Kota Malang, sekarang
Aryanaga membuka mata. Dia terjaga saat matahari masih belum sempurna. Di luar embun masih menyelimuti daerah Tidar. Tidak ada ayam berkokok, karena tempat tinggalnya jauh dari perkampungan, apalagi di sekitar tempat itu tak ada yang memelihara ayam jantan. Aryanaga menggeliat di atas kasurnya yang empuk. Ia enggan untuk segera bangun. Berkali-kali Bandi selalu menasihatinya untuk tidak bermalas-malasan, latihan tiap hari dan jangan tidur terlalu nyenyak. Namun, apa yang dilakukan oleh Aryanaga ini lebih baik daripada dirinya dulu, sebelum peristiwa yang nyaris mencelakainya di Lereng Gunung Lawu.
Pemuda itu beranjak dari tempat tidur menuju ke jendela. Dari atas, ia mengintip bangunan kos yang ada di samping rumah. Dia sangat merindukan Asri, lebih dari apa yang diketahui. Dia juga terkejut bertemu dengan gadis itu di kota ini. Ia sama sekali tak pernah menduganya.
Aryanaga melihat Asri keluar dari kamar kosnya. Gadis itu melakukan stretching. Kuliah libur, jadinya tak aneh melihat gadis itu tak buru-buru berangkat. Aryanaga agak kasihan sebenarnya melihat Asri. Dia tahu kalau perempuan itu sedang dalam masalah. Terutama masalah dengan keluarganya.
Dari kejauhan terlihat tubuh Asri yang sempurna. Kaosnya sedikit terangkat memperlihatkan pusarnya saat ia menekuk tubuhnya. Perutnya rata, siapapun pasti iri kalau melihatnya. Celana leggingnya membentuk lekukan bokong dan pahanya dengan sempurna. Setelah melakukan peregangan otot, Asri melanjutkan dengan melakukan senam pemanasan. Sepertinya Asri sebentar lagi akan melakukan jogging. Aryanaga pun langsung mendapatkan ide. Dia segera mencuci muka, gosok gigi, lalu memakai kaos serta celana pendek untuk olahraga.
Tak berapa lama kemudian Aryanaga muncul dari rumah. Asri yang sedang melakukan senam melihatnya, lalu melambaikan tangan kepadanya. Aryanaga pun menghampiri gadis itu.
“Mau ikut jogging?” ajak Aryanaga.
Asri mengangkat alis. “Boleh. Di sekitar sini aja?”
“Iyalah. Emang mau sampai kemana?”
Asri mengangguk. Mereka pun akhirnya jogging di sekitar daerah Tidar. Pagi yang cerah tanpa polusi, butiran-butiran embun terlihat menetes di dedaunan membuat suasana kian sejuk.
“Kau rajin olahraga ya?” tanya Asri.
“Kenapa?” tanya Aryanaga balik.
“Terlihat dari bentuk tubuhmu.”
“Kau juga. Pasti rajin olahraga. Terlihat dari bentuk tubuhmu.”
Asri nyengir. Baru kali ini ia dipuji secara langsung. “Makasih.”
Mereka terus berlari-lari kecil melewati kompleks perumahan, sesekali mereka menepi saat ada beberapa rombongan sepeda lewat. Mereka tak banyak bicara selama jogging, Aryanaga memang mengajak Asri melewati rute yang mudah. Setelah selesai jogging, Aryanaga mengajak Asri untuk mampir di mini market untuk membeli air mineral. Mereka lalu duduk di bangku yang disediakan sambil membasahi kerongkongan mereka yang kering.
“Makasih loh,” ucap Asri.
“Ah, santai saja,” ujar Aryanaga. Dia memperhatikan Asri yang mulai membuka tutup botol air kemasan, kemudian meminumnya. Setetes keringat mulai mengalir mengikuti lekukan wajah Asri. Butiran keringat itu dengan nakal membelai pipinya, lalu terus turun ke lehernya yang jenjang, hingga berakhir di kaosnya. Aryanaga juga bingung bagaimana ia bisa melihat sedetail itu. Di matanya, Asri seperti memancarkan aura seksi yang tak bisa ditolak oleh pria manapun. Padahal yang dilakukannya hanya minum seteguk dua teguk air.
Asri mendesah lega. Dia lalu memperhatikan Aryanaga menelan ludah lalu ternganga melihatnya. “Kenapa?” tanya Asri.
Aryanaga terkejut. “Ah, nggak. Nggak apa-apa. Kamu sepertinya lega sekali setelah minum.”
“Iyalah, habis lari-lari kok. Pastinya haus dong.”
Aryanaga mengangguk. Dia kemudiian yang ganti minum. Kali ini Asri yang memperhatikan cara minum pemuda ini. Sama seperti Asri tadi, keringat di kening Aryanaga mengalir turun ke lehernya lalu merembes ke kaos yang dikenakan. Asri menelan ludah saat baru sadar kalau keringat cowok itu benar-benar membuat tubuh altetisnya tercetak di kaos. Dari dadanya yang bidang hingga perutnya yang rata. Asri mengira Aryanaga tak pernah sadar akan potensi dirinya.
Sama seperti Asri tadi. Aryanaga juga merasa lega. Mengetahui keduanya saling memperhatikan, mereka lantas tertawa.
“Ngomong-ngomong, kalau hari libur seperti ini biasanya kegiatanmu apa aja?” tanya Aryanaga.
“Yah, paling nge-gym, nongkrong bareng temen atau tidur seharian. Kegiatanku setiap hari banyak soalnya,” jawab Asri.
“Oh, aku bisa mengerti.”
“Kemarin aku sudah berikan fotokopi KTP ke Bandi.”
“Sudah, sudah diterima dan sudah diberikan kepada Pak RT.”
“Itu Bandi emangnya usianya berapa sih? Sudah lama ikut?”
“Usianya 900 tahun dan sudah ikut semenjak aku belum lahir, orang kepercayaan ayahku.”
Asri mengernyit. Dia yakin Aryanaga bercanda meskipun tidak lucu, “Kau bercanda? 900 tahun?”
Aryanaga tertawa. “Anggap saja seperti itu.”
“Hush, orang tua kok dibecandain! Terus orang tua kamu?”
“Orang tuaku...,” Aryanaga memperhatikan wajah Asri yang penasaran.
“Yah, orang tuaku memimpin perusahaan. Ayahku pemimpin tertingginya.”
“Wow, kamu anak konglomerat berarti?”
“Yaah, dibilang konglomerat sih nggak masuk di orang terkaya se-Indonesia.”
“Hahaha, emangnya daftar orang terkaya di Indonesia itu valid? Orang-orang kaya yang low profile juga banyak di Indonesia. Aku tahu orang dengan penghasilan ratusan juta per bulan tapi setiap hari naik sepeda motor ke kantor. Dan dia punya tiga usaha yang sudah berskala nasional.”
Aryanaga tersenyum. “Ya, ya, ya. Aku tahu di Malang ini banyak orang kaya yang nggak nampak. Sering aku bertemu dengan mereka di acara-acara penting.”
“Terus, Ibu kamu? Saudara-saudara kamu?”
“Aku tak punya saudara. Aku anak tunggal. Dan Ibuku... beliau sedang sakit.”
“Oh, maaf. Sakit apa emangnya?”
“Beliau tak bisa bergerak. Sudah lama dan sampai sekarang belum sembuh.”
Asri mengusap lengan Aryanaga untuk mengisyaratkan bagaimana dia juga bisa memahami perasaan seorang anak yang orang tuanya sedang sakit. Dari wajah cowok itu bisa dibilang kalau dia sangat menyayangi Ibunya.
“Ya udah, aku turut berdoa semoga beliau lekas sembuh.”
“Makasih. Aku sangat menghargainya.”
Asri menghela napas panjang. “Aku juga sangat menyayangi Ibuku. Boleh dibilang aku ke Malang ini juga karena terpaksa.”
“Terpaksa?”
Asri mengangguk. “Iya. Aku ada masalah di keluargaku. Aku dan Ayahku cekcok, terus karena kami tidak satu pemikiran akhirnya aku pergi.”
“Itu masalah yang sedang kamu hadapi sampai sekarang?”
“Sebenarnya, aku tak ingin pergi. Terlebih aku masih sayang ama Ibu dan adik-adikku. Mereka sangat terpukul ketika aku pergi. Hanya saja, kalau aku tak pergi, aku tak bisa memberi pelajaran kepada Ayahku. Aku jahat, yah?”
Aryanaga tak memberi tanggapan. Dia mendengarkan dengan saksama.
“Aku sebenarnya pergi juga karena terpengaruh oleh janji-janji manis lelaki brengsek. Nahasnya, saat aku pergi kepadanya, aku baru tahu kalau dia hanya memanfaatkanku saja selama ini. Setelah itu aku tak tahu harus kemana lagi. Akhirnya, aku sampai juga di Malang. Aku cari-cari pekerjaan dan juga sambil kuliah. Intinya aku tak mau berpangku tangan. Semua perhiasanku aku jual untuk bertahan hidup sampai aku bisa mendapatkan pekerjaan. Kau lihat! Aku tak memakai perhiasan sama sekali.” Asri menunjukkan tangan dan memperlihatkan daun telinganya yang tak ada satupun perhiasan yang menempel.
Keduanya lalu terdiam. Pikiran Aryanaga dipenuhi dengan memori peristiwa masa lalu. Ada memori penyesalan kenapa dia harus pergi waktu itu. Namun, ia memang tak punya pilihan lain.
“Mau sarapan?” ajak Aryanaga.“Kalau kau mengajakku makan pagi di rumah, nggak deh.”“Kenapa?”“Nggak enak.”“Jangan begitu. Aku dan kamu sudah sama-sama kenal. Kenapa tidak enak? Anggap saja rumahku adalah rumahmu sendiri.”“Meskipun kamu bilang begitu, tetap aja rasanya aneh. Masuk rumahmu saja ada perasaan merinding gitu.”Aryanaga bisa memahaminya. Memang di rumahnya terkadang makhluk-makhluk tak kasat mata mampir atas izinnya. Mereka diperbolehkan Aryanaga dan Bandi untuk masuk ke dalam rumah asalkan tidak berbuat onar. Aryanaga bisa melihat mereka. Asri bisa merasakan keberadaan makhluk-makhluk tersebut, tetapi tak bisa melihatnya. Biasanya keturunan bangsawan sudah ada bawaan sejak dari lahir memiliki panca indera yang lebih peka daripada manusia biasa p
Yogyakarta, beberapa tahun yang lalu“Astaghfirullah! Mbak, bawa apa itu?” seru Rah Wito, adiknya Asri saat melihat kakaknya membawa kandang kecil berisi kadal besar.“Kadal. Kenapa?” tanya Asri yang baru datang dari acara naik gunung bersama pecinta alam. Dia menurunkan ransel besarnya lalu kadang kecil berisi kadal besar itu diletakkannya begitu saja di atas meja.“Mbak, geli, Mbak!” ucap Rah Wito. “Darimana dapetnya?”“Pas naik gunung kemarin nemu ini. Kok ya lulut sama aku, akhirnya aku bawa aja deh.”“Mbak nggak takut?”Asri menggeleng. “Ngapain takut? Nggak gigit kok. Aku malah seneng dia seneng banget makan kecoak.”“Ih, jijik mbak. Aku gilo ndelok e (aku geli melihatnya).”
Malang, sekarangHari Minggu ini rencananya Aryanaga ingin jalan-jalan ke Pasar Buku Wilis, untuk mencari buku-buku yang menarik baginya. Sebenarnya pemuda berambut jabrik ini tak suka membaca buku. Dia lebih suka menonton film. Namun, kebiasaan berubah setelah ia tahu Asri lebih suka dengan pria yang gemar membaca buku. Demi untuk bisa suka membaca buku, akhirnya ia berusaha mati-matian untuk tidak bosan ketika membaca satu buku. Ia menarget seratus buku berbeda dia baca selama tiga bulan lamanya. Awalnya berat. Lama kelamaan akhirnya ia berhasil juga dengan hobi barunya itu.Untuk buku-buku baru sebenarnya bisa dengan mudah didapatkan di toko-toko buku besar. Tapi untuk buku-buku lama perlu mencarinya di toko-toko buku bekas. Di Malang ada dua tempat, pertama di Pasar Buku Wilis. Kedua, ada di toko buku-buku bekas Velodrome. Kedua tempat ini sangat terkenal. Mahasiswa dan pelaj
Asri memesan pia cokelat dan secangkir americano, sedangkan Tyas memesan pisang goreng keju dan machiato. Mereka sibuk dengan akun instagram dan diskusi soal perkuliahan. Besok mereka ada tugas yang harus dikumpulkan.“Kita kurang kelompok, kamu ama aku, trus Icus. Kan butuh empat orang,” ucap Tyas.Asri menoleh ke Aryanaga, “Arya? Kamu sudah ada kelompok belum?”Aryanaga tak menjawab. Dia masih fokus membaca.“Idih, kalau sudah membaca fokus sekali,” kekeh Tyas, “idolamu tuh.”Asri menggeleng-gelengkan kepala. “Arya!” Asri lalu menyentuh bahu Arya.Arya langsung tersadar, “Eh, iya? Ada apa?”“Yee, dipanggil dari tadi nggak nyahut,” ucap Tyas sambil mengerucutkan bibirnya.“Kamu sudah ada kelompok
Aryanaga menyandarkan punggungnya di kursi. Dia memperhatikan kondisi Asri yang masih belum sadar. Ia cepat-cepat membawa Asri ke klinik dengan kekuatan naganya. Semoga saja tak ada orang yang menyadarinya. Tentunya kecepatan larinya sambil menggendong orang bukanlah kecepatan lari manusia biasa. Tyas masih belum datang. Setidaknya sudah satu jam setelah dokter menangani Asri dari masa kritisnya.Tak berapa lama kemudian pintu kamar terbuka dan Tyas terlihat masuk. Barang bawaannya cukup banyak, ada tas milik Asri dan satu tas kresek besar. Ia langsung menghampiri Aryanaga, “Bagaimana kondisinya?”“Sementara sih sudah baikan. Tinggal nunggu siuman aja,” jawab Aryanaga.Tyas mendesah lega. Dia lalu mencari kursi untuk duduk. “Syukurlah. Aku khawatir banget. Terus terang aku tak tahu kalau dia alergi kacang. Pantas saja ia tak pernah mau diajak makan pecel.”
Asri terbangun, melihat Tyas di sisinya. Tyas sangat bahagia melihat sahabatnya sudah siuman. Tyas terus menceritakan semua kejadian yang menimpanya dan juga fakta kalau dia baru tahu Asri alergi terhadap kacang. Dia memarahi Asri karena sahabatnya itu tak menceritakan kalau dia selama ini alergi kacang.“Maaf, ya. Merepotkanmu,” ucap Asri. Matanya masih menatap kosong. Ia teringat bagaimana Aryanaga bertindak. Misteri besarnya, kenapa cowok itu tahu tentang alerginya. Hanya dia dan keluarganya saja yang tahu tentang permasalahan itu. Siapa sebenarnya Aryanaga sampai tahu tentang kehidupannya?Dokter yang menangani Asri masuk. Dia seorang wanita dengan senyuman yang ramah. “Mbak Asri, sudah baikan? Lupa tidak bawa obat anti alerginya ya?”“Bukan lupa sih, Dok. Memang sengaja tidak membawa,” jawab Asri.
Bandi menggeleng-geleng tak percaya dengan apa yang dilihatnya di ponsel pintarny. Layar ponsel memperlihatkan bagaimana Aryanaga bergerak dengan cara yang tidak biasa. Menggendong Asri lalu bergerak cepat. Nyaris mustahil ada manusia normal bergerak secepat itu. Video itu sudah menjadi viral sekarang, entah siapa yang meng-upload-nya. Apapun yang sudah ada di internet, maka tidak ada yang akan bisa menghapusnya.“Bagaimana sekarang, Bandi?” tanya Aryanaga.“Kita pindah,” jawab Bandi.“Tidak bisa seperti itu. Lalu bagaimana dengan Asri? Kita tak mungkin pindah begitu saja tanpa dia. Kasihan dia!”“Pangeran, ini sudah di luar kendali. Pangeran kira video ini tidak dilihat oleh para goblin? Ingatlah, banyak orang yang tahu ten
“Kang Mas, kalau nanti ketemu dengan Asri, Kang Mas janji jangan keras kepadanya, ya?” ucap Raden Ayu Herawati.“Bocah itu harus diberi pelajaran. Setidaknya, ia tidak pergi begitu saja dari rumah tanpa kabar. Dan jangan Bune sekali-kali membela dia. Dia sudah mencoreng nama baik keluarga! Dia harus pulang!” kata ayahnya Asri.“Bukannya dulu yang mengusir dia dari rumah Kang Mas sendiri?” kata Herawati berusaha untuk mengingatkan apa yang dulu pernah terjadi.Raden Mas Purwono Seno terdiam. Dia tahu, dulu dia yang menginginkan Asri pergi. Namun, jauh di lubuk hatinya ia masih menyayangi putri tertuanya itu. Sebenarnya yang diinginkan oleh Raden Mas Purwono Seno adalah kebaikan putrinya. Bisa mendapatkan jodoh yang baik dengan segala kebutuhan terjamin adalah keinginan yang tidak muluk-muluk. Semua kebutuhannya sudah dipenuhi, lalu kenapa Asri tidak mau?
Ternyata serangan tersebut tidak hanya dari satu sisi bumi saja. Daratan lain pun sudah mulai diserang. Para naga tersebut mulai memasuki pantai dari daratan yang lain, hingga setiap manusia yang mereka temui pun dimangsa. Mereka tidak melihat apakah itu orang dewasa atau anak-anak. Lelouch dan pasukan naganya tak mampu berbuat apa-apa selain menghalau apa yang mereka bisa. Hari itu mereka kalah, meskipun memenangkan pertempuran.Lelouch bertengger di atas bukit. Dari kejauhan dia melihat bangkai-bangkai naga bergelimpangan di tepi pantai. Sesaat dia mendongak ke atas, seolah-olah meminta bantuan kepada Sang Pencipta. Setelah itu dia menunduk, menutup sayapnya, berada dalam kebimbangan.“Yang Mulia,” panggil salah satu naga yang mengampirinya.“Aku sedang ingin sendiri,” ucap Lelouch.“Tidak, bukan begitu Yang Mulia. Lihat ke atas!” ucap naga tersebut.Lelouch mendongak. Tidak pernah disangka sebelumnya oleh Lelo
“Bagaimana awalnya kita, para naga bisa menempati bumi ini?” tanya sesosok naga bersirip hitam dan putih. Di depannya tampak naga-naga kecil sedang duduk mendengarkan petuah-petuahnya. Hari ini adalah hari rutin untuk anak-anak naga mendapatkan pelajaran dari naga Lelouch. “Kita adalah makhluk yang dikutuk, tetapi sebagian dari kita dimaafkan. Bapak kita, adalah naga yang membuat bumi ini jadi ditempati oleh manusia. Namanya Azrael, dia penguasa lautan, sedangkan kita penguasa daratan,” lanjut Lelouch. “Yang Mulia, apakah kita akan terus bertempur dengan mereka?” tanya salah seekor naga kecil. “Pertempuran ini akan terus berlanjut sampai akhir zaman. Kita hanya bisa mengusirnya agar tidak sampai menguasai daratan. Daratan adalah tempat para manusia dan makhluk-makhluk lainnya, lautan adalah tempat kekuasaannya. Sebab, di sana dia bersama Iblis dan menjadi kaki tangannya,” jawab Lelouch. “Apakah dia bisa dikalahkan?” tanya naga kecil yang lain.
“Penjara apa?” tanya Aryanaga. “Eee… sebentar yang Mulia, apa tidak bisa diringankan hukumannya? Itu Penjara yang mengerikan. Tidak ada satupun yang keluar dari penjara itu sampai sekarang!” ucap sang Pembela. “Penjara apa? Apa itu?” “Pangeran Aryanaga, Penjara Tujuh Pintu adalah Penjara yang berada di kegelapan bumi. Kau tak akan bisa menghirup udara bebas. Di dalamnya ada tujuh pintu yang mana semuanya mewakili tujuh dosa mematikan. Selama jiwamu ada dosa itu, kau tak akan bisa keluar.” Aryanaga terkekeh. “Masukkan aku ke penjara itu. Aku tak keberatan.” “Sudah diputuskan, bawa dia!” ucap seseorang anggota Dewan Kehormatan Naga. Palu pun diketok dan sang pembela tak bisa meringankan hukuman Pangeran Aryanaga. Arya
Aprilia berada di depan dua gundukan tanah. Air matanya terus berderai seperti tak akan pernah habis. Bandi menepuk pundaknya, berusaha menenangkan Aprilia, bagaimana pun Aprilia adalah wanita dan hatinya lembut. Kepergian Raja Primadigda dan Asri membuatnya sedih. Keduanya dikuburkan di tanah terbaik dan tempat terbaik, yaitu di pemakaman para raja. Di tempat ini juga ada makam para raja sebelum Raja Primadigda.Orang-orang banyak yang menghadiri pemakaman itu. Mulai dari para prajurit, menteri dan juga para pejabat kerajaan. Hari itu rakyat berkabung atas gugurnya Raja Primadigda. Rumor pun cepat menyebar kalau Raja Primadigda dikalahkan oleh anaknya sendiri. Orang-orang mulai bertanya-tanya tentang motif pembunuhan ini. Aprilia dan Bandi sengaja tidak memberitahu, karena saat ini Antabogolah yang berkuasa. Nyaris semua lini kekuatan militer sekarang di pegang oleh Antabogo, sehingga mustahil baginya membuat su
Aryanaga sama sekali tak bercanda. Dia kembali mengeluarkan tombak elemental dari telapak tangannya, kali ini warnanya kekuningan dengan percikan energi listrik di sekitar ujung tombaknya. Menyadari ada bahaya, Pangeran Bagar menjauh. Aryanaga tetap fokus kepadanya. Setiap pergerakan Pangeran Bagar, bisa dilihatnya. Dan ternyata, Aryanaga tak hanya mengeluarkan satu tombak, tapi lagi, lagi dan lagi hingga sepuluh tombak dengan energi listrik melayang di atasnya. Aryanaga mengambil satu per satu tombaknya, melemparkannya dengan kuat.Pangeran Bagar tak bisa kabur dari serangan itu. Sepuluh tombak beruntun menghantam di sekitarnya. Sepuluh kali petir menyambar-nyambar, jutaan volt menghantam tanah hingga menimbulkan ledakan listrik yang menggelegar.Aprilia dan Bandi yang menyaksikan pertarungan itu dari jauh cukup ngeri dengan kekuatan yang dimiliki
Bandi masih menangis, tetapi ia juga harus membawa jenazah Raja Primadigda. Dengan tersedu-sedu dia menggendong jenazah tersebut. Aprilia juga melakukannya. Aprilia sekarang yang gantian bermandikan darah Asri. Dia dan Bandi pergi dari tempat tersebut, meninggalkan Aryanaga yang tak terkendali.Pangeran Bagar menjauh. Kini ratusan prajuritnya menghadapi Aryanaga. Mereka terdiri dari ras naga pilihan yang dilatih dengan ilmu perang yang cukup andal. Pangeran Bagar, tidak pernah salah dalam memilih anak buah. Mereka ahli pedang, tombak dan panah. Para prajurit membentuk formasi mengepung Aryanaga. Aryanaga mengamati mereka. Tombak-tombak terhunus ke arah Aryanaga, setiap tombak ini tentu saja ada bagian dari tubuh para naga, sebagian lagi adalah besi yang ditempa oleh para peri, sehingga bisa melukai para naga.Aryanaga sama sekali tak gentar. Ia mengeluarkan kekuatan yang san
“Pangeran Bagar, kenapa kau lakukan ini? Bukannya kau hanya menginginkan Aryanaga? Kenapa kau lukai Asri?” tanya Aprilia. Air matanya tak mampu lagi dibendung. Ia memeluk tubuh Asri yang terbujur kaku.Tangan Asri meremas lengan Aprilia. Suaranya terbata-bata lirih terdengar di telinga Aprilia yang sangat peka. Pangeran Bagar merasa tak bersalah. Dia telah menuntaskan rencananya agar Aryanaga kehilangan sesuatu yang ia cintai. Pangeran Bagar menganggap Asri adalah orang yang dicintai oleh Pangeran Aryanaga, maka dari itu misinya hanya satu yaitu membunuh Asri, tetapi tanpa mengotori tangannya. Sayang sekali rencananya meleset.“Omong kosong semua ini. Kenapa kalian mengacaukan semua rencanaku?” gerutu Pangeran Bagar, “aku adalah ahli strategi terbaik. Kalau begini caranya, ayahku tak akan mengakuiku.”
“Ayah mengamuk!” seru Aryanaga.“Aku bisa melihatnya. Yang Mulia Primadigda akan berubah ke wujud naganya, kesempatan kita cuma satu. Kamu bisa?” tanya Aprilia.Aryanaga menggeleng. “Aku tak bisa.”“Pangeran!” Aprilia memegang bahu Aryanaga. “Semuanya akan baik-baik saja, kau tidak bersalah atas hal ini. Ini yang diinginkan ayahmu.”“Tapi...”Aryanaga menatap mata Aprilia. Untuk beberapa detik mereka saling berpandangan satu sama lain. Aryanaga mencari sudut mata Aprilia, di sudut mata Aprilia ada rasa percaya kepadanya. Aprilia tahu, ini ujian terberat Aryanaga untuk saat ini. Kalau mereka kalah sekarang, semuanya akan sia-sia belaka.“Bantu ak
Primadigda memulai menerjang ke arah Asri. Aryanaga mencoba menghalangi, tubuhnya menghadang Raja Primadigda, sayangnya Primadigda memutar tubuhnya sehingga bisa mengecoh Aryanaga begitu saja. Namun, Aprilia dengan cepat menendang tubuh Primadigda sehingga sang Raja terempas ke belakang. Aryanaga tak tega melihat ayahnya diperlakukan seperti itu.Aprilia tiba-tiba melayangkan tamparannya dengan keras ke pipi Aryanaga. “BANGUN! Apa yang kau lakukan?”Aryanaga terkejut.“Kau mau Asri tewas? Bertarunglah dengan sungguh-sungguh! Aku tahu dia ayahmu, tapi saat ini kau tak punya pilihan. Kalahkan beliau, lalu kita sama-sama menghajar Bagar,” ucap Aprilia menyemangati Aryanaga, “kau tak perlu khawatir, ayahmu yang menginginkan ini. Nyawanya tidak akan sia-sia. Ia bangga melatih anaknya untuk terakhir kali. Ia juga