Kau Lupa Sudah Mencuri Benihku? Di luar ruangan sang pengacara langsung menghubungi kliennya, Paula. Ia mengabarkan tentang pengakuan Patricia yang tidak menyalahkannya.Paula menyeringai bahagia. "Sudah ku duga, anak yang kubesarkan itu tidak mungkin membiarkan aku mendekam di dalam penjara. Hah! Dimitri-Dimitri, Kau berani mengusik Paula. Maka tunggu pembalasanku!"Wajah itu penuh dendam saat menyebut nama Dimitri. Entah apa yang merasuki wanita paruh baya itu, semua orang di anggap musuh olehnya. "Baiklah, aku akan segera ke kantor polisi," kata pengacaranya. "Ya, cepatlah, aku sudah bosan berada di sini." Paula sudah tidak sabar ingin segera keluar dan menyusun rencana baru untuk Sarra dan Dimitri tentunya.Pengacara tersebut pergi lebih dulu meninggalkan polisi yang masih berada di dalam ruangan Patricia. "Patricia kenapa tidak jujur?" Dimitri sungguh tidak menyangka Patricia mengatakan kebohongan tanpa mendiskusikannya dengan dirinya. "Aku berkata jujur dan dia
Kembalilah Bersamaku Jadwal Rivera telah usai, ia tengah membereskan barang yang akan ia bawa ke dalam tas. Ingatannya terus tertuju pada Antonio.Ia merutuki dirinya yang menjadi serba salah bila berdekatan dengan mantan suaminya itu. Rivera menyentuh dadanya. Seketika senyum terkembang di bibirnya.Namun sesaat ia ingat, dia seperti wanita yang tidak punya harga diri bila mengharapkan mantan suaminya itu lagi. Hubungan mereka telah usai, jadi atau tidaknya ia menikah dengan Dimitri faktanya mereka telah berpisah. Rivera berusaha mengenyahkan pikirannya. Ia segera melangkah keluar, tersenyum saat berpapasan dengan para suster dan dokter lain.Rivera merogoh isi tasnya mengambil kunci mobil di dalam, saat suara orang bertengkar terdengar di telinganya. Rivera menahan langkahnya takut kalau dua orang berlainan jenis itu melihat dirinya. Rivera bersembunyi di balik mobil ambulance yang sedikit lebih tinggi dari mobil lainnya."Sam, Kau tidak bisa mengabaikanku, aku ini calon istri
Sepertinya Kau Sudah Bosan HidupPatricia dinyatakan sembuh oleh dokter setelah tiga hari dirawat. Sore ini ia akan pulang. Bukannya senang yang ada dia tampak tidak bersemangat karena orang yang sangat ingin ia lihat tidak menampakkan batang hidungnya sejak kemarin."Dia bilang ini bayinya, tapi dia sungguh tidak peka." Ia menggerutu sendiri.CeklekWajah itu tampak bersemangat sesaat sebelum kembali layu karena yang datang adalah suster bukan yang di harapkan. "Nyonya, ini obat dari dokter yang harus anda minum setiap hari," ucap suster sambil menyerahkan dua papan tablet dan satu bentuk botol kepadanya.Patricia mengangguk lemah dan menerima obat itu, ia lantas memasukkannya ke dalam tas. Sedangkan suster kembali keluar.Sejak kemarin Dimitri belum datang ke rumah sakit. Seketika ia merasa bersalah dan sudah sangat keterlaluan pada suaminya itu. Tiga puluh menit lagi ia akan keluar dari rumah sakit, haruskah ia menaiki taksi untuk kembali pulang? Hatinya sungguh bingung, satu sisi
Salah Persepsi Patricia tidak mengindahkan ucapan Dimitri tentang menyiapkan seorang asisten rumah tangga, bukan tanpa alasan. Ia hanya ingin pria itu mengkhawatirkannya dan pulang ke rumah.Apa sebenarnya alasan Patricia. Dia selalu ingin menang sendiri dan tidak memikirkan keadaan Dimitri yang harus bekerja setiap hari dengan jarak yang cukup jauh.Kali ini Dimitri membawakan wanita paruh baya ke apartemen, tapi justru menimbulkan pertengkaran di antara mereka."Sebenarnya apa maumu, Patricia?" Dimitri menyugar rambutnya kebelakang, "jangan semaumu sendiri, pikirkan bayi kita. Kondisimu lemah dan butuh orang lain untuk membantumu di sini." Dimitri melempar tatapan kesal.Mimpi apa dia bisa memiliki istri sekeras kepala Patricia. Hanya untuk hal kecil seperti saat ini saja dia tidak bisa menuruti kemauan Dimitri.Wanita paruh baya itu menjadi tidak enak karena menjadi bahan perdebatan, ia pun memberanikan diri, "Tuan, ma-af saya akan pergi, tidak jadi juga tidak apa-apa," uc
Jaga Batasanmu, Nona! Rivera masih saja memikirkan tentang pembicaraan nenek dari Dokter Sam tadi. Wanita itu ternyata bukan ingin melabraknya, namun justru sebaliknya sampai-sampai oa tidak menyadari Dokter Sam sudah berdiri di dekatnya. Rivera menoleh dan terlonjak sambil memegangi dadanya."Bagaimana pertemuanmu dengan nenekku?" Dokter Sam terlihat semringah. Dia lah yang meminta neneknya datang ke rumah sakit bukan ibunya."Oh, baik." Rivera menjawab singkat. "Apa yang kalian bicarakan?" "Dokter pasti sudah tahu," tebak Rivera. Dokter Sam memegang tengkuknya yang tidak gatal.Melihat ekspresi Rivera yang biasa saja cukup melenyapkan senyumnya."Dokter, Tuan Antonio datang melakukan chek-up!" Seorang suster menghampiri mereka."Ya, saya akan segera ke sana," kata Dokter Sam. Ia meninggalkan Rivera sendiri.Antonio sudah menunggu diruangannya, pria itu sudah tampak lebih sehat, luka lecetnya juga sudah sembuh. "Semua baik, tidak ada yang perlu ditakutkan."Antonio duduk
Kepanikan Rivera Sampai keesokan harinya Rivera, masih dilanda curiga oleh tetangga baru itu. Sebelum berangkat ke rumah sakit ia terus mengingatkan Bibi Minnie agar berhati-hati terhadap pria itu."Iya. Bibi pasti akan menjaga Alyona, pergilah!" Bibi Minnie mengambil alih Alyona dari gendongan ibunya. Rivera yang belum puas pun kembali mencium pipi Alyona hingga bayi itu mengeluarkan suara dan tangannya menyentuh pipinya. "Kau tidak mau dicium ibu?" Rivera memasang tampang marah. Alyona kembali berkicau seolah sedang menjawab pertanyaan ibunya. Mereka berdua tertawa melihat kelucuan Alyona. "Bay sayang!" Rivera melambaikan tangannya. Bi Minnie membalasnya dengan lambaian dari Alyona.Mobil Rivera sudah menghilang, tinggallah mereka berdua di rumah. Bi Minnie menatap rumah di depan sebentar lalu mengunci pagar."Hei, Minnie, kenapa mengunci pagarmu?" Suara tetangga yang sebayanya datang."Oh, hehe." Bi Minnie menjadi sedikit tidak enak."Komplek ini aman, Kau tidak perlu
Pria Misterius Antonio izin pulang karena malam sudah semakin larut, Alyona dan Bi Minnie pun sudah tidur lebih dulu."Aku pulang," kata Antonio pamit."Sudah jam sepuluh, mungkin tidak ada taksi yang bersedia datang ke sini." Rivera menatap jam di dinding.Antonio hanya menggedikkan bahunya."Kau bawa saja mobilku," usul Rivera."Kau juga membutuhkannya bukan? aku akan mencari jalanku sendiri." Antonio menolak. Sampai sekarang dia tidak mengatakan bahwa dirinyalah tetangga baru mereka.Antonio tertawa mengingat tadi Rivera, menceritakan tentang tetangga misterius itu."Kenapa Kau tertawa?" Rivera mengeryit."Ah, tidak aku hanya teringat dengan putri kita. Sekarang dia bertambah lucu," katanya beralasan, padahal dalam hatinya menertawakan Rivera yang mencurigai tetangganya."Pergilah, malam semakin larut." Rivera mengingatkan Antonio yang belum beranjak pergi. Baru akan melangkah suara dering ponsel Rivera terdengar. Rivera segera mengambilnya di atas meja.Nomor baru? Rivera
Maafkan Aku, Rivera! Baru saja Antonio akan merebahkan tubuhnya di samping sang putri, suara dering panggilan membuatnya kembali bangkit. Ia meraih benda pipih itu lalu menempelkannya di telinga."Ya Ayah?" sapanya. Ayahnyalah yang sedang menelponnya."Antonio, apa maksudmu menunda kepulangan? Kau tidak tahu bagaimana sekretarismu kewalahan mengurus perusahaanmu."Antonio menjauhkan sedikit ponselnya dari telinga."Kalau mau berlibur cari pengganti Win yang bisa Kau percaya." Tommy terdengar kesal di sana."Bukankah Ayah masih di sana?" Antonio malah menjawab dengan santai."Kau pikir aku pengangguran yang bisa Kau suruh mengurus perusahaanmu? Aku juga punya perusahaan yang harus ku urus.""Ayah, sebentar lagi saja. Aku sedang tidak ingin berada di sana." Bukannya merasa bersalah justru Antonio meminta waktu sedikit lagi."Antonio jangan macam-macam! Jangan melakukan hal buruk atau mengganggu rumah tangga mantan istrimu." Selain perusahaan inilah yang Tommy khawatirkan, men