Tinggal tiga minggu lagi sebelum acara pernikahan antara Pine dan Kevin. Sekarang Pine sedang mempelajari pengetahuan yang akan ia gunakan saat menjadi Ratu, serta tentu saja pengetahuan tentang vampir.
"Kamu belajar terlalu keras, Pine," kata Kevin mendekatinya.
"Aku hanya berusaha sebaik mungkin," balasnya dengan senyuman.
Kevin membalas senyum itu dan mengelus pucuk kepala Pine dengan sayang, "Ikutlah denganku," ajaknya.
Kevin kemudian membawa Pine yang tidak tahu apapun ke ruang kerjanya, di sana Julio sudah berada di dalam dengan memegang nampan berisikan cawan berbahan perak.
"Duduklah," ujar Kevin dan Pine mematuhinya.
Pine menatap Kevin dan Julio bergantian. Kevin lalu menyuruh Julio membawa nampan yang ia bawa ke hadapannya. Dengan hati-hati Julio membawa nampan tersebut.
"Apa itu?" tanya Pine melihat nampan yang tertutup.
Kevin membuka tutup nampan, “Ini adalah Cawan Perak.”
"Ah!" s
Suasana kastel tiba-tiba berubah menjadi ramai. Ika dan Iki saling berteriak, wajah mereka mengeras dengan manik mata berwarna merah darah mereka. Ini terjadi karena keinginan dan perasaan mereka kembali diabaikan."Tidak! Kami tidak mau!" tolak Iki."Kak Rai tidak tahu apapun!" tambah Ika."Sudah kami bilang, kami tidak akan kembali ke sana!" Iki tetap pada keputusannya"Kak Rai jahat!!!" dan Ika mengakhiri perseteruan ini.***Semua bermula ketika Rai memanggil si kembar lalu memberitahukan mereka untuk kembali ke Raltz. Tentu saja, baik Ika dan Iki tidak mau pergi. Seperti yang pernah mereka bilang, Raltz bukanlah untuk tempat berlindung. Hidup sampai sejauh ini pun sudah keajaiban bagi mereka.Mereka langsung protes keras. Bagaimanapun mereka tetaplah anggota keluarga utama Haltz, dan mereka berhak untuk tinggal di kastel ini. Tidak menemui penyelesaian, akhirnya mereka berdua pergi dar
Dua buah mobil limosin hitam berjalan beriringan menembus Kota Antro. Di dalam salah satu mobil itu, Rena yang duduk berhadapan dengan si pria tua merasa gerah dengan kelakuannya yang tidak bisa diam.Pria ini terus saja bergerak ke sana kemari seperti merasa tidak nyaman. Ia terus saja melihat ke arah jendela seakan berniat untuk meloncat dari mobil saat ini juga. Rena ingin sekali menendangnya keluar namun ia urungkan."Apa aku harus pindah ke mobil lain?" tanya Rena."Ah... tidak, tidak, tidak," balas pria ini cepat dan kemudian memeluk ranselnya erat, "Aku hanya memiliki banyak pertanyaan, dan ini membuatku tidak bisa berhenti berpikir.”"Kau bisa bertanya. Raja menyuruhku untuk menjawab semua pertanyaan.""Benarkah?""Ya,” singkat Rena."Emm... sebenarnya...” si pria terlihat ragu, namun sedetik kemudian ia memberanikan dirinya.“Sebenarnya kita mau ke mana? Karena aku lihat kita ba
"Ada apa ini...? Aku kira mereka semacam sekutu, tapi kenapa malah bersitegang? Lagi pula, siapa orang ini? Dan siapa yang dimaksud dengan Yang Mulia? Aku benar-benar tidak mengerti. Sepertinya aku dikirim ke lawan untuk dijadikan sandera," batin si pria tua."Tentukan pilihan Anda, saya tidak punya waktu untuk bernegosiasi," tambah Julio karena Rena hanya terus melihatnya.Rena lalu melihat rombongannya dari sudut matanya, sejenak dia berpikir, "Biarkan mereka masuk untuk menaruh barang-barang," jelasnya."Saya sudah katakan, tidak ada yang diperbolehkan masuk selain Anda dan dokter yang kami minta," balas Julio tegas.Tik. Tok. Tik. Tok.Waktu terus berjalan. Sementara itu, Julio memperhatikan rombongan yang dibawa oleh Rena, "Sepertinya keputusan Anda masih sama, saya anggap pertemuan ini batal. Kalau begitu, saya akan kembali masuk ke dalam. Terima kasih atas kedatangan—“Rena langsung memotong, "Kalian pula
Al melangkah kakinya menyelusuri lorong yang memiliki sebuah pintu kayu tua yang tampak masih kokoh di ujungnya. Ia kemudian membuka pintu dan mendapati Diana ada di dalamnya sedang melihat ke luar melalui jendela satu-satunya yang ada di kamar tersebut."Apa kau bertengkar lagi dengan Rai?" Al memasuki kamar dan mendekatinya."Apa dia yang menyuruhmu datang kemari?" Diana balik bertanya tanpa mau melihat wajah vampir hibrida ini."Tidak,” jawabnya, “Ini inisiatifku sendiri.”Diana menghela napasnya, "Aku hanya tidak suka vampir itu selalu mengusik Ika dan Iki. Bukankah dia kakaknya? Kenapa dia selalu mengirim adik-adiknya pergi? Apa dia memang sekejam itu? Apa dia takut kekuasaan direbut oleh adiknya? Hah... ini sangat lucu.”"Aku datang ke sini bukan untuk menjawab pertanyaanmu. Aku hanya ingin bilang, percayalah pada Rai. Dia punya alasan mengapa dia melakukannya. Beban pemimpin itu berat, bahkan kau tida
Rai menerjang maju, mendekati Diana hingga hanya tersisa jarak satu sentimeter di antara keduanya. Matanya memandang lurus ke manik mata Diana, memperhatikan setiap detail iris biru miliknya."Apa kau tipe orang yang selalu mengalihkan pembicaraan?" Rai bertanya."Aku tipe orang yang akan diam jika merasa tidak perlu berbicara.”"Kau harus membuka mulutmu kali ini," ucap Rai seraya mengusap bibir Diana, "Karena aku sudah tidak menyukai rahasia lagi."Diana membuang wajahnya, "Apa yang akan kau dapatkan dengan mengetahui rahasiaku?"Rai memundurkan tubuhnya, "Kita bisa melihatnya nanti.”Diana menghela napasnya, "Aku akan menjawab pertanyaanmu jika kau berhenti mengganggu si kembar," jelasnya mengajukan syarat."Siapa yang mengganggu mereka?" heran Rai."Aku akan diam kalau begitu."Rai kemudian terlihat berpikir, "Ini akan sulit, tapi aku akan mencobanya.”"Aku tidak meminta perc
Diana kemudian menyenderkan kepalanya ke belakang, melihat Rai dengan pandangan yang menerawang, "Aku akan takut jika salah satu tubuhmu tidak lengkap, putus, atau hal yang mirip seperti itu. Bagiku ini menakutkan.”“Maksudnya hantu...?” batin Rai. "Aku semakin tidak mengerti.”"Lupakan," balas Diana merasa sia-sia saja berbicara dengan vampir ini.Rai memandangnya kesal, “Apa menjawab pertanyaanku ini sangat sulit!?”“Tidak.”“Lalu kenapa kau selalu memberikan jawaban yang tidakku mengerti?”“Kapan aku melakukannya?”Rai mengepalkan tangannya mencoba menahan emosinya. “Jangan membuatku marah.”“Yang Mulia Raizel Harrison de Haltz,” ucap Diana membuat Rai terkejut, “Jangan membuat aku menjadi alasan kemarahanmu, jika yang sebenarnya adalah kau memang orang yang temperamen.”“K-kau...
"Apa sekarang kau sedang bermain teka-teki denganku?" tanya Rai."Tidak," bantah Diana."Lalu kenapa kau malah terus menambah daftar pertanyaanku!?!"Diana mengerutkan keningnya, "Jangan salahkan aku. Itu datang dari pikiranmu sendiri," jawabnya tidak mau disalahkan.Rai mendengus saat mendengarnya. "Apa kau mau bertanya juga?" tawarnya mengingat jika ia yang terus bertanya, maka wanita ini akan segera membuatnya gila dengan jawaban-jawaban tidak masuk akalnya.“Apa isi perjanjian antara kau dan Raltz?" tanya Diana tanpa ragu.Rai tidak percaya, dari segala pertanyaan yang bisa diajukan oleh manusia ini, tapi dia malah mengajukan pertanyaan seperti itu. Pertanyaan yang memiliki tujuan untuk orang lain, bukan untuk dirinya."Jadi, ini masih seputar si kembar? Apa kau sungguh-sungguh menyukai mereka?" tanya Rai."Jika ya, lalu kenapa?”"Aku akan memberikan mereka padamu," balas Rai serius.
Rai terkekeh, “Aku tidak punya waktu untuk menjadi bagian dari mereka, atau lebih tepatnya bertemu dengan para perwakilan vampir sialan ini.”“Lalu...?”“Albert dan Vero yang mewakili Haltz menjadi bagian Harawaltz.”Diana kembali mengerutkan keningnya karena mendengar nama yang asing lagi, “Vero..?”“Kau tidak akan mengenalnya, jadi aku tidak akan menjelaskannya,” balas Rai.“Dari apa yang kau jelaskan, bukankah itu bagus? Haltz melakukan pekerjaan yang baik bukan?”“Tidak juga,” bantah Rai, “Terkadang kami membunuh vampir tanpa ada alasan, lalu mengirim mayatnya ke klan mereka, atau memberikan hukuman yang tidak seharusnya, untuk memberikan efek jera. Namun sayangnya, mereka terus melakukan pelanggaran yang lebih dan lebih lagi. Kami juga menggunakan kekuatan klan sebagai alasan utama untuk melindungi diri.”“Kenapa
Halo semuanya! Saya Selist Emerald Valley, penulis dari novel Pure Blood. -Terima kasih untuk kalian para pembaca yang sudah mencintai dan membaca Pure Blood sampai akhir! Ini adalah akhir dari Pure Blood! Saya harap kalian menyukai Pure Blood dan para tokoh di dalamnya! - Tanpa adanya dukungan dari para sahabat dekat saya, tentu saja Pure Blood tidak akan pernah ada! Terima kasih untuk HAKUJI dan Affifah, kalian memang yang terbaik!!! -Senang rasanya mempublikasikan Pure Blood di Goodnovel, selain bisa menjangkau lebih banyak pembaca, Pure Blood juga bisa diakses dengan mudah, baik menggunakan aplikasi maupun website Goodnovel.-Pure Blood merupakan novel pertama saya, sekaligus debut karya pertama saya di dunia penulis dan novelis. Dari dulu hingga sekarang, Pure Blood selalu menjadi bagian utama dan penting dari kehidupan saya dan karir saya sebagai penulis dan juga novelis.-Rencananya, Pure Blood akan menjadi novel s
Lub. Dub. Lub. Dub. Lub. Dub.Suara detak jantung terdengar saling berirama. “Apa kamu mendengarnya?” dan sosok yang sedang ditanya ini menganggukkan kepalanya.Terlihat Diana yang masih berada di tempat tidur. Ia tidak bergerak dan juga tidak bernapas. Tubuhnya sedingin es, dan wajahnya sepucat salju.Ika menatap Iki, “Jadi, apa seorang vampir yang merupakan anggota keluarga utama dapat mendengarkan bunyi detak jantung seorang vampir?”“Aku rasa begitu, Ika,” jawab Iki menjawab pertanyaan kembarannya.“Apa sejak pertama, Kak Diana juga dapat mendengarnya?”“Shhh... Ika!” seru Iki.“Ada apa?” tanya Ika tidak mengerti.“Kita tidak bisa memanggilnya dengan Kak Diana. Itu sangat tidak sopan, Ika.”“Ah... ya... Aku lupa, maaf.”Ika lalu duduk di atas tempat tidur dan menyentuh tangan Diana, “
Kevin mencari keberadaan Pine dan menemukannya. “Pine, apa yang kamu lakukan di sana?” tanya Kevin.Pine berbalik dan tersenyum, “Hanya berpikir.”Kevin menghela napasnya, “Jangan terus menyalahkan dirimu, ini bukan salahmu,” dan Pine hanya menganggukkan kepalanya.Hap!Dua tangan kecil memeluk erat kaki Kevin dari belakang, “Ayah!”Kevin langsung menggendong anak ini, “Ada apa pangeran? Bukankah pangeran seharusnya bersama Julio?”Dan yang disebut namanya datang dengan tergesa-gesa, “Maafkan saya Yang Mulia, tapi pangeran berlari terlalu cepat!” ujar Julio.Pine mendekat dan menjentikkan jarinya pelan ke kening anak ini, “Regis...”Regis pun mengerutkan bibirnya, “Aku hanya bermain, Ibu. Tapi Julio sudah terlalu tua untuk mengejarku.”Julio memandang Regis dengan wajah tidak percaya, “Apa..
Dalam tidurnya, tangan dan kaki pria ini dirantai ke tempat tidur. Ia bagaikan seorang tawanan. Wajahnya terlihat pucat dan ia memiliki luka yang berada di sekujur tubuhnya.Walaupun begitu, sang kupu-kupu tetap mendekatinya, karena ia dapat mencium harum bunga Lily dari tubuhnya. Bau ini sangat kuat, membuat kupu-kupu mengira bahwa ia baru saja mendarat ke atas bunga.---“Kita harus menghentikan perjanjian ini, Christ. Kembalikan pria itu, aku tidak mau berhubungan dengan Harawaltz, apalagi dengan si pemimpin gila,” jelas Bianca.“Kau takut dengannya?”“Dengan Rai?”Christ menggeleng, “Dengan pria itu?”“Tidak.”“Lalu?”“Aku hanya tidak suka melihat pria itu ada di paviliun, apalagi Ben dan Dominic memperlakukannya bagaikan seorang tawanan.”Christ tersenyum, “Kau terlalu bermurah hati, Bianca. Mereka bisa saja men
Sebuah kastel megah yang berdiri di wilayah timur. Kastel yang terlihat sangat sepi dan hanya ada dijaga oleh beberapa vampir ini merupakan tempat tinggal bagi keluarga utama Klan Waltz serta para pengikutnya.Pada bagian belakang kastel terdapat sebuah paviliun sederhana, namun sangat tertutup. Bangunannya tampak masih kokoh, namun terlihat tidak terawat dengan tumbuhan yang menjalar di tembok, dedaunan di sekeliling bangunannya, dan tidak adanya penghuni kastel yang berkeliaran di sana.Klan Waltz sendiri terkenal sebagai klan yang kejam, memiliki persentase darah murni sebanyak sepuluh persen, dan juga mereka jarang berkomunikasi dengan vampir lainnya tanpa jalur formal dan tanpa adanya kepentingan.Christ Wilson de Waltz adalah nama vampir yang memimpin Klan Waltz. Tidak ada banyak informasi mengenai dirinya, ataupun bagaimana rupanya. Sama seperti klannya, Christ adalah vampir yang tertutup.Sama seperti pemimpinnya, mereka—par
Tiga bulan sudah berlalu. Saat ini, hujan turun dengan lebatnya. Petir menyambar hebat dan menghanguskan pohon mangga kesukaan Diana. Namun, di tengah derasnya hujan, semua orang masih berkumpul di ruang singgasana. Mereka berada di sana karena merasakan sesuatu akan terjadi, termasuk Allan dan Gail.“Kau ada di sini juga?” tanya Gail.“Kastel mendadak kosong, dan aku liat semuanya berkumpul di sini, jadi aku datang. Bagaimana denganmu?” jawab Allan.“Sama sepertimu.”Perlahan, dua vampir yang menempati tempat tidur yang ada di sana membuka matanya. Dengan manik mata yang berwarna merah darah, mereka melihat ke arah langit-langit, mencoba mengumpulkan kesadaran mereka."Pine!!!" seru Kevin langsung memeluk tubuhnya.Pine hanya terdiam, ia lalu terduduk, begitu pun dengan Rai. Mereka masih berusaha beradaptasi dengan hal yang terjadi. Sementara itu, Al berdiri di sebelah Rai dan melihatnya
Sebulan sudah berlalu sejak kejadian yang mengguncang Kastel Haltz terjadi. Rai dan Pine masih berada di tempat tidur yang ada di tengah-tengah ruang singgasana. Semua vampir baik Haltz dan Raltz berkumpul tanpa tahu harus melakukan apa.Walaupun Diana telah memberikan seluruh darahnya untuk mereka, mereka tidak langsung pulih. Butuh waktu untuk mengadaptasi semuanya, terlebih darah yang mereka terima adalah darah vampir yang memiliki kemurnian seratus persen.Tidak ada satu pun vampir yang pernah mengalami kejadian ini. Mereke menunggu tanpa batas waktu dan hanya bisa berharap keadaan bisa lebih baik.Sementara itu, Kevin dan Al setia berada di samping orang yang paling berharga untuk mereka. Kevin berdiri di sebelah tempat tidur Pine, dan Al berdiri di sebelah tempat tidur Rai.Sedangkan Julio berada tidak jauh di sana untuk melindungi tuannya. Allan dan Gail pun masih ada di kastel, meski mereka manusia, tidak ada satu pun vampir
Kevin dan Al langsung terdorong mundur karena atmosfer kuat tiba-tiba menerjang mereka. Sementara itu, para vampir di sana tidak dapat berbuat apapun. Mereka tertahan dan hanya bisa terdiam merunduk.Bersama dengan air mata yang terus mengalir, Diana melukai kedua telapak tangannya secara bergantian. Kemudian ia mengarahkan tetesan darah dari tangannya ke luka di dada Pine dan Rai yang baru saja ia buat.Diana terus saja mengepalkan tangannya dengan sangat erat. Membuat darah miliknya dengan deras keluar dan jatuh ke luka tersebut. "Jika harus ada yang mati. Maka itu adalah aku," batin Diana berbicara.Vero melihatnya dengan cemas, "Dia akan mati! Yang Mulia akan mati jika terus mengeluarkan darahnya!!!" paniknya.Vero mencoba menghentikannya. Namun sia-sia karena kekuatan Diana tidak membiarkan siapa pun untuk mengganggunya. Diana terus mengepalkan tangannya, membuat setiap darah dalam tubuhnya keluar."Kau melakukann
Dengan rambut yang berantakan, wajah kusam, dan tanpa alas kaki. Diana berjalan mendekati Pine dan Rai berada. Ekspresinya terlihat kosong. Pikirannya terus memutar kejadian-kejadian yang ia lewati bersama mereka. Perlahan air mata membasahi pipinya. Semakin lama semakin deras."Namaku Diana Charlotte, sekarang namamu adalah Dion Charlotte."Kenangan ketika Pine memberikannya nama untuk pertama kali kembali terputar di pikiran Diana, membuatnya langsung jatuh ke lantai. Kenangan ketika Rai mengajaknya untuk menjadi bagian dari hidupnya juga terputar."Hiduplah sekarang dalam duniaku. Jadikan hidupmu menjadi bagian dari hidupku.”Diana sama sekali tidak bisa membendung tangisannya. Ia tertunduk dan menangis dalam diam. Kesedihannya sangat terasa, membuat semua orang yang ada di sana ikut merasakannya.Diana memegangi dadanya. Rasa sesak langsung menyerangnya. "Kenapa ini selalu terjadi? Ini seharusnya tidak terjadi!" serunya d