Diana kemudian menyenderkan kepalanya ke belakang, melihat Rai dengan pandangan yang menerawang, "Aku akan takut jika salah satu tubuhmu tidak lengkap, putus, atau hal yang mirip seperti itu. Bagiku ini menakutkan.”
“Maksudnya hantu...?” batin Rai. "Aku semakin tidak mengerti.”
"Lupakan," balas Diana merasa sia-sia saja berbicara dengan vampir ini.
Rai memandangnya kesal, “Apa menjawab pertanyaanku ini sangat sulit!?”
“Tidak.”
“Lalu kenapa kau selalu memberikan jawaban yang tidakku mengerti?”
“Kapan aku melakukannya?”
Rai mengepalkan tangannya mencoba menahan emosinya. “Jangan membuatku marah.”
“Yang Mulia Raizel Harrison de Haltz,” ucap Diana membuat Rai terkejut, “Jangan membuat aku menjadi alasan kemarahanmu, jika yang sebenarnya adalah kau memang orang yang temperamen.”
“K-kau...
"Apa sekarang kau sedang bermain teka-teki denganku?" tanya Rai."Tidak," bantah Diana."Lalu kenapa kau malah terus menambah daftar pertanyaanku!?!"Diana mengerutkan keningnya, "Jangan salahkan aku. Itu datang dari pikiranmu sendiri," jawabnya tidak mau disalahkan.Rai mendengus saat mendengarnya. "Apa kau mau bertanya juga?" tawarnya mengingat jika ia yang terus bertanya, maka wanita ini akan segera membuatnya gila dengan jawaban-jawaban tidak masuk akalnya.“Apa isi perjanjian antara kau dan Raltz?" tanya Diana tanpa ragu.Rai tidak percaya, dari segala pertanyaan yang bisa diajukan oleh manusia ini, tapi dia malah mengajukan pertanyaan seperti itu. Pertanyaan yang memiliki tujuan untuk orang lain, bukan untuk dirinya."Jadi, ini masih seputar si kembar? Apa kau sungguh-sungguh menyukai mereka?" tanya Rai."Jika ya, lalu kenapa?”"Aku akan memberikan mereka padamu," balas Rai serius.
Rai terkekeh, “Aku tidak punya waktu untuk menjadi bagian dari mereka, atau lebih tepatnya bertemu dengan para perwakilan vampir sialan ini.”“Lalu...?”“Albert dan Vero yang mewakili Haltz menjadi bagian Harawaltz.”Diana kembali mengerutkan keningnya karena mendengar nama yang asing lagi, “Vero..?”“Kau tidak akan mengenalnya, jadi aku tidak akan menjelaskannya,” balas Rai.“Dari apa yang kau jelaskan, bukankah itu bagus? Haltz melakukan pekerjaan yang baik bukan?”“Tidak juga,” bantah Rai, “Terkadang kami membunuh vampir tanpa ada alasan, lalu mengirim mayatnya ke klan mereka, atau memberikan hukuman yang tidak seharusnya, untuk memberikan efek jera. Namun sayangnya, mereka terus melakukan pelanggaran yang lebih dan lebih lagi. Kami juga menggunakan kekuatan klan sebagai alasan utama untuk melindungi diri.”“Kenapa
Diana kemudian menatap manik mata Rai lekat-lekat, "Kau menyayangi mereka bukan? Rika dan Riki?" Rai langsung membuang wajahnya."Kau mengirim mereka karena kau tahu Kevin tidak akan melukai adikmu, dan kau tahu dia akan melakukan pemberontakan. Tapi ini adalah sebuah pertaruhan, dan kau tetap melakukannya. Benar yang dikatakan oleh Al. Kau memang menanggung beban pemimpin sendirian. Aku dapat melihat jelas dari semua ucapanmu,” ungkap Diana."Ini bukan suatu pertaruhan. Aku sudah memikirkan semuanya. Ini adalah cara terbaik menyelamatkan mereka. Jika mereka tetap tinggal di sini, Harawaltz akan datang dan melenyapkan mereka,” balas Rai.“Tapi, jika mereka berada di sana Kevin akan menjaganya, dan jika mereka terluka aku akan punya alasan untuk melenyapkan Harawaltz selamanya,” lanjut vampir ini."Kau menyedihkan, Rai," batin Diana."Kenapa kau melihatku seperti ini?" tanya Rai karena Diana terus sa
Pak!Rai memukul keras tengkuk Diana dan membuatnya pingsan seketika. "Kalian berdua terlalu berisik," komentarnya seraya meletakkan Diana di singgasana."Jangan salahkan aku karena manusia itu sangat menyebalkan," balas Al.Rai tidak mau mendengar alasan apapun. Ia kemudian meraih kertas di genggaman Diana yang kini sudah lecek tidak beraturan lalu kembali membacanya. Wajahnya pun terlihat menahan amarah."Kenapa dia bersikukuh sekali meminta Ika dan Iki untuk kembali!?” tanya Rai."Mungkin karena Kevin butuh kekuatan dari adik-adikmu, terutama untuk melindungi manusia yang ada di kastelnya."Rai berdecak, "Aku tidak bisa melakukannya. Aku tidak bisa mengirim si kembar ke sana, ada janji yang harus aku penuhi.”"Janji...? heran Al. “Janji dengan manusia itu?" tanyanya seraya mengedikkan dagunya ke arah Diana.Meski tidak mengiyakan, namun Al sudah mengetahui jawabannya. Ia pun memper
Julio memberikan surat yang ia dapatkan dari Rena dan menunjukkannya ke Kevin. Kevin menerimanya dengan wajah tanpa ekspresi. Dia hanya membacanya sekilas dan meletakkan surat tersebut di meja begitu saja."Seperti yang sudah kau dengar, aku hanya mengizinkan kau dan dokter di sana—" dia menatap mata si pria tua, "—untuk berada di kastelku. Jika kau tidak setuju, silakan angkat kaki dari kastel ini," jelasnya dan Rena langsung menatapnya kesal."Dan satu lagi, kau berada di wilayah Raltz, hukum yang berlaku tentu saja adalah hukumku. Jika kau berbuat kesalahan maka kau tahu akibatnya," lanjut Kevin seraya tersenyum, senyum yang membuat emosi menjadi tinggi."Kau pasti sudah tahu tujuanku datang kemari bukan? Di mana wanita itu?" tanya Rena langsung ke intinya. Ia muak dengan keramahtamahan vampir ini sejak tadi."Wanita...? Yang mana? Aku punya banyak wanita di sini.""Jangan pura-pura bodoh. Kau menyembunyikan seorang
Si pria tua kini mengerti, ia semakin mempererat pegangannya pada tali bahu ranselnya. "Aku benar-benar menjadi barang taruhan di sini. Jika aku salah memilih maka tamatlah riwayatku! Sepertinya mereka bukanlah manusia biasa, terlebih wanita yang bernama Pine ini. Aku bisa merasakan atmosfer yang terlalu menekan, membuatku sangat sulit bernapas," batinnya.Pria tua ini kemudian berbicara, "Maaf atas kelancangan saya, tapi sebelum memihak bukankah lebih baik saya mengenal siapa orang yang akan saya pilih. Bukankah begitu?""Heh," Kevin kembali tersenyum culas.Julio kemudian mengambil alih keadaan dengan memperkenalkan Kevin, "Perkenalkan, dia adalah Yang Mulia Kevin Robert de Raltz, pemimpin dari Klan Raltz," jelasnya."Lalu siapa kau? Dan wanita di samping kirinya ini?" tanya si pria tua."Aku adalah tangan kanan sekaligus orang kepercayaan Yang Mulia. Namaku adalah Julio Robert de Raltz. Di sisi sebelah kiri sana, sepert
Diana terbangun di atas tempat tidurnya. Perlahan dia membuka mata dan mengerjapkannya beberapa kali. Keadaan kamar sudah terlihat sedikit gelap, hanya cahaya bulan yang menembus tipisnya gorden berwarna putih dan menyinari kamarnya.Ia kemudian menggerakkan bola matanya, melihat samar-samar ke seluruh penjuru kamar. Lalu kemudian sedikit meregangkan tubuhnya, ia melakukannya sambil mengingat-mengingat kenapa dia bisa berada di kamarnya saat ini.Ting!Bagaikan bunyi lonceng, Diana mengingatnya. "Vampir bodoh itu...!" desisnya.Diana mengingat alasan dia pingsan yaitu karena Rai memukul keras tengkuknya. Wanita ini kemudian memosisikan dirinya untuk duduk seraya mengelus tengkuknya yang sedikit terasa sakit."Kasar sekali dia dengan wanita," gumam Diana.Brrmmm...“Bukankah suara ini…” Diana langsung menoleh ke arah jendela ketika dia mendengar bunyi mesin mobil, “Selama aku
Lari Dianamemang cukup kencang, bahkan si pelayan harus menggunakan sedikit kecepatan vampirnya untuk dapat mengejarnya, untungnya pelayan ini dapat mengejarnya.Diana pun berdecak karena suara pelayan tersebut terus mengganggu pendengarannya. "Apa lagi!? Aku tidak akan berhenti," jawabnya sambil tetap berlari."Apa Nyonya akan benar-benar pergi ke Raltz?""Ya,” Diana mengiyakan tanpa ragu, “Pulanglah. Rai akan marah jika salah satu pelayannya menghilang begitu saja.”"Tapi, Nyonya..."Ssrrkk!!Diana langsung kembali berhenti begitu saja hingga si pelayan dengan sukses menubruknya. Namun dengan sigap Diana menahan tubuhnya. "Aku akan katakan ini sekali lagi. Namaku Diana, bukan Nyonya. Jadi berhenti memanggilku seperti ini, dan satu lagi, berhenti mengikutiku.”"Tapi... pergi ke sana seorang diri terlalu berbahaya, Nyo—Diana..." balas si pelayan."Aku tahu, maka dari
Halo semuanya! Saya Selist Emerald Valley, penulis dari novel Pure Blood. -Terima kasih untuk kalian para pembaca yang sudah mencintai dan membaca Pure Blood sampai akhir! Ini adalah akhir dari Pure Blood! Saya harap kalian menyukai Pure Blood dan para tokoh di dalamnya! - Tanpa adanya dukungan dari para sahabat dekat saya, tentu saja Pure Blood tidak akan pernah ada! Terima kasih untuk HAKUJI dan Affifah, kalian memang yang terbaik!!! -Senang rasanya mempublikasikan Pure Blood di Goodnovel, selain bisa menjangkau lebih banyak pembaca, Pure Blood juga bisa diakses dengan mudah, baik menggunakan aplikasi maupun website Goodnovel.-Pure Blood merupakan novel pertama saya, sekaligus debut karya pertama saya di dunia penulis dan novelis. Dari dulu hingga sekarang, Pure Blood selalu menjadi bagian utama dan penting dari kehidupan saya dan karir saya sebagai penulis dan juga novelis.-Rencananya, Pure Blood akan menjadi novel s
Lub. Dub. Lub. Dub. Lub. Dub.Suara detak jantung terdengar saling berirama. “Apa kamu mendengarnya?” dan sosok yang sedang ditanya ini menganggukkan kepalanya.Terlihat Diana yang masih berada di tempat tidur. Ia tidak bergerak dan juga tidak bernapas. Tubuhnya sedingin es, dan wajahnya sepucat salju.Ika menatap Iki, “Jadi, apa seorang vampir yang merupakan anggota keluarga utama dapat mendengarkan bunyi detak jantung seorang vampir?”“Aku rasa begitu, Ika,” jawab Iki menjawab pertanyaan kembarannya.“Apa sejak pertama, Kak Diana juga dapat mendengarnya?”“Shhh... Ika!” seru Iki.“Ada apa?” tanya Ika tidak mengerti.“Kita tidak bisa memanggilnya dengan Kak Diana. Itu sangat tidak sopan, Ika.”“Ah... ya... Aku lupa, maaf.”Ika lalu duduk di atas tempat tidur dan menyentuh tangan Diana, “
Kevin mencari keberadaan Pine dan menemukannya. “Pine, apa yang kamu lakukan di sana?” tanya Kevin.Pine berbalik dan tersenyum, “Hanya berpikir.”Kevin menghela napasnya, “Jangan terus menyalahkan dirimu, ini bukan salahmu,” dan Pine hanya menganggukkan kepalanya.Hap!Dua tangan kecil memeluk erat kaki Kevin dari belakang, “Ayah!”Kevin langsung menggendong anak ini, “Ada apa pangeran? Bukankah pangeran seharusnya bersama Julio?”Dan yang disebut namanya datang dengan tergesa-gesa, “Maafkan saya Yang Mulia, tapi pangeran berlari terlalu cepat!” ujar Julio.Pine mendekat dan menjentikkan jarinya pelan ke kening anak ini, “Regis...”Regis pun mengerutkan bibirnya, “Aku hanya bermain, Ibu. Tapi Julio sudah terlalu tua untuk mengejarku.”Julio memandang Regis dengan wajah tidak percaya, “Apa..
Dalam tidurnya, tangan dan kaki pria ini dirantai ke tempat tidur. Ia bagaikan seorang tawanan. Wajahnya terlihat pucat dan ia memiliki luka yang berada di sekujur tubuhnya.Walaupun begitu, sang kupu-kupu tetap mendekatinya, karena ia dapat mencium harum bunga Lily dari tubuhnya. Bau ini sangat kuat, membuat kupu-kupu mengira bahwa ia baru saja mendarat ke atas bunga.---“Kita harus menghentikan perjanjian ini, Christ. Kembalikan pria itu, aku tidak mau berhubungan dengan Harawaltz, apalagi dengan si pemimpin gila,” jelas Bianca.“Kau takut dengannya?”“Dengan Rai?”Christ menggeleng, “Dengan pria itu?”“Tidak.”“Lalu?”“Aku hanya tidak suka melihat pria itu ada di paviliun, apalagi Ben dan Dominic memperlakukannya bagaikan seorang tawanan.”Christ tersenyum, “Kau terlalu bermurah hati, Bianca. Mereka bisa saja men
Sebuah kastel megah yang berdiri di wilayah timur. Kastel yang terlihat sangat sepi dan hanya ada dijaga oleh beberapa vampir ini merupakan tempat tinggal bagi keluarga utama Klan Waltz serta para pengikutnya.Pada bagian belakang kastel terdapat sebuah paviliun sederhana, namun sangat tertutup. Bangunannya tampak masih kokoh, namun terlihat tidak terawat dengan tumbuhan yang menjalar di tembok, dedaunan di sekeliling bangunannya, dan tidak adanya penghuni kastel yang berkeliaran di sana.Klan Waltz sendiri terkenal sebagai klan yang kejam, memiliki persentase darah murni sebanyak sepuluh persen, dan juga mereka jarang berkomunikasi dengan vampir lainnya tanpa jalur formal dan tanpa adanya kepentingan.Christ Wilson de Waltz adalah nama vampir yang memimpin Klan Waltz. Tidak ada banyak informasi mengenai dirinya, ataupun bagaimana rupanya. Sama seperti klannya, Christ adalah vampir yang tertutup.Sama seperti pemimpinnya, mereka—par
Tiga bulan sudah berlalu. Saat ini, hujan turun dengan lebatnya. Petir menyambar hebat dan menghanguskan pohon mangga kesukaan Diana. Namun, di tengah derasnya hujan, semua orang masih berkumpul di ruang singgasana. Mereka berada di sana karena merasakan sesuatu akan terjadi, termasuk Allan dan Gail.“Kau ada di sini juga?” tanya Gail.“Kastel mendadak kosong, dan aku liat semuanya berkumpul di sini, jadi aku datang. Bagaimana denganmu?” jawab Allan.“Sama sepertimu.”Perlahan, dua vampir yang menempati tempat tidur yang ada di sana membuka matanya. Dengan manik mata yang berwarna merah darah, mereka melihat ke arah langit-langit, mencoba mengumpulkan kesadaran mereka."Pine!!!" seru Kevin langsung memeluk tubuhnya.Pine hanya terdiam, ia lalu terduduk, begitu pun dengan Rai. Mereka masih berusaha beradaptasi dengan hal yang terjadi. Sementara itu, Al berdiri di sebelah Rai dan melihatnya
Sebulan sudah berlalu sejak kejadian yang mengguncang Kastel Haltz terjadi. Rai dan Pine masih berada di tempat tidur yang ada di tengah-tengah ruang singgasana. Semua vampir baik Haltz dan Raltz berkumpul tanpa tahu harus melakukan apa.Walaupun Diana telah memberikan seluruh darahnya untuk mereka, mereka tidak langsung pulih. Butuh waktu untuk mengadaptasi semuanya, terlebih darah yang mereka terima adalah darah vampir yang memiliki kemurnian seratus persen.Tidak ada satu pun vampir yang pernah mengalami kejadian ini. Mereke menunggu tanpa batas waktu dan hanya bisa berharap keadaan bisa lebih baik.Sementara itu, Kevin dan Al setia berada di samping orang yang paling berharga untuk mereka. Kevin berdiri di sebelah tempat tidur Pine, dan Al berdiri di sebelah tempat tidur Rai.Sedangkan Julio berada tidak jauh di sana untuk melindungi tuannya. Allan dan Gail pun masih ada di kastel, meski mereka manusia, tidak ada satu pun vampir
Kevin dan Al langsung terdorong mundur karena atmosfer kuat tiba-tiba menerjang mereka. Sementara itu, para vampir di sana tidak dapat berbuat apapun. Mereka tertahan dan hanya bisa terdiam merunduk.Bersama dengan air mata yang terus mengalir, Diana melukai kedua telapak tangannya secara bergantian. Kemudian ia mengarahkan tetesan darah dari tangannya ke luka di dada Pine dan Rai yang baru saja ia buat.Diana terus saja mengepalkan tangannya dengan sangat erat. Membuat darah miliknya dengan deras keluar dan jatuh ke luka tersebut. "Jika harus ada yang mati. Maka itu adalah aku," batin Diana berbicara.Vero melihatnya dengan cemas, "Dia akan mati! Yang Mulia akan mati jika terus mengeluarkan darahnya!!!" paniknya.Vero mencoba menghentikannya. Namun sia-sia karena kekuatan Diana tidak membiarkan siapa pun untuk mengganggunya. Diana terus mengepalkan tangannya, membuat setiap darah dalam tubuhnya keluar."Kau melakukann
Dengan rambut yang berantakan, wajah kusam, dan tanpa alas kaki. Diana berjalan mendekati Pine dan Rai berada. Ekspresinya terlihat kosong. Pikirannya terus memutar kejadian-kejadian yang ia lewati bersama mereka. Perlahan air mata membasahi pipinya. Semakin lama semakin deras."Namaku Diana Charlotte, sekarang namamu adalah Dion Charlotte."Kenangan ketika Pine memberikannya nama untuk pertama kali kembali terputar di pikiran Diana, membuatnya langsung jatuh ke lantai. Kenangan ketika Rai mengajaknya untuk menjadi bagian dari hidupnya juga terputar."Hiduplah sekarang dalam duniaku. Jadikan hidupmu menjadi bagian dari hidupku.”Diana sama sekali tidak bisa membendung tangisannya. Ia tertunduk dan menangis dalam diam. Kesedihannya sangat terasa, membuat semua orang yang ada di sana ikut merasakannya.Diana memegangi dadanya. Rasa sesak langsung menyerangnya. "Kenapa ini selalu terjadi? Ini seharusnya tidak terjadi!" serunya d