Ada yang mengatakan bahwa, permintaan maaf akan selalu mudah diucapkan oleh mereka yang memiliki rasa cinta yang lebih besar. Dinda menyadari itu, perasaannya terhadap Fahri semakin hari semakin tumbuh besar. Rasa takut kehilangannya pun sama."Nda lagi PMS?" tanya Fahri tiba-tiba. Dinda melonggarkan pelukannya, menggeleng dengan kening berkerut. "Nggak. Kenapa memangnya?""Abisan uring-uringan nggak jelas gitu.""Uda yang mulai." Dinda memberengut sembari menghenyakkan bokongnya di samping Fahri. Rasanya sudah lama sekali mereka tak duduk berdampingan seperti ini. Biasanya walaupun sering bertengkar, pada akhir hari mereka akan tetap tidur seranjang dan saling memeluk. Namun, semenjak Dinda berada di tempat pelatihan, komunikasi mereka pun terbatas. Dinda begitu sibuk dengan segala pengayaan materi dan tugas yang diberikan selama pelatihan. "Lapar nggak, Nda?" Fahri memilih untuk. menghentikan perdebatan yang ia tau tak akan pernah berkesudahan. Dinda mengangguk cepat. "Nda sengaj
Setelah pertengkaran kecil mereka, Fahri dan Dinda kini menikmati akhir minggu di sebuah tempat wisata menunggang kuda. Akhir minggu yang romantis impian Dinda terwujud juga. Dengan jantung terasa berlompatan tak karuan, Dinda duduk dengan posisi memunggungi, dan punggung menempel ke dada Fahri. Fahri yang memegang tali kendali kuda tunggangan mereka. Romantis, bukan? Menunggangi kuda mengitari hamparan kebun teh yang hijau, dengan udara yang sejuk, bersama orang yang dicintai. Apa ada lagi yang kurang? Susah payah mengendalikan detak jantungnya, berimbas pada sikap Dinda. Semenjak kuda yang mereka tunggangi mulai memasuki jalan setapak di antara perkebunan teh, Dinda tak lagi berceloteh. Dia sibuk dengan buncahan rasa hangat yang menari-nari di perutnya. Sama seperti jantungnya, seperti ada benda-benda yang berlompatan membuat aliran darahnya menjadi tak teratur. Seolah darahnya mendadak naik ke wajah. Sehingga, entah beberapa kali Dinda menekan-nekan wajahnya dengan kedua telapak t
Tak terasa waktu mereka habis hanya dengan cerita tentang pengalaman Dinda selama pelatihan, Fahri tak menyadari. Rasanya sudah terlalu lama mereka tak duduk berdua seperti ini. Padahal baru satu minggu terlewati tanpa kehadiran Dinda di rumah. Fahri baru menyadari arti Dinda di hatinya kini. Rasa takut kehilangan kini mulai mendominasi. Pengalamannya saat Priska pergi masih menyisakan trauma. Fahri tak mau hal itu terjadi lagi. Ia terus saja menyangkal perasaan yang kini mulai terasa nyata. Ia makin enggan menyatakan cinta yang dituntut oleh Dinda. Fahri takut, ketika nanti ia telah memberikan hatinya kepada perempuan yang akhir-akhir ini selalu mengganggu pikirannya itu, ia kembali ditinggal dengan rasa kecewanya. Fahri tidak ingin kembali terluka. Untuk saat ini ia hanya ingin Dinda tetap berada di sampingnya. "Uda capek, ya, dengerin Nda cerita?" tanya Dinda begitu menyadari tatapan Fahri menerawang entah ke mana. Kembali lagi prasangka itu hadir, mengira Fahri kini tengah memik
Saat menunggu lift menuju lantai di mana kamarnya berada, Dinda bertemu Nunik yang baru turun. Gadis itu terlihat manis dengan balutan sweater rajut berwarna marun dipadukan dengan high waist jeans. Rambut sebahunya tersisir rapi, dan wajahnya dipoles riasan yang cukup tebal. "Eh, Nik! Mau ke mana?" tanya Dinda dengan tatapan heran, penampilan Nunik terlihat seperti hendak pergi kencan. "Pak Syahid ulang tahun, beliau mengadakan pool party, semua trainee diundang. Kan di-share di grup. Kamu nggak baca?" terang Nunik dengan cepat. "Tadi aku juga wa kamu, tapi nggak dibaca. Keasyikan setoran sama suaminya, ya?" todong Nunik sambil cengengesan.Dinda membalas dengan cengiran lebar."Kamu mau bareng, apa mau ganti baju dulu?" tanya Nunik saat mendapati jawaban dari Dinda hanya cengiran saja."Memangnya harus datang, ya?" Dinda saat ini sedang ingin menyendiri. Perasaannya masih berantakan akibat pertengkaran dengan Fahri barusan."Nggak wajib, sih. Tapi yang ngadain Pak Syahid, nggak en
Dinda celingukan, baru menyadari bahwa ia ditinggal sendirian, berdua dengan Gibran tepatnya. Mendadak wajahnya panas saat mengingat percakapan mereka sebelum Gibran datang."Ditanya malah celingukan?" tanya Gibran dengan tawa pelan."Tadi Nda ramean di sini, deh. Kok pada ngilang. Uda ngeliat Nda sama teman yang lain, kan tadi?" tanya Dinda dengan wajah heran.Gibran turut celingukan. Kemudian dia menggeleng. "Nggak, tadi aku ngeliat Nda sendiri aja di sini."Mata dan bibir Dinda membulat, reflek Dinda mengusap tengkuk. "Uda serius?"Gibran mengangguk."Terus dari tadi Nda ngobrol sama siapa?" gumam Dinda dengan wajah pias. Dia yakin yang tadi bersamanya memang benar teman pelatihannya. Lalu bibir Dinda mengulas senyum dengan embusan napas lega, saat mendapati teman-temannya itu berdiri di balik dinding pembatas antara area kolam renang dan servis area."Itu mereka," tukas Dinda menunjuk dengan wajah lega.Gibran hanya menoleh sekilas, tak tertarik dengan mereka yang menyembunyikan d
Fahri memacu kembali mobilnya menuju daerah Puncak setelah mendapat kabar bahwa Dinda kritis. Berbagai pikiran buruk silih berganti memenuhi benaknya. Kemudian kelebat senyum lemah Dinda saat mereka berpisah tadi, membuat ketakutan Fahri semakin menjadi. Bagaimana jika itu adalah pertanda perpisahan dari istrinya. Berkali-kali lelaki di belakang kemudi itu mengusap kasar matanya yang mengabur dan terasa panas. Sesal menyelimuti hatinya. Fahri takut ditinggalkan untuk kedua kalinya, hatinya terlalu rapuh untuk kembali menerima kehilangan.Bulan depan tepat satu tahun pernikahan mereka, reka adegan kenangan bersama Dinda selama hampir satu tahun ini membuat rasa bersalah merayapi hati Fahri. Menyadari betapa buruknya ia memperlakukan Dinda. Bahkan sebaris kata cinta saja enggan ia ucapkan. Lalu bayangan sorot mata Dinda yang penuh harap kembali memenuhi ruang memorinya. Perempuan itu rela merendahkan harga diri demi mengharapkan sebuah pengakuan darinya. Dan dengan brengseknya ia selalu
"Uda pulang dulu," pamit Fahri setelah mengantarkan Dinda kembali ke hotel. Pukul 09.00 Dinda sudah diizinkan pulang setelah kondisinya stabil.Dinda hanya mengangguk dan meluncur turun tanpa berkata apa pun. Bahkan tanpa mengucapkan terima kasih seperti biasa. Kalimat Fahri yang menyalahkannya di rumah sakit semalam, membekas dalam benak Dinda. Melukai jantung dan hatinya. Sebegitu tak berharganya ia di mata Fahri, bahkan ketika ia tengah terbaring lemah di rumah sakit pun, lelaki itu masih saja mengucapkan kalimat tajam. Menyesal Dinda telah meninggikan harapan. Toh, pada kenyataannya, Fahri tetap lah Fahri yang memiliki hati batu. Entah berapa lama usaha yang harus ia lakukan agar hati sekeras batu itu bisa melunak."Nda!" Fahri teringat kembali kejadian kemarin, Dinda juga pergi seperti ini, tetapi kemarin Dinda masih mengucapkan salam perpisahan. Tiba-tiba rasa takut kembali menyerang, bagaimana jika Dinda akhirnya benar-benar pergi tanpa salam perpisahan.Namun, begitu berada di
Lelah menangis, Dinda beranjak ke kamar mandi. Berendam air hangat di bath up, berharap dapat mengurangi penat di tubuh dan hatinya. Ia merenungi perjalanan pernikahan mereka yang baru akan menginjak satu tahun di bulan depan. Apakah pernikahan ini layak dipertahankan jika terus merasa tak dianggap. Entah apa arti kehadirannya bagi Fahri. Namun, Dinda segera menepis rasa putus asanya. Tak ada rumah tangga yang tak diuji, kalimat itu kembali terngiang di benak Dinda. Ujiannya adalah sifat Fahri yang sulit ditebak. Terkadang manis, terkadang bikin meringis. Dinda baru saja selesai mengenakan pakaiannya ketika Nunik masuk kamar."Dinda sudah enakan?" tanya Nunik dengan sorot mata dan nada prihatin. "Sudah, Nik. Sudah mendingan," Dinda mengulas senyum lebar. Seperti biasa ia selalu saja menyembunyikan perasaan kacau balaunya di balik senyuman. "Pak Gibran nyuruh aku nengok Dinda ke kamar, sepertinya dia khawatir banget," tukas Nunik sembari menghempaskan bokongnya di bibir ranjang.Din