"Sebenarnya William, dari sejak awal dia bekerja di Real Publishing, aku sudah curiga sama Derya." ungkap Seika dengan marahnya. "Tapi sayang, Papa punya sudut pandang berbeda. Menurut Papa, Derya adalah sosok tangguh, profesional, loyal dan bisa dipercaya." William tertawa sedih, lirih. "Ya, dan pada akhirnya justru Deryalah yang berani berbuat makar terhadap Om Hank. Mencelakai hingga akhirnya meninggal dunia. Sayang sekali ya, Seika?" Seika mengangguk, memandang takjub pada kakak sepupunya. "Ya, William. Semoga Derya bisa mendapatkan hukuman yang sepadan dengan semua kejahatannya. Oh, Ya Tuhan! Papa bahkan memberikan mobil mewah untuk Derya lho, William. Itu, yang dia pakai itu kan, dari Papa?" "Memang tak tahu diri, Derya!" "He'em … Sudah begitu William, dia juga selalu berusaha untuk mendekati aku. Mencari perhatian dengan banyak hadiah. Cokelat, buket bunga, boneka, buku bacaan, ponsel sampai laptop. Emh, dia pikir aku tipikal wanita pemuja hadiah? Tanpa hadiah sekalipun kal
"Kama, oh …!" jerit Seika tak tertahankan lagi. Dia sudah sampai di teras sekarang, menyusul William dan Kama. Mana mungkin Bibi membiarkan Noni tersayang melompat dari jendela kamar? Itu lebih dari gila, namanya dan William bisa memusnahkannya dalam sekejap mata. "Kama …!" Rontok jantung Seika begitu menyadari apa yang telah terjadi. Wajah Kama memar hampir di seluruh bagiannya, berdarah di sudut-sudut bibir. "Tak lain dan tak bukan, ini pasti perbuatan William!" simpulnya dalam hati. "El …?" Kama berusaha bangkit dari lantai teras, menahan semua rasa pedih yang kini mendera. Sebelum Seika datang tadi, William memukulinya tanpa ampun. Sebaik apa pun menyiapkan diri, akhirnya tumbang juga. William jauh lebih kuat, tentu saja. "Seika Eline?" "Kama, kamu …?" Seika mendekati Kama yang sudah babak belur di tangan kakak sepupunya. "Kamu, emh, kenapa senekat ini Kama? Seharusnya tidak di sini kamu menemui aku. Kita ada kantor, ada banyak tempat lain yang aman untuk kita, seperti biasa. A
"Sebaliknya Seika, kalau kamu berada di posisiku?" atas dasar rasa tanggung jawab, William membalikkan pertanyaan. "Apa kamu mau diam saja, membiarkan si Kama itu sesuka hatinya menginjak-injak harga diri dan kehormatan kamu? Kita, sesungguhnya … Dia juga sudah membuatmu lulus lantak seperti ini, Seika. Jangan kamu pikir aku tidak tahu!" William berkacak pinggang, tak sedikit pun gentar menghadapi kemurkaan Seika. Menyalahkannya atas luka-luka dan memar di wajah Kama. "Kamu boleh mencintai siapa saja Seika tapi jangan mau diperbudak oleh rasa cinta itu sendiri. Jangan pernah terhasut oleh cinta buta!" tandas William tanpa memperdulikan bagaimana Seika berlinang air mata di sudut ruang keluarga, di samping jendela. "Sekarang kamu sendiri yang menanggung akibatnya, bukan?" Oleh karena tangis Seika yang semakin menjadi, William berjalan mendekat. Duduk berlutut di hadapannya. Mengusap-usap kepalanya penuh sayang. "Seika …?" Tak menunggu lama, Seika mengangkat wajah memandang remuk. T
"Selamat pagi!" Seika memulai briving pagi ini dengan profesional. Sadar sepenuhnya, akan kehadiran Kama tak membuatnya goyah sedikit pun. "Mari kita awali briving pagi ini dengan berdoa terlebih dahulu. Menurut Agama dan Kepercayaan masing-masing, berdoa mulai." Serta merta aula Seikamara Publishing menjadi sunyi. Hanya suara jam dinding dinding besar di sudut kanan ruangan yang berdetak heroik. "Berdoa selesai!" Seika mengangkat wajah, memperhatikan satu per satu keluarga besar Seikamara Publishing yang sudah seperti keluarganya sendiri, termasuk Kama. Tak dapat dipungkiri masih ada perasaan iba saat melihat kondisiya yang cukup parah di lagian wajah. Perban terpasang di sana-sini. Sudut-sudut bibirnya pun masih terlihat lebam. "Ah, aku tak boleh lemah!" seru Seika dalam hati menyemangati diri sendiri. "Itu resiko yang harus dia dapatkan dan jelas, tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan seluruh penderitaan!" "Baiklah Teman-teman, hari ini kita akan kedatangan tamu dari
Tergesa-gesa, Seika berjalan ke luar kamar. Berderap menuruni tangga. Pagi ini dia sudah ada janji dengan menejer King Stationary untuk mendiskusikan masalah sponsor. "Noni, sarapan?" khawatir, Bibi menghentikan langkah setengah berlarinya. "Bibi perhatikan dari kemarin Noni belum makan?" Terpaksa Seika berhenti, memberikan penjelasan. "Seika makan di kantor saja Bi, ada banyak perkerjaan penting yang harus Seika selesaikan." Bibi manggut-manggut mengerti plus maklum. "Nanti Noni pulang jam berapa, mau dimasukkan apa nanti malam?" "Emh, Bibi … Nanti Seika telepon, ya? Sekarang Seika benar-benar harus berangkat, ada janji penting dengan perusahaan rekanan. Oke? See you, Bibi!" Tanpa menunggu reaksi apa pun lagi dari Bibi, Seika berlari ke luar. Sayang, dia ingat ada sesuatu yang tertinggal di kamar. Jadi, terpaksa kembali lagi dan hanya bisa menyeringai ketika berpapasan dengan Bibi di ruang tamu. "Sial, sial!" Kenapa dia harus melupakan buku agenda kerjanya? Itu yang membuat
"Ah, andai aku sekuat kamu, Seika!" "Kuat, kamu kuat kok, Hiranur." Seika berusaha memberikan semangat meskipun dirinya sendiri masih seperti remahan roti. "Aku yakin kamu bahkan bisa lebih kuat dari pada aku. Buktinya, selama ini kamu tegar melihat aku bersama Kama, bukan? Kamu baik-baik saja kan Hiranur, sampai akhirnya Tuhan berkehendak lain." "Seika, sebenarnya aku nggak setegar itu, kok." sanggah Hiranur jujur dan apa adanya. Dia berpikir tak ada lagi yang perlu untuk dirahasiakan. Toh, Kama sudah menjadi milik wanita lain. Dirinya dan Seika sama-sama tidak beruntung dalam hal ini. "Kadang-kadang aku cemburu, frustrasi dan sering berpikir untuk berbuat jahat. Maaf ya Seika, bahkan aku pernah berprinsip selama janur kuning belum melengkung, Bang Kama belum menjadi milik siapa pun. Jadi aku masih bebas untuk memperjuangkannya menjadi milikku." Seika tertawa kecil, sedih. "Lalu?" Hiranur ikut tertawa. "Tidak pernah berhasil dan akhirnya menyerah, pasrah. Eh, tahu-tahu Bang Kama
"Apa William, Kama … Apa?" antara terkejut dan tak percaya, Seika memberikan respon. "Oh, benarkah itu William?" "Ya, Seika. Kama mengembalikan mobil yang kamu belikan dulu, karena katanya dia sudah ada mobil sendiri. Dia juga mengembalikan semua barang pemberian kamu, Seika. Tapi aku belum cek sih, bagaimana kebenarannya. Semua barang itu dia simpan di bagasi mobil." Lebih dari vertigo berat rasanya, lebih dari gerd mendengar semua keterangan William. Sampai hati Kama melakukan semua itu, padahal Seika sama sekali tak mempermasalahkan. Mustahil menjilat ludah sendiri. "Aku harus bagaimana, William?" "Kamu?" "Iya, harus bagaimana?" William tertawa lepas. "Harus bisa menerima kenyataan. Sudah, santai saja. Dia kembalikan ya tidak masalah, terpenting bukan kamu yang meminta kembali. Oke?" Seika merendahkan suara. "Aku masih memakai cincin tunangan kami, William tapi dia sesuka hati mengembalikan semua pemberian aku." Lagi, William tertawa. "Kalau begitu, sederhana solusinya,
"Sei, tunggu!" Welas setengah berteriak. Sedari tadi mengkhawatirkan sahabat dekatnya itu. "Sei, Sei …!" tak menyerah begitu saja karena Seika berjalan cepat menuju area parkir mobil, Welas terus mengejarnya. Mau tak mau, Seika menghentikan langkah. Membalikkan badan, menanti Welas yang setengah berlari ke tempatnya berdiri. Tak sampai hati juga akhirnya melihat sahabat tersayang jungkir balik. Toh, dia begitu karena menyayanginya juga. "Sei … Kamu nggak apa-apa, kan?" napas Welas naik turun memburu. Sudah lama tidak jogging setiap sore dan bersepeda setiap Sabtu pagi, membuat kekuatan fisiknya sedikit melemah. "Aku khawatir banget, lho." Seika menggeleng-gelengkan kepala. "Nggak Welas, aku oke." Welas menghela napas panjang. "Syukurlah Sei, aku lega sekarang. Any way kamu mau ke mana?" To the point Seika berterus terang. "Ke pantai, melarung masa lalu." "Eh, eh aku ikut dong Sei? Emh, kamu butuh body guard kan?" "Nggak." datar, Seika menampik. "Tukang foto, butuh nggak?" "N
"Jadi kan, Kak Seika, Mbak Welas ngasih kabar ke kami kalau Kakak hilang. Nah, terus Kakak minta tolong Leon untuk pergi ke rumah kalian. Siapa tahu kalian butuh bantuan. Eh, ternyata kosong rumahnya." Sekar mengawali ceritanya, sementara Leon masih merangkul dari samping kanan, menguatkan. "Akhirnya kami ke Real Publishing. Eh, Bang Kama juga nggak ada di sana. Nah, terus Leon tanya ke bagian resepsionis. Iya kan, Leon?"Leon mengangguk, tersenyum sedih. "Iya, benar. Aku tanya, Kama berangkat ke kantor apa nggak? Katanya berangkat, setengah hari. Kembali sebentar menitipkan Firdaus ke Vivi, pegawai di bagian administrasi. Terus pergi lagi. Nah, nggak berapa lama dari itu, si Vivi itu tadi pergi juga, membawa Firdaus.""Dari itulah kami mulai curiga, ada yang nggak beres pasti!"Leon membenarkan kesimpulan yang dibuat Sekar. "Aku memberanikan diri masuk ke ruang kerja Bang Kama. Mana tahu ada sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk." lanjut Sekar sambil melepaskan diri dari rangkulan Le
"Oh, Leon, terima kasih!" Seika tak mampu menutupi perasaan haru yang menyergap. "Aku nggak tahu gimana ceritanya kalau nggak ada kamu!" Sungguh, Seika merasa baru saja diselamatkan dari bencana alam yang begitu besar. Lebih besar dari tenggelamnya kapal Titanic, baginya. Bayangkanlah!Saat Leon berhasil menyusup masuk ke dalam rumah, Derya sedang bersiap-siap untuk menikahinya. Sudah duduk berhadapan dengan penghulu, dikelilingi oleh para saksi.Seumur hidup, baru kali itu Seika terlibat dalam sandiwara paling gila. Drama paling menguras emosi, tenaga jiwa dan raga. Bukan hanya melibatkan orang dewasa, Derya juga melibatkan Firdaus, seolah-olah penculikan itu adalah sebuah permainan anak-anak. "Serius, aku bahkan sudah berpikir untuk membawa Firdaus juga. Biar kami sama-sama nggak selamat, karena kasihan sekali kalau sampai dia jatuh ke tangan Derya untuk selamanya. Oh, dia tuh terlalu kejam untuk ukuran manusia. Terlalu jahat."Leon tersenyum simpul, menarik napas lega. "Sama-sam
Bencana!Mamak video call. Kama pun tertindih buah fiktif bernama simalakama seketika. Diangkat, tidak tahu harus berkata apa? Tidak diangkat, Mamak pasti curiga. "Ha, jangan-jangan Mamak telepon El tadi?" tanya hatinya begitu kuat. "Gawat!"Kama baru saja berpikir untuk mematikan ponsel ketika tiba-tiba ada panggilan masuk dari nomor tak dikenal. Sempat ragu tetapi akhirnya diangkat juga, dengan harapan itu adalah seseorang yang telah menculik Seika. Bahkan, Kama tidak memikirkan segala resiko yang mungkin terjadi. Terpenting Seika dapat ditemukan dalam keadaan sehat dan selamat tak kurang satu apa pun. "Ha---Halo!" sapa Kama gugup sambil mengurangi kecepatan laju mobil, menepi. Sekarang mereka sudah sampai di Jalan Parangtritis KM 5. Menurut alamat yang tertera di denah, sebentar lagi akan sampai di tempat persembunyian Derya. "Ini dengan siapa?""Ini Mamak, Kama! Pakai nomor abangmu yang baru. Kalian lagi di mana ini, Mamak telepon dari tadi kok, nggak diangkat?"Dug! Sekeras it
"Eh, jangan asal, ya?" Kama mulai tersebut amarah. "Aku nggak kenal siapa kamu. Jangankan gula-gula, tebu atau apa pun itu yang kamu bilang tadi. Dengar baik-baik, ya? Selain istriku, aku nggak pernah menyentuh yang namanya perempuan." tandas Kama emosional. "Minggir kamu, buang-buang waktu saja!" "Ya ampun, Kama … Beneran kamu nggak inget sama aku?" Adiva, tentu saja tak sudi melepaskan Kama. Hanya dia satu-satunya jalan untuk tetap bersama Derya. "Ternyata benar ya, kata teman-temanku, selain sampah kamu juga laki-laki gila!"Braaak! Dengan sangat kasar, Kama menutup pintu mobil kembali. Bisa-bisanya wanita yang tak dikenalnya ini bersikap lancang, merendahkan? "Hei, apa-apaan kamu? Apa yang kamu bilang tadi? Woi, sadar, woi! Bukan aku yang sampah, gila atau apa pun itu yang kamu tuduhkan tapi kamu. Buktinya? Kamu datang dengan cara misterius dan membuat masalah denganku. Sampah sekali kan, itu? Gila!""Eh, santai dong, Kama? Kok, malah jadi semeledak ini, sih? Ya ampun, malu don
"Leon!" tuduh Kama begitu menyadari CCTV di rumah sudah tidak terpasang lagi. Lebih tepatnya hilang dari tempatnya. "Pasti dia, siapa lagi? Ugh, dasar, brengsek! Kurang ajar, berani-beraninya membuat masalah denganku!" Secepat kilat, Kama kembali ke kamar, menggendong Firdaus yang ternyata sudah bangun. Berjalan cepat ke ruang makan, membuatkan susu. Memasukkan satu kaleng susu ke dalam tas bekal, diaper, tisu basah dan tiga setel baju ganti. "Kita ke kantor Daddy ya, Nak?" sebisa mungkin Kama bersikap tenang. "Nanti kamu Daddy titipkan sama Tante Vivi dulu, ya? Daddy harus mencari Mommy." Seakan mengerti situasi sulit yang dihadapi sang Ayah, Firdaus tersenyum tampan. Bukannya menangis, rewel atau sejenisnya. "Yuk, kita harus cepat, Nak!" ajak Kama sambil setengah berlari ke ruang tamu. Memastikan ponsel masih di saku celana. Menutup pintu dan menguncinya rapat-rapat. "Doakan ya Nak, semoga Mommy cepat ketemu?" Kama tak mau kehilangan waktu walau hanya satu detik. Sungguh, bag
Sesampainya di rumah, Kama langsung melompat turun dari mobil. Berlari ke teras, mengetuk pintu. Menekan bel dengan tak sabar namun tetap menunggu. Oleh karena mendengar tangisan Firdaus yang melengking-lengking dari ruang tamu, tanpa pikir panjang langsung membuka pintu. Semakin bingung karena ternyata pintu tidak dikunci, pertanyaan demi pertanyaan membombardir tanpa ampun. Apa yang terjadi?Ke mana Seika?Bagaimana bisa Firdaus menangis sejadi-jadinya seperti ini?"Firdaus, sini sama Daddy!" cakapnya di antara kepanikan yang mulai melanda. "Mommy ke mana, Nak?" Firdaus sudah tenang dalam pelukan Kama walau sesekali masih terisak. Sekarang the real Seika Eline's lover itu berjalan cepat ke kamar, berharap dapat menemukannya."El!" Kama terus memanggil di antara segala perasaan yang semakin tak menentu. "El, Eline!" Tak mengunduh sahutan barang secuil kecil kata pun Kama semakin bingung, panik dan ketakutan. Namun demikian dia masih bisa berjalan cepat ke luar kamar, menyisir se
"Selamat sore, Noni!" kedatangan Derya yang tiba-tiba lebih dari mengejutkan Seika. Mengusik ketenangan hati. "Der-Derya?" Seika tak mampu mengatasi rasa gugupnya. "Mau apa kamu di sini?" Derya tidak takut sedikit pun, tentu saja. Bukannya menarik langkah mundur atau bagaimana, dia malah semakin mendekat. Pantang menyerah."Tenang, Noni!" katanya sambil mengangkupkan tangan di dada. "Saya ke sini hanya untuk melihat Noni sebentar, tidak lebih.""Melihat, maksud kamu?" Seika memasang wajah galak, meskipun sebenarnya masih terkejut. Bingung. "Jangan macam-macam ya kamu, Derya!"Derya tersenyum optimis, sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Nggak, Noni, percaya sama saya!"Seika mencebik, memunculkan sisi tegas dalam dirinya. "Dari dulu saya nggak pernah percaya sama kamu, Derya. Aneh saja kalau tiba-tiba percaya. To the point saja lah, ada perlu apa kamu ke sini? Oh ya, memangnya kamu belum kera juga setelah sekian waktu lamanya mendekam di penjara, ha?""Wah, wah, wah … Sekarang Noni
Firdaus Nismara. Bayi berumur empat bulan itu sudah tertidur lelap di box bayi. Baru saja Seika memandikan, memakaikan pakaian terbaik, memberinya susu formula. Tak hanya itu, Seika juga memutarkan lagu pengantar tidur. "Selamat mimpi indah, Firdaus. Mommy mau mandi dulu, ya?" bisiknya lembut. "Nanti, kalau Firdaus bangun tapi Mommy masih mandi, jangan nangis, ya? Mommy nggak lama, kok."Sejenak, Seika memandangi wajah polos dan suci Firdaus. Tak dapat dipungkiri, bayi ini mewarisi wajah cantik Siti Hapsari. Hidung bangir, bibir sexy, mata bulat besar, bulu mata lentik, alis tebal membentuk bulan sabit … Nyaris semuanya copy paste Siti Hapsari. Kecuali rambut pirang ikalnya, mewarisi rambut Mamak. "See you soon, Firdaus!" bisiknya tersendat-sendat, menahan tangis. "Oh, mamakmu di sana pasti bangga punya kamu, Anak Baik." Tak terasa air mata Seika menetes hangat. Teringat bagaimana hari itu, hari dimana Hirabur memberikan kabar tentang Siti Hapasari yang telah menutup mata untuk se
"Jangan lupa kasih kabar ya Welas, kalau kalian sudah sampai di sana?" lagi, Seika merengkuh Welas ke dalam pelukan, berbisik lembut. Air matanya kian deras melintang. "Ya ampun, nggak nyangka banget kamu akan sekuat ini, Welas. Berani banget ngambil keputusan. Oh, Ya Tuhan!"Kama menepuk-nepuk pundak Seika. Begitu juga Ayah dan Sekar. Tanpa berkata-kata, hanya mengulum senyum tipis, William memeluk Seika dan Welas bersamaan. Dua wanita itu adalah bagian terpenting dalam hidupnya. Dulu, setelah menikahi Welas, sekarang dan selamanya. "Pokoknya kita nggak boleh loss contact!" cetus Seika begitu pelukan mereka terlepas secara alami. Mulai hari ini Welas dan William akan pindah dan tinggal di Netherlands. Pekerjaanlah yang menuntut William untuk mengambil keputusan ini. Bagaimanapun, apa pun yang terjadi, mustahil Welas tinggal di Indonesia sendiri. Long Distance Relationship bukanlah sesuatu yang mudah untuk dijalani, baginya. Welas tertawa cekikikan. "Lah, kamu aneh banget deh, Sei!