#Pura_Pura_Rebahan
Part 2 : Umpatan Suamiku
Pukul 17.00, terdengar suara motor Mas Nizar di depan rumah, segera kusimpan ponsel baruku ke dalam sarung bantal lalu kembali rebahan dengan sambil mengawasi dua putriku yang sedang bermain boneka.
"S1al! Anji**!!" Terdengar umpatan khas suamiku saat ia masuk ke dalam rumah.
"Anak-anak, main bonekanya di kamar saja!" suruhku kepada Naffa dan Aisha, dua putriku yang sedang berumur 4 dan 3 tahun.
"Iya, Ma," jawab keduanya serempak sembari berlarian masuk ke dalam kamar.
Kutepikan bantal lusuh yang sarungnya sudah berubah warna menjadi kecoklatan karena tak pernah kucuci, biar yang lihat pada jijik sebelum menyentuhnya sebab isinya di dalamnya bisa bikin iler menetes.
Aku segera ke dapur dan memanaskan makanan yang kuempetkan di lemari bawah agar terhindar dari tatapan Mbak Mona, kakak iparku yang tinggal di sebelah rumah, yang selalu meminta semua lauk-pauk dengan dalih tak sempat masak soalnya dia pedagang online yang selalu sibuk, begitu katanya.
"Bedeb**, set**!!!" Pria berwajah mirip Salman Khan itu duduk di depan meja makan dengan tampang masam.
"Kenapa, Mas?" tanyaku dengan sambil meletakkan kopi di hadapannya.
Tanpa menjawab pertanyaanku, Mas Nizar langsung menyeruput kopinya dengan tanpa meniupnya lagi.
"Aggghh ... Anji**, bab*!!! Kenapa nggak bilang sih, Set**, kalau kopinya panas?" umpat kesal dengan sambil menyemburkan kopi dari mulutnya.
Aku sudah tak heran lagi dengan segala macam sumpah serapahnya itu, aku sudah kebal. Ia selalu melakukan ini jika sedang kesal.
"Mana pernah aku bikin kopi dingin, Mas, kamu 'kan sukanya emang kopi panas," jawabku pelan.
"Aku ini sedang kesal, Viona!" jawabnya dengan sambil mengambil nasi ke piringnya.
Aku hanya diam.
"Sudah di kantor aku dapat surat teguran, eh ... Pas tadi di depan malah dicegat Mama dan Kak Mona," ujar Mas Nizar dengan mulutnya yang kini sudah penuh nasi.
"Oh, ya?" Aku pura-pura merespon curhatannya.
"Mama mau minta uang buat bayar arisan, 'kan gil* kalau yang harus bayarin arisannya tiap bulannya itu aku! Kak Mona juga, selalu minta uang buat modal bisnis onlinenya sama aku, kan gil* aku terus yang memodalinya!!!" ujar Mas Nizar dengan kesal.
"Kasih ajalah, Mas, 'kan kasihan," jawabku dengan nada lembut.
"Emang kamu nggak apa-apa kalau uang gajiku bulan ini aku kasih Ibu dan Kak Mona?"
"Nggak apa-apa sih."
"Emang stokan uang belanjamu masih ada?"
"Alhamdulillah, stokan kesabaranku masih selalu full, Mas," jawab dengan mengelus dada, berpura-pura jadi istri ala udang terbang.
"Aagghh ... Kamu ini!" Dia melengos kesal lalu menyudahi makannya dan tak lupa mengebrak meja dengan kesal.
Aku hanya menahan senyum.
"Coba kamu itu kerja, Vio, seperti wanita karir begitu, 'kan gaji kita bisa double dan nggak cuma ngandalin aku aja!" Dia menatapku kesal.
"Aku cuma tamatan SMP, palingan cuma bisa jadi tukang cuci aja, Mas, mending jadi kaum rebahan aja deh, biar bisa ngurusin anak-anak," jawabku pelan.
"Rebahan melulu yang ada di kepalamu itu!" ketusnya sambil berlalu dari dapur.
Aku hanya tersenyum tipis sambil mengemaskan piring kotor bekas makanannya. Hanya di dunia haluku saja, aku bisa mengkhayal punya suami baik hati, romantis, penyayang serta kaya sebab suamiku jauh dari standar suami idaman tapi disyukuri saja, sebab dia sudah memberiku dua putri yang cantik.
Kami menikah tanpa cinta waktu itu, dikarenakan hutang ayahku kepada almarhum papa mertua yang kala itu berprofesi sebagai rentenir. Ayahku yang suka berjudi dan menumpuk hutang menjadikan aku sebagai barang jaminan, yang lalu dinikahi Mas Nizar yang kala itu baru selesai kuliah, sedang aku baru kelas XI SMA. Mas Nizar berumur 23 tahun, sedang aku kala itu berumur 17 tahun. Aku harus putus sekolah dan menikah dengan pria yang memiliki dua wajah, dengan keluarga dan teman-temannya dia bersikap sangat baik, sedang denganku kasarnya minta ampun.
***
Setelah Mas Nizar berangkat ke kantor, segera kumandikan dua putriku lalu menyuapi mereka makan. Kukeluarkan mainan dan menyuruh mereka bermain berdua.
Aku segera rebahan dengan sambil menatap layar ponsel dan bersiap menuangkan ide lewat cerita yang akan kuposting di dua aplikasi menulis. Cukup lama aku memikirkan cara untuk mencari uang tanpa modal dan hanya berbekal kehaluan saja, hanya menjadi seorang penulis jalan satu-satunya.
Menjadi penulis itu tidaklah mudah, apalagi bagiku yang hanya sekolah sampai kelas XI SMA saja yang pas selama pelajaran bahasa indonesia hanya suka curi-curi untuk makan kuaci dan jarang menyimak penjelasan guru. Awal bergabung di grup kepenulisan di f*, aku hanya menjadi penyimak selama dua bulan, hingga pada akhirnya memberanikan diri membuat tulisan juga.
Gaya kepenulisanku sangat hancur kala itu dan sempat mendapat bully dari para mastah di grup kepenulisan di f* itu. Sempat nangis berhari-hari di bilik termenung, sebab kalau nangis di depan suamiku takkan berani, bisa-bisa dimaki dengan segala jenis hewan yang ada di kebun binatang. Akan tetapi, aku tak putus asa karena kehaluanku ini harus tetap dituangkan. Hingga pada akhirnya aku sekolah lagi di Mbah goegle, belajar tata kepenulisan yang baik dan benar.
Setahun bergabung di dunia literasi, ilmuku semakin bertambah, apalagi semenjak memindahkan tulisanku ke aplikasi, itulah jalan rezeki yang dikirim Tuhan kepada kaum rebahan yang kalau menginginkan selembar daster saja harus menabung lima ribu rupiah sehari selama 2-3 bulan, tapi kini apa saja bisa kubeli dengan saldo yang kini ada puluhan juta sebagai royalti menulis selama empat bulan terakhir ini, yang kalau tak kubelikan ke ponsel dan perhiasan, jumlahnya sudah ratusan juta.
"Samuel Ataya" itulah nama penaku di f* dengan foto profil cowok ganteng. Bukan tanpa alasan aku begini, karena tak ada yang boleh tahu identitasku sebenarnya sebagai penulis. Fansku para emak-emak berdaster sebab mereka mengira aku cowok ganteng, tak masalah bagiku sebab tugas seorang penulis itu adalah menghibur lewat tulisan.
Jarang membalas komentar para readers, itulah trik untuk benaran dikira ganteng karena para emak-emak berdaster suka cowok yang cool, begitulah menurutku.
[Bang, bolehkah aku berpura-pura jadi pacarmu?]
Sebuah chat masuk lewat messanger, dengan foto profil gadis cantik. Adududuuu ... gubrak, hidupku memang penuh kepura-puraan. Ya udah, nggak usah dibalas saja, lanjut rebahan sambil menghalu jadi wanita kaya dengan tujuh pembantu lagi.
Bersambung ....
#Pura_Pura_RebahanPart 3 : Menghalu Sambil RebahanMenjelang siang, aku sudah selesai mengerjakan pekerjaan rumah juga menyuapi dua putriku makan. Sebelum menghalu, sholat zuhur dulu biar makin tamvan, eh! Aku memukul pelan bibir sexi ini, karena berpura-pura jadi cowok tampan di fb, aku jadi terbawa-bawa ke dunia nyata istilah itu. Abang Tamvan, itulah gelaran para fansku yang dari golongan emak-emak berdater itu. Aku sih enjoy aja mau dipanggil apa aja, asalkan mereka tetap menyukai cerita yang kubuat dengan tema-tema ringan itu.Beberapa judul cerbungku yang mendapat like ribuan yaitu Suamiku Pelit Na’adzubillah, Ibu Mertuaku Masyaallah, Ipar Tukang Minta, Tetangga Istimewa, Resiko Orang Tampan, Istri Ke-7 Ceo Tampan. Nah, dua judul terakhir itu yang paling laris, likenya 10k membuatku jungkir-balik kesenangan dan pas aku pindahin ke aplikasi, yang buka gembok sehari bisa 1k. Uwoww ... banget ‘kan, dari dua cerbung terakhir itulah para readers menganggapku benaran tampan. Bukan ma
#Pura_Pura_RebahanPart 4 : Ponsel Bu RTDengan menahan debaran di dada, aku masuk ke dalam rumah. Anak-anak langsung kusuruh masuk ke kamarnya, agar tak mendengar umpat-umpatan yang akan keluar dari mulut papanya yang saat pasti tanduk dan taringnya sudah keluar pastinya. Eh, ini bukan cerita fantasi tapi cerita komedi. Pletakkk ... aku menampar pelan kedua pipi, berharap suamiku itu berubah menjadi pangeran peyayang yang tak punya urat marah.“Hmm ... Mas, ini ponsel Bu RT yang ketinggalan waktu dia numpang bobo siang di sini,” ujarku dengan sambil meraih ponsel itu.Syukurlah ... hartaku hasil menghalu masih tergeletak di atas bantal ajaib ini, aku memeluknya dengan gugup karena mata Mas Nizar menatapku tajam, setajam belati buat bunuh diri, eh!“Bu RT ... mau rebahan di atas bantal bau jigong begitu?!” Pria berkulit sawo matang memicing matanya, menatapku tak percaya.“Iya, Mas, karena bau jigong itu ... makanya dia bisa sampai ketinggalan hape, ya udah aku mau balikin ponsel Bu R
#Pura_Pura_RebahanPart 5 : Memanjakan Diri“Bu, ini uang untuk bayar bill makanan, aku tunggu di taxi, ya!” ujarku kepada Desi, baby sitters sewaanku seraya memalingkan pandangan dari pria yang sudah bangkit dari kursinya dan kini sudah melangkah ke arah kami.Desi menganggukkan kepala, dengan cepat aku langsung menggendong Aisha dan menggandeng tangan Naffa untuk menuju pintu keluar, sebelum Mas Nizar alias Tuan Kreb membongkar penyamaranku. Aku gagal jadi artis, karena belum bisa berakting di depan dia. Sesekali, aku menoleh ke belakang dan terlihat Mas Nizar menabrak waiters yang sedang membawa minuman, dan dia kerepotan dengan kemejanya yang basah. Aku bersyukur dalam hati karena mendapatkan kesempatan untuk menghilang.Dengan napas yang ngos-ngosan, aku masuk ke dalam taxi yang sudah kusewa untuk seharian ini. Duh, kok bisa satu restoran begini sih, untung saja makanan kami sudah habis, kalau nggak ‘kan bisa mubajir, mana jarang-jarang suka bisa makan mewah begini. Kalo ngarapin
#Pura_Pura_RebahanPart 6 : Kakak Ipar Ajaib“Viooo ... kok di atas meja makan kosong melompong begini sih?” teriak Mas Nizar dari arah dapur.Aku segera beranjak menuju dapur, dengan daster bolong-bolong yang terasa semakin enak untuk dipakai dari pada pakaian mewah tadi saat aku berperan jadi Vaulina, lebih enak jadi Viona Si Kang Rebahan sekalian kang halu.“Apa, Mas?” tanyaku lemah lembut saat melihat wajahnya yang terlihat merah padam.“Aku mau makan malam tapi kok nggak ada makanan begini?” Matanya membelalak seakan siap menelanku hidup-hidup.“Maaf, Mas, berasnya habis dan kamu juga nggak ada ngasih uang belanja tadi pagi,” jawabku berpura-pura menjadi istri yang lemah ala sinetron chanel udang terbang.“Terus ... kamu dan anak-anak makan apa? Kamu nggak sengaja memang mau bikin aku kelaparan ‘kan?” Nada bicaranya masih meninggi.“Aku dan anak-anak makan nasi bekas tadi malam, dibikin nasi goreng, ‘kan kata Mas makan sisa makanan yang ada dulu karena Mas tak ada uang kecil buat
#Pura_Pura_RebahanPart 7 : Ide Gila Tuan Kreb‘Braaakk!!!’Terdengar suara pintu terbuka lalu ditutup dengan sangat keras, alias dibanting. Aku hanya melengos dan sudah tahu pelakunya itu, siapa lagi kalau bukan suamiku, Si Tuan Kreb alias Muhammad Nizar Iskandar, SE. Aku yang sedang rebahan di depan televisi tetap anteng saja dengan menatap sinetron chanel udang terbang, dua putriku sedang bermain boneka di kamar.“Sia1!!! Otak udang!” umpatnya sambil berlalu melewatiku yang sedang berpura-pura konsentrasi dengan tontonanku.“Vio, kopiku mana?!” teriaknya dari arah dapur.Aku bergegas bangkit dan menghampirinya yang sedang duduk di depan meja makan. Mataku langsung menyisir meja sebab kopi milik Mas Nizar sudah kusiapkan sejak dari lima menit yang lalu, dari sebelum ia nyampai rumah.“Itu, ada di depan, Mas,” ujarku dengan menunjuk gelas kopi di hadapannya.Untung saja aku ini sedang berperan jadi istri sok baik, andai berperan jadi istri bar-bar ... mungkin sudah kuguyur dia dengan
#Pura_Pura_RebahanPart 8 : Pura-Pura NgambekSudah dua hari sejak Mas Nizar mengutarakan keinginannya untuk nikah lagi demi menguasai uang gaji si manager janda itu, aku tak mau menyapanya. Setiap dia pulang kerja, aku selalu masuk kamar, walau kopi dan makanan tetap kusiapkan untuknya. Aku lagi pura-pura ngambek ini, pengen dibujuk ama Si Tuan Kreb.‘Drrttt’Ponsel jadul itu bergetar, ada sebuah sms yang masuk. Ya elah, hari gini masih aja smsan, padahal udah jamannya WhatsApp, dasar suami pelit padahal dia aja punya ponsel bagus, masa dia nggak mau beliin aku ponsel yang layak? Aku melengos kesal, walau sebenarnya aku juga udah punya ponsel baru yang lebih mahal dan bagus dari punyanya.[Viona, maafkan aku. Keluarlah dari kamar, ada sesuatu yang mau kubicarakan denganmu!]Itulah isi sms dari Si Tuan Kreb.[Apa?]Kubalas pesannya walau tanpa pulsa, biar saja beban sms ini akan dibayarkan oleh pulsanya.[Aku minta maaf, yang kemarin cuma kalau kamu setuju saja. Jangan marah lagi, bai
#Pura_Pura_RebahanPart 9 : Tunggakan Cicilan BankSetelah ponsel jadulku lowbet karena terus menelepon Mas Nizar tapi tak juga disambut, kaki ini kesemutan karena kelamaan berdiri, tubuh bentolan karena digerogoti nyamuk ganjen, Aisha tertidur di gendongan, sedang Naffa tertidur tengkurap di atas motor, barulah Mas Nizar keluar dari pintu restoran itu. Wajahnya terlihat sangat letih dengan keringatan bercucuran, seperti habis lari marathon saja.“Mas, ke mana aja sih kamu?” todongku dengan wajah perang, sambil garukan bentolan di sana-sini akibat serangan wabah nyamuk.Mas Nizar hanya melengos kesal dengan sambil menggendong Naffa, putri sulung kami, lalu menyuruhku naik ke motor duluan dan setelah itu mendudukan Naffa di depanku, dia langsung naik dengan memelukkan tangan Naffa ke pinggangnya. Suamiku mulai memacu motor menuju arah pulang.Sepanjang perjalanan, aku hampir sesak napas karena aroma tak sedap yang keluar dari tubuh suamiku itu, ih ... bau sekali.“Mas, kamu ngapain tad
#Pura_Pura_RebahanPart 10 : Ancaman Mertua“Jadi, kamu tetap tidak mau memberikan Mbakmu pinjaman?” Mama mertua melotot.Aku tak jadi beranjak karena kakiku terjepit kakinya Mas Nizar, mau tak mau, aku akan menyaksikan perang anak-beranak ini. Kalau kubuat cerbung, judul yang tepat apa, ya? Aku mengerutkan dahi dengan memutar otak, mencari judul yang unik agar mendapat banyak like jika diposing di grup kbm fb. Ya elah, isi kepalaku ini halu semuanya. Pletak!“Maaf, Ma, Mbak Mona ... aku tak bisa memberikan pinjaman segitu banyak sebab aku juga sedang tak punya punya uang, baru juga seminggu yang lalu dirampok dua juta ama kalian,” lirih suamiku.“Oh, jadi begitu?! Main hitung-hitungan kamu sekarang, Zar?! Ingat, ya, kalau bukan karena Mama nggak nikahin kamu dengan Viona, kamu itu akan jadi bujang lapuk karena tak ada yang mau dengan kamu yang hanya lelaki kuper dan pelit! Viona ini seharga dua puluh juta senilai dengan hutang ayahnya. Kalau dinominalkan ke angka sekarang, mungkin ak
Pura-pura RebahanBab 36 : TamatEh, panggilan videoku langsung tersambung padanya dan tampaklah si oppa dari layar pipih di tanganku. Aku beranjak dari tempat tidur lalu membuka pintu dan melangkah ke ruang tengah, soalnya takut anak-anak terbangun karena suara berisik teman kolab yang kini sudah menjadi teman main film.“Hay, Tante .... “ sapanya dengan selalu tebar senyum.Zidan terlihat sedang berbaring di tempat tidur, dan sendirian saja, tak ada siapa pun di sampingnya.“Ada kejutan apa besok? Jangan suka ngerjain, ya!” ujarku sambil duduk di atas kasur bulu depan tv.“Siapa juga yang mau ngerjain? Suka su’udzon aja nih tante-tante!” ejaknya.“Enaknya gue dibilang tante-tante, kalau dilihat dari umur ... masih mudaan elu om dari gue,” jawabku dengan mengerucutkan bibir.“Oh, ya?” Dia menahan senyum.“Iya!”“Besok aku minta fotocopy ktpnya deh biar percaya.” Dia menahan tawa.“Buat apaan? Jangan aneh-aneh deh, Om. Kasih tahu gak, besok itu ada apa? Apa Pak Mahmud mau ngontrak kit
#Pura_Pura_RebahanPart 35 : Ajakan Rujuk“Nggak usah repot-repot, Mas, aku bisa kok menjaga Aisha. Tadi aku cuma panik aja, mau bawa dia sendiri ke rumah sakit, repot juga .... “ ujarku saat dia beranjak ke ruang tengah dan sok akrab dengan Naffa yang sedang menonton acara kartun di tv.“Ya sudah kalau gitu,” jawabnya dengan raut wajah yang berubah muram.Aku beranjak menuju dapur, lalu mulai memasak makanan untuk makan malam. Yang simple-simple saja, yang mudah dimasak dan nggak repot yaitu bikin sup dengan dicampur bulatan bakso, gitu aja soalnya Naffa suka. Kalau aku mah, apa aja dimakan, sandal jepit disaosin juga ludes.Aisha menolak untuk makan, dia hanya meminta mimik susu saja, sedangkan Naffa kini sedang makan dengan papanya di dapur sana. Mas Nizar kok pulang-pulang juga, ya? Sok baik banget dia. ***Pukul 20.00, Naffa sudah kusuruh untuk tidur di samping adiknya yang sudah terlelap sejak tadi, mungkin karena habis minum obat dia jadi selalu mengantuk. Mas Nizar masih terl
#Pura_Pura_RebahanPart 34 : Undangan dari MantanRutinitas super sibuk pun dimulai, aku harus berlatih sungguh-sungguh agar aktingku tak banyak mengulang dan lancar sebab sudah seminggu ini aku menjalani syuting film perdana. Ternyata jadi artis itu capek, gaes, enakan aja rebahan sambil menghalu.Bu Desi sudah kukontrak selama sebulan menjadi pengasuh juga asisten rumah tangga karena anak-anak sudah akrab dengannya dan aku percaya dengannya. Dia juga menerima pekerjaan itu dengan senang hati.Yang bikin tak tenang itu, kini setiap waktu aku selalu bersama Zidan dan beradegan mesra karena kami sedang berakting jadi suami istri. Berat godaannya, gaes, kalo nggak karena aku mau jadi artis, aku nggak akan kuat selalu bersama dan baper sepanjang waktu. Mana dia makin sok perhatian lagi, ‘kan jadi bikin ngenes karena pastinya aku cuma di-php doang soalnya doi udah punya Maemunah, eh istrinya bernama Maemunah. Isshh ... bibit pelakor seakan mulai berakar saja. Ups!“Tante, ayo makan dulu.
#Pura_Pura_RebahanPart 33 : Artis Dadakan[Selamat siang Mas Zidan, kami sudah melakukan casting kepada beberapa calon pemeran film kita, tapi kayaknya belum ketemu juga karakter yang cocok untuk pemeran Hana dan Alwinya. Gimana kalau Mas Zidan dan Mbak Viona saja yang memerankan tokoh ini? Soalnya ‘kan kalian penulis cerita ini, jadi pasti mendalami sekali karakternya.]Zidan mengirimkan sebuah chat yang ia teruskan kepadaku.[Itu chat dari Pak Mahmud, Penerbit sekaligus produser Cahaya Media. Gimana, menurutmu, Tan?]Aku melongo dan membaca chat itu hingga sepuluh kali, maklum, otakku yang hanya tamatan SMP ini agak lemot untuk memahami sesuatu yang kaya makna seperti ini. Melihat chatnya hanya kubaca tanpa dibalas, eh Si Oppa malah video call. Duh, bikin hidup tak tenang aja nih orang. Mana tampangku sedang kusut lagi soalnya baru bangun tidur siang.Rencananya cuma mau ngelon Aisha dan Naffa saja, tahunya aku yang malah tidur sedang kedua bocil itu meninggalkanku untuk main di ru
#Pura_Pura_RebahanPart 32 : Klarifikasi Samuel Ataya[Tante, sore nanti kita diundang ke salah satu acara di stasiun televisi. Mereka ingin berbincang-bincang tentang Novel kita yang sudah laku 2000 eksemplar hanya dalam kurun waktu satu bulan, serta tentang film yang diangkat dari novel kita yang akan tayang bulan Juli mendatang.]Sebuah chat dari Zidan kembali menyejukan hati sekaligus mendebarkan juga. Ya Tuhan, Viona Adella akan masuk tv, duh ... jadi berdebar-debar deh. Debarannya lebih keras saat sedang di dekatnya. Isshh ... aku benci perasaan ini. Aku bukan janda gatel, ya, gaes, tapi janda kaya, amin.Belum sempat membalas chat, dia malah menelepon. ‘Kan, nih oppa yang tak hentinya tebar pesona. Nggak tahu aja dia, kalau teman kolabnya ini lemah iman jika di dekatnya. Aku ‘kan nggak mau jadi pelakor.“Assalammualaikum, Tante.” Suara gantengnya kembali terdengar di layar pipih ini.“Waalaikumsalam. Ada apa?” tanyaku pura-pura bego.“Udah baca chat aku ‘kan? Acaranya pukul 16.
#Pura_Pura_RebahanPart 31 : Segera DifilmkanHingga sore, Mas Nizar belum datang juga untuk mengembalikan anak-anak. Chatku juga hanya ia baca tanpa dibalas, ditelepon pun tak diangkat. Apa maksudnya, coba? Dia takkan mengambil Naffa dan Aisha ‘kan? Hati jadi bimbang. Sebenarnya waktu di saat anak-anak sedang tak ada begini, bisa kumanfaatkan untuk menulis tapi aku malah tak bisa berpikir dengan santai dalam keadaan resah begini. Mood nulis juga ambyar sebelum dua putriku kembali ke rumah.Taklama kemudian, terdengar deru mobil di depan rumah dan aku langsung berlari menuju pintu lalu membukanya. Terlihatlah sebuah mobil merah di depan sana dengan seorang wanita yang turun dengan menggandeng dua putriku. Aku langsung melangkah turun dan mengambil Naffa dan Aisha darinya.“Mas mana Nizar mana? Kok bukan dia yang mengantar anak-anak pulang?” tanyaku kepada wanita dengan tubuh ideal namun berwajah tua itu.“Mas Nizar sedang sibuk, maaf ya,” jawabnya dengan senyum ramah.“Bilang Mas Niza
#Pura_Pura_RebahanPart 30 : Oppa MeresahkanPonsel di tanganku berdering, mau tak mau aktifitas menari-nari ala penari balet ini terhenti mesti dua putriku masih tetap berputar-putar dengan sambil berpegangan tangan. Eh, ini Zidan. Kulihat nama teman kolabku itu terpampang di depan layarnya. Aku duduk di sofa dengan untuk mengontrol pernapasan yang kini jadi ngos-ngosan.“Hmm ... Assalammualaikum,” ucapku. “Waalaikumsalam. Tante kok nggak balas chat sih?” Terdengar suara gantengnya dari benda pipih yang kutempelkan ke telinga.“Ini baru mau balas,” jawabku dengan masih berbunga-bunga, membayangkan sebentar lagi bakalan bisa meluk Zidan, eh bukan! Meluk karya sendiri alias novel cetak perdanaku, walau bikinnya kolab ma dia.“Tante bisa ‘kan? Nanti pukul 15.30 aku jemput, anak-anak dibawa saja. Oke, Tante?”“Oke, Om, siap!” jawabku bersemangat.“Ya sudah kalau gitu, sampai jumpa nanti sore. Assalammualaikum .... “ Suaranya terdengar makin ganteng aja.“Waalaikumsalam.” Aku mengakhiri
#Pura_Pura_RebahanPart 29 : Kontrak Novel Kolaborasi“Tante, rumahnya di sini sekarang?” tanya pria berjas hitam itu, dia masih suka sok akrab saja dan seolah-olah aku ini udah tante-tante saja padahal masih muda gini. Kalau dipakaikan seragam SMA, aku bakalan terlihat sebagai anak sekolahan malah.“Hay, Om-om .... “ Naffa malah melambaikan tangannya kepada pria berwajah ala oppa itu.“Hay!” Dia makin sok akrab saat putri tertuaku itu menyapanya.Naffa dan Aisha terus berputar-putar dengan sepedanya di halaman rumah, aku mengerucutkan bibir sembari menghampiri dia, sang teman kolab alias oppa alias Zidan Rizaldi.“Hay, Tante, makin cakep aja. Nggak terasa, kita udah lama nggak ketemu dan pas ketemu ... Eh, malah satu kompleks begini,” ujarnya lagi.“Jadi, rumah kamu di sekitar sini juga?” Aku menatapnya sinis.“Iya, rumah paling ujung. Ayok, main-main ke rumah!” Dia semakin sok ramah.“Hmm ... entar dikira pelakor oleh istrimu pula kalo gue ke rumah lo bawa anak-anak.” Aku memutar bo
#Pura_Pura_RebahanPart 28 : Masing-masing Satu JutaAku segera pulang ke rumah sebab tak mau meninggalkan Naffa dan Aisha terlalu lama, walau sudah ada Bu Desi yang menjaganya. Di kepalaku masih saja terbayang Mas Nizar dan wanita ini. Tega sekali dia, dada terasa nyeri. Semua ini sungguh mengganggu mood dalam menulis, walau cintaku terhadapnya tak terlalu dalam tapi aku tetap sakit hati karena dia mencampakkan kami hanya karena wanita kaya itu. Kuhembuskan napas kasar dan berusaha menenangkan diri. Aku dan anak-anak akan baik-baik saja tanpamu, Tuan Crab. Kusapu buliran air mata yang kembali berjatuhan. Ayolah Vio, berhentilah menjadi sosok lebay, kembalilah menjadi wanita jenaka yang akan segera melupakan segala permasalahan dan mengukir senyum di wajah. Aku mensugesti diri. Kutatap dua putriku yang sedang tertidur di kamar, aku tak apa menjadi janda, tapi aku kasihan dengan kedua putriku akan kehilangan papanya. Mama janji, kalian takkan kekurangan kasih sayang walau nanti hanya