"Ah, sorry Kama, aku harus pulang sekarang. Yogyakarta bukan sedekat Medan kalau dari sini. Aku harus mengejar waktu." Seika menghempaskan kedua tangan Kama yang memegangi pundaknya. Membuka pintu mobil, menyeret tubuhnya masuk, duduk di belakang setir. Dia sudah menyewa mobil itu untuk satu minggu lamanya. Bagi Seika, perjalanan pulang pergi Medan - Kaloy benar-benar menguras tenaga. Jiwa dan raga. "El, El!" menyadari kenekatan Seika, Kama meminta kesempatan untuk berbicara. "Satu menit, El. Please …?" "OK. Apa?" Seika menutup kaca pintu mobil hingga setengah. "Sekarang kamu boleh mengembalikan perhiasan ini tapi aku yakin suatu hari nanti pasti kembali kepadamu lagi!" Satu menit telah berlalu, sesegera mungkin Seika menutup rapat-rapat kaca pintu mobil. Membukanya kembali, melongokkan kepala ke luar. Menumpahkan seluruh perasaan bersalah di wajah, tersenyum sedih. "Atas nama Papa, aku minta maaf, Kama. Karena Papa tidak merestui kita, beginilah akibat yang harus kita dapatka
Alih-alih menanggapi semua perkataan Leon yang baginya drama, Seika memutuskan sambungan telepon secara sepihak. Tak sampai tiga detik berikutnya, dia sudah menghubungi William, voice call. Seika lupa kalau kakak sepupunya itu sedang berada di Belanda, menyelesaikan beberapa proyek yang mangkrak selama ditinggal di Indonesia. Artinya, di sana masih jam empat pagi, karena ini musim semi. Selisih waktunya lima jam lebih dulu Indonesia. "Sorry, William!" dengan sedikit perasaan bersalah, Seika bergumam lirih. "Aduh, apa sih yang penting dan spesial itu? Ugh, aku nggak pernah nyangka kalau ternyata Leon bisa seusil itu!" Tut, tut, tuuuttt! Jurus andalan, menghubungi Welas. Siapa lagi? Bibi sudah terlalu tua untuk dia libatkan dalam setiap masalah yang ada. Masih bisa memang, karena Bibi orangnya sportif. Semangat hidupnya juga luar biasa. Tapi Seika sudah mulai belajar memilah dan memilih, tidak perlu sedikit-sedikit melibatkannya. Belajar dewasa juga. Karena tidak diangkat, Seika
Menyisir kota Medan. Itulah yang akhirnya dilakukan oleh Kama. Dia merasa bagaimanapun juga, Seika seperti ini karena masalah dengannya yang tak kunjung usai. Jadi, harus memastikan bahwa Seika dalam keadaan selamat, sehat dan baik-baik saja. Tak kurang satu apa pun juga. Kalaupun tidak bisa membicarakan masalah itu, setidaknya dia tahu, Seika tidak dalam bahaya. Itu intinya. Ya, walaupun harus menunda kepulangan ke Yogyakarta sampai benar-benar menemukan Seika, sih. Tidak masalah selama kandungan Siti Hapsari belum mengirimkan alarm kehamilan. "Kamu Kama, kan?" sapaan yang lebih pantas disebut dengan teguran itu sungguh mengejutkan, membuat Kama sedikit geragapan. "Ya, saya Kama." mantan supir Real Publishing itu berusaha agar tetap tenang. Jangan sampai terlihat seperti meraba dalam kegelapan. "Maaf, Anda siapa, ya?" Penuh percaya diri, Leon mengulurkan tangan. "Saya Leon, Leonardo. Calon suami Seika Eline." Dug! Sejelas itu degup jantung kama mendengar pengakuan Leon. Bagai
"Ha, apa?" batin Kama tak kalah terkejut dari yang tadi. "Jadi, El juga mencariku? Oh, benarkah itu?" Melihat Kama bergeming, seakan-akan terekat kuat di trotoar, Seika tak tinggal diam. Jangan sampai menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Dia tak yakin kalau setelah ini masih akan bertemu dengannya lagi. To the point dia menceritakan semua yang terjadi dengan jujur dan apa adanya. Mulai semenjak meninggalkan Kaloy, sampai beberapa menit yang lalu, sebelum akhirnya menemukan Kama di sini. "Aku serius Kama, seperti itulah kejadiannya." Seika menyedekapkan tangan, membiarkan rambut panjang pirangnya yang tergerai bebas, dimain-mainkan oleh angin malam. "Ya, sebenarnya aku pun bingung. Kadang-kadang juga takut. Jujur, aku tak bisa pergi dari kamu, Kama. Ya, walaupun tahu kalau kamu sudah menikah. Sudah mau punya anak, hahahaha …!" Kama tertawa lirih, bingung. Pria yang terkenal super tampan plus kharismatik itu bahkan tidak tahu harus bagaimana, harus sedih ataukah bahagia? Akhirnya
"Selamat malam, Kama!" sedikit gemetar oleh rasa takut yang mendadak menjajah hati, Leon turun dari mobil. Bersikap selayaknya seorang kesatria pembela kebenaran, Kama menyahut tegas. Berwibawa namun tidak jumawa. "Selamat malam, Leon. Maaf mengganggu." Leon memasang wajah polos. Begitu polosnya sehingga tak segaris senyum pun terlukis. Demi menutupi perasaan takut yang kian menjadi-jadi, dia mengangkat kedua bahu. Sedikit mencebik untuk memancing keberanian supaya muncul ke permukaan. "Ada keperluan apa sehingga menemui saya malam-malam begini, Kama?" "Oh, tidak! Saya hanya harus sedikit menegur kesalahan Anda. Jangan sekali-kali menyebarkan berita yang tak pasti kebenarannya, terutama jika itu berkaitan dengan Seika Eline. Saya tahu persis bagaimana rasanya mencintai seseorang tetapi memaksakan kehendak, jelas bukan perbuatan terpuji, bukan? Bagaimana, apakah Anda setuju dengan saya?" Leon mati kutu, tentu saja sehingga hanya bisa bergeming di tempatnya berdiri. Tak secuil kec
"Emh, Abang belum pulang, Mak. Mungkin sebentar lagi." akhirnya Siti Hapsari memilih untuk menutupi yang sebenarnya terjadi. Terlalu berbahaya juga jika dia menjawab dengan jujur dan apa adanya. Bisa-bisa Kama murka, meledak-ledak. "Belakangan ini Abang banyak lembur di kantor." "Apa, lembur di kantor?" suara Mamak sudah lebih menggelegar dari pada petir saat hujan deras. "Istri lagi hamil besar, sudah mau melahirkan pun masih bisa lembur? Apa sebetulnya yang dia cari?" Siti Hapsari jelas terdiam, tak berani memberikan tanggapan. Merasa bersalah juga dia, menyesal karena sudah mengarang-ngarang cerita yang ternyata berakibat fatal. "Ti!" "Saya, Mak?" "Baik-baik di sana kau, ya? Besok pagi Mamak berangkat ke Jogja." "A---Apa Mak, Mamak mau ke mari?" "Lho, kenapa rupanya? Nggak boleh Mamak nengok anak-anak dan cucu Mamak?" "Bu---Bukan begitu, Mak. Bo---Boleh kok, Mamak ke mari, dengan senang hati. Abang juga pasti senang Mamak datang. Maaf ya Mak, Siti terlalu senang tadi wakt
"Yang terbaik menurut aku?" Seika meraih guling bersarung putih polos ala hotel, memeluknya. "Ya, jangan selingkuh, jangan mendua!" Kama masih memandang dengan sepenuh harapan. Tak ada lagi yang perlu ditutup-tutupi dari Seika. Semua sudah tersingkap dengan sendirinya, sempurna. "Iya, aku juga tidak akan melakukannya. Percayalah El, aku masih Kama Nismara yang dulu." "Jadi, kenapa kamu ada di sini sekarang?" "Karena ada kamu di sini, El!" "Ih, Kama … Kamu pulang ya, besok pagi? Kasihan istrimu. Ya ampun, Kama … Kalau tiba-tiba dia mau melahirkan bagaimana? Nggak lucu banget tahu, Nggak?" Kama tertawa lirih, demi mendengar kata-kata terakhir Seika. Itu kan, diksi Welas? Jadi terkesan lucu, kalau dia yang mengucapkan. "Ya kan, ada dokter kandungan. Ada bidan juga. Dia tinggal telepon dan mereka pasti segera datang, dong. Kami sudah membuat perjanjian sebelum ini, waktu check up seminggu yang lalu. Apa masalahnya?" Seika mendelik galak. "Apa masalahnya?" Tanpa perasaan berdosa s
"Ada yang perlu kutanyakan padamu." Kama beringsut turun dari tempat tidur. Berjalan ke depan jendela, memandang jauh ke luar. "Itu pun kalau kamu mau." Seika mengernyitkan kening. Memandang Kama dengan penuh rindu, syahdu. "Ya, tergantung dong, pertanyaannya apa?" Merasa mendapatkan lampu hijau, Kama membalikkan badan. Bersandar pada dinding yang dilapisi wallpaper bertema beautiful nature. Sebenarnya apa yang akan dia tanyakan pada Seika ini sudah lama tersimpan dalam papung hati. Namun baru sekaranglah dia tergerak untuk melakukannya. Menurutnya ini saat yang paling tepat. "Apa, kamu mau tanya apa, Kama?" desak Seika manja. "Jadi nggak? Kalau nggak jadi, aku mau tidur. Kamu kembali ke kamar saja sekarang, tidur. Biar besok pagi nggak kesiangan pulang ke Jogja. Aduh, nggak kebayang deh, gimana perasaan istri kamu di rumah. Kalau aku jadi dia, mungkin sudah menangis, merengek-rengek tujuh hari tujuh malam, tujuh tanjakan, tujuh belokan, tujuh kota, tujuh de---" "Dulu kaku pernah
"Jadi kan, Kak Seika, Mbak Welas ngasih kabar ke kami kalau Kakak hilang. Nah, terus Kakak minta tolong Leon untuk pergi ke rumah kalian. Siapa tahu kalian butuh bantuan. Eh, ternyata kosong rumahnya." Sekar mengawali ceritanya, sementara Leon masih merangkul dari samping kanan, menguatkan. "Akhirnya kami ke Real Publishing. Eh, Bang Kama juga nggak ada di sana. Nah, terus Leon tanya ke bagian resepsionis. Iya kan, Leon?"Leon mengangguk, tersenyum sedih. "Iya, benar. Aku tanya, Kama berangkat ke kantor apa nggak? Katanya berangkat, setengah hari. Kembali sebentar menitipkan Firdaus ke Vivi, pegawai di bagian administrasi. Terus pergi lagi. Nah, nggak berapa lama dari itu, si Vivi itu tadi pergi juga, membawa Firdaus.""Dari itulah kami mulai curiga, ada yang nggak beres pasti!"Leon membenarkan kesimpulan yang dibuat Sekar. "Aku memberanikan diri masuk ke ruang kerja Bang Kama. Mana tahu ada sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk." lanjut Sekar sambil melepaskan diri dari rangkulan Le
"Oh, Leon, terima kasih!" Seika tak mampu menutupi perasaan haru yang menyergap. "Aku nggak tahu gimana ceritanya kalau nggak ada kamu!" Sungguh, Seika merasa baru saja diselamatkan dari bencana alam yang begitu besar. Lebih besar dari tenggelamnya kapal Titanic, baginya. Bayangkanlah!Saat Leon berhasil menyusup masuk ke dalam rumah, Derya sedang bersiap-siap untuk menikahinya. Sudah duduk berhadapan dengan penghulu, dikelilingi oleh para saksi.Seumur hidup, baru kali itu Seika terlibat dalam sandiwara paling gila. Drama paling menguras emosi, tenaga jiwa dan raga. Bukan hanya melibatkan orang dewasa, Derya juga melibatkan Firdaus, seolah-olah penculikan itu adalah sebuah permainan anak-anak. "Serius, aku bahkan sudah berpikir untuk membawa Firdaus juga. Biar kami sama-sama nggak selamat, karena kasihan sekali kalau sampai dia jatuh ke tangan Derya untuk selamanya. Oh, dia tuh terlalu kejam untuk ukuran manusia. Terlalu jahat."Leon tersenyum simpul, menarik napas lega. "Sama-sam
Bencana!Mamak video call. Kama pun tertindih buah fiktif bernama simalakama seketika. Diangkat, tidak tahu harus berkata apa? Tidak diangkat, Mamak pasti curiga. "Ha, jangan-jangan Mamak telepon El tadi?" tanya hatinya begitu kuat. "Gawat!"Kama baru saja berpikir untuk mematikan ponsel ketika tiba-tiba ada panggilan masuk dari nomor tak dikenal. Sempat ragu tetapi akhirnya diangkat juga, dengan harapan itu adalah seseorang yang telah menculik Seika. Bahkan, Kama tidak memikirkan segala resiko yang mungkin terjadi. Terpenting Seika dapat ditemukan dalam keadaan sehat dan selamat tak kurang satu apa pun. "Ha---Halo!" sapa Kama gugup sambil mengurangi kecepatan laju mobil, menepi. Sekarang mereka sudah sampai di Jalan Parangtritis KM 5. Menurut alamat yang tertera di denah, sebentar lagi akan sampai di tempat persembunyian Derya. "Ini dengan siapa?""Ini Mamak, Kama! Pakai nomor abangmu yang baru. Kalian lagi di mana ini, Mamak telepon dari tadi kok, nggak diangkat?"Dug! Sekeras it
"Eh, jangan asal, ya?" Kama mulai tersebut amarah. "Aku nggak kenal siapa kamu. Jangankan gula-gula, tebu atau apa pun itu yang kamu bilang tadi. Dengar baik-baik, ya? Selain istriku, aku nggak pernah menyentuh yang namanya perempuan." tandas Kama emosional. "Minggir kamu, buang-buang waktu saja!" "Ya ampun, Kama … Beneran kamu nggak inget sama aku?" Adiva, tentu saja tak sudi melepaskan Kama. Hanya dia satu-satunya jalan untuk tetap bersama Derya. "Ternyata benar ya, kata teman-temanku, selain sampah kamu juga laki-laki gila!"Braaak! Dengan sangat kasar, Kama menutup pintu mobil kembali. Bisa-bisanya wanita yang tak dikenalnya ini bersikap lancang, merendahkan? "Hei, apa-apaan kamu? Apa yang kamu bilang tadi? Woi, sadar, woi! Bukan aku yang sampah, gila atau apa pun itu yang kamu tuduhkan tapi kamu. Buktinya? Kamu datang dengan cara misterius dan membuat masalah denganku. Sampah sekali kan, itu? Gila!""Eh, santai dong, Kama? Kok, malah jadi semeledak ini, sih? Ya ampun, malu don
"Leon!" tuduh Kama begitu menyadari CCTV di rumah sudah tidak terpasang lagi. Lebih tepatnya hilang dari tempatnya. "Pasti dia, siapa lagi? Ugh, dasar, brengsek! Kurang ajar, berani-beraninya membuat masalah denganku!" Secepat kilat, Kama kembali ke kamar, menggendong Firdaus yang ternyata sudah bangun. Berjalan cepat ke ruang makan, membuatkan susu. Memasukkan satu kaleng susu ke dalam tas bekal, diaper, tisu basah dan tiga setel baju ganti. "Kita ke kantor Daddy ya, Nak?" sebisa mungkin Kama bersikap tenang. "Nanti kamu Daddy titipkan sama Tante Vivi dulu, ya? Daddy harus mencari Mommy." Seakan mengerti situasi sulit yang dihadapi sang Ayah, Firdaus tersenyum tampan. Bukannya menangis, rewel atau sejenisnya. "Yuk, kita harus cepat, Nak!" ajak Kama sambil setengah berlari ke ruang tamu. Memastikan ponsel masih di saku celana. Menutup pintu dan menguncinya rapat-rapat. "Doakan ya Nak, semoga Mommy cepat ketemu?" Kama tak mau kehilangan waktu walau hanya satu detik. Sungguh, bag
Sesampainya di rumah, Kama langsung melompat turun dari mobil. Berlari ke teras, mengetuk pintu. Menekan bel dengan tak sabar namun tetap menunggu. Oleh karena mendengar tangisan Firdaus yang melengking-lengking dari ruang tamu, tanpa pikir panjang langsung membuka pintu. Semakin bingung karena ternyata pintu tidak dikunci, pertanyaan demi pertanyaan membombardir tanpa ampun. Apa yang terjadi?Ke mana Seika?Bagaimana bisa Firdaus menangis sejadi-jadinya seperti ini?"Firdaus, sini sama Daddy!" cakapnya di antara kepanikan yang mulai melanda. "Mommy ke mana, Nak?" Firdaus sudah tenang dalam pelukan Kama walau sesekali masih terisak. Sekarang the real Seika Eline's lover itu berjalan cepat ke kamar, berharap dapat menemukannya."El!" Kama terus memanggil di antara segala perasaan yang semakin tak menentu. "El, Eline!" Tak mengunduh sahutan barang secuil kecil kata pun Kama semakin bingung, panik dan ketakutan. Namun demikian dia masih bisa berjalan cepat ke luar kamar, menyisir se
"Selamat sore, Noni!" kedatangan Derya yang tiba-tiba lebih dari mengejutkan Seika. Mengusik ketenangan hati. "Der-Derya?" Seika tak mampu mengatasi rasa gugupnya. "Mau apa kamu di sini?" Derya tidak takut sedikit pun, tentu saja. Bukannya menarik langkah mundur atau bagaimana, dia malah semakin mendekat. Pantang menyerah."Tenang, Noni!" katanya sambil mengangkupkan tangan di dada. "Saya ke sini hanya untuk melihat Noni sebentar, tidak lebih.""Melihat, maksud kamu?" Seika memasang wajah galak, meskipun sebenarnya masih terkejut. Bingung. "Jangan macam-macam ya kamu, Derya!"Derya tersenyum optimis, sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Nggak, Noni, percaya sama saya!"Seika mencebik, memunculkan sisi tegas dalam dirinya. "Dari dulu saya nggak pernah percaya sama kamu, Derya. Aneh saja kalau tiba-tiba percaya. To the point saja lah, ada perlu apa kamu ke sini? Oh ya, memangnya kamu belum kera juga setelah sekian waktu lamanya mendekam di penjara, ha?""Wah, wah, wah … Sekarang Noni
Firdaus Nismara. Bayi berumur empat bulan itu sudah tertidur lelap di box bayi. Baru saja Seika memandikan, memakaikan pakaian terbaik, memberinya susu formula. Tak hanya itu, Seika juga memutarkan lagu pengantar tidur. "Selamat mimpi indah, Firdaus. Mommy mau mandi dulu, ya?" bisiknya lembut. "Nanti, kalau Firdaus bangun tapi Mommy masih mandi, jangan nangis, ya? Mommy nggak lama, kok."Sejenak, Seika memandangi wajah polos dan suci Firdaus. Tak dapat dipungkiri, bayi ini mewarisi wajah cantik Siti Hapsari. Hidung bangir, bibir sexy, mata bulat besar, bulu mata lentik, alis tebal membentuk bulan sabit … Nyaris semuanya copy paste Siti Hapsari. Kecuali rambut pirang ikalnya, mewarisi rambut Mamak. "See you soon, Firdaus!" bisiknya tersendat-sendat, menahan tangis. "Oh, mamakmu di sana pasti bangga punya kamu, Anak Baik." Tak terasa air mata Seika menetes hangat. Teringat bagaimana hari itu, hari dimana Hirabur memberikan kabar tentang Siti Hapasari yang telah menutup mata untuk se
"Jangan lupa kasih kabar ya Welas, kalau kalian sudah sampai di sana?" lagi, Seika merengkuh Welas ke dalam pelukan, berbisik lembut. Air matanya kian deras melintang. "Ya ampun, nggak nyangka banget kamu akan sekuat ini, Welas. Berani banget ngambil keputusan. Oh, Ya Tuhan!"Kama menepuk-nepuk pundak Seika. Begitu juga Ayah dan Sekar. Tanpa berkata-kata, hanya mengulum senyum tipis, William memeluk Seika dan Welas bersamaan. Dua wanita itu adalah bagian terpenting dalam hidupnya. Dulu, setelah menikahi Welas, sekarang dan selamanya. "Pokoknya kita nggak boleh loss contact!" cetus Seika begitu pelukan mereka terlepas secara alami. Mulai hari ini Welas dan William akan pindah dan tinggal di Netherlands. Pekerjaanlah yang menuntut William untuk mengambil keputusan ini. Bagaimanapun, apa pun yang terjadi, mustahil Welas tinggal di Indonesia sendiri. Long Distance Relationship bukanlah sesuatu yang mudah untuk dijalani, baginya. Welas tertawa cekikikan. "Lah, kamu aneh banget deh, Sei!