"Emh, Abang belum pulang, Mak. Mungkin sebentar lagi." akhirnya Siti Hapsari memilih untuk menutupi yang sebenarnya terjadi. Terlalu berbahaya juga jika dia menjawab dengan jujur dan apa adanya. Bisa-bisa Kama murka, meledak-ledak. "Belakangan ini Abang banyak lembur di kantor." "Apa, lembur di kantor?" suara Mamak sudah lebih menggelegar dari pada petir saat hujan deras. "Istri lagi hamil besar, sudah mau melahirkan pun masih bisa lembur? Apa sebetulnya yang dia cari?" Siti Hapsari jelas terdiam, tak berani memberikan tanggapan. Merasa bersalah juga dia, menyesal karena sudah mengarang-ngarang cerita yang ternyata berakibat fatal. "Ti!" "Saya, Mak?" "Baik-baik di sana kau, ya? Besok pagi Mamak berangkat ke Jogja." "A---Apa Mak, Mamak mau ke mari?" "Lho, kenapa rupanya? Nggak boleh Mamak nengok anak-anak dan cucu Mamak?" "Bu---Bukan begitu, Mak. Bo---Boleh kok, Mamak ke mari, dengan senang hati. Abang juga pasti senang Mamak datang. Maaf ya Mak, Siti terlalu senang tadi wakt
"Yang terbaik menurut aku?" Seika meraih guling bersarung putih polos ala hotel, memeluknya. "Ya, jangan selingkuh, jangan mendua!" Kama masih memandang dengan sepenuh harapan. Tak ada lagi yang perlu ditutup-tutupi dari Seika. Semua sudah tersingkap dengan sendirinya, sempurna. "Iya, aku juga tidak akan melakukannya. Percayalah El, aku masih Kama Nismara yang dulu." "Jadi, kenapa kamu ada di sini sekarang?" "Karena ada kamu di sini, El!" "Ih, Kama … Kamu pulang ya, besok pagi? Kasihan istrimu. Ya ampun, Kama … Kalau tiba-tiba dia mau melahirkan bagaimana? Nggak lucu banget tahu, Nggak?" Kama tertawa lirih, demi mendengar kata-kata terakhir Seika. Itu kan, diksi Welas? Jadi terkesan lucu, kalau dia yang mengucapkan. "Ya kan, ada dokter kandungan. Ada bidan juga. Dia tinggal telepon dan mereka pasti segera datang, dong. Kami sudah membuat perjanjian sebelum ini, waktu check up seminggu yang lalu. Apa masalahnya?" Seika mendelik galak. "Apa masalahnya?" Tanpa perasaan berdosa s
"Ada yang perlu kutanyakan padamu." Kama beringsut turun dari tempat tidur. Berjalan ke depan jendela, memandang jauh ke luar. "Itu pun kalau kamu mau." Seika mengernyitkan kening. Memandang Kama dengan penuh rindu, syahdu. "Ya, tergantung dong, pertanyaannya apa?" Merasa mendapatkan lampu hijau, Kama membalikkan badan. Bersandar pada dinding yang dilapisi wallpaper bertema beautiful nature. Sebenarnya apa yang akan dia tanyakan pada Seika ini sudah lama tersimpan dalam papung hati. Namun baru sekaranglah dia tergerak untuk melakukannya. Menurutnya ini saat yang paling tepat. "Apa, kamu mau tanya apa, Kama?" desak Seika manja. "Jadi nggak? Kalau nggak jadi, aku mau tidur. Kamu kembali ke kamar saja sekarang, tidur. Biar besok pagi nggak kesiangan pulang ke Jogja. Aduh, nggak kebayang deh, gimana perasaan istri kamu di rumah. Kalau aku jadi dia, mungkin sudah menangis, merengek-rengek tujuh hari tujuh malam, tujuh tanjakan, tujuh belokan, tujuh kota, tujuh de---" "Dulu kaku pernah
"Ya, begitulah …!" Adiva terus meyakinkan hati Welas. "Mbak sendiri, siapanya Seika?" Sambil menaikkan level kewaspadaan, Welas memperkenalkan diri. Lembut namun tegas. "Saya Welas, kakak sepupu Seika. Maksud saya, saya menikah dengan kakak sepupunya." Adiva mengangguk mengerti. "Oh, begitu ya, Mbak?" Welas mengulas senyum tipis. "Iya. Any way, ada kepentingan apa mbaknya ke sini?" Merasa mendapatkan lampu hijau terang benderang, Adiva menegakkan tubuh, mencondongkannya ke arah Welas. Belum-belum sudah tersenyum penuh kemenangan. "Bisa saya bertemu dengan Seika, Mbak Welas?" "Walah, sayang sekali Mbak Adiva … Seika belum pulang, masih di luar kota." Welas mengerling tajam. "Gimana, ada pesan apa? Nanti kalau Seika pulang, segera saya sampaikan." Di sana, di sofa empuk dengan desain mewah elegan, Adiva terlihat kecewa. Seluruh kulit wajahnya tersaput pucat seketika. Bagaimana tidak? Derya pasti menyembur-nyembur murka. "Oh, nggak, Mbak. Kira-kira kapan ya, Seika pulang?" Adiva m
"Ya, aku mau, Kama." pernyataan itu terlontar dari mulut Seika yang mulai terasa pahit dan kering. "Emh, tapi bagaimana dengan istri kamu? Aku takut, Kama!"Kama memegangi wajah Seika. Tersenyum optimistis. Memandang lembut, teduh. "Tak perlu takut, El. Apa yang harus kamu takutkan? Ada aku yang bertanggung jawab atas keputusan kita. Bagaimana?"Seika terdiam, menghindari pandangan Kama yang terasa begitu dalam dengan menunduk. "Bailklah El, aku tidak akan memaksa kamu." Kama melepaskan wajah Seika. Menekan dalam-dalam perasaan yang bergejolak, berusaha untuk tetap berpikir positif. "Aku tidak akan memaksa. Semuanya aku serahkan kepadamu, sebelum terlanjur jauh melangkah. Jangan sampai timbul penyesalan di kemudian hari."Karena Seika masih diam, Kama kembali duduk di tepi tempat tidur. "Perjalanan cinta kita unik ya, El?" Kama menyedekapkan tangan, memandang sedih ke langit-langit kamar hotel. "Dulu, sampai jatuh bangun kita mengejar restu Menir Hank. Eh, nggak tahunya karena saki
Air mata Mamak kian deras mengalir mendengar suara perjuangan Siti Hapari melahirkan cucunya, darah daging Kama. Terisak-isak, Mamak memberikan semangat. Melangitkan doa-doa semoga sang Menantu diberikan keselamatan, begitu juga dengan si Bayi. Semoga sehat dan baik semuanya, lahir dan batin."Hiranur video call ya, Makcik?" tawar Hiranur ketika Siti istirahat mengejan. "Supaya Makcik bisa tengok Siti."Mamak setuju, Hiranur pun tak menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Sayang, dua sudah melupakan satu hal, kenyataan bahwa Kama tak ada di samping Siti Hapsari. Tak menemani perjuangan antara hidup dan matinya. "Nah, nah … Ayo, ngeden lagi, Nak!" kata Mamak sambil mendekatkan wajah ke layar ponsel. "Apa nggak ada dokter di sana, Hiranur? Kama … Di mana dia, apa nggak tahu kalau Siti mau melahirkan, Hiranur?"Tak punya pilihan lain, Hiranur menjawab dengan jujur dan apa adanya. Terutama tentang Kama yang tak ada di rumah, bahkan tidak peduli sama sekali waktu diberi tahu kalau Siti dalam
TIGA BULAN KEMUDIAN "Kau harus berjanji sama Mamak, Seika!" tukas Mamak sambil mengayun Firdaus di ayunan tradisional yang terbuat dari kain sarung. "Kalau tidak, Mamak takkan tenang melepaskan kalian pulang ke Yogyakarta."Seika mengalihkan perhatian dari Firdaus ke Mamak. "Berjanji apakah itu, Mak?" Mamak tersenyum getir. "Janji sama Mamak, kau akan menyayangi Firdaus sama seperti kaumenyayangi anak-anak kandungmu sendiri. Jangan pernah kau beda-bedakan dalam hal apa pun."Walau tahu kalau Mamak sangat mengharapkan jawaban darinya, Seika terdiam. Sejenak menantang sekaligus menanting diri sendiri, sanggup kah mengikrarkan janji seperti yang Mamak minta? Sampai sejauh ini, sejujurnya Seika masih ragu. Takut kalau pada kenyataannya nanti tidak sesuai dengan ekspektasi.Tetapi siapakah yang mampu melawan kehendak Tuhan? Tak seorang pun, tak sesuatu pun dan Seika tahu itu. Ya, bagaimana lagi? Siti Hapsari meninggal dunia beberapa saat setelah melahirkan Firdaus. Lucunya, Kama yang t
"Jangan lupa kasih kabar ya Welas, kalau kalian sudah sampai di sana?" lagi, Seika merengkuh Welas ke dalam pelukan, berbisik lembut. Air matanya kian deras melintang. "Ya ampun, nggak nyangka banget kamu akan sekuat ini, Welas. Berani banget ngambil keputusan. Oh, Ya Tuhan!"Kama menepuk-nepuk pundak Seika. Begitu juga Ayah dan Sekar. Tanpa berkata-kata, hanya mengulum senyum tipis, William memeluk Seika dan Welas bersamaan. Dua wanita itu adalah bagian terpenting dalam hidupnya. Dulu, setelah menikahi Welas, sekarang dan selamanya. "Pokoknya kita nggak boleh loss contact!" cetus Seika begitu pelukan mereka terlepas secara alami. Mulai hari ini Welas dan William akan pindah dan tinggal di Netherlands. Pekerjaanlah yang menuntut William untuk mengambil keputusan ini. Bagaimanapun, apa pun yang terjadi, mustahil Welas tinggal di Indonesia sendiri. Long Distance Relationship bukanlah sesuatu yang mudah untuk dijalani, baginya. Welas tertawa cekikikan. "Lah, kamu aneh banget deh, Sei!
"Jadi kan, Kak Seika, Mbak Welas ngasih kabar ke kami kalau Kakak hilang. Nah, terus Kakak minta tolong Leon untuk pergi ke rumah kalian. Siapa tahu kalian butuh bantuan. Eh, ternyata kosong rumahnya." Sekar mengawali ceritanya, sementara Leon masih merangkul dari samping kanan, menguatkan. "Akhirnya kami ke Real Publishing. Eh, Bang Kama juga nggak ada di sana. Nah, terus Leon tanya ke bagian resepsionis. Iya kan, Leon?"Leon mengangguk, tersenyum sedih. "Iya, benar. Aku tanya, Kama berangkat ke kantor apa nggak? Katanya berangkat, setengah hari. Kembali sebentar menitipkan Firdaus ke Vivi, pegawai di bagian administrasi. Terus pergi lagi. Nah, nggak berapa lama dari itu, si Vivi itu tadi pergi juga, membawa Firdaus.""Dari itulah kami mulai curiga, ada yang nggak beres pasti!"Leon membenarkan kesimpulan yang dibuat Sekar. "Aku memberanikan diri masuk ke ruang kerja Bang Kama. Mana tahu ada sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk." lanjut Sekar sambil melepaskan diri dari rangkulan Le
"Oh, Leon, terima kasih!" Seika tak mampu menutupi perasaan haru yang menyergap. "Aku nggak tahu gimana ceritanya kalau nggak ada kamu!" Sungguh, Seika merasa baru saja diselamatkan dari bencana alam yang begitu besar. Lebih besar dari tenggelamnya kapal Titanic, baginya. Bayangkanlah!Saat Leon berhasil menyusup masuk ke dalam rumah, Derya sedang bersiap-siap untuk menikahinya. Sudah duduk berhadapan dengan penghulu, dikelilingi oleh para saksi.Seumur hidup, baru kali itu Seika terlibat dalam sandiwara paling gila. Drama paling menguras emosi, tenaga jiwa dan raga. Bukan hanya melibatkan orang dewasa, Derya juga melibatkan Firdaus, seolah-olah penculikan itu adalah sebuah permainan anak-anak. "Serius, aku bahkan sudah berpikir untuk membawa Firdaus juga. Biar kami sama-sama nggak selamat, karena kasihan sekali kalau sampai dia jatuh ke tangan Derya untuk selamanya. Oh, dia tuh terlalu kejam untuk ukuran manusia. Terlalu jahat."Leon tersenyum simpul, menarik napas lega. "Sama-sam
Bencana!Mamak video call. Kama pun tertindih buah fiktif bernama simalakama seketika. Diangkat, tidak tahu harus berkata apa? Tidak diangkat, Mamak pasti curiga. "Ha, jangan-jangan Mamak telepon El tadi?" tanya hatinya begitu kuat. "Gawat!"Kama baru saja berpikir untuk mematikan ponsel ketika tiba-tiba ada panggilan masuk dari nomor tak dikenal. Sempat ragu tetapi akhirnya diangkat juga, dengan harapan itu adalah seseorang yang telah menculik Seika. Bahkan, Kama tidak memikirkan segala resiko yang mungkin terjadi. Terpenting Seika dapat ditemukan dalam keadaan sehat dan selamat tak kurang satu apa pun. "Ha---Halo!" sapa Kama gugup sambil mengurangi kecepatan laju mobil, menepi. Sekarang mereka sudah sampai di Jalan Parangtritis KM 5. Menurut alamat yang tertera di denah, sebentar lagi akan sampai di tempat persembunyian Derya. "Ini dengan siapa?""Ini Mamak, Kama! Pakai nomor abangmu yang baru. Kalian lagi di mana ini, Mamak telepon dari tadi kok, nggak diangkat?"Dug! Sekeras it
"Eh, jangan asal, ya?" Kama mulai tersebut amarah. "Aku nggak kenal siapa kamu. Jangankan gula-gula, tebu atau apa pun itu yang kamu bilang tadi. Dengar baik-baik, ya? Selain istriku, aku nggak pernah menyentuh yang namanya perempuan." tandas Kama emosional. "Minggir kamu, buang-buang waktu saja!" "Ya ampun, Kama … Beneran kamu nggak inget sama aku?" Adiva, tentu saja tak sudi melepaskan Kama. Hanya dia satu-satunya jalan untuk tetap bersama Derya. "Ternyata benar ya, kata teman-temanku, selain sampah kamu juga laki-laki gila!"Braaak! Dengan sangat kasar, Kama menutup pintu mobil kembali. Bisa-bisanya wanita yang tak dikenalnya ini bersikap lancang, merendahkan? "Hei, apa-apaan kamu? Apa yang kamu bilang tadi? Woi, sadar, woi! Bukan aku yang sampah, gila atau apa pun itu yang kamu tuduhkan tapi kamu. Buktinya? Kamu datang dengan cara misterius dan membuat masalah denganku. Sampah sekali kan, itu? Gila!""Eh, santai dong, Kama? Kok, malah jadi semeledak ini, sih? Ya ampun, malu don
"Leon!" tuduh Kama begitu menyadari CCTV di rumah sudah tidak terpasang lagi. Lebih tepatnya hilang dari tempatnya. "Pasti dia, siapa lagi? Ugh, dasar, brengsek! Kurang ajar, berani-beraninya membuat masalah denganku!" Secepat kilat, Kama kembali ke kamar, menggendong Firdaus yang ternyata sudah bangun. Berjalan cepat ke ruang makan, membuatkan susu. Memasukkan satu kaleng susu ke dalam tas bekal, diaper, tisu basah dan tiga setel baju ganti. "Kita ke kantor Daddy ya, Nak?" sebisa mungkin Kama bersikap tenang. "Nanti kamu Daddy titipkan sama Tante Vivi dulu, ya? Daddy harus mencari Mommy." Seakan mengerti situasi sulit yang dihadapi sang Ayah, Firdaus tersenyum tampan. Bukannya menangis, rewel atau sejenisnya. "Yuk, kita harus cepat, Nak!" ajak Kama sambil setengah berlari ke ruang tamu. Memastikan ponsel masih di saku celana. Menutup pintu dan menguncinya rapat-rapat. "Doakan ya Nak, semoga Mommy cepat ketemu?" Kama tak mau kehilangan waktu walau hanya satu detik. Sungguh, bag
Sesampainya di rumah, Kama langsung melompat turun dari mobil. Berlari ke teras, mengetuk pintu. Menekan bel dengan tak sabar namun tetap menunggu. Oleh karena mendengar tangisan Firdaus yang melengking-lengking dari ruang tamu, tanpa pikir panjang langsung membuka pintu. Semakin bingung karena ternyata pintu tidak dikunci, pertanyaan demi pertanyaan membombardir tanpa ampun. Apa yang terjadi?Ke mana Seika?Bagaimana bisa Firdaus menangis sejadi-jadinya seperti ini?"Firdaus, sini sama Daddy!" cakapnya di antara kepanikan yang mulai melanda. "Mommy ke mana, Nak?" Firdaus sudah tenang dalam pelukan Kama walau sesekali masih terisak. Sekarang the real Seika Eline's lover itu berjalan cepat ke kamar, berharap dapat menemukannya."El!" Kama terus memanggil di antara segala perasaan yang semakin tak menentu. "El, Eline!" Tak mengunduh sahutan barang secuil kecil kata pun Kama semakin bingung, panik dan ketakutan. Namun demikian dia masih bisa berjalan cepat ke luar kamar, menyisir se
"Selamat sore, Noni!" kedatangan Derya yang tiba-tiba lebih dari mengejutkan Seika. Mengusik ketenangan hati. "Der-Derya?" Seika tak mampu mengatasi rasa gugupnya. "Mau apa kamu di sini?" Derya tidak takut sedikit pun, tentu saja. Bukannya menarik langkah mundur atau bagaimana, dia malah semakin mendekat. Pantang menyerah."Tenang, Noni!" katanya sambil mengangkupkan tangan di dada. "Saya ke sini hanya untuk melihat Noni sebentar, tidak lebih.""Melihat, maksud kamu?" Seika memasang wajah galak, meskipun sebenarnya masih terkejut. Bingung. "Jangan macam-macam ya kamu, Derya!"Derya tersenyum optimis, sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Nggak, Noni, percaya sama saya!"Seika mencebik, memunculkan sisi tegas dalam dirinya. "Dari dulu saya nggak pernah percaya sama kamu, Derya. Aneh saja kalau tiba-tiba percaya. To the point saja lah, ada perlu apa kamu ke sini? Oh ya, memangnya kamu belum kera juga setelah sekian waktu lamanya mendekam di penjara, ha?""Wah, wah, wah … Sekarang Noni
Firdaus Nismara. Bayi berumur empat bulan itu sudah tertidur lelap di box bayi. Baru saja Seika memandikan, memakaikan pakaian terbaik, memberinya susu formula. Tak hanya itu, Seika juga memutarkan lagu pengantar tidur. "Selamat mimpi indah, Firdaus. Mommy mau mandi dulu, ya?" bisiknya lembut. "Nanti, kalau Firdaus bangun tapi Mommy masih mandi, jangan nangis, ya? Mommy nggak lama, kok."Sejenak, Seika memandangi wajah polos dan suci Firdaus. Tak dapat dipungkiri, bayi ini mewarisi wajah cantik Siti Hapsari. Hidung bangir, bibir sexy, mata bulat besar, bulu mata lentik, alis tebal membentuk bulan sabit … Nyaris semuanya copy paste Siti Hapsari. Kecuali rambut pirang ikalnya, mewarisi rambut Mamak. "See you soon, Firdaus!" bisiknya tersendat-sendat, menahan tangis. "Oh, mamakmu di sana pasti bangga punya kamu, Anak Baik." Tak terasa air mata Seika menetes hangat. Teringat bagaimana hari itu, hari dimana Hirabur memberikan kabar tentang Siti Hapasari yang telah menutup mata untuk se
"Jangan lupa kasih kabar ya Welas, kalau kalian sudah sampai di sana?" lagi, Seika merengkuh Welas ke dalam pelukan, berbisik lembut. Air matanya kian deras melintang. "Ya ampun, nggak nyangka banget kamu akan sekuat ini, Welas. Berani banget ngambil keputusan. Oh, Ya Tuhan!"Kama menepuk-nepuk pundak Seika. Begitu juga Ayah dan Sekar. Tanpa berkata-kata, hanya mengulum senyum tipis, William memeluk Seika dan Welas bersamaan. Dua wanita itu adalah bagian terpenting dalam hidupnya. Dulu, setelah menikahi Welas, sekarang dan selamanya. "Pokoknya kita nggak boleh loss contact!" cetus Seika begitu pelukan mereka terlepas secara alami. Mulai hari ini Welas dan William akan pindah dan tinggal di Netherlands. Pekerjaanlah yang menuntut William untuk mengambil keputusan ini. Bagaimanapun, apa pun yang terjadi, mustahil Welas tinggal di Indonesia sendiri. Long Distance Relationship bukanlah sesuatu yang mudah untuk dijalani, baginya. Welas tertawa cekikikan. "Lah, kamu aneh banget deh, Sei!