Mengungkap Kenyataan Sean langsung mendapat penanganan dari dokter. Ia sudah berada di ruang ugd. Lerina yang sudah sadar saat di jalan, meminta untuk ikut ke dalam. Meski sakit melihat luka di sekujur tubuh putranya, tetapi Lerina ingin mendampinginya.Dokter membiarkannya masuk. Sean kecil mulai diperiksa. Denyut nadinya sangat lemah. Tubuhnya mulai dibersihkan setelah semua baju yang melekat dilepas oleh perawat. Lerina menegarkan hatinya menyaksikan semua itu.Tangan Sean di pasangi infus dan lukanya di olesi dengan salep. Diselimuti lalu di pindahkan ke ruang perawatan.Han yang menunggu di luar mengikuti langkah dokter yang memindahkan ke ruangan lain. Han menguatkan istrinya.Dokter meninggalkan mereka setelah mengatakan agar memanggilnya bila Sean sudah sadar. Sarra dan Antonio yang mendapat kabar bahwa Tania berada di rumah sakit ini mendatangi kamarnya, namun Tania tengah tidur karena obat prnenang yang disuntikkan oleh perawat tadi."Nona Tania sedang tertidur, mari
Dasar Anak Nakal! Luar biasa takdir mereka lalui. Mengetahui kenyataan bahwa putra yang dirindukannya ada di dalam dekapannya. Tiada seharipun Lerina meninggalkan rumah sakit menemani buah hatinya yang kini mulai perlahan pulih.Ditambah Sean yang memang tidak ingin ditinggalkan olehnya, hingga akhirnya Rain pun diboyong ke rumah sakit.Meski awalnya dokter melarang karena rawan mengingat usia Rain yang masih setahun lebih, tetapi Han meminta pengecualian.Han juga melarang seluruh keluarga yang ingin menjenguk. Mereka hanya ingin ber empat di rumah sakit itu."Dasar anak nakal! Kau pikir kami tidak merindukan Sean!" pekik Laura ditelpon saat ini.Lerina terkekeh mendengarnya karena panggilan itu sengaja diloudspeker oleh Han. Sean yang sedang duduk menggelitiki Rain yang sedang dipangku oleh mommy mereka."Ibu, bersabarlah sedikit lagi. Lakukan saja seperti yang aku katakan!" kata Han tetap pada pendiriannya."Dasar anak kurang baik! Setelah melarang ibu bertemu cucu ibu, sekarang
Kau Tidak Mengenal Ibuku Keduanya melepas pelukan setelah melihat ke arah yang sama dimana Rain sedang berdiri di belakangnya perawat sedang mengawasi."Kesayangan mommy sudah bangun?" Lerina menariknya ke dalam pelukan."Dia memanggil-manggil mommy dan selalu ingin keluar, Nyonya," ucap sang perawat tersebut.Lerina tersenyu menatapnya, ia mengangkat Rain dalam gendongannya, "Tidak apa-apa, dia memang sangat aktif," balas Lerina."Kalau begitu, saya, permisi Nyonya, Tuan!" Perawat tersebut berpamitan."Ya, terimakasih banyak!" ucap Lerina dan di balas dengan anggukan oleh perawat itu.Mereka kemudian masuk ke dalam, di mana Sean pun terlihat sudah bangun.Dia merentangkan tangannya pada Han, minta di gendong. Sean merasa bosan berada di brankar itu, "Belum boleh sayang, tubuh Sean masih ada memarnya, daddy rasa itu pasti sakit kan?" Han takut menyentuh kulitnya.Wajah Sean berubah, bibirnya mengerucut, tangisnya nyaris pecah hingga akhirnya Han menuruti keinginannya. Dengan hati
Kau Mau MembunuhkuNyonya Winter menyuruh Ruby untuk mengambil kacamatanya yang ia taruh di dalam tas. Ruby yang merasa terganggu pun merogoh dengan kesal tas ibunya.Dia memberikan kacamata itu pada ibunya yang entah hendak melihat apa."Haaah! Si Alicia sialan, gambar apa ini?" Ia menggerutu melihat gambar yang tidak jelas itu. Dia memasang kacamatanya dan jelaslah terlihat siapa yang ada di gambar itu. "Astaga!" Ia memekik reflek memundurkan tubuhnya, seolah apa yang ia lihat di ponselnya adalah hantu.Ruby hanya menoleh sebentar karena dia sedang menyetir, sudah tidak heran dengan sikap ibunya yang terlalu berlebihan dalam menanggapi sesuatu."Ruby coba lihat gambar ini!" ucapnya, seraya menyodorkan ponsel. "Ibu, aku sedang menyetir," peringat Ruby yang sama sekali tidak penasaran dengan gambar yang dimaksud oleh ibunya. "Hentikan mobilnya, cepat!" Nyonya Winter terdengar tidak sabaran. Ruby memutar bola mata malas, namun segera menuruti perintah ibunya."Lihat gambar ini,
Alasan Sarra Yang Menolak HarrySesuai dengan permintaan Han, di rumah di adakan penyambutan untuk Sean juga mereka. Dekorasi indah menghiasi dinding pun dengan tangga.Semua bergantian memeluk dan mengucapkan selamat atas kesembuhan Sean dan Lerina. Setelah semua saling menyapa. Han angkat bicara. Ia ingin menyampaikan sesuatu.Tentu mereka sangat penasaran dan tidak sabar untuk mendengarnya."Aku akan mengumumkan hal penting untuk keluarga kita tentang ibu kandung Sean." Ia menghentikan kalimatnya.Kemudian masuklah dua orang yang penting dalam hidup Han yaitu Paman Peng dan Nyonya Swell.Lerina cukup terkejut, refleks kakinya melangkah menghampiri wanita yang pernah membersamainya selama sembilan bulan."Bi-bi Swell!" ucapnya setelah berada tepat di hadapan wanita itu. Seketika ruangan menjadi senyap menyaksikan hal itu.Wanita paruh baya itu mendekap Lerina, "Aku tidak menyangka Kau akhirnya menjadi istri dari Han Zoku," ucapnya setelah melepas pelukannya. Lerina mengangguk terha
Harry Hampir Menyerah Ckiiiittt...Sarra yang sedang mengemudikan mobil terlihat sedang marah, sudah berapa kali ia meminta agar Harry segera meninggalkan kotanya, namun pria itu dengan tegas menolak."Apa alasanmu menyuruhku kembali? Keluargamu saja tidak ada yang keberatan denganku?" Harry butuh alasan yang jelas dari Sarra.Sarra tersenyum masam sekali, harus yang yang keberapa kali ia menyampaikan penolakan pada cinta pria yang duduk di sampingnya ini.Pagi-pagi sekali saat sebelum orang-orang yang menginap di rumah kakaknya bangun, Sarra menarik paksa Harry hanya untuk menyuruhnya pergi."Kau sudah tahu jawabanku tetap sama." Sarra hanya mengatakan itu, meski ada yang ngilu di dasar hatinya, tapi ia akan korbankan perasaan demi keselamatan ibunya."Dan berapa kali aku bilang. Aku tidak menerima alasan itu. Kau jangan pura-pura lupa. Saat meminta bantuanku waktu itu. Balasannya adalah perasaanmu padaku." Harry mengingatkan lagi pada Sarra. Dia sendiri tidak yakin bila Sarra m
Kepergian HarrySeorang wanita berpakaian rapi berstelan blezer menyambut keduanya dan mempersilahkan untuk duduk.Harry tersenyum dan mengangguk melewati pelayan itu pun dengan Sarra yang berjalan di belakangnya.Pemandangan langit bertabur bintang menambah keromantisan malam itu, tetapi tidak dengan kedua pasangan itu yang sudah duduk saling berhadapan di antara meja persegi yang telah terisi makanan juga dua gelas anggur untuk menghangatkan tubuh.Bahkan mereka belum mengeluarkan sepatah katapun. Beberapa kali sang wanita mencuri pandang menunggu sang lelaki bicara, namun nihil. Harry masih saja bungkam sambil menatap ponselnya.Ini bukan Harry yang kukenal. Batin Sarra.Sarra mendengkus sedikit kasar untuk mengundang perhatian Harry, namun pria itu tetap tidak mengangkat kepalanya."Hah, kenapa aku kesal?" Sarra bersuara pelan bertanya pada dirinya sendiri."Kau bilang apa?" Barulah Harry menatapnya."Tidak baik menunda untuk makan, sebaiknya kita makan dan segera pulang." Sar
Aku Hampir Gila Memikirkanmu Sarra menangis sejati-jadinya meski tanpa suara, terlihat dari bahunya yang naik turun. Harry benar-benar telah pergi dan menyerah untuk mengejarnya.Hingga pesawat take off Sarra semakin terisak. Bodohnya dia. Harusnya ia jujur dengan Harry tentang ketakutannya. Sekarang semua terlambat karena kebungkamannya.Menyesal? Pasti, karena Sarra pun sangat mencintai Harry, bahkan di umurnya yang sudah tidak lagi muda hanya pria itu yang mampu menggetarkan hatinya, meski selama ini ia menutupinya dengan sikap jutek dan sok bersahabat.Puas menangisi kepergian Harry, Sarra bangkit dan akan pergi meninggalkan tempat terakhir pijakan sang pemilik hatinya. Entah kemana Sarra akan pergi. Dia butuh tempat yang bisa mendamaikan rasa yang seolah menuntutnya karena tidak bisa menuntaskan perasaannya.Sarra berjalan menuju mobilnya. Ia akan pergi, tapi bukan ke kantor lagi. Sarra ingin suasan tenang. Mungkin pantai bisa sedikit menguraikan rasa sesak di hatinya.Sarra