuh dahi Alana yang basah karena keringat. “Istriku, Alana,” ucapnya, “apa kau mendengarku? Aku memanggilmu istriku, bukankah kau selalu memintaku untuk memanggilmu seperti itu? Karena itu bangunlah, dan dengarkan hal itu sepuasmu. Aku akan mengucapkannya berkali-kali sampai kau puas. Aku akan selalu pamit padamu ketika aku akan berangkat ke mana pun dan mengecup keningmu. Jadi kumohon, bangunlah. Bangunlah.” Air mata Eric terus mengalir. Dia lalu membungkuk, menempelkan keningnya pada kening Alana, hingga air matanya itu mengenai kening Alana.Tanpa Eric sadari, jari telunjuk Alana bergerak. Matanya yang tertutup itu juga mulai bergerak-gerak, menunjukkan bahwa Alana akan segera sadar. “A-aku ingin me-mendengarnya la-lagi,” ucapnya dengan suara lemah.Deg!Eric terperanjat ketika
Eric saat ini sudah berada kembali di rumah sakit. Dia masih berada di dalam mobilnya, menunduk menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Matanya terus terbuka dan sesaat kemudian air mata pun jatuh membasahi telapak tangannya.Jeff menoleh ke belakang, melihat keadaan Eric yang benar-benar kacau. “Tuan,” panggilnya dengan lirih.Eric masih bergeming, dia masih menunduk dengan wajahnya yang masih tertutup kedua tangannya. Entah kenapa, saat ini perasaannya begitu takut, dadanya berdebar dengan begitu keras, hatinya juga terasa begitu sakit. Dia juga enggan untuk turun dari mobil dan kembali kepada Alana. Kenapa tubuhnya begitu bergetar, seakan ingin memberitahu keadaan yang saat ini sebenarnya sedang terjadi.“Jeff, aku merasa takut,” ucapnya seraya membuka kedua tangannya dan memperlihatkan wajahnya yang saat ini sudah dipenuhi dengan air mata.Jeff tersentak melihat itu. Ini sungguh pertama kalinya dia melihat tuannya yang menangis sampai seperti ini. “Tuan, apakah Anda baik-baik
Eric masuk ke dalam mobilnya, tampak dia mengeluarkan ponselnya dari dalam saku jasnya dan menghubungi seseorang. “Jeff, apa kau sudah menemukan pelakunya?” tanyanya.“Tuan, pelakunya sudah melarikan diri. Ini adalah pembunuhan berencana, jadi sepertinya mereka sudah menyiapkannya dengan baik. Dan sepertinya orang yang merencanakan ini bukan orang sembarangan,” jawab Jeff dari seberang telepon.“Tidak papa, tidak usah kau lanjutkan. Sekarang kau pergilah ke kediaman Carlson. Karena aku juga akan ke sana.”“Baik Tuan,” jawab Jeff. Dan setelah itu sambungan telepon pun terputus. Eric langsung menyalakan mesin mobilnya dan bergerak melaju meninggalkan area rumah sakit.Di perjalanan menuju kediaman Carlson, Eric mencengkeram erat kemudi mobilnya, menunjukkan kemarahannya saat ini yang begitu besar. Terlebih, dia tidak menyangkanya sama sekali, bahwa papa dan juga kakaknya akan tega membunuhnya. Baiklah, dia memang mengakui bahwa hubungannya dengan keluarganya memang tidak baik. Tapi,
Eric membelokkan mobilnya, memasuki pintu gerbang rumah sakit. Dia lalu memarkirkan mobilnya dan langsung keluar dari sana. Dengan cepat Eric membuka pintu mobil bagian belakangnya dan menggendong Alana masuk ke dalam rumah sakit dengan diikuti oleh Silvia dan juga yang lainnya.“Dokter! Dokter!” teriak Eric seraya melihat ke sana kemari mencari keberadaan dokter untuk menangani Alana. Dia terus berjalan, dengan Alana yang berada di gendongannya dan mulutnya tak henti-hentinya memanggil dokter. Air matanya sudah semakin deras menetes, tubuhnya juga sudah bergetar dengan sangat hebatnya.Setelah berkali-kali memanggil nama dokter dengan suara kerasnya. Tampak dari kejauhan terlihat beberapa perawat dan juga seorang dokter yang datang menghampirinya. “Ada apa, Pak?” tanya dokter itu dengan raut wajah seriusnya.“I-istriku, to-tolong selamatkan istriku, di-dia tertembak,” jawab Eric dengan terbata-bata.“Kalau begitu kita harus langsung mengoperasinya untuk mengeluarkan peluru itu.
Alana meminta pada Ronald untuk menghentikan mobilnya di saat dia melihat Eric yang sedang berdiri sembari memegang ponsel di telinganya. “Mama tunggu di sini. Biar aku yang menemui Eric,” ucapnya.Liana pun mengangguk, dia memegang tangan Alana terlebih dulu sebelum Alana keluar dari mobil. “Terima kasih sayang, terima kasih karena sudah mau menolong Eric,” ucapnya.Alana membalas pegangan tangan Liana itu dengan lembut. Dia lalu menggelengkan kepalanya seraya tersenyum. “Ini sudah tugasku sebagai istri Ma, aku harus melindungi suamiku,” jawabnya. Alana pun lalu turun dari mobil, dia berjalan hendak menghampiri Eric. Di sisi jalan yang lain. Terlihat Silvia dan Christ yang sedang berada di dalam mobil mereka. Silvia membuka kaca mobilnya, dan melihat jalanan yang sedikit sepi saat ini. “Sayang, bukankah itu Alana?” ucapnya pada Christ.Deg! Christ langsung menghentikan mobilnya sesaat setelah mendengar nama Alana yang terlontar dari mulut Silvia. Dia lalu menoleh pada sesosok wa
Liana terus berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya, tampak dia menggigiti kuku jarinya karena perasaan takut dan panik yang saat ini dia rasakan. “Bagaimana aku harus memberitahu Alana tentang masalah ini, aku harus segera memberitahunya sebelum semuanya terlambat,” gumamnya.Tubuh Liana bergetar saat mengingat kembali obrolan antara suami dan putranya. Air matanya kembali menetes, dia masih merasa tidak percaya bahwa suaminya dan Erland akan merencanakan hal sekejam ini kepada Eric.“Aku harus pergi ke rumah Eric sekarang, tapi aku harus memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang tahu mengenai kepergianku. Aku harus berhati-hati atau semuanya akan gagal,” gumamnya lagi.***Eric’s MansionSaat ini Alana tengah duduk di ruang keluarga seorang diri. Dia sedang melukis wajah Eric yang ada di ingatannya. Sudah lama dia tidak melukis, rasanya tangannya ini begitu tegang. Tapi entah kenapa, hari ini rasanya dia sangat ingin sekali melukis, dan wajah yang ingin dia lukis adalah Eric
Alana menaruh kembali gelas itu di nakas yang ada di samping tempat tidur, dia lalu berjalan memutari tempat tidur dan naik ke atas ranjang. Alana menarik selimutnya, dan membaringkan tubuhnya dengan posisi miring menghadap pada Eric. Dia kembali tersenyum, memperhatikan Eric yang sudah menutup matanya.Eric yang sebenarnya memang belum sepenuhnya tertidur itu merasa risi dengan apa yang Alana lakukan saat ini, dia tahu bahwa Alana terus menatapnya tanpa mau memalingkan wajahnya itu darinya. Dengan terpaksa dia pun membuka kembali matanya dan melihat Alana yang tersenyum padanya.“Apa kau hanya akan melihatku?” tanyanya.“Iya, biarkan aku melihatmu sampai aku puas. Kau sangat tampan Eric, aku suka melihat wajahmu,” jawab Alana dengan beraninya.Psshhh! Seketika wajah Eric kembali memerah, sesaat setelah mendengar apa yang Alana katakan. 'Wajahku memanas lagi, kenapa aku merasa wanita ini semakin berani menggodaku,' batinnya.“Kemarikan tanganmu,” pinta Alana.“Kenapa?” tanya Eri
“Aku ada satu rencana, dan sepertinya hanya rencana ini yang harus kita lakukan. Jika Papa mengizinkannya, maka aku akan langsung melakukannya,” ucap Erland.“Apa itu?” tanya Erian lagi.“Membunuhnya,” jawab Erland dengan raut wajah dingin.Tidak ada raut keterkejutan atau pun marah dari wajah Erian setelah mendengar rencana dari Erland, justru dia lebih terlihat memikirkan rencana yang Erland lontarkan itu.“Hanya itu satu-satunya cara Pa, jika kita ingin menghentikan pergerakan Eric untuk menghancurkan Carlson Group, jalan satu-satunya adalah dengan menyingkirkannya. Maka semuanya akan kembali seperti semula,” ujar Erland yang mencoba meyakinkan papanya agar mengizinkannya untuk melakukan rencana itu.Tampak Erian yang kembali melihat pada Erland, dia lalu menepuk bahu Erland dengan senyum yang tersungging di bibirnya. “Kamu memang putraku Erland, sifatmu benar-benar sama denganku. Baiklah, lakukan rencana itu. Aku mengandalkanmu,” ucapnya kemudian, yang memberikan persetujuan