Alana berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya. Tampak tangannya itu dia pautkan satu sama lain, dari ekspresi dan gerak geriknya terlihat jelas bahwa dia saat ini sedang merasa gugup, karena hari ini dia akan mencoba untuk keluar dari mansion ini.Alana melihat ke arah jam dinding yang saat ini sudah menunjukkan pukul 09. 10 pagi. “Bagaimana pun caranya aku harus bisa pergi dari sini, aku tidak bisa menahannya lagi. Aku harus bertemu dengan putraku. Jika aku sudah bisa lari dari sini, aku dan anakku akan pergi jauh dari kota ini. Agar iblis bernama Eric itu tidak bisa menemukanku,” gumamnya.Alana menyiapkan dirinya sebaik mungkin untuk pelariannya ini, dengan helaan nafas yang keluar dari mulutnya, Alana pun mulai melangkah mendekati pintu kamarnya. Dia berharap, saat dia membuka pintu kamarnya nanti, semuanya akan berjalan dengan lancar tanpa hambatan apa pun.Dengan tangannya yang gemetar, Alana meraih gagang pintu di depannya dan mengayunkannya ke bawah. Ceklek!Pintu pun t
Mendengar itu, raut wajah Alden semakin murung. Entah kenapa dia merasa sangat sedih, jangankan memiliki ayah, mamanya pun sekarang sudah pergi meninggalkannya entah ke mana. Dia tidak mengerti salah apa sebenarnya dia. Apakah memang karena dia anak yang nakal, makanya dia dihukum seperti ini?Cedric memperhatikan Alden yang malah terlihat semakin murung dari sebelumnya. “Alden, ada apa? Apa aku salah bicara?” tanyanya.“Tidak, aku hanya ingin tahu saja bagaimana memiliki seorang papa. Aku memang memiliki ayah, tapi ayah Andri hannyalah ayah angkatku. Sedangkan aku tidak tahu siapa ayah kandungku,” jawab Alden dengan wajah sedihnya.Cedric terkejut, mendengar kenyataan yang Alden katakan padanya. “Maafkan aku Alden,” ucapnya yang merasa bersalah, karena tadi dia telah membanggakan papanya terlalu berlebihan di depan Alden. Mungkin saja Alden sedih karena itu.“Tidak papa, kamu enggak salah Cedric,” jawab Alden dengan senyum hambarnya.Cedric menatap Alden dengan sendu. Dia berpik
"Halo Om, Tante. Saya Alden,” ucap Alden seraya membungkuk pada Silvia dan ChrsitTampak Christ memperhatikan Alden dengan lekat, tatapannya saat ini fokus kepada manik mata Alden yang persis seperti yang Cedric kemarin deskripsikan padanya. “Anak ini, dia ... warna matanya ....”“Cantik kan, Pah?” timpal Cedric yang memotong ucapan papanya, “karena itulah aku sangat suka dengan bola matanya hehe.” Lanjutnya.“Iya sayang, kamu benar. Sangat cantik, membuat wajah si pemiliknya menjadi lebih bersinar dan terlihat begitu tampan,” jawab Silvia.Tidak seperti Cedric dan Silvia yang memuji bola mata dan juga paras dari Alden, Christ justru hanya terdiam. Saat ini pikirannya tengah di penuhi oleh bayangan-bayangan seseorang. ‘Warna mata anak ini, ini jelas warna mata keluarga Carlson, bukan hanya warna matanya tapi warna rambutnya yang coklat gelap juga menunjukkan identitas dari keluarga Carlson bahkan ini terlihat begitu jelas. Dan yang paling penting, anak ini. Dia sangat mirip dengan
“Bukan.” Lagi-lagi Alden memotong ucapan Cedric yang sedang menjawab pertanyaan Christ. Dan kali ini, ucapan Alden membuat Cedric terkejut dan juga bingung. “Bunda Mely bukanlah ibu kandungku.” Lanjutnya.Christ mengerutkan keningnya, saat mendengar apa yang Alden katakan. Dia semakin memfokuskan pandangannya, menunggu kelanjutan perkataan Alden.“Mamaku ... tidak tahu entah dimana,” ucap Alden lagi.Lagi-lagi Christ mengerutkan keningnya, dia masih tidak mengerti dengan maksud ucapan Alden. Apakah dia dibuang oleh ibunya? Pikirnya.Bahkan Cedric pun tampak terkejut dengan ucapan Alden, dia tidak menyangka jika Mely bukanlah ibu kandungnya. Dia pikir, karena Mely sangat menyayangi Alden, itu karena dia adalah ibunya. Tapi ternyata dia adalah ibu angkatnya.“Apa maksudmu, Nak? Jadi ke mana ibumu? Apa dia meninggalkanmu?” Kali ini Silvia yang bertanya, dia seakan merasa penasaran setelah mendengar jawaban Alden. Padahal tadi dia mencoba menghentikan Christ untuk bertanya. Namun, se
Nama mama Alden adalah Alana,” jawabnya.Deg!“A-apa?” Christ terlihat sangat shock dengan apa yang baru saja di dengarnya. “Alana?” tanyanga lagi.Alden mengangguk. “Alana Zahira Subagja, karena itulah nama Alden adalah Alden Subagja.” Lanjutnya.Mata Christ langsung melebar, saat memastikan bahwa apa yang dipikirkannya itu benar. ‘Anak ini, anaknya Alana,' batinnya.Bukan hanya Christ yang terkejut, Silvia yang saat ini masih memegang Alden dengan erat pun juga ikut terkejut. Dia tidak menyangka, bahwa Alden adalah anak Alana. Dengan cepat, Silvia pun melihat ke arah Christ, karena dia tahu, sebenci apa Christ pada Arya dan Alana.Saat ini ekspresi Christ tampak begitu terkejut dengan fakta yang baru saja didengarnya.“Apa Paman mengenalnya?” tanya Alden yang sepertinya menyadarkan Christ dari keterkejutannya.Tampak dia melihat ke arah Alden, dengan tangannya yang sudah terkepal sangat kuat. Dan tentu saja hal itu membuat Silvia terkejut. Dia berpikir apakah karena Alden
‘Alden, mata Alden. Bagaimana matanya bisa sangat mirip dengan iblis itu,’ batinnya.Alana lalu memperhatikan wajah Alden dengan intens, dimulai dari rambut, mata, garis wajah, hidung, bibir. Dia benar-benar terkejut saat memperhatikan Alden dengan baik. Karena dia sangat mirip dengan Eric. ‘Bagaimana ini bisa terjadi, apa mungkin ....’ Alana tidak bisa melanjutkan kata hatinya. Dia terlalu terkejut dengan semua ini, bahkan saking terkejutnya dia sampai menutup mulutnya itu dengan satu tangannya.“Mama, Mama kenapa?” tanya Alden yang melihat mamanya tiba-tiba terdiam dan terlihat seperti orang yang sedang terkejut.‘Ini, ini tidak mungkin. Dia, dia bukan ayah Alden, kan. Aku tidak akan sudi jika dia memang ayah Alden.’ Alana kembali menatap wajah putranya itu dan memeluknya dengan erat. 'Apa aku harus membuktikannya, mungkin saja ini hanya kebetulan. Tidak mungkin iblis itu adalah ayahnya Alden. Dia bahkan tidak mau disentuh oleh wanita mana pun. Lalu, bagaimana mungkin dia adala
Alana saat ini sudah berada di dalam taksi untuk menuju ke rumah Eric. Dia melihat satu tangannya yang tergenggam dengan erat dan kemudian membuka genggaman tangannya itu. Air matanya kembali menetes saat dia melihat sehelai rambut dari Alden yang sempat dia ambil saat memeluknya tadi.Rambut berwarna cokelat gelap yang dulu sering dia sentuh kapan pun dia mau, kini terasa sangat sulit karena masalah yang tidak pernah dia pikirkan akan terjadi padanya. 'Maafkan mama Alden, mama terpaksa meninggalkanmu lagi. Tapi ini hanya sebentar, setelah semuanya jelas. Mama akan kembali lagi dan kita tidak akan terpisahkan lagi.’ Alana menggenggam erat-erat rambut itu yang akan dia gunakan untuk mengecek DNA Alden dan Eric nanti.“Nona, apakah di sini alamat yang Anda sebutkan?” tanya sopir taksi itu.Alana pun melihat ke arah luar kaca jendela taksi, itu adalah gerbang pintu mansion Eric. Taksi ini tidak boleh berhenti tepat di depan pintu gerbang itu, atau para pengawal di sana akan mengetah
“Heh.” Eric tersenyum mengejek, setelah mendengar jawaban Alana. “Jalan-jalan ya,” ucapnya sambil terus mendekat ke arah Alana dan membisikkan sesuatu padanya. “Kau pikir, aku akan percaya?” Lanjutnya.Deg!Mata Alana langsung melebar dengan detak jantungnya yang berpacu sangat cepat saat telinganya mendengar apa yang baru saja Eric bisikan. Tubuhnya langsung menegang dan diam seketika tanpa bergerak sedikit pun. Tatapannya lurus, dan tidak berkedip walaupun hanya satu kali.Dengan jarak yang masih sangat dekat, Eric melirik Alana dan melihat bagaimana reaksinya setelah mendengar apa yang dia bisikkan. Sudut bibir kanannya terangkat, ketika dia mendapati Alana yang menegang dengan tatapan lurusnya.“Kau tahu, di dunia ini ada dua macam orang. Yaitu, orang yang pandai berbohong dan tidak pandai berbohong. Orang yang pandai berbohong, sangat ahli dalam memainkan kata-kata demi membuat incarannya itu percaya dengan kata-kata manisnya. Dengan keahlian itu, dia berusaha untuk menarik o
"A-ada apa? Sudah kubilang kan untuk jangan banyak bicara, istirahatlah!”“Da-dadaku sakit,” ucap Alana dengan begitu lemahnya.Dada Eric kembali berdebar dengan begitu kerasnya, saat mendengar apa yang Alana katakan. “A-aku akan memanggil dokter, dokter akan memeriksamu dan menyembuhkannya.” Dia kembali berbalik, dan hendak melangkah pergi. Namun, langkahnya itu kembali terhenti saat dia merasakan tangan Alana yang menahannya.Sontak, Eric pun kembali berbalik dan melihat pada Alana. Tampak Alana yang menggeleng, berusaha mencegah Eric agar tetap di sisinya. “Tidak usah, jangan panggil dokter. Tetaplah di sisiku, aku merasa waktuku tidak lama lagi, aku tidak bisa menahannya,” ucapnya.“A-apa yang kau katakan, kenapa kau mengatakan hal itu Alana. Tolong jangan membuatku takut!” ucap Eric.“Eric, bolehkah aku meminta sesuatu padamu?” tanyanya.“Katakanlah, apa pun yang kau inginkan. Aku akan mengabulkannya, aku pasti mengabulkannya,” jawabnya.“Tersenyumlah, aku ingin melihatmu
Eric terpaku, melihat keadaan Alana saat ini. Ruangan itu begitu sunyi, hanya terdengar suara alat monitor yang mengukur detak jantung Alana saat ini. Tangannya yang bergetar itu lalu terangkat, menyentuh dahi Alana yang basah karena keringat. “Istriku, Alana,” ucapnya, “apa kau mendengarku? Aku memanggilmu istriku, bukankah kau selalu memintaku untuk memanggilmu seperti itu? Karena itu bangunlah, dan dengarkan hal itu sepuasmu. Aku akan mengucapkannya berkali-kali sampai kau puas. Aku akan selalu pamit padamu ketika aku akan berangkat ke mana pun dan mengecup keningmu. Jadi kumohon, bangunlah. Bangunlah.” Air mata Eric terus mengalir. Dia lalu membungkuk, menempelkan keningnya pada kening Alana, hingga air matanya itu mengenai kening Alana.Tanpa Eric sadari, jari telunjuk Alana bergerak. Matanya yang tertutup itu juga mulai bergerak-gerak, menunjukkan bahwa Alana akan segera sadar. “A-aku ingin me-mendengarnya la-lagi,” ucapnya dengan suara lemah.Deg!Eric terperanjat ketika
Eric saat ini sudah berada kembali di rumah sakit. Dia masih berada di dalam mobilnya, menunduk menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Matanya terus terbuka dan sesaat kemudian air mata pun jatuh membasahi telapak tangannya.Jeff menoleh ke belakang, melihat keadaan Eric yang benar-benar kacau. “Tuan,” panggilnya dengan lirih.Eric masih bergeming, dia masih menunduk dengan wajahnya yang masih tertutup kedua tangannya. Entah kenapa, saat ini perasaannya begitu takut, dadanya berdebar dengan begitu keras, hatinya juga terasa begitu sakit. Dia juga enggan untuk turun dari mobil dan kembali kepada Alana. Kenapa tubuhnya begitu bergetar, seakan ingin memberitahu keadaan yang saat ini sebenarnya sedang terjadi.“Jeff, aku merasa takut,” ucapnya seraya membuka kedua tangannya dan memperlihatkan wajahnya yang saat ini sudah dipenuhi dengan air mata.Jeff tersentak melihat itu. Ini sungguh pertama kalinya dia melihat tuannya yang menangis sampai seperti ini. “Tuan, apakah Anda baik-baik
Eric masuk ke dalam mobilnya, tampak dia mengeluarkan ponselnya dari dalam saku jasnya dan menghubungi seseorang. “Jeff, apa kau sudah menemukan pelakunya?” tanyanya.“Tuan, pelakunya sudah melarikan diri. Ini adalah pembunuhan berencana, jadi sepertinya mereka sudah menyiapkannya dengan baik. Dan sepertinya orang yang merencanakan ini bukan orang sembarangan,” jawab Jeff dari seberang telepon.“Tidak papa, tidak usah kau lanjutkan. Sekarang kau pergilah ke kediaman Carlson. Karena aku juga akan ke sana.”“Baik Tuan,” jawab Jeff. Dan setelah itu sambungan telepon pun terputus. Eric langsung menyalakan mesin mobilnya dan bergerak melaju meninggalkan area rumah sakit.Di perjalanan menuju kediaman Carlson, Eric mencengkeram erat kemudi mobilnya, menunjukkan kemarahannya saat ini yang begitu besar. Terlebih, dia tidak menyangkanya sama sekali, bahwa papa dan juga kakaknya akan tega membunuhnya. Baiklah, dia memang mengakui bahwa hubungannya dengan keluarganya memang tidak baik. Tapi,
Eric membelokkan mobilnya, memasuki pintu gerbang rumah sakit. Dia lalu memarkirkan mobilnya dan langsung keluar dari sana. Dengan cepat Eric membuka pintu mobil bagian belakangnya dan menggendong Alana masuk ke dalam rumah sakit dengan diikuti oleh Silvia dan juga yang lainnya.“Dokter! Dokter!” teriak Eric seraya melihat ke sana kemari mencari keberadaan dokter untuk menangani Alana. Dia terus berjalan, dengan Alana yang berada di gendongannya dan mulutnya tak henti-hentinya memanggil dokter. Air matanya sudah semakin deras menetes, tubuhnya juga sudah bergetar dengan sangat hebatnya.Setelah berkali-kali memanggil nama dokter dengan suara kerasnya. Tampak dari kejauhan terlihat beberapa perawat dan juga seorang dokter yang datang menghampirinya. “Ada apa, Pak?” tanya dokter itu dengan raut wajah seriusnya.“I-istriku, to-tolong selamatkan istriku, di-dia tertembak,” jawab Eric dengan terbata-bata.“Kalau begitu kita harus langsung mengoperasinya untuk mengeluarkan peluru itu.
Alana meminta pada Ronald untuk menghentikan mobilnya di saat dia melihat Eric yang sedang berdiri sembari memegang ponsel di telinganya. “Mama tunggu di sini. Biar aku yang menemui Eric,” ucapnya.Liana pun mengangguk, dia memegang tangan Alana terlebih dulu sebelum Alana keluar dari mobil. “Terima kasih sayang, terima kasih karena sudah mau menolong Eric,” ucapnya.Alana membalas pegangan tangan Liana itu dengan lembut. Dia lalu menggelengkan kepalanya seraya tersenyum. “Ini sudah tugasku sebagai istri Ma, aku harus melindungi suamiku,” jawabnya. Alana pun lalu turun dari mobil, dia berjalan hendak menghampiri Eric. Di sisi jalan yang lain. Terlihat Silvia dan Christ yang sedang berada di dalam mobil mereka. Silvia membuka kaca mobilnya, dan melihat jalanan yang sedikit sepi saat ini. “Sayang, bukankah itu Alana?” ucapnya pada Christ.Deg! Christ langsung menghentikan mobilnya sesaat setelah mendengar nama Alana yang terlontar dari mulut Silvia. Dia lalu menoleh pada sesosok wa
Liana terus berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya, tampak dia menggigiti kuku jarinya karena perasaan takut dan panik yang saat ini dia rasakan. “Bagaimana aku harus memberitahu Alana tentang masalah ini, aku harus segera memberitahunya sebelum semuanya terlambat,” gumamnya.Tubuh Liana bergetar saat mengingat kembali obrolan antara suami dan putranya. Air matanya kembali menetes, dia masih merasa tidak percaya bahwa suaminya dan Erland akan merencanakan hal sekejam ini kepada Eric.“Aku harus pergi ke rumah Eric sekarang, tapi aku harus memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang tahu mengenai kepergianku. Aku harus berhati-hati atau semuanya akan gagal,” gumamnya lagi.***Eric’s MansionSaat ini Alana tengah duduk di ruang keluarga seorang diri. Dia sedang melukis wajah Eric yang ada di ingatannya. Sudah lama dia tidak melukis, rasanya tangannya ini begitu tegang. Tapi entah kenapa, hari ini rasanya dia sangat ingin sekali melukis, dan wajah yang ingin dia lukis adalah Eric
Alana menaruh kembali gelas itu di nakas yang ada di samping tempat tidur, dia lalu berjalan memutari tempat tidur dan naik ke atas ranjang. Alana menarik selimutnya, dan membaringkan tubuhnya dengan posisi miring menghadap pada Eric. Dia kembali tersenyum, memperhatikan Eric yang sudah menutup matanya.Eric yang sebenarnya memang belum sepenuhnya tertidur itu merasa risi dengan apa yang Alana lakukan saat ini, dia tahu bahwa Alana terus menatapnya tanpa mau memalingkan wajahnya itu darinya. Dengan terpaksa dia pun membuka kembali matanya dan melihat Alana yang tersenyum padanya.“Apa kau hanya akan melihatku?” tanyanya.“Iya, biarkan aku melihatmu sampai aku puas. Kau sangat tampan Eric, aku suka melihat wajahmu,” jawab Alana dengan beraninya.Psshhh! Seketika wajah Eric kembali memerah, sesaat setelah mendengar apa yang Alana katakan. 'Wajahku memanas lagi, kenapa aku merasa wanita ini semakin berani menggodaku,' batinnya.“Kemarikan tanganmu,” pinta Alana.“Kenapa?” tanya Eri
“Aku ada satu rencana, dan sepertinya hanya rencana ini yang harus kita lakukan. Jika Papa mengizinkannya, maka aku akan langsung melakukannya,” ucap Erland.“Apa itu?” tanya Erian lagi.“Membunuhnya,” jawab Erland dengan raut wajah dingin.Tidak ada raut keterkejutan atau pun marah dari wajah Erian setelah mendengar rencana dari Erland, justru dia lebih terlihat memikirkan rencana yang Erland lontarkan itu.“Hanya itu satu-satunya cara Pa, jika kita ingin menghentikan pergerakan Eric untuk menghancurkan Carlson Group, jalan satu-satunya adalah dengan menyingkirkannya. Maka semuanya akan kembali seperti semula,” ujar Erland yang mencoba meyakinkan papanya agar mengizinkannya untuk melakukan rencana itu.Tampak Erian yang kembali melihat pada Erland, dia lalu menepuk bahu Erland dengan senyum yang tersungging di bibirnya. “Kamu memang putraku Erland, sifatmu benar-benar sama denganku. Baiklah, lakukan rencana itu. Aku mengandalkanmu,” ucapnya kemudian, yang memberikan persetujuan