"Kau kemasi barang-barang dan pakaian sekarang!" titah Kama tanpa sedikit pun memandang Siti Hapsari. "Besok pagi-pagi kita berangkat ke Yogyakarta. Aku sudah pesan kendaraan yang akan mengantarkan kita ke bandara Kualanamu." Siti Hapsari baru saja membuka mulut, hendak memberikan tanggapan tetapi ternyata Kama belum selesai berbicara. Masih menghadap di dinding Mushalla sama seperti tadi, dia mengatakan, "Selama di Yogyakarta nanti, kau tinggal di rumah saja dan ini perintah dariku. Jangan sampai melanggar, jika benar kau ingin menjadi istri shalihah untukku. Paham?" "Paham, Bang." "Ikhlas kau kan, kuberi aturan macam itu?" Kama membalikkan separuh badan, menghadap Siti Hapsari supaya bisa memindai dusta dalam bola matanya. "Kalau tak ikhlas, kau cakap saja samaku sekarang?" Siti Hapsari mengangguk, menunduk. "Ikhlas, Bang." Kama beranjak dari tepi tempat tidur, berjalan mendekati jendela, memandang jauh ke depan. "Bagus. Aku pegang cakap dan Tuhan menyaksikan." "Tapi, Bang …
"Apa nggak sebaiknya kau pulang ke mari saja, Kama?" Abang meletakkan cangkir beling sewarna bunga waru yang sudah kosong itu di atas meja. "Maksud Abang, kau harus sampai hati menyampaikan kenyataan ini pada Seika, Kama. Tak patut menyembunyikan sesuatu yang baik lagi suci macam pernikahan kalian. Toh, cepat atau lambat Seika pasti tahu juga, kan?" Kama tak berkutik, laiknya pemain tinju yang terhantam keras-keras tepat di ulu hati. Sakit, sesak. "Kau kan bisa buka usaha sendiri di sini?" Abang menggeleng-gelengkan kepala, menghela napas panjang. "Bukan maksud hati Abang mencampuri urusan hidup kau, Kama. Tapi menurut Abang, sebaiknya jangan kau bawa Siti ke Yogyakarta! Kecuali kau bisa menjaga dan melindungi dia kejahatan apa pun itu yang mungkin dilakukan Seika." Emosional, Kama menyahut, "Lalu, jika tidak kubawa ke Yogyakarta, ke mana lagi harus kubawa dia, Bang? Rumahku ada di sana. Bagaimanapun, apa pun yang terjadi Siti harus ikut serta. Mustahil aku tinggalkan dia bersam
"Kama, ke marilah sebentar!" Mamak memanggil dari dalam kamar. Mau tak mau, siap tak siap meskipun lutut bergetar, Kama memenuhi panggilan Mamak. Sepertinya genting sekali. "Saya, Mak?" Mamak beringsut turun dari tempat tidur. "Ha, tolong kau ambilkan pucuk pisang yang masih tergulung di belakang ya? Kau ambilkan dua. Nah, kalau abangmu sudah siap sembahyang, kau suruh kemari dia, ya. Kurang sikit lagi, bukaannya lengkap." "Baik, Mak." Kama membalikkan badan menghadap ke pintu, berjalan gontai. Lututnya semakin bergetar sekarang. Sempat dilihatnya tadi si kakak Ipar meringis kesakitan, menjerit tertahan setengah mengedan. Keringat bercucuran di wajah pucatnya. "Abang, suruh masuk ke kamar sama Mamak." cakapnya saat berpapasan dengan Abang. Dia susah selesai sembahyang. "Ya, Kama." Abang membenarkan letak sarungnya. "Kau mau ke mana?" "Di suruh Mamak ambik pucuk pisang di belakang." Abang mengangguk. "Wah, terima kasih ya, Kama?" Giliran Kama yang mengangguk, mencoba men
Benar-benar peristiwa yang takkan mudah dia lupakan sepanjang hidupnya. Ini pertama kalinya Kama menyaksikan sebuah proses persalinan. Menguras emosi, sungguh. "Mamak ke mana?" Abang yang baru masuk ke kamar bertanya dengan kepanikan yang tak bisa dikatakan biasa. "Sembahyang, Bang." Siti Hapsari yang menjawab. Kama sudah terlalu bisu sekarang. "Oh, iya." Abang menyahut singkat lalu mendekati istrinya yang terlihat semakin lemas, gemetar. "Dek, bagaimana Dek? Kuat ya, sayangku?" bisiknya sambil mengusap-usap punggungnya. "Sebentar lagi anak kita lahir, lho." "Hemmm, hemmm … Aaahhh!" "Iya, Sebentar lagi. Terus berjuang ya, Dek?" Ajaib! Usai Abang berbisik seperti itu, si Kakak Ipar seperti ponsel yang lowbat terhubung dengan charger. Berangsur-bangsur kekuatannya pulih kembali. Proses persalinan pun kembali berjalan. Sabar dan tenang, Abang terus mengusap-usap punggung istrinya. "Ya Dek, ngeden semampumu. Sekuatmu. Pasrah sama Allah, Dek. Ingat Allah terus ya, sayangku. Nah
"Emh, oh, jadi Abang sudah menikah?" Hiranur bertanya lirih, sekian detik setelah siuman. Kama dan Siti Hapsari saling memandang. Memberikan senyuman yang walaupun tipis tapi terasa manis. Kama bahkan merangkulnya dari samping. Rangkulan pertama untuk yang bergelar isteri. Demikian lembut dan hangatnya rangkulan itu sehingga berdiri seluruh bulu roma Siti Hapsari. Degup jantung meningkat pesat, rongga dada bergemuruh dan aliran darah terhenti selama beberapa saat. Wajah ayu Siti Hapsari bersemu merah muda. "Ya, kami sudah menikah, Hiranur." Kama memberikan penjelasan singkat. Hiranur bangkit dari posisi berbaring, merapikan jilbab. Memastikan tak sedikit pun pakaiannya tersingkap. "Oh, kalau begitu selamat ya, Bang? Semoga kalian jadi keluarga bahagia, sakinah mawaddah warrahmah barakah. Diberikan keturunan yang shalih dan shalihah." "Aamiin." hampir bersamaan Siti dan Kama memberikan tanggapan singkat padat berisi. "Makasih ya, Hiranur?" "Sama-sama, Bang." lemah, Hiranur
Sungguh, demi mendengar semua yang disampaikan Seika, Hiranur semakin mengkerut. Menyusut. Tak sampai hati rasanya untuk melanjutkan tekad yang tadi. Namun jika tidak, Seika pasti akan bertambah tersiksa. Dia pasti akan terus bertanya, berpikir dan semakin bingung. "Ya, Seika." Hiranur kembali menguatkan diri. "Sorry to ask Seika, apa Bang Kama juga sudah memberitahu kalau ternyata mereka sudah menikah?" Dug jlep, plaaasss! Hampir saja Seika terjatuh tak sadarkan diri dari ayunan. "Apa Hiranur, Kama sudah menikah?" "Ya Seika, aku melihat mereka dengan mata kepalaku sendiri." ungkap Hiranur terisak-isak. Tak kuasa lagi membendung arus deras air mata. "Waktu aku datang, Siti Hapsari yang membukakan pintu lalu dia mengenakan diir sebagai istri Bang Kama. Tak lama sesudah itu, Bang Kama pun menjumpai kami di ruang tamu. Begitu juga dengan Makcik, Mamak Bang Kama. Oh, mereka benar-benar sudah menikah Seika, sungguh. Untuk apa aku berdusta?" Di kamarnya yang lux, Seika tak mampu berbuat
"Oh, hai Seika …!" Derya menyapa ramah. Seika baru saja memijakkan kaki di ruang tamu Real Publishing. "Selamat pagi. Ada apakah gerangan, sehingga menyempatkan diri bertandang ke mari?" Seika hanya melemparkan senyum ramah tamah. Melanjutkan langkah ke ruang kerja Menir Hank, berharap William sudah ada di sana. Ada banyak hal yang harus dia bicarakan dengannya. Salah satunya tentang Kama. Gadis Indo Belanda itu sudah memutuskan untuk membuat perhitungan. Bukan dendam namun bagaimanapun Kama harus mendapatkan pelajaran berharga dari pengkhianatannya. "William …!" Kosong. William tak ada di ruang kerja Menir Hank yang tanpa Seika sadari sudah turun ke tangan William. Oleh karena tak berjumpa dengan William, Seika menarik diri pulang. Bukan pulang ke rumah, melainkan mewujudkan niatnya yang tadi, ke Seikamara Publishing. Tut, tut, tuuuttt …! Lincah, jari-jemari Seika mencari kontak di Recent Calls dan mencoba untuk menelepon. Bukan apa-apa, tak sabar rasa hatinya untuk segera mel
"Sial, sial!" Seika memukul-mukul stir mobil kesayangan yang sempat disita oleh Menir Hank dulu, padahal sedang melaju di pasatnya lalu lintas. "Kamu jahat banget sih, Kama? Kamu tuh cinta mati aku, tahu? Segala-galanya sudah aku korbankan untuk kamu, termasuk kebahagiaan Papa. Tapi sekarang, apa yang kamu berikan buat aku? Kamu, begitu mudahnya kamu melupakan semua perjuangan kita, Kama. Dari titik nol, kamu ingat dan itu karena apa? Karena aku benar-benar mencintai kamu, sampai kapan pun!" Seika semakin larut dan hanyut dalam perasaannya sendiri, sekarang. Tak kuasa dia melayangkan meskipun sudah menciptakan sebuah prinsip biarkan Kama pergi, dia hanyalah sepenggal masa lalu. Tak semudah yang Seika bayangkan saat menciptakan prinsip itu, tentu saja. "Hahahaha … Pandai sekali kamu berdusta, Kama?" Seika menepikan mobil, berhenti di depan kafe IndoBelanda tempat dia dan Kama sering makan malam bersama. "Katamu, hanya ada satu pilihan dalam hidupmu? Menikah denganku atau tidak pern
"Jadi kan, Kak Seika, Mbak Welas ngasih kabar ke kami kalau Kakak hilang. Nah, terus Kakak minta tolong Leon untuk pergi ke rumah kalian. Siapa tahu kalian butuh bantuan. Eh, ternyata kosong rumahnya." Sekar mengawali ceritanya, sementara Leon masih merangkul dari samping kanan, menguatkan. "Akhirnya kami ke Real Publishing. Eh, Bang Kama juga nggak ada di sana. Nah, terus Leon tanya ke bagian resepsionis. Iya kan, Leon?"Leon mengangguk, tersenyum sedih. "Iya, benar. Aku tanya, Kama berangkat ke kantor apa nggak? Katanya berangkat, setengah hari. Kembali sebentar menitipkan Firdaus ke Vivi, pegawai di bagian administrasi. Terus pergi lagi. Nah, nggak berapa lama dari itu, si Vivi itu tadi pergi juga, membawa Firdaus.""Dari itulah kami mulai curiga, ada yang nggak beres pasti!"Leon membenarkan kesimpulan yang dibuat Sekar. "Aku memberanikan diri masuk ke ruang kerja Bang Kama. Mana tahu ada sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk." lanjut Sekar sambil melepaskan diri dari rangkulan Le
"Oh, Leon, terima kasih!" Seika tak mampu menutupi perasaan haru yang menyergap. "Aku nggak tahu gimana ceritanya kalau nggak ada kamu!" Sungguh, Seika merasa baru saja diselamatkan dari bencana alam yang begitu besar. Lebih besar dari tenggelamnya kapal Titanic, baginya. Bayangkanlah!Saat Leon berhasil menyusup masuk ke dalam rumah, Derya sedang bersiap-siap untuk menikahinya. Sudah duduk berhadapan dengan penghulu, dikelilingi oleh para saksi.Seumur hidup, baru kali itu Seika terlibat dalam sandiwara paling gila. Drama paling menguras emosi, tenaga jiwa dan raga. Bukan hanya melibatkan orang dewasa, Derya juga melibatkan Firdaus, seolah-olah penculikan itu adalah sebuah permainan anak-anak. "Serius, aku bahkan sudah berpikir untuk membawa Firdaus juga. Biar kami sama-sama nggak selamat, karena kasihan sekali kalau sampai dia jatuh ke tangan Derya untuk selamanya. Oh, dia tuh terlalu kejam untuk ukuran manusia. Terlalu jahat."Leon tersenyum simpul, menarik napas lega. "Sama-sam
Bencana!Mamak video call. Kama pun tertindih buah fiktif bernama simalakama seketika. Diangkat, tidak tahu harus berkata apa? Tidak diangkat, Mamak pasti curiga. "Ha, jangan-jangan Mamak telepon El tadi?" tanya hatinya begitu kuat. "Gawat!"Kama baru saja berpikir untuk mematikan ponsel ketika tiba-tiba ada panggilan masuk dari nomor tak dikenal. Sempat ragu tetapi akhirnya diangkat juga, dengan harapan itu adalah seseorang yang telah menculik Seika. Bahkan, Kama tidak memikirkan segala resiko yang mungkin terjadi. Terpenting Seika dapat ditemukan dalam keadaan sehat dan selamat tak kurang satu apa pun. "Ha---Halo!" sapa Kama gugup sambil mengurangi kecepatan laju mobil, menepi. Sekarang mereka sudah sampai di Jalan Parangtritis KM 5. Menurut alamat yang tertera di denah, sebentar lagi akan sampai di tempat persembunyian Derya. "Ini dengan siapa?""Ini Mamak, Kama! Pakai nomor abangmu yang baru. Kalian lagi di mana ini, Mamak telepon dari tadi kok, nggak diangkat?"Dug! Sekeras it
"Eh, jangan asal, ya?" Kama mulai tersebut amarah. "Aku nggak kenal siapa kamu. Jangankan gula-gula, tebu atau apa pun itu yang kamu bilang tadi. Dengar baik-baik, ya? Selain istriku, aku nggak pernah menyentuh yang namanya perempuan." tandas Kama emosional. "Minggir kamu, buang-buang waktu saja!" "Ya ampun, Kama … Beneran kamu nggak inget sama aku?" Adiva, tentu saja tak sudi melepaskan Kama. Hanya dia satu-satunya jalan untuk tetap bersama Derya. "Ternyata benar ya, kata teman-temanku, selain sampah kamu juga laki-laki gila!"Braaak! Dengan sangat kasar, Kama menutup pintu mobil kembali. Bisa-bisanya wanita yang tak dikenalnya ini bersikap lancang, merendahkan? "Hei, apa-apaan kamu? Apa yang kamu bilang tadi? Woi, sadar, woi! Bukan aku yang sampah, gila atau apa pun itu yang kamu tuduhkan tapi kamu. Buktinya? Kamu datang dengan cara misterius dan membuat masalah denganku. Sampah sekali kan, itu? Gila!""Eh, santai dong, Kama? Kok, malah jadi semeledak ini, sih? Ya ampun, malu don
"Leon!" tuduh Kama begitu menyadari CCTV di rumah sudah tidak terpasang lagi. Lebih tepatnya hilang dari tempatnya. "Pasti dia, siapa lagi? Ugh, dasar, brengsek! Kurang ajar, berani-beraninya membuat masalah denganku!" Secepat kilat, Kama kembali ke kamar, menggendong Firdaus yang ternyata sudah bangun. Berjalan cepat ke ruang makan, membuatkan susu. Memasukkan satu kaleng susu ke dalam tas bekal, diaper, tisu basah dan tiga setel baju ganti. "Kita ke kantor Daddy ya, Nak?" sebisa mungkin Kama bersikap tenang. "Nanti kamu Daddy titipkan sama Tante Vivi dulu, ya? Daddy harus mencari Mommy." Seakan mengerti situasi sulit yang dihadapi sang Ayah, Firdaus tersenyum tampan. Bukannya menangis, rewel atau sejenisnya. "Yuk, kita harus cepat, Nak!" ajak Kama sambil setengah berlari ke ruang tamu. Memastikan ponsel masih di saku celana. Menutup pintu dan menguncinya rapat-rapat. "Doakan ya Nak, semoga Mommy cepat ketemu?" Kama tak mau kehilangan waktu walau hanya satu detik. Sungguh, bag
Sesampainya di rumah, Kama langsung melompat turun dari mobil. Berlari ke teras, mengetuk pintu. Menekan bel dengan tak sabar namun tetap menunggu. Oleh karena mendengar tangisan Firdaus yang melengking-lengking dari ruang tamu, tanpa pikir panjang langsung membuka pintu. Semakin bingung karena ternyata pintu tidak dikunci, pertanyaan demi pertanyaan membombardir tanpa ampun. Apa yang terjadi?Ke mana Seika?Bagaimana bisa Firdaus menangis sejadi-jadinya seperti ini?"Firdaus, sini sama Daddy!" cakapnya di antara kepanikan yang mulai melanda. "Mommy ke mana, Nak?" Firdaus sudah tenang dalam pelukan Kama walau sesekali masih terisak. Sekarang the real Seika Eline's lover itu berjalan cepat ke kamar, berharap dapat menemukannya."El!" Kama terus memanggil di antara segala perasaan yang semakin tak menentu. "El, Eline!" Tak mengunduh sahutan barang secuil kecil kata pun Kama semakin bingung, panik dan ketakutan. Namun demikian dia masih bisa berjalan cepat ke luar kamar, menyisir se
"Selamat sore, Noni!" kedatangan Derya yang tiba-tiba lebih dari mengejutkan Seika. Mengusik ketenangan hati. "Der-Derya?" Seika tak mampu mengatasi rasa gugupnya. "Mau apa kamu di sini?" Derya tidak takut sedikit pun, tentu saja. Bukannya menarik langkah mundur atau bagaimana, dia malah semakin mendekat. Pantang menyerah."Tenang, Noni!" katanya sambil mengangkupkan tangan di dada. "Saya ke sini hanya untuk melihat Noni sebentar, tidak lebih.""Melihat, maksud kamu?" Seika memasang wajah galak, meskipun sebenarnya masih terkejut. Bingung. "Jangan macam-macam ya kamu, Derya!"Derya tersenyum optimis, sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Nggak, Noni, percaya sama saya!"Seika mencebik, memunculkan sisi tegas dalam dirinya. "Dari dulu saya nggak pernah percaya sama kamu, Derya. Aneh saja kalau tiba-tiba percaya. To the point saja lah, ada perlu apa kamu ke sini? Oh ya, memangnya kamu belum kera juga setelah sekian waktu lamanya mendekam di penjara, ha?""Wah, wah, wah … Sekarang Noni
Firdaus Nismara. Bayi berumur empat bulan itu sudah tertidur lelap di box bayi. Baru saja Seika memandikan, memakaikan pakaian terbaik, memberinya susu formula. Tak hanya itu, Seika juga memutarkan lagu pengantar tidur. "Selamat mimpi indah, Firdaus. Mommy mau mandi dulu, ya?" bisiknya lembut. "Nanti, kalau Firdaus bangun tapi Mommy masih mandi, jangan nangis, ya? Mommy nggak lama, kok."Sejenak, Seika memandangi wajah polos dan suci Firdaus. Tak dapat dipungkiri, bayi ini mewarisi wajah cantik Siti Hapsari. Hidung bangir, bibir sexy, mata bulat besar, bulu mata lentik, alis tebal membentuk bulan sabit … Nyaris semuanya copy paste Siti Hapsari. Kecuali rambut pirang ikalnya, mewarisi rambut Mamak. "See you soon, Firdaus!" bisiknya tersendat-sendat, menahan tangis. "Oh, mamakmu di sana pasti bangga punya kamu, Anak Baik." Tak terasa air mata Seika menetes hangat. Teringat bagaimana hari itu, hari dimana Hirabur memberikan kabar tentang Siti Hapasari yang telah menutup mata untuk se
"Jangan lupa kasih kabar ya Welas, kalau kalian sudah sampai di sana?" lagi, Seika merengkuh Welas ke dalam pelukan, berbisik lembut. Air matanya kian deras melintang. "Ya ampun, nggak nyangka banget kamu akan sekuat ini, Welas. Berani banget ngambil keputusan. Oh, Ya Tuhan!"Kama menepuk-nepuk pundak Seika. Begitu juga Ayah dan Sekar. Tanpa berkata-kata, hanya mengulum senyum tipis, William memeluk Seika dan Welas bersamaan. Dua wanita itu adalah bagian terpenting dalam hidupnya. Dulu, setelah menikahi Welas, sekarang dan selamanya. "Pokoknya kita nggak boleh loss contact!" cetus Seika begitu pelukan mereka terlepas secara alami. Mulai hari ini Welas dan William akan pindah dan tinggal di Netherlands. Pekerjaanlah yang menuntut William untuk mengambil keputusan ini. Bagaimanapun, apa pun yang terjadi, mustahil Welas tinggal di Indonesia sendiri. Long Distance Relationship bukanlah sesuatu yang mudah untuk dijalani, baginya. Welas tertawa cekikikan. "Lah, kamu aneh banget deh, Sei!