“Heh.” Eric tersenyum mengejek, setelah mendengar jawaban Alana. “Jalan-jalan ya,” ucapnya sambil terus mendekat ke arah Alana dan membisikkan sesuatu padanya. “Kau pikir, aku akan percaya?” Lanjutnya.Deg!Mata Alana langsung melebar dengan detak jantungnya yang berpacu sangat cepat saat telinganya mendengar apa yang baru saja Eric bisikan. Tubuhnya langsung menegang dan diam seketika tanpa bergerak sedikit pun. Tatapannya lurus, dan tidak berkedip walaupun hanya satu kali.Dengan jarak yang masih sangat dekat, Eric melirik Alana dan melihat bagaimana reaksinya setelah mendengar apa yang dia bisikkan. Sudut bibir kanannya terangkat, ketika dia mendapati Alana yang menegang dengan tatapan lurusnya.“Kau tahu, di dunia ini ada dua macam orang. Yaitu, orang yang pandai berbohong dan tidak pandai berbohong. Orang yang pandai berbohong, sangat ahli dalam memainkan kata-kata demi membuat incarannya itu percaya dengan kata-kata manisnya. Dengan keahlian itu, dia berusaha untuk menarik o
Sudah 3 hari sejak Eric menghukum Alana untuk tidak pernah keluar dari dalam kamarnya, dan di waktu itu Alana benar-benar sama sekali tidak bisa keluar dari kamarnya. Entah apa pun alasan yang dia berikan, Eric tetap tidak mengabulkan apa yang dia pinta. Bahkan hanya untuk jalan-jalan mengelilingi mansion ini saja, Eric tidak mengizinkannya.Saat ini Alana tengah duduk di sofa yang ada di dalam kamarnya. Tampak dia menunduk dengan kedua tangannya yang dia taruh di keningnya. Sekarang dia tengah memikirkan cara bagaimana dia bisa keluar dari dalam kamar ini, agar dia bisa pergi ke rumah sakit untuk melakukan tes DNA. Tapi sebelum itu, dia harus terlebih dulu mendapatkan helaian rambut Eric. “Bagaimana caranya aku bisa keluar dari sini, dengan alasan apa lagi aku harus meminta padanya. Terlebih sulit sekali untuk mendapatkan sehelai rambutnya saja. Karena selama 3 hari ini dia hanya ke kamar untuk mandi dan setelah itu langsung kembali keluar dan terus berada di dalam ruangannya. Set
Eric terdiam, dia tampak memikirkan apa yang Alana katakan. ‘Hmm, aku memang tidak tidur selama 3 hari itu. Dan saat ini aku juga merasa sangat lelah, kepalaku juga sakit. Apa aku setuju saja dengan saran wanita ini? Karena jika wanita ini ada di dekatku, aku bisa tidur dengan nyenyak,' batinnya.“Baiklah, aku akan tidur di sini malam ini,” ucapnya kemudian.“Wahh, benarkah.” Alana tampak begitu senang, karena akhirnya dia bisa membujuk Eric untuk tetap berada di sini dengan begitu rencananya pasti akan berhasil. Tapi sepertinya dia tidak menyadari, bahwa ekspresi senangnya itu mengundang kecurigaan dari Eric. “Kau tidak ada maksud lain, kan? Dengan menyarankan hal itu?” tanyanya.Deg!Pertanyaan Eric itu langsung menyadarkan Alana dari rasa senangnya, dan membuatnya langsung merutuki dirinya sendiri. 'Mampus, kenapa aku enggak sadar dengan ekspresiku ini. Untuk sesaat aku lupa kalau dia adalah orang yang sangat peka. Sekarang, bagaimana aku bisa mencari alasan, jika aku berboho
Di sebuah ruang keluarga yang ada di dalam mansion besar, tampak dua orang anak laki-laki yang berusia 8 dan 9 tahun itu sedang berdiri berhadapan dengan seorang pria dewasa yang tak lain adalah ayah dari dua anak laki-laki itu.Mereka berdua fokus mendengarkan apa yang pria itu katakan kepada mereka. “Dengar Erland, Eric. Kalian berdua adalah calon pewaris dari Carlson Group. Kalian adalah darah daging dari keluarga Carlson, dan di keluarga ini tidak mempunyai kelemahan apa pun, di sini tidak ada namanya cinta dan kasih sayang. Hanya ada aturan, jika kau ingin menang maka jadilah orang yang kuat untuk menyingkirkan semua musuh-musuhmu. Dan kalian berdua, walaupun kalian berdua bersaudara, kalian tetaplah dua orang musuh, karena kalian harus bekerja keras untuk menjadi pewaris dari Carlson Group ini. Hanya ada satu orang yang akan mendapatkannya, dan kalian berdua harus bersaing dengan kekuatan dan kecerdikan kalian sendiri untuk mendapatkannya.”“Sekarang papa akan memberikan tanta
Saat ini di ruangan itu hanya tertinggal Eric, bibi Han, dan juga Liana. Bibi Han menatap Eric dengan wajahnya yang sudah dipenuhi air mata dan bergegas menghampiri Eric. Sedangkan Liana, dia justru menatap putranya Eric dengan datar, dia hanya diam di tempatnya seperti tidak berniat untuk menghampiri Eric yang saat ini dalam keadaan terluka. “Anda tidak papa, Tuan Muda?” tanya bibi Han. Eric pun menggeleng. “Aku tidak papa bibi Han,” jawabnya. Eric lalu melihat ke arah mamanya yang hanya terus terdiam dengan wajah datarnya. “Ma,” ucapnya, dia berusaha untuk berdiri dan menghampiri mamanya. Dengan air mata yang berurai membasahi pipinya. Eric memegang tangan mamanya. “Ma, punggung Eric sakit. Sakit sekali Ma, sepertinya Eric terluka parah,” keluhnya. Berharap mamanya itu akan memeluk dan menghapus air matanya. Seperti yang dia lihat di sekolahnya. Dimana ada seorang ibu yang memeluk anaknya saat anaknya itu terjatuh dan menenangkan tangisnya. Eric juga ingin merasakan itu, kasih say
Esoknya, Alana masih duduk di atas tempat tidur. Setelah terbangun karena igauan Eric semalam. Dia sama sekali tidak kembali tidur, dia terus teringat bagaimana Eric merintih mengatakan rasa sakit berkali-kali, dia juga mendengar Eric terus memanggil mamanya dan memberitahu rasa sakitnya berkali-kali pada mamanya. Tapi kenapa mamanya sepertinya tidak memedulikannya.“Semengerikan apa keluarga Carlson sebenarnya?” gumamnya.Alana menoleh ke arah pintu kamarnya yang terbuka, terlihat Eric yang masuk ke dalam kamar dengan penampilannya yang berantakan, sangat terlihat jelas bahwa dia habis melampiaskan kekesalannya itu.Eric menutup kembali pintu kamarnya, dan langsung menuju kamar mandi tanpa memedulikan Alana yang terus menatapnya. Menurutnya, hal yang Alana lakukan tadi malam itu membuatnya menjadi lebih waspada. Karena mungkin saja itu memanglah siasatnya.Alana memang tidak pandai berbohong, tapi siasat itu bukanlah sebuah kebohongan melainkan suatu rencana. Dia harus tetap berh
Eric duduk di meja kerja kantornya. Pandangannya itu lurus ke depan, dia sepertinya tidak fokus dengan apa yang dikerjakannya. Karena di kepalanya saat ini, hanya ada sosok anak kecil itu yang terus memenuhinya.“Kenapa aku terus memikirkan anak itu. Rasanya aku sangat ingin menemuinya, dan melihat lagi wajahnya. Apa sebelumnya aku pernah seperti ini?” gumamnya.“Ada apa Tuan? Apa ada yang mengganggu pikiran Anda?” tanya Jeff yang dari tadi memang sudah berdiri di depan meja kerja Eric. Dia juga melihat tuannya yang dari tadi terus melamun dan tidak konsentrasi dengan pekerjaannya. Padahal biasanya, dia tidak pernah seperti ini.Eric pun tersadar dari lamunannya, dia melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 11.04 siang. “Jeff, aku ingin pergi keluar,” ujarnya.“Baik Tuan,” jawab Jeff yang bersiap untuk mengikuti Eric.“Tidak, kau tidak usah ikut. Aku ingin pergi sendiri,” ujarnya.“Ehh? Tapi Tuan ....”“Kau membantah?” tanya Eric dengan pandangan dinginnya.“Sa-saya
Eric menyetir sendiri mobilnya untuk menuju sekolah Alden. Dia juga tidak tahu, kenapa dia nekat ingin menemui anak itu. Apakah hanya karena anak itu mirip dengannya atau justru ada hal lain yang membuatnya ingin sekali bertemu dengannya. Entahlah, Eric juga tidak mengerti. Yang jelas saat ini dia ingin memenuhi keinginannya untuk bertemu dengan anak itu. Eric sampai di depan sekolah Alden, dia meminggirkan mobilnya dan keluar dari sana. Dia melihat ke arah tempat dimana dia bertabrakan dengan anak itu hingga membuat anak itu terjatuh. Dia sangat ingat bagaimana terkejutnya dia ketika melihat sosok dari anak itu, dimana ciri-cirinya sebenarnya hanya dimiliki oleh keluarga Carlson. Hal itulah yang membuatnya beranggapan bahwa anak itu adalah miliknya. Terlebih, wajahnya sangat mirip dengannya sewaktu kecil. Eric melihat jam tangannya, saat ini sudah pukul 12.10 siang, itu artinya kemungkinan anak itu sedang istirahat dalam belajar. Eric pun memutuskan untuk masuk, namun sebelum itu,
"A-ada apa? Sudah kubilang kan untuk jangan banyak bicara, istirahatlah!”“Da-dadaku sakit,” ucap Alana dengan begitu lemahnya.Dada Eric kembali berdebar dengan begitu kerasnya, saat mendengar apa yang Alana katakan. “A-aku akan memanggil dokter, dokter akan memeriksamu dan menyembuhkannya.” Dia kembali berbalik, dan hendak melangkah pergi. Namun, langkahnya itu kembali terhenti saat dia merasakan tangan Alana yang menahannya.Sontak, Eric pun kembali berbalik dan melihat pada Alana. Tampak Alana yang menggeleng, berusaha mencegah Eric agar tetap di sisinya. “Tidak usah, jangan panggil dokter. Tetaplah di sisiku, aku merasa waktuku tidak lama lagi, aku tidak bisa menahannya,” ucapnya.“A-apa yang kau katakan, kenapa kau mengatakan hal itu Alana. Tolong jangan membuatku takut!” ucap Eric.“Eric, bolehkah aku meminta sesuatu padamu?” tanyanya.“Katakanlah, apa pun yang kau inginkan. Aku akan mengabulkannya, aku pasti mengabulkannya,” jawabnya.“Tersenyumlah, aku ingin melihatmu
Eric terpaku, melihat keadaan Alana saat ini. Ruangan itu begitu sunyi, hanya terdengar suara alat monitor yang mengukur detak jantung Alana saat ini. Tangannya yang bergetar itu lalu terangkat, menyentuh dahi Alana yang basah karena keringat. “Istriku, Alana,” ucapnya, “apa kau mendengarku? Aku memanggilmu istriku, bukankah kau selalu memintaku untuk memanggilmu seperti itu? Karena itu bangunlah, dan dengarkan hal itu sepuasmu. Aku akan mengucapkannya berkali-kali sampai kau puas. Aku akan selalu pamit padamu ketika aku akan berangkat ke mana pun dan mengecup keningmu. Jadi kumohon, bangunlah. Bangunlah.” Air mata Eric terus mengalir. Dia lalu membungkuk, menempelkan keningnya pada kening Alana, hingga air matanya itu mengenai kening Alana.Tanpa Eric sadari, jari telunjuk Alana bergerak. Matanya yang tertutup itu juga mulai bergerak-gerak, menunjukkan bahwa Alana akan segera sadar. “A-aku ingin me-mendengarnya la-lagi,” ucapnya dengan suara lemah.Deg!Eric terperanjat ketika
Eric saat ini sudah berada kembali di rumah sakit. Dia masih berada di dalam mobilnya, menunduk menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Matanya terus terbuka dan sesaat kemudian air mata pun jatuh membasahi telapak tangannya.Jeff menoleh ke belakang, melihat keadaan Eric yang benar-benar kacau. “Tuan,” panggilnya dengan lirih.Eric masih bergeming, dia masih menunduk dengan wajahnya yang masih tertutup kedua tangannya. Entah kenapa, saat ini perasaannya begitu takut, dadanya berdebar dengan begitu keras, hatinya juga terasa begitu sakit. Dia juga enggan untuk turun dari mobil dan kembali kepada Alana. Kenapa tubuhnya begitu bergetar, seakan ingin memberitahu keadaan yang saat ini sebenarnya sedang terjadi.“Jeff, aku merasa takut,” ucapnya seraya membuka kedua tangannya dan memperlihatkan wajahnya yang saat ini sudah dipenuhi dengan air mata.Jeff tersentak melihat itu. Ini sungguh pertama kalinya dia melihat tuannya yang menangis sampai seperti ini. “Tuan, apakah Anda baik-baik
Eric masuk ke dalam mobilnya, tampak dia mengeluarkan ponselnya dari dalam saku jasnya dan menghubungi seseorang. “Jeff, apa kau sudah menemukan pelakunya?” tanyanya.“Tuan, pelakunya sudah melarikan diri. Ini adalah pembunuhan berencana, jadi sepertinya mereka sudah menyiapkannya dengan baik. Dan sepertinya orang yang merencanakan ini bukan orang sembarangan,” jawab Jeff dari seberang telepon.“Tidak papa, tidak usah kau lanjutkan. Sekarang kau pergilah ke kediaman Carlson. Karena aku juga akan ke sana.”“Baik Tuan,” jawab Jeff. Dan setelah itu sambungan telepon pun terputus. Eric langsung menyalakan mesin mobilnya dan bergerak melaju meninggalkan area rumah sakit.Di perjalanan menuju kediaman Carlson, Eric mencengkeram erat kemudi mobilnya, menunjukkan kemarahannya saat ini yang begitu besar. Terlebih, dia tidak menyangkanya sama sekali, bahwa papa dan juga kakaknya akan tega membunuhnya. Baiklah, dia memang mengakui bahwa hubungannya dengan keluarganya memang tidak baik. Tapi,
Eric membelokkan mobilnya, memasuki pintu gerbang rumah sakit. Dia lalu memarkirkan mobilnya dan langsung keluar dari sana. Dengan cepat Eric membuka pintu mobil bagian belakangnya dan menggendong Alana masuk ke dalam rumah sakit dengan diikuti oleh Silvia dan juga yang lainnya.“Dokter! Dokter!” teriak Eric seraya melihat ke sana kemari mencari keberadaan dokter untuk menangani Alana. Dia terus berjalan, dengan Alana yang berada di gendongannya dan mulutnya tak henti-hentinya memanggil dokter. Air matanya sudah semakin deras menetes, tubuhnya juga sudah bergetar dengan sangat hebatnya.Setelah berkali-kali memanggil nama dokter dengan suara kerasnya. Tampak dari kejauhan terlihat beberapa perawat dan juga seorang dokter yang datang menghampirinya. “Ada apa, Pak?” tanya dokter itu dengan raut wajah seriusnya.“I-istriku, to-tolong selamatkan istriku, di-dia tertembak,” jawab Eric dengan terbata-bata.“Kalau begitu kita harus langsung mengoperasinya untuk mengeluarkan peluru itu.
Alana meminta pada Ronald untuk menghentikan mobilnya di saat dia melihat Eric yang sedang berdiri sembari memegang ponsel di telinganya. “Mama tunggu di sini. Biar aku yang menemui Eric,” ucapnya.Liana pun mengangguk, dia memegang tangan Alana terlebih dulu sebelum Alana keluar dari mobil. “Terima kasih sayang, terima kasih karena sudah mau menolong Eric,” ucapnya.Alana membalas pegangan tangan Liana itu dengan lembut. Dia lalu menggelengkan kepalanya seraya tersenyum. “Ini sudah tugasku sebagai istri Ma, aku harus melindungi suamiku,” jawabnya. Alana pun lalu turun dari mobil, dia berjalan hendak menghampiri Eric. Di sisi jalan yang lain. Terlihat Silvia dan Christ yang sedang berada di dalam mobil mereka. Silvia membuka kaca mobilnya, dan melihat jalanan yang sedikit sepi saat ini. “Sayang, bukankah itu Alana?” ucapnya pada Christ.Deg! Christ langsung menghentikan mobilnya sesaat setelah mendengar nama Alana yang terlontar dari mulut Silvia. Dia lalu menoleh pada sesosok wa
Liana terus berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya, tampak dia menggigiti kuku jarinya karena perasaan takut dan panik yang saat ini dia rasakan. “Bagaimana aku harus memberitahu Alana tentang masalah ini, aku harus segera memberitahunya sebelum semuanya terlambat,” gumamnya.Tubuh Liana bergetar saat mengingat kembali obrolan antara suami dan putranya. Air matanya kembali menetes, dia masih merasa tidak percaya bahwa suaminya dan Erland akan merencanakan hal sekejam ini kepada Eric.“Aku harus pergi ke rumah Eric sekarang, tapi aku harus memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang tahu mengenai kepergianku. Aku harus berhati-hati atau semuanya akan gagal,” gumamnya lagi.***Eric’s MansionSaat ini Alana tengah duduk di ruang keluarga seorang diri. Dia sedang melukis wajah Eric yang ada di ingatannya. Sudah lama dia tidak melukis, rasanya tangannya ini begitu tegang. Tapi entah kenapa, hari ini rasanya dia sangat ingin sekali melukis, dan wajah yang ingin dia lukis adalah Eric
Alana menaruh kembali gelas itu di nakas yang ada di samping tempat tidur, dia lalu berjalan memutari tempat tidur dan naik ke atas ranjang. Alana menarik selimutnya, dan membaringkan tubuhnya dengan posisi miring menghadap pada Eric. Dia kembali tersenyum, memperhatikan Eric yang sudah menutup matanya.Eric yang sebenarnya memang belum sepenuhnya tertidur itu merasa risi dengan apa yang Alana lakukan saat ini, dia tahu bahwa Alana terus menatapnya tanpa mau memalingkan wajahnya itu darinya. Dengan terpaksa dia pun membuka kembali matanya dan melihat Alana yang tersenyum padanya.“Apa kau hanya akan melihatku?” tanyanya.“Iya, biarkan aku melihatmu sampai aku puas. Kau sangat tampan Eric, aku suka melihat wajahmu,” jawab Alana dengan beraninya.Psshhh! Seketika wajah Eric kembali memerah, sesaat setelah mendengar apa yang Alana katakan. 'Wajahku memanas lagi, kenapa aku merasa wanita ini semakin berani menggodaku,' batinnya.“Kemarikan tanganmu,” pinta Alana.“Kenapa?” tanya Eri
“Aku ada satu rencana, dan sepertinya hanya rencana ini yang harus kita lakukan. Jika Papa mengizinkannya, maka aku akan langsung melakukannya,” ucap Erland.“Apa itu?” tanya Erian lagi.“Membunuhnya,” jawab Erland dengan raut wajah dingin.Tidak ada raut keterkejutan atau pun marah dari wajah Erian setelah mendengar rencana dari Erland, justru dia lebih terlihat memikirkan rencana yang Erland lontarkan itu.“Hanya itu satu-satunya cara Pa, jika kita ingin menghentikan pergerakan Eric untuk menghancurkan Carlson Group, jalan satu-satunya adalah dengan menyingkirkannya. Maka semuanya akan kembali seperti semula,” ujar Erland yang mencoba meyakinkan papanya agar mengizinkannya untuk melakukan rencana itu.Tampak Erian yang kembali melihat pada Erland, dia lalu menepuk bahu Erland dengan senyum yang tersungging di bibirnya. “Kamu memang putraku Erland, sifatmu benar-benar sama denganku. Baiklah, lakukan rencana itu. Aku mengandalkanmu,” ucapnya kemudian, yang memberikan persetujuan