#Pura_Pura_Rebahan
Part 4 : Ponsel Bu RT
Dengan menahan debaran di dada, aku masuk ke dalam rumah. Anak-anak langsung kusuruh masuk ke kamarnya, agar tak mendengar umpat-umpatan yang akan keluar dari mulut papanya yang saat pasti tanduk dan taringnya sudah keluar pastinya. Eh, ini bukan cerita fantasi tapi cerita komedi. Pletakkk ... aku menampar pelan kedua pipi, berharap suamiku itu berubah menjadi pangeran peyayang yang tak punya urat marah.
“Hmm ... Mas, ini ponsel Bu RT yang ketinggalan waktu dia numpang bobo siang di sini,” ujarku dengan sambil meraih ponsel itu.
Syukurlah ... hartaku hasil menghalu masih tergeletak di atas bantal ajaib ini, aku memeluknya dengan gugup karena mata Mas Nizar menatapku tajam, setajam belati buat bunuh diri, eh!
“Bu RT ... mau rebahan di atas bantal bau jigong begitu?!” Pria berkulit sawo matang memicing matanya, menatapku tak percaya.
“Iya, Mas, karena bau jigong itu ... makanya dia bisa sampai ketinggalan hape, ya udah aku mau balikin ponsel Bu RT dulu, takutnya Pak RT nelepon.” Aku langsung berlari menuju pintu dan berharap Mas Nizar tak mengejarku dari belakang.
Aku menoleh ke belakang dan melihat Mas Nizar berdiri di depan pintu dengan berkacak pinggang, aduh ... gimana ini? Mau tak mau, aku melangkah juga menuju rumah Bu RT yang bersebelahan dengan rumah Tyas, yang sama-sama berhadapan dengan rumahku.
Bu RT yang baru datang dengan motornya menatapku dengan matanya yang selalu melotot dan bibirnya agak sexy dua cm. Aku kembali menoleh ke belakang, Mas Nizar masih menatapku tajam. Aku menelan ludah lalu mendekat ke arah Bu RT.
“Ngapain, Vio? Berubah pikiran pengen beli parfum kamu?” tanyanya dengan garang.
“Hmm ... iya .... “ jawabku gugup, sambil garuk-garuk pantat karena cd terasa terselit di antara benua antartika.
“Nah, gitu dong, ini baru tetangga yang baik.” Dia langsung menggandengku masuk ke dalam rumahnya.
Aku berusaha memutar otak, memikirkan cara mengatasi masalah ini.
“Kamu mau beli yang mana, Vio?” Bu RT sudah menyusun puluhan botol minyak wangi di hadapanku.
“Boleh saya minta minum dulu, Bu RT?” tanyaku dengan keringat dingin karena takut Mas Nizar malah menyusul ke sini.
Dengan tersenyum penuh keramahan, Bu RT masuk ke dalam. Secepat kilat, aku menarik uang seratus ribu yang kuselitkan di belakang case hp, lalu menyelitkan ponselku ke sela pinggang, agar Mas Nizar dan Bu RT tak melihatnya. Ahhaa ... kepintaran Viona Adella memang tak tertandingi walau SMA aja nggak tamat. 'Pletakkk!!'
Sepuluh menit kemudian.
Dengan melangkah perlahan, aku masuk ke rumah, Mas Nizar melirikku dari ekor matanya, ia sedang menonton televisi sambil rebahan.
“Udah dibalikin ponselnya?” tanyanya dengan nada yang selalu garang.
Aku mengangguk.
“Itu kamu bawa apa?” tanyanya dengan sambil duduk.
“Ini ... dikasih Bu RT parfum, buat kamu ajalah, Mas. Aku sih yang kerjaannya cuma rebahan, nggak perlu parfum,” ujarku sambil memberikan parfum itu ke tangannya, lalu meraih bantal saktiku yang ada di pojokan dan memeluknya dengan kasih sayang.
“Ganti tuh sarung bantal, bikin mual tahu gak?!” ketusnya dengan sambil mengamati parfum dari Bu RT lalu menyemprotkannya ke baju.
Aku hanya melengos, lalu masuk ke dalam kamar dan menguncinya. Kemudian mengeluarkan ponselku dan memasukkannya kembali ke dalam sarung bantal. Untung aja Mas Nizar jijik ama nih bantal, ada untungnya juga, kalau nggak, bisa melayang nih ponsel mahal yang selama ini hanya bisa kuimpikan saja.
***
“Mas, uang belanja mana?” Aku menadahkan tangan saat pria berkemeja biru itu selesai sarapan.
“Hmm ... aku nggak ada uang kecil, hari ini masak apa yang ada dulu deh,” jawabnya dengan wajah yang selalu terlihat masam dan berlalu dari dapur.
Aku mengerucutkan bibir, malas memprotesnya. Palingan juga dia yang bakal kelaparan pas pulang kerja nanti. Oke, Viona istri yang baik akan selalu menuruti perintah dasri suaminya. Kaum rebahan mah bisa apa? Hiks ... aku menahan tawa. Mas Nizar, yang kalau dilihat dari wajah, tampan sih menurutku tapi pelitnya minta ampun, persis Tuan Kreb di film Spongebob, kartun kesukaan dua putriku. Lima tahun menikah, aku tak pernah tahu berapa jumlah gajinya sebulan di kantor itu, aku juga tak tahu dia kerja di kantor mana sebab dia tak pernah bercerita, palingan cuma membentak dan memaki saja.
Hmm ... memikirkan Mas Nizar takkan ada habisnya, lebih baik mengurusi anak-anak dulu, menghalu dan siangnya ajak anak-anak jalan ke luar, makan di restoran, kasian uangku di dalam sarung bantal itu kalo nggak dibelanjakan, mereka akan menangis dan teriak-teriak.
Pukul 11.30, aku sudah menulis dua bab cerita lalu mempostingnya. Kali ini ceritaku agak menurun likenya dan banyak disumpah readers karena kebanyakan gembok, harus tetap posting sebab rezeki mah Allah yang mengatur, yang penting tetap semangat dan optimis. Ini jalan rezekiku, maka aku harus berusaha untuk tetap menulis. Senyum dan senyum, tim emak-emak berdaster tetap mendukungku dengan gombalan-gombalannya.
Dari rumah, aku dan anak-anak sengaja berpakaian biasa saja biar Mama mertua dan Mbak Mona tak menaruh curiga. Dengan sambil menjinjing kresek hitam yang isinya uang juga perhiasan, aku naik ke angkot.
Setengah jam kemudian, aku dan dua putriku sudah turun di depan rumah kost yang di dalam salah satu kamarya adalah kamar sewaanku. Di dalam lemarinya, ada beberapa pakaianku juga anak-anak jika ingin jalan-jalan keluar. Segera aku berganti pakaian, lalu berdandan secantik mungkin. Kini emak-emak berdaster bolong-bolong kini sudah berubah menjadi wanita muda yang cantik bak artis ibu kota, mirip artis di sinetron udang terbang. Anak-anakku kini juga sudah menjelma menjadi dua putri cantik.
Kuraih ponsel dan menghubungi baby sitters yang bisa disewa perhari, untuk menemaniku jalan-jalan keluar. Aku kembali ke depan cermin lalu memasang kaca mata juga masker, agar tak ada yang mengenaliku. Hmm ... dari dandanan glamorku ini sih, kayaknya Mas Nizar pun takkan bisa mengenali, sebab wajahku banyak berubah dengan memakai wig berwarna cokelat dengan panjangnya hampir mengepel pinggang, juga soplens berwarna biru persis mata meong.
Satu jam kemudian, aku dan dua putriku juga baby sitters yang usianya 40 tahun itu dengan dandanan glamor pula sebab aku ingin orang yang melihat kami bukanlah sebagai pasangan majikan dan bawahan, sedang menikmati makanan enak ala restoran. Aku yang katrok, seraya sedang di surga saja dengan makanan mewah begini.
Akan tetapi, dari arah meja sebelah pojok kanan, terlihat sepasang mata sedang menatap kami dengan tajam. Oh, no! Itu Si Tuan Kreb alias Mas Nizar, suami yang mulutnya berisi aneka jenis penghuni kebun bintang.
Tenang, tenang! Santai, santai! Saat di luar begini, aku harus bisa bersikap berpura-pura tak mengenalnya, berpura-pura cantik dan berpura-pura menjadi orang lain. Berpura-pura jadi cowok tampan di f* saja aku bisa, maka berpura-pura jadi gadis kaya raya aku juga harus bisa.
Bersambung ....
#Pura_Pura_RebahanPart 5 : Memanjakan Diri“Bu, ini uang untuk bayar bill makanan, aku tunggu di taxi, ya!” ujarku kepada Desi, baby sitters sewaanku seraya memalingkan pandangan dari pria yang sudah bangkit dari kursinya dan kini sudah melangkah ke arah kami.Desi menganggukkan kepala, dengan cepat aku langsung menggendong Aisha dan menggandeng tangan Naffa untuk menuju pintu keluar, sebelum Mas Nizar alias Tuan Kreb membongkar penyamaranku. Aku gagal jadi artis, karena belum bisa berakting di depan dia. Sesekali, aku menoleh ke belakang dan terlihat Mas Nizar menabrak waiters yang sedang membawa minuman, dan dia kerepotan dengan kemejanya yang basah. Aku bersyukur dalam hati karena mendapatkan kesempatan untuk menghilang.Dengan napas yang ngos-ngosan, aku masuk ke dalam taxi yang sudah kusewa untuk seharian ini. Duh, kok bisa satu restoran begini sih, untung saja makanan kami sudah habis, kalau nggak ‘kan bisa mubajir, mana jarang-jarang suka bisa makan mewah begini. Kalo ngarapin
#Pura_Pura_RebahanPart 6 : Kakak Ipar Ajaib“Viooo ... kok di atas meja makan kosong melompong begini sih?” teriak Mas Nizar dari arah dapur.Aku segera beranjak menuju dapur, dengan daster bolong-bolong yang terasa semakin enak untuk dipakai dari pada pakaian mewah tadi saat aku berperan jadi Vaulina, lebih enak jadi Viona Si Kang Rebahan sekalian kang halu.“Apa, Mas?” tanyaku lemah lembut saat melihat wajahnya yang terlihat merah padam.“Aku mau makan malam tapi kok nggak ada makanan begini?” Matanya membelalak seakan siap menelanku hidup-hidup.“Maaf, Mas, berasnya habis dan kamu juga nggak ada ngasih uang belanja tadi pagi,” jawabku berpura-pura menjadi istri yang lemah ala sinetron chanel udang terbang.“Terus ... kamu dan anak-anak makan apa? Kamu nggak sengaja memang mau bikin aku kelaparan ‘kan?” Nada bicaranya masih meninggi.“Aku dan anak-anak makan nasi bekas tadi malam, dibikin nasi goreng, ‘kan kata Mas makan sisa makanan yang ada dulu karena Mas tak ada uang kecil buat
#Pura_Pura_RebahanPart 7 : Ide Gila Tuan Kreb‘Braaakk!!!’Terdengar suara pintu terbuka lalu ditutup dengan sangat keras, alias dibanting. Aku hanya melengos dan sudah tahu pelakunya itu, siapa lagi kalau bukan suamiku, Si Tuan Kreb alias Muhammad Nizar Iskandar, SE. Aku yang sedang rebahan di depan televisi tetap anteng saja dengan menatap sinetron chanel udang terbang, dua putriku sedang bermain boneka di kamar.“Sia1!!! Otak udang!” umpatnya sambil berlalu melewatiku yang sedang berpura-pura konsentrasi dengan tontonanku.“Vio, kopiku mana?!” teriaknya dari arah dapur.Aku bergegas bangkit dan menghampirinya yang sedang duduk di depan meja makan. Mataku langsung menyisir meja sebab kopi milik Mas Nizar sudah kusiapkan sejak dari lima menit yang lalu, dari sebelum ia nyampai rumah.“Itu, ada di depan, Mas,” ujarku dengan menunjuk gelas kopi di hadapannya.Untung saja aku ini sedang berperan jadi istri sok baik, andai berperan jadi istri bar-bar ... mungkin sudah kuguyur dia dengan
#Pura_Pura_RebahanPart 8 : Pura-Pura NgambekSudah dua hari sejak Mas Nizar mengutarakan keinginannya untuk nikah lagi demi menguasai uang gaji si manager janda itu, aku tak mau menyapanya. Setiap dia pulang kerja, aku selalu masuk kamar, walau kopi dan makanan tetap kusiapkan untuknya. Aku lagi pura-pura ngambek ini, pengen dibujuk ama Si Tuan Kreb.‘Drrttt’Ponsel jadul itu bergetar, ada sebuah sms yang masuk. Ya elah, hari gini masih aja smsan, padahal udah jamannya WhatsApp, dasar suami pelit padahal dia aja punya ponsel bagus, masa dia nggak mau beliin aku ponsel yang layak? Aku melengos kesal, walau sebenarnya aku juga udah punya ponsel baru yang lebih mahal dan bagus dari punyanya.[Viona, maafkan aku. Keluarlah dari kamar, ada sesuatu yang mau kubicarakan denganmu!]Itulah isi sms dari Si Tuan Kreb.[Apa?]Kubalas pesannya walau tanpa pulsa, biar saja beban sms ini akan dibayarkan oleh pulsanya.[Aku minta maaf, yang kemarin cuma kalau kamu setuju saja. Jangan marah lagi, bai
#Pura_Pura_RebahanPart 9 : Tunggakan Cicilan BankSetelah ponsel jadulku lowbet karena terus menelepon Mas Nizar tapi tak juga disambut, kaki ini kesemutan karena kelamaan berdiri, tubuh bentolan karena digerogoti nyamuk ganjen, Aisha tertidur di gendongan, sedang Naffa tertidur tengkurap di atas motor, barulah Mas Nizar keluar dari pintu restoran itu. Wajahnya terlihat sangat letih dengan keringatan bercucuran, seperti habis lari marathon saja.“Mas, ke mana aja sih kamu?” todongku dengan wajah perang, sambil garukan bentolan di sana-sini akibat serangan wabah nyamuk.Mas Nizar hanya melengos kesal dengan sambil menggendong Naffa, putri sulung kami, lalu menyuruhku naik ke motor duluan dan setelah itu mendudukan Naffa di depanku, dia langsung naik dengan memelukkan tangan Naffa ke pinggangnya. Suamiku mulai memacu motor menuju arah pulang.Sepanjang perjalanan, aku hampir sesak napas karena aroma tak sedap yang keluar dari tubuh suamiku itu, ih ... bau sekali.“Mas, kamu ngapain tad
#Pura_Pura_RebahanPart 10 : Ancaman Mertua“Jadi, kamu tetap tidak mau memberikan Mbakmu pinjaman?” Mama mertua melotot.Aku tak jadi beranjak karena kakiku terjepit kakinya Mas Nizar, mau tak mau, aku akan menyaksikan perang anak-beranak ini. Kalau kubuat cerbung, judul yang tepat apa, ya? Aku mengerutkan dahi dengan memutar otak, mencari judul yang unik agar mendapat banyak like jika diposing di grup kbm fb. Ya elah, isi kepalaku ini halu semuanya. Pletak!“Maaf, Ma, Mbak Mona ... aku tak bisa memberikan pinjaman segitu banyak sebab aku juga sedang tak punya punya uang, baru juga seminggu yang lalu dirampok dua juta ama kalian,” lirih suamiku.“Oh, jadi begitu?! Main hitung-hitungan kamu sekarang, Zar?! Ingat, ya, kalau bukan karena Mama nggak nikahin kamu dengan Viona, kamu itu akan jadi bujang lapuk karena tak ada yang mau dengan kamu yang hanya lelaki kuper dan pelit! Viona ini seharga dua puluh juta senilai dengan hutang ayahnya. Kalau dinominalkan ke angka sekarang, mungkin ak
#Pura_Pura_RebahanPart 11 : Memilih DuitHingga pukul 09.00, belum terdengar juga suara deru motor Mas Nizar. Apa ia libur hari ini? Kok nggak ke kantor, ya? Aku jadi bertanya-tanya, cemilan satu kantong plastik juga sudah ledes kueksekusi bersama dua bocil. Inilah untungnya menyembunyikan aneka cemilan di bawah ranjang biar kalo pas lapar dan tak mau keluar kamar, jadi nggak mati kelaparan.“Ma, Kakak mau pipis,” rengek Naffa, putri sulungku.Aku segera mengemasi bekas bungkus snack dan memasukkannya ke dalam kantong plastik, lalu membuka pintu kamar dan mengajak kedua putriku untuk ke dapur. Terlihat olehku, Si Tuan Crab alias Muhammad Nizar Iskandar bin Alm. Iskandar Malik itu sedang terbaring di sofa ruang tamu dengan meletakkan lengannya di atas dahi.Aku tetap menuju dapur, mengantar dua putriku untuk pipis juga sekalian mandi. Setelah itu membuat sarapan untuk kami, bikin nasi goreng dan telor mata sapi karena kedua putriku ini sukanya lauk telor saja.Setelah sarapan selesai
#Pura_Pura_RebahanPart 12 : Teman KolabSegera kututup mesanger, sebaiknya pura-pura nggak tahu saja. Dia pasti Cuma orang rese sebab tak ada satu pun teman atau fans dunia maya yang mengetahui jati diriku sebenarnya. Oke, Vio, kamu harus tenang. Tarik napas dari hidung dan hembuskan dari pantat, eh!“Ih, Mama kok kentut sih!” protes Naffa dengan menutup hidung dan menjauh dariku.Aku hanya nyengir menatap putri sulungku yang kini sudah pandai mengomel melihat kelakuan gak ada akhlak mamanya. Ah, dia sudah semakin besar, tahun depan udah lima tahun dan akan masuk sekolah TK. Sehat terus anak-anakku, kita akan bisa tetap hidup kok walau tanpa papa kalian, doain saja halu mamamu ini tak ada putusnya, isyallah rezeki akan selalu datang jika mau berusaha. Terkadang aku ini bisa bijak loh, rada error semenjak jadi istri Si Taun Crab saja soalnya kebanyakan makan umpatan dia.Setelah menyuapi kedua putriku makan siang, kini saatnya menghalu dengan bebas. Ide di kepalaku ini sudah menari-na
Pura-pura RebahanBab 36 : TamatEh, panggilan videoku langsung tersambung padanya dan tampaklah si oppa dari layar pipih di tanganku. Aku beranjak dari tempat tidur lalu membuka pintu dan melangkah ke ruang tengah, soalnya takut anak-anak terbangun karena suara berisik teman kolab yang kini sudah menjadi teman main film.“Hay, Tante .... “ sapanya dengan selalu tebar senyum.Zidan terlihat sedang berbaring di tempat tidur, dan sendirian saja, tak ada siapa pun di sampingnya.“Ada kejutan apa besok? Jangan suka ngerjain, ya!” ujarku sambil duduk di atas kasur bulu depan tv.“Siapa juga yang mau ngerjain? Suka su’udzon aja nih tante-tante!” ejaknya.“Enaknya gue dibilang tante-tante, kalau dilihat dari umur ... masih mudaan elu om dari gue,” jawabku dengan mengerucutkan bibir.“Oh, ya?” Dia menahan senyum.“Iya!”“Besok aku minta fotocopy ktpnya deh biar percaya.” Dia menahan tawa.“Buat apaan? Jangan aneh-aneh deh, Om. Kasih tahu gak, besok itu ada apa? Apa Pak Mahmud mau ngontrak kit
#Pura_Pura_RebahanPart 35 : Ajakan Rujuk“Nggak usah repot-repot, Mas, aku bisa kok menjaga Aisha. Tadi aku cuma panik aja, mau bawa dia sendiri ke rumah sakit, repot juga .... “ ujarku saat dia beranjak ke ruang tengah dan sok akrab dengan Naffa yang sedang menonton acara kartun di tv.“Ya sudah kalau gitu,” jawabnya dengan raut wajah yang berubah muram.Aku beranjak menuju dapur, lalu mulai memasak makanan untuk makan malam. Yang simple-simple saja, yang mudah dimasak dan nggak repot yaitu bikin sup dengan dicampur bulatan bakso, gitu aja soalnya Naffa suka. Kalau aku mah, apa aja dimakan, sandal jepit disaosin juga ludes.Aisha menolak untuk makan, dia hanya meminta mimik susu saja, sedangkan Naffa kini sedang makan dengan papanya di dapur sana. Mas Nizar kok pulang-pulang juga, ya? Sok baik banget dia. ***Pukul 20.00, Naffa sudah kusuruh untuk tidur di samping adiknya yang sudah terlelap sejak tadi, mungkin karena habis minum obat dia jadi selalu mengantuk. Mas Nizar masih terl
#Pura_Pura_RebahanPart 34 : Undangan dari MantanRutinitas super sibuk pun dimulai, aku harus berlatih sungguh-sungguh agar aktingku tak banyak mengulang dan lancar sebab sudah seminggu ini aku menjalani syuting film perdana. Ternyata jadi artis itu capek, gaes, enakan aja rebahan sambil menghalu.Bu Desi sudah kukontrak selama sebulan menjadi pengasuh juga asisten rumah tangga karena anak-anak sudah akrab dengannya dan aku percaya dengannya. Dia juga menerima pekerjaan itu dengan senang hati.Yang bikin tak tenang itu, kini setiap waktu aku selalu bersama Zidan dan beradegan mesra karena kami sedang berakting jadi suami istri. Berat godaannya, gaes, kalo nggak karena aku mau jadi artis, aku nggak akan kuat selalu bersama dan baper sepanjang waktu. Mana dia makin sok perhatian lagi, ‘kan jadi bikin ngenes karena pastinya aku cuma di-php doang soalnya doi udah punya Maemunah, eh istrinya bernama Maemunah. Isshh ... bibit pelakor seakan mulai berakar saja. Ups!“Tante, ayo makan dulu.
#Pura_Pura_RebahanPart 33 : Artis Dadakan[Selamat siang Mas Zidan, kami sudah melakukan casting kepada beberapa calon pemeran film kita, tapi kayaknya belum ketemu juga karakter yang cocok untuk pemeran Hana dan Alwinya. Gimana kalau Mas Zidan dan Mbak Viona saja yang memerankan tokoh ini? Soalnya ‘kan kalian penulis cerita ini, jadi pasti mendalami sekali karakternya.]Zidan mengirimkan sebuah chat yang ia teruskan kepadaku.[Itu chat dari Pak Mahmud, Penerbit sekaligus produser Cahaya Media. Gimana, menurutmu, Tan?]Aku melongo dan membaca chat itu hingga sepuluh kali, maklum, otakku yang hanya tamatan SMP ini agak lemot untuk memahami sesuatu yang kaya makna seperti ini. Melihat chatnya hanya kubaca tanpa dibalas, eh Si Oppa malah video call. Duh, bikin hidup tak tenang aja nih orang. Mana tampangku sedang kusut lagi soalnya baru bangun tidur siang.Rencananya cuma mau ngelon Aisha dan Naffa saja, tahunya aku yang malah tidur sedang kedua bocil itu meninggalkanku untuk main di ru
#Pura_Pura_RebahanPart 32 : Klarifikasi Samuel Ataya[Tante, sore nanti kita diundang ke salah satu acara di stasiun televisi. Mereka ingin berbincang-bincang tentang Novel kita yang sudah laku 2000 eksemplar hanya dalam kurun waktu satu bulan, serta tentang film yang diangkat dari novel kita yang akan tayang bulan Juli mendatang.]Sebuah chat dari Zidan kembali menyejukan hati sekaligus mendebarkan juga. Ya Tuhan, Viona Adella akan masuk tv, duh ... jadi berdebar-debar deh. Debarannya lebih keras saat sedang di dekatnya. Isshh ... aku benci perasaan ini. Aku bukan janda gatel, ya, gaes, tapi janda kaya, amin.Belum sempat membalas chat, dia malah menelepon. ‘Kan, nih oppa yang tak hentinya tebar pesona. Nggak tahu aja dia, kalau teman kolabnya ini lemah iman jika di dekatnya. Aku ‘kan nggak mau jadi pelakor.“Assalammualaikum, Tante.” Suara gantengnya kembali terdengar di layar pipih ini.“Waalaikumsalam. Ada apa?” tanyaku pura-pura bego.“Udah baca chat aku ‘kan? Acaranya pukul 16.
#Pura_Pura_RebahanPart 31 : Segera DifilmkanHingga sore, Mas Nizar belum datang juga untuk mengembalikan anak-anak. Chatku juga hanya ia baca tanpa dibalas, ditelepon pun tak diangkat. Apa maksudnya, coba? Dia takkan mengambil Naffa dan Aisha ‘kan? Hati jadi bimbang. Sebenarnya waktu di saat anak-anak sedang tak ada begini, bisa kumanfaatkan untuk menulis tapi aku malah tak bisa berpikir dengan santai dalam keadaan resah begini. Mood nulis juga ambyar sebelum dua putriku kembali ke rumah.Taklama kemudian, terdengar deru mobil di depan rumah dan aku langsung berlari menuju pintu lalu membukanya. Terlihatlah sebuah mobil merah di depan sana dengan seorang wanita yang turun dengan menggandeng dua putriku. Aku langsung melangkah turun dan mengambil Naffa dan Aisha darinya.“Mas mana Nizar mana? Kok bukan dia yang mengantar anak-anak pulang?” tanyaku kepada wanita dengan tubuh ideal namun berwajah tua itu.“Mas Nizar sedang sibuk, maaf ya,” jawabnya dengan senyum ramah.“Bilang Mas Niza
#Pura_Pura_RebahanPart 30 : Oppa MeresahkanPonsel di tanganku berdering, mau tak mau aktifitas menari-nari ala penari balet ini terhenti mesti dua putriku masih tetap berputar-putar dengan sambil berpegangan tangan. Eh, ini Zidan. Kulihat nama teman kolabku itu terpampang di depan layarnya. Aku duduk di sofa dengan untuk mengontrol pernapasan yang kini jadi ngos-ngosan.“Hmm ... Assalammualaikum,” ucapku. “Waalaikumsalam. Tante kok nggak balas chat sih?” Terdengar suara gantengnya dari benda pipih yang kutempelkan ke telinga.“Ini baru mau balas,” jawabku dengan masih berbunga-bunga, membayangkan sebentar lagi bakalan bisa meluk Zidan, eh bukan! Meluk karya sendiri alias novel cetak perdanaku, walau bikinnya kolab ma dia.“Tante bisa ‘kan? Nanti pukul 15.30 aku jemput, anak-anak dibawa saja. Oke, Tante?”“Oke, Om, siap!” jawabku bersemangat.“Ya sudah kalau gitu, sampai jumpa nanti sore. Assalammualaikum .... “ Suaranya terdengar makin ganteng aja.“Waalaikumsalam.” Aku mengakhiri
#Pura_Pura_RebahanPart 29 : Kontrak Novel Kolaborasi“Tante, rumahnya di sini sekarang?” tanya pria berjas hitam itu, dia masih suka sok akrab saja dan seolah-olah aku ini udah tante-tante saja padahal masih muda gini. Kalau dipakaikan seragam SMA, aku bakalan terlihat sebagai anak sekolahan malah.“Hay, Om-om .... “ Naffa malah melambaikan tangannya kepada pria berwajah ala oppa itu.“Hay!” Dia makin sok akrab saat putri tertuaku itu menyapanya.Naffa dan Aisha terus berputar-putar dengan sepedanya di halaman rumah, aku mengerucutkan bibir sembari menghampiri dia, sang teman kolab alias oppa alias Zidan Rizaldi.“Hay, Tante, makin cakep aja. Nggak terasa, kita udah lama nggak ketemu dan pas ketemu ... Eh, malah satu kompleks begini,” ujarnya lagi.“Jadi, rumah kamu di sekitar sini juga?” Aku menatapnya sinis.“Iya, rumah paling ujung. Ayok, main-main ke rumah!” Dia semakin sok ramah.“Hmm ... entar dikira pelakor oleh istrimu pula kalo gue ke rumah lo bawa anak-anak.” Aku memutar bo
#Pura_Pura_RebahanPart 28 : Masing-masing Satu JutaAku segera pulang ke rumah sebab tak mau meninggalkan Naffa dan Aisha terlalu lama, walau sudah ada Bu Desi yang menjaganya. Di kepalaku masih saja terbayang Mas Nizar dan wanita ini. Tega sekali dia, dada terasa nyeri. Semua ini sungguh mengganggu mood dalam menulis, walau cintaku terhadapnya tak terlalu dalam tapi aku tetap sakit hati karena dia mencampakkan kami hanya karena wanita kaya itu. Kuhembuskan napas kasar dan berusaha menenangkan diri. Aku dan anak-anak akan baik-baik saja tanpamu, Tuan Crab. Kusapu buliran air mata yang kembali berjatuhan. Ayolah Vio, berhentilah menjadi sosok lebay, kembalilah menjadi wanita jenaka yang akan segera melupakan segala permasalahan dan mengukir senyum di wajah. Aku mensugesti diri. Kutatap dua putriku yang sedang tertidur di kamar, aku tak apa menjadi janda, tapi aku kasihan dengan kedua putriku akan kehilangan papanya. Mama janji, kalian takkan kekurangan kasih sayang walau nanti hanya