Aina masih terbayang wajah pria yang membuat jantungnya berdetak ketika di pintu rumah sakit tadi. Gadis yang sebentar lagi akan menjadi ibu tunggal bagi anaknya itu meraba dada kirinya. Detak jantung Aina tak biasa. Rasa mual yang semula sering menyiksa, mendadak hilang. Bahkan dia menginginkan makan sesuatu hanya dengan mengingat aroma yang ditinggalkan pria tak dikenal itu.
"Mang Asep, nanti tolong berhenti di rumah makan seafood, ya. Tiba-tiba Aina ingin makan cumi krispi," ucap Aina."Siap, Non. Laksanakan!" jawab Mang Asep sembari menyetir.Bik Esih tersenyum karena akhirnya Aina mau minta makan setelah tiga bulan ini hampir tidak ada makanan yang benar-benar masuk ke lambungnya. Karena setiap kali mencoba makan, detik itu juga langsung dimuntahkan.Mobil berbelok ke sebuah restoran seafood. Aina turun ditemani Bik Esih. Entah dapat dorongan dari mana, Aina ingin sekali makan di tempat."Bik, Ai mau makan di sini. Bibik temenin Ai makan, ya?"Bik Esih mengangguk. Apapun yang diminta nona mudanya pasti akan dia turuti demi kesehatan ibu dan anak yang masih dalam kandungan itu.Bik Esih menarik sebuah kursi untuk majikannya. Lalu dia menarik satu lagi untuk dirinya sendiri."Mang Asep nggak disuruh masuk sekalian, Bik? Kita makan sama-sama," ucap Aina.Aina dan keluarganya memang tidak pernah membeda-bedakan status sosial. Meskipun Bik Esih dan Mang Asep hanya pekerja di rumahnya, tapi Aina sudah menganggap mereka seperti ayah dan ibunya. Terlebih sejak dia diasingkan, hanya mereka berdua yang menjaga dan menemani Aina."Sebentar, Bibik telepon dulu biar masuk."Di saat yang bersamaan, seorang pelayan datang membawa buku menu dan menawarkan pesanan pada Aina. Tak lama ketika pelayan mencatat pesanan Aina, Mang Asep masuk."Mamang sama Bibik mau pesan apa?" tanya Aina."Nasi nila bakar saja, Non," jawab Mang Asep."Kalau Bibik nasi sama udang asam manis aja."Aina mengangguk. Lalu menambahkan minuman."Baik, saya ulangi lagi ya, Mbak. Cumi krispi satu, Cha kangkung satu, udang asam manis satu, nila bakar satu, nasi dua dan es kelapa muda tiga. Ada lagi?" tanya pelayan ramah."Sementara cukup, Mbak," jawab Aina lembut.Bik Esih menatap majikannya dengan tatapan lembut. Lalu mengelus tangannya yang ada di atas meja."Kenapa nggak pakai nasi?" tanya Bik Esih."Ai belum bisa makan nasi, Bik. Itu aja kalau bisa masuk semua sudah alhamdulilah banget, kan?" jawab Aina sembari tersenyum di balik cadarnya.Bik Esih mengangguk membenarkan. Asal ada makanan yang masuk sudah cukup luar biasa.Mereka menunggu pesanan datang sambil bercerita. Bik Esih lebih banyak menceritakan Aina waktu kecil hingga membuat suasana di meja mereka menjadi riuh. Ya, dulu Bik Esih yang mengasuh Aina sejak bayi. Tidak heran jika mereka terlihat sangat dekat hingga sekarang.Di saat Aina tengah mendengar cerita Mang Asep, tiba-tiba Aina mencium aroma parfum yang sama dengan yang dia cium saat di pintu rumah sakit. Spontan gadis itu menoleh mencari sumber aroma itu. Di sebelahnya, berjarak sekitar dua meja baru saja datang seorang pria dengan wanita yang terlihat anggun dan berkelas. Pria itu adalah pria yang sama yang membuat Aina jadi merasa tenang saat melihatnya.Tanpa sadar Aina melarikan bola matanya ke arah pasangan suami istri tersebut hingga tanpa sengaja tatapan Aina dengan pria itu kembali bertemu. Sepersekian detik Aina langsung membalikkan wajahnya yang memerah di balik cadarnya."Astaghfirullah, apa yang sudah aku lakukan? Kenapa setiap melihatnya, aku merasa tenang? Rasa mual di perutku juga mendadak hilang. Apa yang terjadi dengan diriku? Aku tidak mengenalnya dan ini baru kedua kalinya aku melihatnya," ucap Aina dalam hati.Aina mendengar pesanan pasangan suami istri tersebut. Meskipun berjarak dua meja, tapi telinga Aina masih bisa mendengarnya. Kedua mata Aina membola ketika mendengar pesanan pria tersebut sama dengan apa yang dia pesan. Sama persis."Kamu harus makan nasi, Mas. Sudah lama kamu gak makan nasi sampai kurus begini," ujar wanita yang bersama pria itu. Pria yang entah siapa namanya tapi memiliki daya tarik yang luar biasa bagi Aina yang selalu menjaga diri dan tak pernah tertarik pada lelaki manapun."Kamu tahu sendiri aku selalu muntah kalau makan nasi, kan? Tapi kenapa dokter nggak menemukan penyakit apapun pada tubuhku? Jelas-jelas aku selalu mual muntah setiap pagi dan susah makan nasi. Masa rumah sakit sebesar itu nggak bisa menemukan penyakitmu!" keluh pria berbadan atletis itu dengan nada jengkel."Tapi Mas, kayaknya dokter tadi sempat berpikir kalau kamu mengalami sindrom cauve. Jangan-jangan kamu beneran punya perempuan lain yang sedang hamil ya di luaran sana? Kamu sengaja menyembunyikan dariku?" Mendadak Aina harus mendengar pertengkaran pasangan suami istri tersebut. Padahal saat masuk ke restoran ini mereka terlihat harmonis dan saling mencintai."Jangan asal kamu, Yang. Mana ada perempuan lain. Kamu tahu sendiri seberapa besarnya cintaku padamu. Mana mungkin aku menghamili wanita lain? Kalaupun aku menghamili wanita, hanya kamu yang aku inginkan. Aku ingin anak yang lahir dari rahimmu, Sayang."Aina tiba-tiba merasa mual lagi mendegar rayuan pria itu pada istrinya. Beruntung pesanannya sudah datang sehingga dia bis fokus pada makannya dan tak harus mendengarkan pertengkaran pasangan suami-istri yang tak dikenalnya tersebut.Aina segera memasukkan satu potong cumi krispi ke dalam mulutnya. Gadis itu merasakan kenikmatan yang tiada Tara seolah tidak pernah makan selama berbulan-bulan walaupun kenyataannya memang tidak bisa makan dengan benar. Ia menghabiskan satu porsi cumi krispi dengan lahap. Lalu berlanjut pada Cha kangkung dan ditutup es kelapa muda yang tidak ditambah apa-apa.Bik Esih dan Mang Asep menatap majikannya dengan senyum mengembang. Akhirnya setelah sekian lama tidak bisa makan, hari ini Aina bisa makan dengan lahap dan banyak."Kalau Non Aina suka makanan laut nanti di rumah Bibik masakin biar bisa makan terus ya?"Aina mengangguk. Semoga selera makannya tidak kembali anjlok setelah hari ini.Aina berjalan santai menuju mobil. Kedua bola matanya menatap takjub pada kolam ikan yang berada di sisi kirinya. Saking asiknya melihat ikan-ikan tersebut, Aina tidak sadar kalau di depannya ada sebuah tiang penyangga lampu sehingga tubuhnya menabrak tiang tersebut."Astaghfirullah!" spontan Aina beristighfar ketika merasakan tubuhnya hampir jatuh. Namun sekian detik berikutnya dia merasakan sebuah tangan kokoh menangkap tubuhnya."Hati-hati!"Suara bariton dari pria bertubuh tegap itu masuk ke rungi Aina. Spontan ia segera menegakkan tubuhnya karena merasakan sentuhan dari seorang pria tak dikenal. "Terima kasih," ujar Aina lalu membungkuk sekejap dan memilih pergi tanpa menoleh lagi. Sementara pria yang barusan menolongnya menatap kepergian Aina dan kedua tangannya yang masih di udara bergantian. Ada getaran aneh yang menjalar di sekujur tubuh pria itu. Malam hari Aina tampak gelisah dalam tidurnya. Bayangan seorang pria yang menggendong bayi mungil hadir dalam mimpinya. Lalu pria tersebut tersenyum pada Aina."Astaghfirullah!" Aina terbangun. "Ternyata aku mimpi," gumam Aina.Memikirkan apa yang ada dalam mimpinya barusan membuat jantung Aina berdetak kencang. Bayi dan pria itu, kenapa seperti nyata? Aina menatap jam dinding, ternyata waktu menunjukkan pukul 3 dini hari. Gegas Aina bangun dan ke kamar mandi. Tak berselang lama gadis itu keluar dengan wajah yang sudah segar.Aina berdiri di atas sajadah. Me
"Siapkan operasi, sekarang!" perintah dokter. "Baik, Dok."Aina yang mendengar hanya bisa pasrah. Tak peduli apapun caranya, yang penting bayi dan kandungannya bisa lahir dengan selamat. Sembari berdoa dalam hati, ia memasrahkan urusannya ini pada Allah. "Keluarga Nyonya Ainun!" Seorang perawat memanggil.Mang Asep dan Bik Esih segera mendekat. "Kami, Sus. Apa bayinya sudah lahir?" tanya Bik Esih dengan tatapan cemas."Belum. Bayinya terlilit tali pusat dan membutuhkan tindakan operasi. Kami butuh persetujuan dari pihak keluarga. Apa suaminya sudah datang?" tanya perawat itu.Bik Esih dan suaminya saling pandang. Mereka menelan ludahnya yang sama-sama terasa susah. Bik Esih meminta pendapat suamiya memalui tatapan mata."Suaminya sedang di luar negeri, Sus. Tidak memungkinkan untuk datang sekarang," ucap Mang Asep beralasan. Tidak mungkin dia mengatakan kalau Aina belum menikah. Karena itu akan membuat citra Aina yang berhijab menjadi buruk."Kalau begitu, apakah Bapak dan Ibu ini o
Aina tersenyum menatap wajah Bintang, putranya yang tengah terlelap. Ada perasaan asing yangvtak bisa digambarkan. Jemari lentik wanita itu terulur untuk mengelus pipi putranya yang sudah terlihat gembil. "Terima kasih sudah hadir dalam hidup Mama, Sayang. Selamanya kamu akan menjadi bintang dalam hidup Mama," gumam Aina. Aina kembali tersenyum. Wajah Bintang memang tidak mirip dengan Aina. Hidungnya sangat mancung dengan mata tajam. Bahkan di usianya yang baru 3 tahun, alisnya sudah tumbuh lebat dan indah. Bibirnya bocah itu berwarna merah alami. Sekilas memang mirip anak-anak Korea. Bintang mengoletkan tubuhnya merasa terusik dengan perlakuan Aina. Buku matanya yang panjang mengibas-ngibas hingga mata berwarna hazl itu terbuka."Mama?" Suara khas anak kecil membuyarkan lamunan Aina. "Eh, bintangnya Mama. Kok bangun? Kamu terganggu ya, Nak?" Aina mengangkat tubuh Bintang yang terasa agak berat dan memangkunya."Haus, Mama," ucap Bintang serak. Aina mengulurkan tangannya dan mera
"Sayang, kamu nggak papa, Nak?" Aina segera membawa pergi Bintang. Meninggalkan seorang pria asing yang hanya bisa diam terpaku melihat kepergian Aina sambil menggendong putranya."Mama, itu tadi papanya Bintang, ya?" tanya Bintang polos.Aina menghentikan langkahnya. Lalu menatap mata jernih Bintang yang berkaca-kaca. Ada rasa nyeri tiba-tiba menyeruak dalam dada Aina. Hal yang paling ditakutkan Aina adalah ketika Bintang membahas papanya. "Bukan, Sayang. Papanya Bintang kan sudah di surga. Itu tadi hanya orang asing yang ngaku-ngaku jadi papa Bintang. Lain kali kalau ada orang asing yang tidak dikenal ngajakin Bintang, tolak aja ya, Sayang. Takutnya kalau orang itu mau menculik Bintang."Bocah kecil itu mengangguk. Bintang memang cerdas. Bahkan cara dia bicara dan memahami perkataan Mamanya melebihi usianya. Akhirnya, Aina membawa Bintang pulang padahal mereka baru datang. Rencananya untuk bermain terpaksa dia urungkan karena kedatangan pria asing yang entah siapa namanya itu."Say
Dokter Rizal manggut-manggut mendengar penjelasan Fatan. "Aku mengerti. Nanti segera kuhubungi secepatnya kalau sudah dapat informasinya. Tapi ... ngomong-ngomong, kenapa baru sekarang? Ini sudah terlalu lama dan dokter kandungannya sudah ganti."Fatan mengusap wajahnya. "Entahlah. Baru kepikiran." Hanya itu jawaban Fatan karena dia masih belum yakin. Dia juga perlu berhati-hati menyelidiki masalah ini mengingat ini menyangkut nama baik seseorang. "Ok. Kuserahkan urusan ini sama kamu. Jangan mengecewakan aku!" Fatan berdiri dan menepuk pundak sahabatnya. Lalu pergi tanpa pamit.Bagi dokter Rizal hal itu sudah biasa. Sikap Fatan memang sedikit arogan dan bossi, jadi dia tidak terlalu memikirkannya. Padahal adiknya bekerja sebagai perawat di rumah sakit ini, tapi dia malah meminta bantuan pada sahabatnya. Mungkin karena kedudukan dan koneksi dokter Rizal yang lebih tinggi.Di Villa, Aina sedang sibuk di ruang kerjanya. Sejak Bintang berumur 3 tahun, Aina mulai merintis sekolah gartis
Terus memandangi wajah putra semata wayangnya yang tengah terlelap di atas ranjang pasien. Panasnya sudah mulai turun namun mulut bocah itu masih terus meracau memanggil-manggil papanya.Aina hanya bisa menitikkan air mata setiap kali mulut mungil Bintang menyebut papa. Andai Dia Tahu siapa bapaknya Bintang tidak peduli mau seperti apa reaksi orang itu dia pasti akan membawanya ke mari saat itu juga demi buah hatinya."Papa, Papa, Bintang mau ikut Papa," racau Bintang terus menerus.Aina semakin sakit mendengar racauan Bintang. Air matanya semakin deras membanjiri cadarnya yang semakin basah. "Sayang, Bintangnya mama ada Mama di sini, nak. Mama selalu ada di samping Bintang." Aina tak kuasa menahan sakit hingga nafasnya tersengal-sengal. Dalam hati ia terus berdoa memohon kepada sang pencipta agar putranya diberi kesembuhan. Dia juga tidak berharap banyak tentang laki-laki yang membuat bintang hadir ke dunia ini. Tanpa Aina sadari Laura berdiri di balik pintu yang sedikit terbuka me
Laura menemui seseorang yang bisa dipercaya untuk mencarikan data pasien 6 tahun yang lalu. Awalnya dia mengalami kesulitan mengingat tidak semua orang memiliki wewenang untuk mengakses data pasien. Akhirnya Laura menemui dokter Rizal. Gadis itu berpikir dengan meminta bantuan dokter Rizal dia akan bisa memperoleh informasi terkait data pasien dokter kandungan 6 tahun yang lalu."Boleh saya tahu kenapa kamu mencari data itu?" tanya dokter Rizal.Laura tampak berpikir menimbang-nimbang apakah dia harus menceritakan tujuannya ataukah tidak. Namun jika tidak dia tidak yakin dokter Rizal bisa membantu."Begini dok ada teman saya yang tiba-tiba hamil setelah datang dari dokter kandungan 6 tahun lalu. Dia bilang tidak pernah disentuh oleh laki-laki manapun dan saya juga percaya itu karena dia adalah gadis yang baik. Selama ini dia selalu menjunjung tinggi nilai akhlak dan selalu menutup auratnya. Dia tidak pernah berpacaran karena dalam keluarganya berpacaran itu hukumnya haram." Laura men
Aina segera menyelesaikan proses pembayaran di kasir lalu mendekati putranya yang hampir saja berlari menuju pintu, tempat di mana sosok pria berdiri di sana sambil menatapnya.Wanita bercadar itu tak suka putranya memanggil Papa pada sembarang orang. Terlebih orang itu adalah orang yang sama yang pernah membawa Bintang waktu di taman bermain."Sayang, Bintangnya Mama Kita pulang, yuk! Bintang 'kan harus banyak istirahat. Ingat pesan dokter, kan?" Aina bercangkok mensejajarkan tinggi badannya dengan Bintang. Ia menatap Bintang tepat pada manik matanya seolah berkata turuti keinginan mama karena mama tidak ingin kehilangan Bintang. Kesedihan tercetak jelas di mata Aina.Bintang mengangguk lalu merangkul leher mamanya. Beberapa detik kemudian tubuh mungil bintang terangkat hingga bocah itu memiliki kegirangan. Melupakan sosok yang masih berdiri kaku menatapnya sejak tadi.Aina berjalan melewati sosok pria asing di depan pintu tanpa menyapanya. Namun saat dirinya mau masuk ke dalam mobil
"Aku nggak nyangka hubungan Kak Bintang sama Azkia bisa mulus dan lancar kaya jalan tol gini," gumam Mentari. Wanita itu cukup terkejut saat mendengar kabar dari Bintang mengenai acara pernikahan Bintang.Bintang tidak ingin menunda pernikahannya terlalu lama. Keluarga Bintang dan keluarga Azkia pun segera menyusun pesta pernikahan sederhana untuk meresmikan hubungan putra-putri mereka."Aku nggak mau buang-buang waktu. Aku takut Azkia berubah pikiran," sahut Bintang."Kak Bintang nggak maksa Azkia buat nerima Kak Bintang, kan?" tuduh Mentari."Kamu jangan sembarangan ngomong! Aku nggak maksa Azkia. Sekalipun Azkia nolak pun aku juga nggak akan marah kok," timpal Bintang.Saat ini Mentari tengah berada di rumah orang tuanya untuk membantu Bintang menyiapkan pernikahan Bintang. Wanita itu sibuk menolong Bintang membungkus barang-barang seserahan yang akan diberikan pada Azkia nanti."Apa acaranya nggak terlalu terburu-buru, Kak? Ada banyak hal yang harus kita siapin, tapi kita nggak pu
Azkia duduk termenung, memikirkan pertanyaan yang dilontarkan oleh Mentari tempo hari. Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba Mentari menawarkan kakaknya pada Azkia.Azkia tidak menanggapi serius pertanyaan Mentari. Wanita itu hanya menjawab asal saat dirinya diberi pertanyaan mengenai Bintang.Azkia kira, Mentari hanya bercanda saat Mentari meminta Azkia menikah dengan Bintang. Namun, ternyata perkataan Mentari bukan sekedar gurauan belaka. Mentari bersungguh-sungguh, begitu pula dengan Bintang. Hari ini, Bintang mengajak Azkia bertemu untuk membahas hal ini. Karena Azkia belum memberikan jawaban pasti, Bintang ingin kembali menanyakan kesediaan Azkia untuk menjadi istrinya."Aku datang nggak, ya?" gumam Azkia ragu.Azkia tidak mengenal Bintang. Azkia juga baru beberapa kali berjumpa dengan Bintang.Wajar saja kalau wanita itu merasa ragu. Siapa orang yang ingin menikah dengan pria yang tidak dikenal. Pastinya Azkia tak mau memilih sembarang pria untuk dijadikan suami. Ada banyak ha
Aina tertawa. Penjelasan Revan membuat wanita itu langsung membuat kesimpulan."Maaf, Ma? Apa ada yang lucu? Kenapa Mama ketawa terus?" tanya Revan.Aina kembali tergelak. Kepolosan putri dan menantunya membuat wanita itu tak bisa berhenti tertawa."Maaf, Revan. Cerita kamu lucu banget. Mama nggak tahan pengen ketawa," sahut Aina."Bagian mana yang lucu?" batin Revan dengan wajah bingung. "Revan, tolong kamu bawa Mentari ke dokter kandungan," ucap Aina kemudian. "Dokter kandungan?""Percaya aja sama Mama. Bawa Mentari ke dokter kandungan, setelah itu kasih kabar ke Mama, ya?"***"Kamu kenapa bawa aku ke sini?" tanya Mentari kesal karena sudah dibohongi oleh Revan. Wajahnya sudah tak bersahabat. Bibir mengerucut dengan tatapan ingin marah. Namun ia tak mungkin mengungkapkan kemarahannya di depan suami karena ia yakin sang suami melakukan ini karena khawatir padanya.Saat ini pasangan suami istri itu tengah berada di rumah sakit dan hendak berjumpa dengan dokter kandungan, sesuai de
"Gimana? Kalian dapat kerak telurnya?" tanya Revan cemas."Maaf, Mister. Semua penjual kerak telur sudah tutup."Mentari mengomel begitu mendengar jawaban Revan. Mentari tak mau mendengar alasan apa pun. "Pokoknya aku mau kerak telur sekarang! Kalau Huby nggak bisa dapetin kerak telur, mendingan Huby tidur di luar aja!" omel Mentari."T-tapi, Huny ...."Brak! Mentari menutup pintu kamar dengan kencang setelah mengusir suaminya keluar dari kamar. Gara-gara kerak telur, Mentari marah pada Revan hingga Mentari tak mau tidur dengan Revan."Kerak telur sialan!" umpat Revan dongkol bukan main. "Cari kerak telur lagi sampai ketemu!" teriak Revan pada anak buahnya.***"Hoam!" Pagi-pagi sekali, Revan membuka mata setelah mendengar suara adzan subuh. Pria dengan kantung mata hitam itu perlahan bangkit dari sofa empuk yang menjadi alas tidurnya. Selama semalaman, Revan tidur di sofa ruang tengah usai dirinya diusir oleh Mentari.Tragedi kerak telur sudah menghancurkan istirahat Revan. Pria itu
"Tidur aja, Huny."Revan mengusap-usap kepala Mentari hingga akhirnya wanita itu terlelap. "Cepat sembuh ya, Huny. Kamu nggak boleh sakit," gumam Revan.Revan membenarkan selimut sang istri, kemudian beranjak meninggalkan kamar. Mau tak mau, Revan harus membawa seluruh pekerjaannya ke rumah. Meskipun tak bisa pergi ke kantor, tapi Revan tetap harus bertanggungjawab pada pekerjaannya."Aldo, hari ini saya kerja dari rumah. Tolong kasih saya update laporan setiap dua jam, ya?" perintah Revan pada sang sekretaris melalui sambungan telepon."Baik, Mister."***"Gimana keadaan kamu, Huny? Masih mual nggak?" tanya Revan pada Mentari.Gurat kekhawatiran tercetak jelas di wajah tampan Revan. Lelaki itu benar-benar spot jantung kala melihat sang istri bolak-balik ke kamar mandi untuk memuntahkan seluruh isi perutnya. Belum lagi wajah pucat sang istri membuat lelaki itu tak tega.Wajah Mentari masih pucat. Mual dan muntah yang dialami oleh wanita itu juga masih terasa. Mentari sudah meminum oba
Mentari merasa usahanya akan sia-sia jika pertemuan ini sampai gagal. Terpaksa, Mentari harus mengambil langkah besar demi masa depan kakak dan juga temannya."Azkia, boleh aku tanya sesuatu?" ucap Mentari."Tanya aja?""Gimana pendapat kamu tentang Kak Bintang? Apa menurut kamu Kak Bintang bisa jadi suami yang baik?" tanya Mentari pada Azkia.Wajah Azkia langsung memerah begitu ia mendapatkan pertanyaan yang cukup mengejutkan dari sang teman. "Tuan Bintang cukup mapan dan tampan. Pasti ada banyak perempuan yang mau dijadiin istri sama Tuan Bintang," sahut Azkia."Kalau kamu? Apa kamu mau jadi istrinya Kak Bintang?" tanya Mentari pada Azkia.***Pagi-pagi sekali, Mentari sudah bangun dari ranjang, kemudian berlari menuju ke kamar mandi. Wajah wanita itu terlihat pucat dan tubuh Mentari juga agak lemas. Perutnya seperti diaduk-aduk dan ada yang berdesakan untuk minta dikeluarkan. Karena sudah tak bisa lagi menahan, ia sampai melompati suaminya hingga membuat lelaki itu kaget dan terban
"Kamu mau dukung rencana aku, kan?" tanya Mentari pada Revan.Mana mungkin Revan mampu menolak permintaan dari istri kesayangannya. Tanpa banyak tanya lagi, Revan pun akhirnya memberikan izin pada Mentari untuk pergi bersama dengan Azkia, dan ia juga akan ikut membantu istrinya untuk menjalankan rencana Mentari."Aku akan melakukan apa pun untuk kamu."Mentari memeluk sang suami dengan wajah girang. "Terima kasih, Huby!"***"Azkia!" Mentari melambaikan tangan pada Azkia yang sudah menunggu dirinya di sebuah cafe yang ada di dalam mall.Sesuai dengan rencana, hari ini Mentari akan menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan bersama dengan Azkia di area pusat perbelanjaan tersebut. Sebelum pergi, Mentari sudah mengingatkan suaminya untuk segera mengajak Bintang pergi ke mall yang ia datangi bersama Azkia."Kamu udah nunggu lama?" sapa Mentari berbasa-basi. Wanita itu menatap penampilan Azkia yang sangat anggun dan menawan. Sejak zaman kuliah dulu, Azkia memang cantik. Tak sedikit pria yan
Pertemuan antara Mentari dan Pak Tohar pun berlangsung cukup lama. Mentari dan Pak Tohar dapat cepat akrab dengan adanya Azkia yang menjembatani mereka. Selama pertemuan berlangsung, Bintang terus mencuri pandang ke arah Azkia, hingga membuat Mentari keheranan. Dari sorot mata pria itu, terlihat jelas kalau Bintang tengah menunjukkan ketertarikannya pada Azkia."Kenapa Kak Bintang lihatin Azkia mulu dari tadi? Apa mungkin Kak Bintang naksir sama Azkia?" batin Mentari curiga.Mentari berkali-kali memergoki sang kakak mencuri-curi pandang ke arah Azkia sampai pertemuan mereka berakhir. Hal ini pun membuat Mentari semakin yakin kalau Bintang memang tertarik pada Azkia."Kak bintang ketahuan banget sih kalau naksir Azkia," batin Mentari. "Apa aku coba jodohin mereka aja? Kak Bintang kan masih jomblo. Sudah saatnya juga untuk membina rumah tangga agar tidak pacaran dengan pekerjaannya terus. Kalau Azkia juga jomblo ... mereka pasti bisa jadi pasangan serasi."***"Huny, besok kan hari Ming
"Itu berkas buat besok? Kayaknya besok sibuk banget, ya?" tanya Revan pada Mentari yang nampak asyik menyiapkan banyak berkas. Pria itu menatap istrinya yang sibuk dengan perasaan berkecamuk. Ada rasa kasihan melihat istrinya berjibaku dengan pekerjaan padahal dirinya sangat mampu untuk mencukupi semua kebutuhan hidup sang istri. Bahkan apapun yang diminta oleh wanita yang dicintai itu bisa dia berikan sangat mudah. Namun ia juga tak bisa melarang sang istri bekerja karena itu adalah perusahaan istrinya sendiri. Pasangan suami istri baru itu sudah kembali dari acara bulan madu mereka. Setelah puas menikmati liburan di Dubai, kini waktunya mereka kembali beraktivitas seperti sebelumnya. Sebagai pimpinan perusahaan baru, sepertinya Mentari akan mulai disibukkan dengan pekerjaan yang menumpuk. "Iya, Huby. Besok aku ada pertemuan penting.""Pasti berat ya ngurus perusahaan sendiri seperti ini," komentar Revan. "Jangan terlalu capek, Huny. Kalau butuh bantuan katakan saja, suamimu ini b