Pada lorong yang menghubungkan dua lantai di salah satu hotel mewah bintang lima, suara sepatu heels saling menyahut.
Para petinggi perusahaan yang baru saja selesai dengan sebuah acara di ballroom hotel berbintang tersebut beberapa di antaranya memutuskan menginap. Tentu, ditemani seorang wanita dengan dress anggun, yang entah mereka adalah istri sah, selingkuhan, maupun wanita bayaran.Tak terkecuali Maudy yang tampak anggun dengan balutan mini dress warna mint kesukaannya. Sejak tadi hatinya berdegup tak keruan. Ia sangat gugup sekaligus takut karena ini pertama kalinya ia menemani mengenal Bima Anggara, CEO Bimara Group di hotel sejak pertama kali mengenal.Dari jauh terlihat sosok yang sejak tadi ia tunggu. Maudy pun langsung berteriak kecil sambil melambaikan tangannya."Tuan Bima!"Terlihat laki-laki parlente dengan setelan kemeja serta jam tangan mewah berjalan ke arah Maudy. Hanya barang branded yang menempel di tubuh laki-laki itu.Maudy merapatkan bibirnya, tak kuasa menahan gugupnya sedari tadi. Ia lantas langsung memeluk Bima dengan penuh kasih sayang."Sudah lama menunggu?" tanya Bima.Maudy mengangguk dan merasakan getaran yang tak biasa saat rambut fuchsia miliknya dibelai oleh Bima. Hingga ia juga merasakan dinginnya bibir Bima menempel pada keningnya yang rata.Sebelum berlanjut menjadi semakin panas, keduanya memasuki luxury room hotel dan menutup pintu.Bima mulai menanggalkan kemejanya. Bima juga memberikan paper bag berlogo salah satu merek mewah kepada Maudy. Sedangkan Maudy sendiri tengah berusaha untuk melupakan segala perbuatan kejam yang telah laki-laki bernama Bima ini lakukan demi aktingnya yang totalitas."Aku beli ini untukmu, sangat cocok dengan warna rambutmu," ucap Bima sambil membelai pipi merah Maudy.Tanpa bertanya Maudy langsung bergegas membuka paper bag dan mengeluarkan isinya. Ia sudah menduga dengan apa yang diberikan Bima."Lingerie? Maaf Tuan. Saya tahu jika ini tidak sopan, tapi ... ini terlalu berlebihan.” Maudy berujar dengan nada bergetar. “Jadi tanpa mengurangi rasa hormat saya tidak bisa menerima bingkisan ini.”Maudy mendongak dan melihat Bima hanya tersenyum masam. Ia tahu jika perkataannya akan menyinggung hati laki-laki nomor satu dari Bimara Group itu."Tak usah malu. Aku tahu kau pasti mau, kan? Ini waktu yang sudah kau tunggu-tunggu, jadi, jangan menolak!"Tanpa Maudy sadari, Bima mendorong badannya perlahan ke atas ranjang king size dan mengunci tangannya rapat-rapat."Kali ini puaskan aku, Maudy! Aku mencintaimu, dan kau juga mencintaiku bukan? Malam ini waktu yang tepat untuk menikmati kebersamaan kita."Entah apa yang membentengi hati Maudy sekarang, padahal sejak awal mendekati Bima, niatnya adalah membuat laki-laki itu mencintainya. Sekarang, usahanya sudah membuahkan hasil. Ia hanya perlu bermain mengikuti alur saja. Namun, seperti ada beban berat yang membuatnya bersalah melakukan hal ini.Hasrat yang tadinya ia kunci rapat seakan roboh begitu saja saat Bima mulai mengecupi lehernya. Maudy tahu ia tidak dapat mengelak lagi selain melewati malam ini dengan lancar."Kau tahu kenapa aku menyukaimu?" tanya Bima."Tidak tahu, Tuan ..."Tiba-tiba secepat kilat tanpa Maudy sadari, Bima telah menanggalkan dress yang dipakainya."Karena hanya kamu yang selalu menarik perhatianku, Maudy!"Maudy seperti kehilangan arah. Sadar pikirannya nyaris hilang, ia tiba-tiba mendorong badan Bima yang sedang mengungkungnya dengan rapat."Tidak sekarang, Tuan. Saya tidak bisa," ucap Maudy setengah panik."Kamu tidak bisa kabur lagi, Maudy! Puaskan aku sekarang dan aku akan menyetujui proyek yang kau tawarkan."Maudy terdiam mematung, membuat Bima kehabisan kesabaran dan lagi-lagi mendorong badannya ke atas king size bed pada ruangan itu."Tu-Tuan, tolong jangan begini, saya ..." Maudy menjadi semakin panik saat tiba-tiba saja Bima hanya memandangi wajahnya hampir selama beberapa menit.Tanpa ia sadari, Bima tengah memperhatikan wajah Maudy lekat-lekat, kemudian mulai mengerutkan dahinya."Sepertinya aku pernah melihatmu. Kau mirip dengan ...."CUP.Maudy langsung mengecup bibir Bima. Ia membungkam mulut laki-laki itu agar tak dapat mengucapkan kata yang bisa saja mengancam keberhasilannya. Ia takut penyamarannya terbongkar dan seluruh rencananya akan hancur berantakan.Sambil terus mengalihkan perhatian Bima, Maudy seakan melebur ke dalam alur permainannya sendiri dan membiarkan laki-laki bernama Bima itu menyentuhnya dengan bebas."Maafkan aku, suamiku. Aku janji ini hanya sementara saja. Aku akan segera kembali padamu," batinnya sambil mengeluarkan air mata saat Bima berhasil merenggut kehormatannya malam itu.**Maudy mengerjap-ngerjapkan matanya setelah setitik cahaya matahari masuk menembus melalui lubang di jendela kamar itu. Ia memperhatikan sekeliling. Tak ada Bima, hanya dirinya seorang.‘Benar-benar baj*ngan!’ rapalnya dalam hati, merasa tidak berharga karena ditinggalkan di kamar hotel itu setelah puas dipakai semalaman oleh Bima.Bima adalah rival dari suami. Laki-laki itu telah berkali-kali mencoba menghancurkan kehidupan sang suami dan bahkan hampir membuat nyawa suaminya hilang. Beruntung, Arga–suami Maudy masih selamat walaupun harus mengalami koma hingga pindah ke salah satu rumah sakit di Singapura.Sambil menggenggam bed cover dengan erat, air matanya mulai turun. Ia menangis sejadi-jadinya. Ia merasa telah menjadi perempuan paling hina yang telah mengkhianati sang suami yang tengah koma.Seluruh badannya sakit, tetapi ia tidak mau menyerah begitu saja. Rencananya harus berhasil karena ia telah mengorbankan seluruh harga dirinya untuk ini. Ia harus membuat Bima jatuh cinta dan bergantung padanya hingga ia bisa mendapatkan informasi juga rahasia yang Bima simpan setelah menghancurkan suaminya.‘Bertahanlah sebentar lagi, Maudy.’Berendam dengan air hangat pada bathtub ternyata cukup merilekskan kembali badannya yang terasa remuk, meski tidak bisa menghapus jejak kepemilikan Bima di sekujur badannya.Kini Maudy memilih untuk bersantai di restoran hotel. Di antara ramainya pengunjung restoran sore itu, Maudy menyendiri dengan pikiran yang dipenuhi Arga.Tidak banyak orang tahu perihal pernikahannya dengan Arga karena mereka menikah secara tertutup. Karena hal itulah, Maudy memberanikan diri untuk terjun langsung dalam misi pencarian informasi. Ia yakin, Bima akan sulit mengenalinya. Selain itu, perubahan pada penampilannya–terutama rambut, cukup berhasil mengelabui laki-laki itu.Maudy menatap ponsel yang sedari tadi digenggamnya. Tertera panggilan masuk dengan nama 'Bredy' pada layar ponselnya."Halo?""Halo Nyonya, apa kabar?""Aku baik-baik saja, udara di Singapura bagus juga untuk menghilangkan penatku," jawab Maudy menanggapi Bredy, asisten suaminya. Ia terpaksa merahasiakan penyamarannya dari siapa pun, termasuk orang-orang terdekatnya demi keberhasilan rencananya."Ah begitu .. syukurlah Nyonya baik saja. Bagaimana dengan Tuan Arga, bagaimana perkembangan beliau?"Maudy terlihat menarik napasnya sedikit, ia mengingat lagi kabar dari orang suruhannya yang bertugas untuk menggantikan dirinya menjaga Arga di Singapura."Keadaannya masih sama .. tidak membaik dan tidak memburuk. Tapi aku senang menyadari betapa dia masih bernapas untukku walaupun hanya diam sepanjang hari.""Baiklah Nyonya, saya turut mendoakan Tuan agar segera sadar dan bisa memimpin perusahaan ini lagi, tapi Nyonya ...." Bredy terdengar sedikit gelisah, dari intonasinya saja Maudy tahu jika asisten suaminya itu sedang menghadapi masalah yang pelik."Ada Bredy? Kenapa? Bisa langsung kau jelaskan?""Investor asing yang hendak bekerja sama dengan perusahaan mendadak menarik diri dan tidak jadi bergabung dengan perusahaan kita."Hati Maudy terasa tertumbuk. Sudah lebih dari dua bulan lamanya perusahaan suaminya berjalan tanpa pimpinan yang jelas. Ia hanya mempercayakan semuanya kepada Bredy."Bred, bisa tolong kau cari data terbaru mengenai Bimara Group dari orang dalam?"Belum selesai obrolan keduanya berjalan, tiba-tiba dari arah belakang, Maudy dipeluk oleh seseorang. Tak lupa seseorang itu memberikan kecupan di leher."Apa yang sedang kau bicarakan, Maudy? Bimara Group? Kenapa kau membawa-bawa nama perusahaanku?""Oh, hai Tuan ….”Kehadiran Bima di tengah pentingnya obrolan yang sedang Maudy lakukan dengan Bredy membuat dirinya mati kutu. Ia langsung mematikan panggilan dan mengalihkan perhatian Bima. Dengan perasaan yang campur aduk, Maudy tetap mencoba mengalihkan pembicaraan. “Kukira kau sudah kembali. Apa Tuan ingin segelas cocktail?"Bima segera menggeser posisi Maudy dan duduk di sebelahnya."Aku tanya apa yang sedang kau bicarakan dengan seseorang di telepon tadi? Jangan mengalihkan pembicaraan Maudy!""Ah itu .. saya hanya ingin memastikan jika perusahaan Tuan Bima memang terpercaya untuk dapat saya jadikan mitra," jawab Maudy dengan gugup. Ia tak tahu lagi harus menjawab apa kepada Bima."Apa maksudmu? Bukannya aku yang harus bertanya begitu? Memangnya, seberapa besar proyek yang kau tawarkan?" ucap Bima sambil tetap memandang lurus ke depan dengan wajah dingin.Maudy meringis menahan emosi Bima yang mendadak muncul. Ia tidak tahu jika perkataannya dapat membuat Bima menjadi semarah
“Siapa wanita itu?”Maudy menajamkan telinganya saat mendengar kalimat manja seorang wanita. Tidak lama, suara laki-laki yang Maudy tunggu kedatangannya sedari tadi terdengar. "Kenapa kembali secepat ini?" ‘Sial*an! Ke mana dia ketika aku memanggilnya?!’ Maudy menggerutu, tetapi masih mendengarkan percakapan dua orang di dalam kamar sana."Aku ini tunanganmu! Kenapa kau harus tanya seperti itu? Apa kau masih belum bisa mencintaiku?"Kalimat-kalimat yang diucapkan oleh si wanita membuat Maudy semakin jijik dengan Bima. Bagaimana bisa ia sudah bertunangan dan masih saja rakus untuk mendekati wanita lain?"Jelas aku masih belajar mencintaimu, Selly. Kau tahu kan, cinta pertamaku sudah mati sia-sia dan aku masih belum bisa melupakannya.""Selalu begitu jawabanmu! Bae ... aku kan lebih baik daripada wanita itu! Jelas-jelas aku lebih cantik!"Terdengar kekehan Bima yang hanya beberapa detik dan setelahnya suara itu digantikan oleh suara ciuman keduanya dan juga desahan yang berlarut cukup
‘Bima Anggara is calling ….’Sepanjang perjalanan, dering ponsel selalu menemaninya. Maudy sedikit kesal saat si brengsek itu berkali-kali mencoba menghubunginya.Ia berpikir untuk menghindari Bima dengan menonaktifkan ponselnya. Namun jarinya terhenti saat melihat pesan masuk dari Bima yang cukup mengagetkan.'Kenapa tidak menjawab teleponku? Kau mau kabur ke mana?' Hal itu membuat Maudy kaget dan tidak habis pikir. Ia setengah panik sambil terus memperhatikan sekitar, barangkali ada mata-mata yang mengikutinya sejak tadi."Karen .. apakah aku ketahuan? Kenapa si brengsek ini mengirimiku pesan seperti ini?"Si asisten akhirnya memberikan Maudy scarf untuk menutupi kepalanya. "Mungkin harus seperti ini dulu Nyonya, penampilan Nyonya sedikit terlalu mencolok." Karen berpikiran, rambut fuschia milik Maudy-lah yang membuat majikannya itu mudah sekali dikenali."Apa aku harus membalas pesannya?" tanya Maudy kepada Karen yang masih fokus mengemudikan mobil."Saya rasa Nyonya Maudy har
"Bi .. Bima?" Seketika ia menyesal setengah mati karena kebodohannya dengan terlalu menonjolkan diri. Laki-laki itu mengangguk santai, mengedik ke arah Maudy yang begitu shock melihatnya di Singapura. "Bagaimana kau bisa ada di sini, hm?"Maudy memikirkan banyak cara untuk menjawab pertanyaan Bima. Ia pun berpura-pura tidak terjadi hal apa pun selain hanya ingin pergi berlibur."Aku hanya ingin berlibur .. itu saja," pungkasnya singkat sambil berjalan keluar kafe diikuti oleh Bima."Lalu kenapa kau bisa berada di sini? Kau bukan sengaja mengikutiku kan, Tuan Bima?" Mata Maudy berusaha memberikan penekanan agar Bima tidak mencurigainya.Sayang sekali yang di hadapinya adalah Bima, manusia yang hampir tak memiliki perasaan itu."Kau terlalu percaya diri, Maudy.” Laki-laki itu terkekeh pelan sebelum melanjutkan kalimatnya.” Aku hanya mengikuti naluriku, dan voila … aku menemukanmu."Tanpa sadar keduanya telah berjalan menjauh dari keramaian. Maudy yang sadar ia telah terpancing ma
Tatapan intimidasi dari Bima itu cukup membuat Maudy panik. Ia bahkan tidak ingin rencananya gagal secepat ini.Dengan segera Maudy berusaha untuk memungut kertas itu lebih dulu. Ia seperti sedang berlomba dengan Bima yang terlihat akan mengambilnya juga."Bukan apa apa .. ini hanya surat dari salah satu brand langgananku," Maudy perlahan mulai meremas surat itu seperti sesuatu yang tak penting."Mereka memberiku voucher eksklusif," lanjutnya."Buang saja .. aku bisa membelikanmu apa pun. Kau mau apa? Chann*l, B*lgari, atau D*or? Katakan saja."Maudy menghempaskan napasnya lega. Ia tidak percaya jika Bima akan semudah itu percaya padanya."Oh bukan .. bukan begitu. Tapi ya .. ini tidak begitu penting juga. Omong-omong siapa wanita yang sangat kau kagumi itu?"Pertanyaan Maudy membuat Bima mendelik seketika. Sedari tadi laki-laki itu seperti sedang menahan diri untuk tidak bercerita lebih banyak. Namun wajah muramnya yang seperti matahari tenggelam itu lebih kentara dari apapun. Maudy
Maudy mematung seketika. Ia mendadak percaya jika Bima adalah seorang stalker handal. Bagaimana bisa ia selalu berada di tempat yang sama dengan Maudy?"Aku baru saja menjenguk temanku, lalu .. kenapa kamu ada di sini?" tanyanya sambil berjalan meninggalkan area depan ruangan suaminya. Maudy tidak boleh sampai ketahuan. Rencananya bisa hancur seketika jika laki-laki yang dibencinya ini tahu."Aku juga mengunjungi temanku, lalu ..."Belum selesai perkataan Bima, Maudy sudah berlalu dengan agak tergesa-gesa."Hey .. mau kemana? Tunggu aku!"Susah payah Maudy tetap mencoba untuk keluar dari are rumah sakit ini. Hal sekecil apa pun tidak boleh sampai ketahuan."Maaf aku sedang buru-buru untuk pulang.""Kau mau pulang ke Jakarta kan? Bagaimana kalau kamu pulang bersamaku?"Maudy melengos setengah kesal. Ia hampir tidak bisa menghindari Bima di manapun dirinya berada."Kau mau kabur lagi? Apa aku harus berbuat sesuatu untuk menghentikanmu? Akhir-akhir ini kamu terlihat mencurigakan."DEG.M
"Maaf Nyonya .. tapi ini berkaitan dengan posisi saya di hotel ini, jadi saya ....""Tolong saya Tuan Ankara.. saya bisa menjamin keamanan Anda. Saya mohon..."Tak ada cara lain yang bisa Maudy lakukan selain memohon kepada si manajer. Ia tahu jika dahulunya Tuan Ankara telah menjalin hubungan yang baik dengan suaminya."Baiklah ..."Suara Tuan Ankara seperti oase bagi Maudy. Kedua tangan mungilnya menggenggam tangan Tuan Ankara dan mengucapkan terima kasih.Ia sangat bersyukur bahwa Tuan Ankara merupakan rekan baik suaminya. Namun Maudy lebih bersyukur jika kasus kecelakaan suaminya terungkap dan Bima dijebloskan masuk ke penjara. Itu saja.Sehabis menemui manajer Hotel Raffles, Maudy memutuskan untuk melihat lokasi kejadian kecelakaan suaminya, Arga. Sebuah ruangan VVIP yang biasanta hanya disewakan untuk acara-acara penting pejabat.Terlihat dari pintunya yang mewah bergaya klasik dan warna-warna kontras emas yang digunakan telah menambah kemegahan ruangan itu.Satu langkah kakinya
BRUK.Bima yang sempoyongan langsung terjatuh. Maudy dapat mencium dari baunya jika Bima sangat mabuk dan hampir tidak sadarkan diri.'Merepotkan saja!'Dengan susah payah ia berusaha mengangkat badan Bima ke atas sofa ruang tamunya. Entah apa yang ada dipikirannya, Maudy hanya ingin melihat Bima hancur namun ia juga tidak ingin Bima datang kepadanya seperti ini."Sialan! Semuanya sialan! Awas kau Arga! Aku akan mencarimu dan membuatmu tidak akan pernah bangun lagi! Selamanya!" teriak Bima secara tiba-tiba.Maudy sudah mengepalkan tangannya, bersiap untuk menghabisi laki-laki brengs*k ini. Namun lagi-lagi akal sehatnya kembali. Ia tidak boleh bertindak gegabah.Maudy merapatkan posisinya di sebelah Bima. Menggenggam tangannya untuk memperlihatkan jika ia peduli. Walaupun dalam hatinya tentu saja berbanding seratus delapan puluh derajat."Arga? Siapa dia?"Bima bergumam tak jelas mengatakan apa. Dia justru menarik badan Maudy agar berada di pelukannya."Dia manusia brengs*k! Bukan .. di
Bredy langsung bergegas menyembunyikan dirinya di balik pilar-pilar besar gedung perusahaan itu. Dirinya bersembunyi dari Bima dan juga istrinya yang berurutan melewatinya keluar dari gedung perusahaan."Apa yang sebenarnya terjadi? Apa aku melewatkan sesuatu? Lalu hal apa yang tidak aku ketahui selama ini?" gumam Bredy sambil terus berpikir keras, "apa Nyonya Maudy menyembunyikan sesuatu yang tidak aku ketahui? Karen pun?" lanjutnya.Sambil terus menerka, Bredy melanjutkan perjalanannya menuju tempat tujuan pertamanya hari ini. Di balik dirinya terdapat banyak pertanyaan yang belum menemukan jawaban dan ia sadar harus segera menemukan jawaban itu secepatnya.**Suasana rumah kala itu seperti sedang berada di dua dunia yang berbeda. Baik itu Maudy maupun Arga, keduanya kini membawa suasananya masing-masing. Keduanya sibuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang selama ini membebani jiwanya."Si brengs*k itu bilang jika ada perempuan yang memiliki tahi lalat di perutnya dan Mau
Maudy tak bisa berkomentar apa-apa lagi. Dirinya sudah terlempar ke dalam kebingungannya sendiri."Ayo pulang."Ajakan dari suaminya hanya bisa ia setujui tanpa mengucap apa pun.Begitu juga saat sampai di rumah. Maudy terus diam tanpa bisa mengucap apa-apa.Tanpa disangka, Arga datang dari belakang dan langsung memeluk dirinya.Maudy merasakan tepat di samping telinganya, suaminya membisikkan sesuatu, "maafkan aku sayang, aku benar-benar hanya terlalu antusias. Aku janji tidak akan mengulanginya lagi, kau juga tak perlu khawatir. Dia tak mengatakan ancaman apa pun padaku."Maudy tahu betul jika perkataan suaminya hanya kebohongan yang dimaksudkan untuk menenangkan hatinya. Namun tetap saja jika dirinya terus merasa khawatir."Baiklah aku mengerti .. maafkan aku juga karena telah membatasi pergerakanmu. Aku hanya takut hal buruk akan menimpamu lagi sayang."Keduanya berpelukan dengan hangat. Namun tiba-tiba saja Maudy merasa jika dadanya kembali sesak, jantungnya berdebar tak menentu,
"Apa-apaan ruangan ini, bahkan masih sama seperti terakhir kali aku ke sini, tidak berubah sama sekali," batin laki-laki itu setelah memasuki ruang tunggu VIP untuk tamu perusahaan.Beberapa detik kemudian si laki-laki itu berjalan-jalan berkeliling ke seluruh bagian ruangan itu. Pada salah satu dinding terdapat foto masa kecil sang CEO, Arga bersama dengan teman masa kecil yang tak lain adalah si laki-laki itu sendiri."Ternyata kau masih menganggap aku sebagai temanmu? Hebat betul si sial*n ini!" gumam si laki-laki sambil setengah memukul tembok.**Mobil mewah yang dikendarai Bredy akhirnya sampai di gedung Argawica. Sambil mempersilakan sang CEO turun dari mobil dan memasuki gedungnya sendiri, Bredy melihat ke sekeliling untuk berjaga-jaga jika ada sesuatu yang menurutnya mencurigakan."Silakan turun Tuan," ucap Bredy.Keduanya masuk beriringan menuju gedung megah Argawica Group itu.Arga berjalan sambil mengamati sekeliling. Terlihat jika Arga baru memahami kenapa orang-orang ker
Sudah lebih dari satu jam Maudy hanya mondar-mamdir di dalam ruang kerjanya. Setelah menyuruh suaminya agar tetap diam di rumah, Maudy tiba-tiba kepikiran sesuatu. Bagaimana jika si brengs*k itu datang menemui suaminya tanpa ia ketahui?Di tengah kebingungannya, ia dikejutkan oleh Karen yang tiba-tiba masuk tanpa permisi. Terlihat jelas wajah paniknya saat masuk ke dalam ruang kerja Maudy."Nyonya .. begini .. jadi ..," Karen menghentikan kalimatnya, mencoba untuk menenangkan dirinya lebih dulu."Ada apa Karen? Apa yang terjadi? Tenangkan dirimu lebih dulu, baru kau mulai bicara ya?"Karen mengangguk, namun Maudy tetap dapat merasakan kepanikan di wajah asistennya itu."Oke .. bisa kau jelaskan sekarang? Apa yang terjadi?"Sambil sesekali memegang dan meremas ujung bajunya, Karen akhirnya mengatakan sesuatu yang tidak Maudy duga, "Nyonya Maudy .. sekarang perusahaan kita sedang gawat, nilai saham turun dan para calon investor sepenuhnya tidak akan melanjutkan investasi ke perusahaan k
Maudy memasang wajah setenang mungkin walaupun di dalam dirinya jelas sangat panik dan gelisah."Tidak sayang .. aku tidak tahu itu bunga dari siapa .. karena bisa saja itu orang iseng," ucap Maudy berusaha sedantai mungkin.Sedangkan Arga yang percaya dengan Maudy langsung membuang bouquet itu ke dalam tempat sampah.Sambil mengikuti langkah suaminya masuk ke dalam rumah, Maudy diam-diam mengambil amplop yang ada di antara selipan bunga-bunga pada bouquet itu."Apa kau mau makan? Aku akan membuatkanmu makanan yang enak."Maudy melihat suaminya hanya menggeleng sambil berkata, "tidak usah sayang .. lagipula kau kan pasti lelah. Aku mau mempersiapkan diri untuk mulai bekerja besok. Kau juga istirahat saja."Maudy menelan ludah. Perasaan gelisah tidak dapat membohongi dirinya.Alih-alih melakukan sesuatu yang konyol guna meyakinkan suaminya agar percaya kepadanya, Maudy lebih memilih untuk diam dan tidak terlalu memikirkan hal itu.Di sisi lain, hal yang tidak diketahui oleh Maudy sedan
Kepanikan Maudy semakin menjadi-jadi saat suaminya tiba-tiba berteriak seperti orang yang sangat ketakutan."Sayang tenangkan dirimu .. jangan takut ya? Aku ada di sini bersamamu."Dipeluknya tubuh gemetar suaminya dengan penuh kehangatan. Maudy bahkan merasakan detak jantung suaminya yang berdetak sangat cepat seperti sedang melakukan lomba lari."Tenangkan dirimu, ada aku di sini .. kau tak perlu takut ya?"Dalam kungkungan Maudy perlahan tangan Arga dengan cepat menunjuk ke arah jendela, "aku tidak mau ada benda itu di ruangan ini! Ayo kita pulang saja!" teriaknya.Maudy tidak ingin kegaduhan yang terjadi di dalam kamarnya sampai diketahui oleh orang lain. Salah satu cara yang harus ia lakukan adalah dengan membungkam suaminya agar percaya jika dirinya aman bersama Maudy.CUP.Sebuah kecupan ringan mendarat di bibir Arga. Perlahan kepanikan suaminya itu mereda.Maudy menatap kedua bola mata suaminya yang juga sedang menatapnya dengan sayu.Kecupan ringan itu merupakan obat untuk ke
Gedung setinggi belasan lantai itu sudah di depan mata. Dengan sedikit tergopoh, Maudy menghentikan mobilnya di parkiran hotel dan mengeluarkan beberapa atribut."Sayang .. untuk apa topi dan masker ini?" tanya suaminya yang mulai menaruh tanda tanya karena tingkah aneh Maudy.Sambil memasangkan topi dan masker untuk suaminya, Maudy menjelaskan jika dirinya hanya ingin keamanan karena kesadaran suaminya belum boleh diketahui oleh media, "ini semua demi keamanan kita sayang .. semua orang tidak ada yang boleh mengetahui keberadaan kita.""Memangnya kenapa? Apakah aku pernah membuat kesalahan yang tidak aku ingat?"Maudy menggelengkan kepalanya, mencoba meyakinkan suaminya untuk percaya padanya.Keduanya akhirnya memasuki lobby hotel dan melakukan reservasi.Dalam pandangan Maudy, suaminya belum menunjukan tingkah laku yang aneh seperti sedang mengingat sesuatu.Ia pun tetap membawa suaminya untuk bermalam di kamar mewah dekat dengan tempat kejadian kecelakaan suaminya yang sampai saat
Setelah mengatakannya, perasaan dan emosi Maudy semakin berkecamuk. Ia merasakan desakan kata-kata yang pampat hanya sampai pada tenggorokannya.Cukup sulit mengatakannya begitu saja, terlebih hal itu bukanlah sesuatu yang sepele dan merupakan satu masalah terbesar di hidupnya."Apa saya boleh mengetahui apa itu masalahnya?" tanya dokter Luna.Maudy tampak ragu, ia berkali-kali membuka dan mengatupkan mulutnya kembali.Dengan ragu-ragu dan berat hati akhirnya Maudy mengatakannya, "saya telah melakukan sesuatu hal besar dengan gegabah dan sekarang suami saya pasti akan membenci saya."Sang dokter menggenggam tangan Maudy yang dingin karena gugup. Dokter itu sangat memahami Maudy dibanding keluarga Maudy sendiri. Bahkan sang dokter pun pernah hampir menjadi orang tua angkat untuk Maudy."Tenang saja Nona Maudy .. Anda itu perempuan yang hebat. Saya tahu bahwa Anda tidak akan melakukan tindakan besar kecuali dengan alasan yang kuat bukan?"Maudy mengangguk, segala kegetiran, kekhawatiran
"Ah tidak .. tadi hanya orang iseng saja," ucap Maudy sambil berusaha untuk terus menutupi, "kenapa belum tidur sayang?" lanjutnya sambil mencoba mengalihkan pembicaraan.Arga menggeleng pelan sambil berdecak. Ia berjalan dengan sedikit kesulitan menyeret satu kakinya yang belum sembuh betul itu, "aku mendengarnya .. suara laki-laki."Dada Maudy langsung terasa sesak, kepanikannya muncul kembali.Setengah gagap, ia mencoba untuk menjawab kecurigaan suaminya, "ti- tidak .. bukan! Aku tidak berbicara dengan laki-laki seperti yang kau kira .. barusan aku hanya ..."CUP.Dikecupnya bibir Maudy agar berhenti mengatakan sesuatu yang lain.Maudy tahu jika suaminya sudah marah, maka akan sangat sulit untuk memadamkannya."Jangan berbohong .. aku kira kau benar-benar hanya mencintaiku kan?""Ya memang benar .. aku hanya takut kau salah paham mengenai orang-orang yang sering berinteraksi denganku, terlebih jika orang itu laki-laki." Kedua tangan Maudy menggantung di leher suaminya, menatap mata