"Jadi, apa yang kamu inginkan sekarang, Seika?" William memperhatikan adik sepupunya dengan serius dan fokus. "Yakin, kamu sudah nggak emosional lagi? Ingat Seika, keputusan yang diambil saat emosional itu sama dengan kita membuat jalan buntu di depan rumah. Ya, setelah emosi kita reda saat itulah kita baru menyadari kalau kita nggak bisa je mana-mana lagi." Seika mengernyitkan kening. Mengaduk-aduk cokelat panasnya yang sebenarnya tak perlu lagi, membuka kertas pembungkus waffel. "Ya, aku tahu itu, William. Tetapi Kama terlalu jahat, pengkhianat!" William baru membuka suara untuk memberikan tanggapan tetapi Seika sudah langsung menyambar. "Jangan karena kamu laki-laki William, jadi kamu menyikapi masalah ini dari sudut pandang laki-laki pada umumnya. Oh ya, kalau Kama bisa meninggalkan aku begitu saja, tanpa kesan dan pesan sedikit pun aku juga bisa mencoretnya dari Seikamara Publishing dengan cara yang sama. Why not? Toh, masih ada Welas dan karyawan-karyawan yang lain, kan? Well,
Siti Hapsari menggeleng-gelengkan kepala, lemah. Air mata bermekaran di matanya, nyaris gugur. "Belum, Mak." Terkejut, tak percaya Mamak melekatkan pandangan. "Oalah Kama, Kama. Apa maunya anak itu?" "Siti pun nggak tahu Mak, Bang Kama selalu menghindar. Menolak setiap kali Siti mendekati." ungkap Siti Hapsari tanpa tirai penutup barang sehelai pun. "Padahal Siti sudah berusaha untuk memeluk, merangkul … Siti pun susah pakai lingerie yang Mamak belikan itu Mak, tapi sikit pun Bang Kama tak mau tengok. Berpaling dia Mak, ke jendela." Mamak mendesah berat. Berdecak heran sekaligus pusing. "Setiap malam kau buat macam tu, Ti?" Siti Hapsari mengangguk, menahan rasa malu. Menyeka air mata yang memaksa turun dengan beberapa lembar tisu. "Tadi malam pun Siti buat Mak tapi Bang Kama pigi ke luar kamar, nengok TV. Siti tunggu-tunggu sampai jam dua, tak ada lagi dia masuk kamar, Mak. Terus terang Siti bingung, apa kekurangan Siti? Apa salah Siti, Mak?" "Nggak, nggak ada kurangnya kau, S
Mamak menyarankan Siti Hapsari untuk terus bersabar dan mendekati Kama. Dia yakin, anak laki-laki tersayang tak lebih keras dari pada batu karang di tengah lautan. Jika Siti Hapsari teguh kukuh berlapis baja, lama kelamaan Kama akan terkikis juga. "Tapi bagaimana caranya, Mak?" Siti Hapsari memijat-mijat kedua pelipis, semakin sakit kepalanya. Mamak merendahkan suara. Memastikan Kama belum pulang, melongok ke ruang tengah dari balik gorden pintu dapur. "Banyak caranya, Siti." Mamak tersenyum penuh keyakinan. "Apa itu, Mak?" "Kau jaga penampilanmu dengan lebih baik lagi, Siti." Mamak setengah berbisik. "Pokoknya kau harus selalu bersih, rapi, wangi, lemah lembut dan pandai menjaga perasaannya. Mamak yakin seratus persen, kalau semua itu kau jalankan, tak lama lagi Kama akan meleleh dengan sendirinya. Mencair dan semakin lama akan semakin tergila-gila samamu." Siti Hapsari menyimak baik-baik semua saran Mamak, tentu saja walaupun masih bingung juga, apa selama ini dirinya kurang
Meleleh hati Seika demi mendapati sikap Bibi yang demikian mengkhawatirkannya. Terutama saat sosok tulus, setia itu menubruk lalu memeluk dengan sepenuh kasih sayang. Tak mampu lagi Seika melanjutkan tekad meskipun sebesar gunung Merapi, setinggi menara Eiffel, seluas samudera Atlantik … Gadis yang di dalam tubuhnya mengalir darah Belanda - Indonesia itu membalas pelukan Bibi dengan sebentuk kemanjaan bercampur kepasrahan. "Bibi …?" "Noni, jangan tinggalkan Bibi." wanita paruh baya yang sudah seusia Seika mengabdikan diri di rumah ini memandang penuh sayang. Kesedihan jelas terlihat di sana, bercampur dengan kesedihan. "Noni sudah kehilangan Mevrauw dan Menir. Bibi nggak tahu, masih sanggup untuk melanjutkan hidup ini atau tidak jika Noni juga pergi. Bibi di sini untuk Noni." Bibi mencuil sayang pucuk dagu daun sirih Seika, tersenyum sedih. "Bibi di sini untuk Noni. Seandainya Mevrauw tidak berwasiat sekalipun Bibi tetap akan di sini. Karena Bibi menyayangi Noni." "Oh, Bibi …?"
"Hai, Hiranur!" sumringah, Derya menjemput Hiranur di bandara. "Gimana, capek banget ya?" Hiranur berusaha menjajari langkah Kama, tersenyum setipis kulit ari. "Nggak kok Bang, biasa saja." Kama tertawa kecil. "Oh, syukurlah kalau begitu, Hira. Gimana mamaknya, sudah sembuh kan? Nggak apa-apa kan, ditinggal Hira kerja lagi? Ada yang jaga, kan?" Atas semua pertanyaan Derya itu Hiranur hanya menebalkan senyuman. Memasang wajah tenang dengan harapan Derya mengerti kalau semua dalam keadaan baik termasuk mamaknya. Hiranur juga berdoa semoga Derya tak pernah tahu kalau sebenarnya dia hanya berbohong, supaya lebih mudah mengurus cuti. Mustahil dia mengakui kalau harus pulang karena penasaran dengan situasi Kama terkini. "Abang khawatir banget lho Hira, terpikir mamak Hiranur terus." "Oh, ya?" Hiranur merasa takjub, orang sejahat Derya masih bisa mengkhawatirkan keadaan orang lain. Malaikat apa yang sudah menyentuh hatinya? "Makasih banyak ya, Bang Derya?" Derya mengangguk, melemparkan
"Masuk!" titah Kama tanpa sedikitpun menyorotkan pandangan. "Ingat janjimu ya Ti, jangan sampai ingkar!" cakapnya dengan nada mengancam. "Jangan pernah main-main samaku, kalau kau ingin hidup dengan selamat!" Terpaksa Kama mengajak Siti Hapsari ke Yogyakarta karena Mamak tak sedikit pun tersentuh hatinya. Bahkan, setelah dia menyeret soal pulang tinggal nyawa pun Mamak bergeming. "Masuk, aku bilang!" belum pernah Kama bersikap sekasar ini terhadap perempuan tetapi apa boleh buat? Siti Hapsari malah berdiri mematung di teras. "Siti Hapsari, masuk!" Tangis Siti Hapsari berguguran, selayaknya gerimis yang terlahir dari awan-awan mendung. Tak kuasa lagi hatinya menahan sakit akibat sikap dan kata-kata Kama. Tak pernah menyangka, kalau Kama akan bersikap semenyakitkan ini terhadapnya. Terlebih setelah berada sejauh ini dari Mamak, Pakcik dan keluarga di Aceh. "Ayo, masuk!" kasar, Kama menarik tangan Siti hingga terhuyung-huyung. Nyaris terjatuh di depan pintu ruang tamu. "Jangan banda
"Ini kuncinya, Kama." Welas mengansurkan benda mungil dengan untaian huruf membentuk nama SEIKAMARA tergantung di sana. Gantungan kunci yang pernah bohong di jagat Seikamara Publishing dan perusahaan-perusahaan relasi. "Sorry, baru bisa ngantar. Aku banyak pekerjaan di kantor." Kikuk, Kama menerimanya. Mencoba untuk memberikan senyuman meskipun hanya setipis kulit ari. Meskipun sangat sulit, Kama ingin terlihat tenang di hadapan karyawan sekaligus sahabat dekatnya itu. "Terima ka---" Welas memangkas ucapan terima kasih Kama dengan sempurna. Mimik wajahnya kini berubah menjadi awan mendung gelap gulita. "Terima kasih juga ya Kama, karena sudah membuat Seika hancur lebur?" Lebih dari terkejut, seperti terhantam pukulan keras di bagian dada, Kama hanya bisa diam. Menunduk, mengatur diri supaya tidak terlalu kacau. Dia tak tahu, tak pernah tahu kalau ternyata Welas memiliki sisi tangguh seperti yang baru saja terlihat olehnya. "Semoga kamu bahagia ya, Kama?" lanjut Welas setelah seki
"Mak, ini Seika Eline, calon menantu Mamak." Kama memperkenalkan mereka dengan rona bahagia bermekaran di wajah. "El, ini Mamak." Malu-malu, Seika mengulurkan tangan. Menyalami Mamak yang memberikan senyum ramah dan hangat. "Ayo mari … Masuk kita, yuk?" ajak Mamak setelah beberapa saat sepi melingkupi oleh karena entah bagaimana semuanya terdiam. "Makan kita, yuk? Mamak sudah masakkan gulai pakis sama goreng ikan tongkol. Suka kali kau kan, Kama? Kalian pun pasti sudah lapar, kan?" Sedikit tajam, Seika melirik Kama yang berjalan di sebelah kanan Mamak. Sejujur-jujurnya rasa percaya dirinya anjlok setelah berhadapan dengan Mamak. Bagaimana tidak? Meskipun tak pernah tergetar dari bibir sang Kekasih Hati, tetapi Seika bisa menebak. Mamak pasti mengidamkan menantu muslim yang taat. Berkerudung, rajin beribadah, pandai mengaji tidak seperti dirinya yang masih dalam tahap belajar. Walaupun pada kenyataannya Mamak terlihat menyenangkan, ramah dan hangat ketika menyambut kedatangan me
"Jadi kan, Kak Seika, Mbak Welas ngasih kabar ke kami kalau Kakak hilang. Nah, terus Kakak minta tolong Leon untuk pergi ke rumah kalian. Siapa tahu kalian butuh bantuan. Eh, ternyata kosong rumahnya." Sekar mengawali ceritanya, sementara Leon masih merangkul dari samping kanan, menguatkan. "Akhirnya kami ke Real Publishing. Eh, Bang Kama juga nggak ada di sana. Nah, terus Leon tanya ke bagian resepsionis. Iya kan, Leon?"Leon mengangguk, tersenyum sedih. "Iya, benar. Aku tanya, Kama berangkat ke kantor apa nggak? Katanya berangkat, setengah hari. Kembali sebentar menitipkan Firdaus ke Vivi, pegawai di bagian administrasi. Terus pergi lagi. Nah, nggak berapa lama dari itu, si Vivi itu tadi pergi juga, membawa Firdaus.""Dari itulah kami mulai curiga, ada yang nggak beres pasti!"Leon membenarkan kesimpulan yang dibuat Sekar. "Aku memberanikan diri masuk ke ruang kerja Bang Kama. Mana tahu ada sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk." lanjut Sekar sambil melepaskan diri dari rangkulan Le
"Oh, Leon, terima kasih!" Seika tak mampu menutupi perasaan haru yang menyergap. "Aku nggak tahu gimana ceritanya kalau nggak ada kamu!" Sungguh, Seika merasa baru saja diselamatkan dari bencana alam yang begitu besar. Lebih besar dari tenggelamnya kapal Titanic, baginya. Bayangkanlah!Saat Leon berhasil menyusup masuk ke dalam rumah, Derya sedang bersiap-siap untuk menikahinya. Sudah duduk berhadapan dengan penghulu, dikelilingi oleh para saksi.Seumur hidup, baru kali itu Seika terlibat dalam sandiwara paling gila. Drama paling menguras emosi, tenaga jiwa dan raga. Bukan hanya melibatkan orang dewasa, Derya juga melibatkan Firdaus, seolah-olah penculikan itu adalah sebuah permainan anak-anak. "Serius, aku bahkan sudah berpikir untuk membawa Firdaus juga. Biar kami sama-sama nggak selamat, karena kasihan sekali kalau sampai dia jatuh ke tangan Derya untuk selamanya. Oh, dia tuh terlalu kejam untuk ukuran manusia. Terlalu jahat."Leon tersenyum simpul, menarik napas lega. "Sama-sam
Bencana!Mamak video call. Kama pun tertindih buah fiktif bernama simalakama seketika. Diangkat, tidak tahu harus berkata apa? Tidak diangkat, Mamak pasti curiga. "Ha, jangan-jangan Mamak telepon El tadi?" tanya hatinya begitu kuat. "Gawat!"Kama baru saja berpikir untuk mematikan ponsel ketika tiba-tiba ada panggilan masuk dari nomor tak dikenal. Sempat ragu tetapi akhirnya diangkat juga, dengan harapan itu adalah seseorang yang telah menculik Seika. Bahkan, Kama tidak memikirkan segala resiko yang mungkin terjadi. Terpenting Seika dapat ditemukan dalam keadaan sehat dan selamat tak kurang satu apa pun. "Ha---Halo!" sapa Kama gugup sambil mengurangi kecepatan laju mobil, menepi. Sekarang mereka sudah sampai di Jalan Parangtritis KM 5. Menurut alamat yang tertera di denah, sebentar lagi akan sampai di tempat persembunyian Derya. "Ini dengan siapa?""Ini Mamak, Kama! Pakai nomor abangmu yang baru. Kalian lagi di mana ini, Mamak telepon dari tadi kok, nggak diangkat?"Dug! Sekeras it
"Eh, jangan asal, ya?" Kama mulai tersebut amarah. "Aku nggak kenal siapa kamu. Jangankan gula-gula, tebu atau apa pun itu yang kamu bilang tadi. Dengar baik-baik, ya? Selain istriku, aku nggak pernah menyentuh yang namanya perempuan." tandas Kama emosional. "Minggir kamu, buang-buang waktu saja!" "Ya ampun, Kama … Beneran kamu nggak inget sama aku?" Adiva, tentu saja tak sudi melepaskan Kama. Hanya dia satu-satunya jalan untuk tetap bersama Derya. "Ternyata benar ya, kata teman-temanku, selain sampah kamu juga laki-laki gila!"Braaak! Dengan sangat kasar, Kama menutup pintu mobil kembali. Bisa-bisanya wanita yang tak dikenalnya ini bersikap lancang, merendahkan? "Hei, apa-apaan kamu? Apa yang kamu bilang tadi? Woi, sadar, woi! Bukan aku yang sampah, gila atau apa pun itu yang kamu tuduhkan tapi kamu. Buktinya? Kamu datang dengan cara misterius dan membuat masalah denganku. Sampah sekali kan, itu? Gila!""Eh, santai dong, Kama? Kok, malah jadi semeledak ini, sih? Ya ampun, malu don
"Leon!" tuduh Kama begitu menyadari CCTV di rumah sudah tidak terpasang lagi. Lebih tepatnya hilang dari tempatnya. "Pasti dia, siapa lagi? Ugh, dasar, brengsek! Kurang ajar, berani-beraninya membuat masalah denganku!" Secepat kilat, Kama kembali ke kamar, menggendong Firdaus yang ternyata sudah bangun. Berjalan cepat ke ruang makan, membuatkan susu. Memasukkan satu kaleng susu ke dalam tas bekal, diaper, tisu basah dan tiga setel baju ganti. "Kita ke kantor Daddy ya, Nak?" sebisa mungkin Kama bersikap tenang. "Nanti kamu Daddy titipkan sama Tante Vivi dulu, ya? Daddy harus mencari Mommy." Seakan mengerti situasi sulit yang dihadapi sang Ayah, Firdaus tersenyum tampan. Bukannya menangis, rewel atau sejenisnya. "Yuk, kita harus cepat, Nak!" ajak Kama sambil setengah berlari ke ruang tamu. Memastikan ponsel masih di saku celana. Menutup pintu dan menguncinya rapat-rapat. "Doakan ya Nak, semoga Mommy cepat ketemu?" Kama tak mau kehilangan waktu walau hanya satu detik. Sungguh, bag
Sesampainya di rumah, Kama langsung melompat turun dari mobil. Berlari ke teras, mengetuk pintu. Menekan bel dengan tak sabar namun tetap menunggu. Oleh karena mendengar tangisan Firdaus yang melengking-lengking dari ruang tamu, tanpa pikir panjang langsung membuka pintu. Semakin bingung karena ternyata pintu tidak dikunci, pertanyaan demi pertanyaan membombardir tanpa ampun. Apa yang terjadi?Ke mana Seika?Bagaimana bisa Firdaus menangis sejadi-jadinya seperti ini?"Firdaus, sini sama Daddy!" cakapnya di antara kepanikan yang mulai melanda. "Mommy ke mana, Nak?" Firdaus sudah tenang dalam pelukan Kama walau sesekali masih terisak. Sekarang the real Seika Eline's lover itu berjalan cepat ke kamar, berharap dapat menemukannya."El!" Kama terus memanggil di antara segala perasaan yang semakin tak menentu. "El, Eline!" Tak mengunduh sahutan barang secuil kecil kata pun Kama semakin bingung, panik dan ketakutan. Namun demikian dia masih bisa berjalan cepat ke luar kamar, menyisir se
"Selamat sore, Noni!" kedatangan Derya yang tiba-tiba lebih dari mengejutkan Seika. Mengusik ketenangan hati. "Der-Derya?" Seika tak mampu mengatasi rasa gugupnya. "Mau apa kamu di sini?" Derya tidak takut sedikit pun, tentu saja. Bukannya menarik langkah mundur atau bagaimana, dia malah semakin mendekat. Pantang menyerah."Tenang, Noni!" katanya sambil mengangkupkan tangan di dada. "Saya ke sini hanya untuk melihat Noni sebentar, tidak lebih.""Melihat, maksud kamu?" Seika memasang wajah galak, meskipun sebenarnya masih terkejut. Bingung. "Jangan macam-macam ya kamu, Derya!"Derya tersenyum optimis, sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Nggak, Noni, percaya sama saya!"Seika mencebik, memunculkan sisi tegas dalam dirinya. "Dari dulu saya nggak pernah percaya sama kamu, Derya. Aneh saja kalau tiba-tiba percaya. To the point saja lah, ada perlu apa kamu ke sini? Oh ya, memangnya kamu belum kera juga setelah sekian waktu lamanya mendekam di penjara, ha?""Wah, wah, wah … Sekarang Noni
Firdaus Nismara. Bayi berumur empat bulan itu sudah tertidur lelap di box bayi. Baru saja Seika memandikan, memakaikan pakaian terbaik, memberinya susu formula. Tak hanya itu, Seika juga memutarkan lagu pengantar tidur. "Selamat mimpi indah, Firdaus. Mommy mau mandi dulu, ya?" bisiknya lembut. "Nanti, kalau Firdaus bangun tapi Mommy masih mandi, jangan nangis, ya? Mommy nggak lama, kok."Sejenak, Seika memandangi wajah polos dan suci Firdaus. Tak dapat dipungkiri, bayi ini mewarisi wajah cantik Siti Hapsari. Hidung bangir, bibir sexy, mata bulat besar, bulu mata lentik, alis tebal membentuk bulan sabit … Nyaris semuanya copy paste Siti Hapsari. Kecuali rambut pirang ikalnya, mewarisi rambut Mamak. "See you soon, Firdaus!" bisiknya tersendat-sendat, menahan tangis. "Oh, mamakmu di sana pasti bangga punya kamu, Anak Baik." Tak terasa air mata Seika menetes hangat. Teringat bagaimana hari itu, hari dimana Hirabur memberikan kabar tentang Siti Hapasari yang telah menutup mata untuk se
"Jangan lupa kasih kabar ya Welas, kalau kalian sudah sampai di sana?" lagi, Seika merengkuh Welas ke dalam pelukan, berbisik lembut. Air matanya kian deras melintang. "Ya ampun, nggak nyangka banget kamu akan sekuat ini, Welas. Berani banget ngambil keputusan. Oh, Ya Tuhan!"Kama menepuk-nepuk pundak Seika. Begitu juga Ayah dan Sekar. Tanpa berkata-kata, hanya mengulum senyum tipis, William memeluk Seika dan Welas bersamaan. Dua wanita itu adalah bagian terpenting dalam hidupnya. Dulu, setelah menikahi Welas, sekarang dan selamanya. "Pokoknya kita nggak boleh loss contact!" cetus Seika begitu pelukan mereka terlepas secara alami. Mulai hari ini Welas dan William akan pindah dan tinggal di Netherlands. Pekerjaanlah yang menuntut William untuk mengambil keputusan ini. Bagaimanapun, apa pun yang terjadi, mustahil Welas tinggal di Indonesia sendiri. Long Distance Relationship bukanlah sesuatu yang mudah untuk dijalani, baginya. Welas tertawa cekikikan. "Lah, kamu aneh banget deh, Sei!