Hening.
Untuk sesaat Anita tak bersuara di seberang sana. Membuat hati Hanum ketar-ketir dibuatnya, hingga tangan dan kakinya terasa dingin menunggu jawaban Anita.
“Nit...Anita, kok diam sih? Ngomong dong,” ucap Hanum dengan suara bergetar karena rasa cemas yang luar biasa.
“Eh, iya maaf. Aku sedang berpikir ini, Num. Makanya belum bisa menjawab tadi. Jadi si Andi sekarang sedang ketemu sama rekan bisnisnya, ya. Oh ya sudah kalau begitu. Berarti yang aku lihat tadi mungkin Andi sedang melobi rekan bisnisnya itu,” sahut Anita terdengar memelankan suaranya. Tak seperti pertama kali dia bicara tadi.
“Memangnya kamu ini sedang di mana, Nit? Kok sampai ketemu sama Mas Andi. Kamu sedang main golf juga?” tanya Hanum lugu.
“Hah? Main golf?” ucap Anita balas bertanya.
“Iya, tadi itu Mas Andi pamit mau ketemu sama rekan bisnisnya di lapangan golf. Memang dia nggak main golf sih. Cuma katanya tadi, temannya yang main golf. Mungkin saja setelah temannya itu main golf, mereka meeting di restoran yang ada di sana,” sahut Hanum.
“Oh, begitu. I-iya mungkin sekarang mereka sedang meeting, setelah rekan bisnisnya Andi selesai main golf.” Anita menyahut dengan suara yang agak gugup.
Kegugupan Anita terdengar jelas di pendengaran Hanum, yang semakin gelisah.
“Jadi...maksudnya kamu, sekarang ini kamu melihat Mas Andi nggak sedang ada di lapangan golf, iya? Memangnya kamu melihat Mas Andi di mana? Mas Andi ada di mana sekarang kalau bukan di lapangan golf, Nit?” cecar Hanum panik.
Anita kembali terdiam untuk beberapa saat, hingga akhirnya terdengar kembali suaranya di seberang telepon.
“Aku melihat Andi ada di restoran. Kebetulan, aku dan keluargaku sedang ada acara arisan di restoran yang sama. Tapi, Andi nggak melihatku tadi karena sibuk dengan seseorang. Mungkin itu rekan bisnisnya seperti yang kamu bilang tadi,” sahut Anita dengan napas yang memburu.
“Oh begitu. Terus kenapa kok napas kamu ngos-ngosan begitu, Nit. Seperti habis melihat hantu saja di siang hari begini,” ucap Hanum yang sudah bisa kembali normal, karena mengetahui kalau suaminya kini sedang ada di restoran, seperti yang Anita bilang barusan.
“Eh, aku...aku barusan...kaget. Iya, kaget karena dapat arisan, Num,” sahut Anita beralasan dengan suara yang terdengar gugup.
Hanum tertawa menanggapi ucapan Anita. Bahkan dia geleng-geleng kepala.
“Dapat rezeki kok malah kaget sih, Num. Harusnya dapat rezeki itu senang dong,” sahut Hanum kalem.
“I-iya sih, Num. Harusnya memang begitu. Soalnya aku nggak sangka bakal dapat rezeki nomplok.” Anita berkata sambil tertawa, yang terdengar seperti dipaksakan.
“Ya sudah kalau begitu, aku tutup ya teleponnya. Maaf kalau aku mengganggu waktu kamu. Oh iya, bisnis kateringnya lancar?” imbuh Anita.
“Alhamdulillah, lancar. Ok, Nit, lain kali kita sambung lagi ngobrolnya, ya. Jangan ditelepon kita ngobrolnya. Kita ketemu langsung saja di restoran atau kafe. Kangen juga sudah lama nggak makan dan ngobrol bareng sama kamu,” sahut Hanum.
“Siap, diagendakan saja nanti ya, Num. Sekarang aku tutup teleponnya, bye.”
“Bye.”
Setelah itu, sambungan telepon itu pun berakhir.
Hanum menyandarkan punggungnya di sandaran sofa sambil menghela napas panjang.
“Ops, syukurlah kalau ternyata Mas Andi memang sedang ada di restoran bersama dengan rekan bisnisnya. Aku nggak akan terima kalau ternyata Mas Andi ada di tempat lain bersama dengan wanita lain, misalnya ada di hotel,” gumam Hanum seorang diri.
Sementara itu di tempat lain, tampak Anita yang masih mengatur napasnya yang memburu karena sepertinya dia emosi dengan apa yang tadi dia lihat.
“Num, maafkan aku kalau tadi aku berbohong sama kamu. Sekarang ini aku sedang ada di hotel, di mana acara sekolah anakku diselenggarakan di ballroom. Tadi saat mau ke toilet, aku melihat Andi sedang berjalan sambil memeluk pinggang seorang gadis, yang kira-kira sebaya dengan Rafi. Mereka berjalan menuju lift, yang pastinya menuju ke...kamar hotel ini. Duh, bagaimana aku harus menyampaikan ke kamu ya, Num? Aku ingin menolong kamu, tapi bagaimana caranya? Mau melabrak ke kamar hotel, aku nggak ada wewenang karena posisiku hanya sahabat kamu. Yang ada malah Andi akan berkelit dan menuntut balik padaku. Tadi aku nggak tega menyampaikan hal ini ke kamu di telepon. Tapi, aku sempat memotret Andi dan perempuan itu sih. Nanti saat kita ketemuan, aku akan kasih lihat ke kamu. Jadi aku bisa menenangkan kamu nanti kalau kamu emosi. Kalau aku katakan tadi di telepon, aku nggak bisa menenangkan kamu yang pastinya akan emosi dan terluka,” gumam Anita seorang diri.
Anita bersandar di dinding sambil memegang dadanya. Dia menarik napas dan menghembuskannya dengan perlahan. Berharap setelah ini dirinya bisa tenang kembali. Namun, dadanya masih terasa sesak akibat melihat secara langsung ulah Andi.
“Sepertinya aku harus keluar dulu deh. Mungkin kalau aku menghirup udara di depan lobi hotel, aku bisa lebih tenang dan bisa kembali ke ballroom.” Anita bergumam dan tak lama, dia melangkah menuju ke depan lobi hotel.
Baru saja Anita tiba di lobi hotel, di melihat Rafi dan dua orang temannya ada di depan lobi hotel. Alih-alih bisa tenang, kini hati Anita semakin berdebar. Dia khawatir kalau kedatangan Rafi berkaitan dengan keberadaan Andi di hotel tersebut.
“Rafi? Mau apa dia ke sini?” gumam Anita. Dia lantas berjalan cepat menuju ke depan lobi.
Bukan Anita saja yang terkejut. Tapi, Rafi yang melihat keberadaan sahabat ibunya juga terkejut. Dia buru-buru menghampiri Anita, diikuti oleh Reza dan Rudy.
“Tante...rupanya Tante ada di sini juga?” ucap Rafi yang terlihat canggung.
“Iya, Tante ada di sini sedang menghadiri acara sekolah Saskia, anak Tante. Tadi Tante keluar ballroom karena mau ke toilet. Eh, nggak sengaja melihat kamu di sini. Kamu sendiri ada di sini...sedang apa?” sahut Anita yang balik bertanya.
Pertanyaan Anita di akhir kalimatnya, membuat Rafi semakin canggung pada wanita itu. Dia tadinya ingin menggerebek sang ayah, setelah berpikir kalau tak ada toleransi bagi pria dewasa itu bermain-main dengan Tania di hotel tersebut. Namun, dia ingin melakukan itu tanpa sepengetahuan orang yang dikenalnya. Dia tak mau kalau hal ini sampai terdengar oleh sang ibu, yang pastinya akan terluka. Tapi, kini di hadapannya telah berdiri Anita yang merupakan sahabat sang ibu. Mau tak mau Rafi harus menunda menggerebek sang ayah. Dia khawatir kalau Anita akan membocorkan hal ini pada sang ibu.
“Rafi? Kenapa diam? Apa kamu juga melihat seseorang yang sama, seperti yang Tante lihat tadi?” tanya Anita langsung, karena dia yakin kalau Rafi ada di hotel itu pasti telah mengetahui ulah Andi.
“Eh, maksud Tante apa?” ucap Rafi terkejut dan sedikit grogi.
Anita yang merasa kalau Rafi sudah mengetahui ulah Andi, segera menarik tangan pemuda itu agak sedikit menjauh dari kedua temannya.“Rafi, jujur sama Tante kalau kamu ada di sini bukan karena kebetulan kan? Apa kamu melihat...papa kamu...di hotel ini?” tanya Anita hati-hati dan dengan suara perlahan. Dia menatap lekat wajah tampan Rafi yang kini tampak gelisah. Membuat Anita sudah tahu jawabannya meskipun pemuda itu belum membuka suara.“Kamu ingin membuat kejutan untuk papa kamu?” imbuh Anita dengan tatapan iba pada Rafi.Rafi akhirnya menganggukkan kepalanya seraya berkata lirih, “Iya, Tan. Tapi, aku nggak mau kalau Mama sampai tahu tentang hal ini. Aku ingin menjaga perasaan Mama, Tan. Kasihan Mama sudah dibohongi sama Papa. Perlu Tante tahu juga, kalau cewek yang dibawa Papa itu adalah teman kuliahku. Jadi maksud aku dan dua sahabatku ini mau memberikan pelajaran juga sama cewek itu, supaya nggak dekati Papa lagi. Istilahnya, kami sedikit mengancam cewek itu. Jadi mudah-mudahan de
Tak lama, sekuriti hotel sudah tiba di meja resepsionis. Anita pun sudah mendapatkan nomor kamar di mana Andi dan Tania berada saat ini.“Pak, tolong dampingi Ibu dan Mas ini ke atas. Mereka mau menyelesaikan masalah keluarga. Tolong supaya nanti nggak mengganggu tamu yang lain,” ucap resepsionis, yang diangguki oleh sekuriti.“Baik, Mbak,” sahut pria berbadan tinggi tegap itu. Dia lalu mengalihkan tatapannya pada Anita. “Suami Ibu berselingkuh, ya?”“Bukan, Pak. Itu papanya keponakan saya ini,” sahut Anita dengan menepuk pelan bahu Rafi.Pria itu menganggukkan kepalanya dan menatap Rafi seraya berkata, “Mas, meskipun emosi, tapi nanti tolong dijaga supaya nggak baku hantam dengan papanya. Cekcok mulut boleh lah karena kan kesal terhadap ulah papanya. Cuma kalau saling pukul sebaiknya dihindari, supaya nggak mengundang perhatian orang. Saya akan mendampingi Mas supaya keadaan bisa kondusif nanti, yang penting kan bisa mendapatkan bukti kalau papanya selingkuh.”Rafi tersenyum dan meng
Andi yang melihat Tania ketakutan lantas menatap Rafi dengan tatapan memohon.“Rafi, lepaskan dia! Biarkan dia pergi dari sini dan jangan ganggu kehidupannya dengan membuat viral video yang sedang dibuat oleh teman kamu itu,” ucap Andi.“Kenapa Papa khawatir sekali dengan Tania? Sedangkan Papa nggak khawatir dengan hati mama, yang pastinya akan terluka dengan pengkhianatan Papa ini,” sahut Rafi ketus.“Makanya jangan viralkan video itu, supaya mama kamu nggak tahu. Marahlah sama Papa, Raf. Tapi, jangan dengan Tania. Kasihan dia, Raf,” tutur Andi dengan tatapan memohon, yang justru membuat Rafi semakin geram dan jijik dengan papanya. Dia menekan tubuh Andi ke dinding, membuat pria itu meringis menahan sakit.Rafi menatap tajam wajah papanya seraya berteriak, “Tania! Bagaimana rasa daging papa gue, enak? Atau lu masih mau sekali lagi? Nanti gue sewa preman pasar untuk kerjai lu.”Andi tersentak mendengar kata-kata Rafi. Dia tak menyangka kalau Rafi akan berbuat tega seperti itu pada Tan
“Rafi, kamu kenapa jadi bengong begitu sih?” tegur Hanum lembut, yang membuyarkan lamunan Rafi.“Eh, nggak kok, Ma. Aku cuma capek saja kayaknya. Aku mandi dulu ya, Ma. Sudah lengket ini karena keringat,” elak Rafi.“Iya sudah sana kamu mandi. Sudah bau keringat soalnya.” Hanum berkata sambil menutup hidungnya, menggoda anak sulungnya.Rafi yang merasa digoda oleh sang mama, lantas mendusel ke bahu Hanum. Membuat wanita itu tertawa lepas.“Kak Rafi jorok ih!” ucap Amelia yang ikutan menutup hidungnya.“Biarin dong, Mel. Sama Mama ini, weee,” celetuk Rafi. Dia lantas berpindah pada Amelia dan memberikan aroma keringat pada adik bungsunya itu.Suasana di ruang keluarga itu seketika jadi ramai oleh mereka bertiga. Bahkan Rafi sedikit melupakan pertikaian dengan papanya di hotel siang tadi. Dia larut oleh suasana kebersamaan keluarga, meski kurang dengan kehadiran Gilang dan tentu saja Andi.“Kak...stop! Sudah dong, Kak. Jangan dikasih keringat terus aku-nya. Bau ini tahu, Kak,” omel Amel
Esok harinya.Andi dan Hanum sarapan seperti biasanya. Mereka bercengkerama dengan kedua anak mereka, Gilang dan Amelia. Sedangkan Rafi hanya membisu. Hal itu membuat tanda tanya besar di diri Hanum.“Kamu sedang nggak enak badan, Sayang?” tanya Hanum. Dia lalu beranjak dari kursi dan melangkah ke arah Rafi, lalu memegang keningnya. “Normal kok.”“Ih, Mama, sampai segitunya periksa aku. Tenang saja, Ma. Aku ini sehat kok,” celetuk Rafi.“Serius? Tapi, kamu kayak nggak semangat begitu,” tutur Hanum dengan kening yang berkerut.“Serius lah, buat apa aku bohong. Aku ini orang yang jujur. Jadi yang ada di hati, itu juga yang terucap di bibir.” Rafi berkata sambil melirik ke arah Andi. Dia melihat sang papa yang pura-pura tak mendengar dan sibuk dengan sarapannya, sesekali berbicara pada Amelia.Hanum terkekeh mendengar penuturan putra sulungnya. Dia sama sekali tak menyadari kalau ucapan Rafi tadi adalah sebuah sindiran untuk Andi.“Ya sudah deh kalau kamu nggak apa-apa. Mama kan tenang j
Sepanjang acara makan malam, Hanum sama sekali tak menikmati acara tersebut. Dia lebih banyak diam sambil memikirkan perihal kalung indah berliontin permata biru safir. Dia hanya memaksakan tersenyum agar suami dan anak-anaknya tak mengetahui kegundahan hatinya.Sikap Hanum yang lebih banyak diam, rupanya mencuri perhatian Rafi. Pemuda itu selalu melirik ke arah sang mama, di saat dia sedang menikmati hidangan makan malam.‘Ada apa dengan Mama, ya? Kok agak beda sikapnya, meski nggak terlalu kelihatan,’ ucap Rafi dalam hati.Acara makan malam pun bergulir dengan penuh canda dan tawa, bagi Andi dan kedua anaknya. Hal itu tak berlaku bagi Hanum dan Rafi. Kedua orang itu hanya sesekali menimpali. Selebihnya hanya banyak diam pura-pura menikmati hidangan makan malam.Mereka akhirnya kembali ke rumah ketika waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Tak banyak obrolan di mobil, karena Amelia yang biasanya banyak berceloteh kini tertidur. Sedangkan Rafi dan Gilang sibuk dengan ponsel masing-ma
Rafi membuang napasnya kasar, dan menatap ke arah dua sahabatnya yang duduk di kursi tak jauh darinya.“Ada apa, Raf?” tanya Reza dan Rudy yang kini mendekatinya.“Menurut lu si Tania ini jujur nggak?” sahut Rafi balas bertanya.Tania yang merasa terancam dengan ucapan Rafi segera menyahut. “Kenapa lu nggak percaya sih sama gue. Dari tadi gue sudah ngomong jujur sama elu, Rafi! Lu mau apa lagi, hah?!”Reza dan Rudy yang tak mengerti masalahnya, hanya bisa mengerutkan kening sambil menatap Rafi.“Ini masih masalah yang di hotel itu, ya? Memangnya papa lu masih berhubungan sama dia?” tanya Rudy dengan dagu terarah pada Tania.“Nggak!” sentak Tania sebelum Rafi menjawab pertanyaan Rudy.“Terus ada apa lagi?” timpal Reza yang terlihat mulai penasaran.Rafi menghela napas kasar. Dia awalnya enggan bercerita tentang masalah kalung pada dua sahabatnya itu. Cukup dengan Tania saja, karena gadis itu yang membuat dia curiga.“Mama gue pernah melihat sebuah kalung emas dengan liontin permata bir
Tania yang melihat amarah di wajah Rafi, lantas meletakkan telunjuknya di bibir. Mengkode agar Rafi tak bersuara karena emosi.“Ya sudah kalau begitu, Om. Sekarang saya mau siap-siap dulu, supaya nanti bisa cetar saat ketemu sama Om Andi,” cetus Tania.“Ok, Cantik. Tunggu Om, ya. Sekarang ditutup dulu teleponnya ya, bye,” sahut Andi di seberang sana dengan suaranya yang masih lembut mendayu-dayu.Setelah itu, sambungan telepon Tania dan Andi pun berakhir. Tania lalu menatap Rafi sambil tersenyum canggung, dan salah tingkah.“Maaf ya, Raf. Gue harus berperan seperti tadi supaya bokap lu nggak curiga,” ucap Tania.Rafi mengangguk dan memaksakan dirinya untuk tersenyum. Sudah risikonya sakit hati mendengar percakapan Tania dan papanya, karena dirinya lah yang membuat Tania menghubungi Andi kembali.“Memang seperti itu ya biasanya kalian berinteraksi?” sahut Rafi dengan helaan napas panjang.“Hu’um. Jujur saja sih kalau gue terbuai oleh papa lu, Raf. Dia cowok yang romantis,” aku Tania te
Amelia sontak tersipu mendengar penuturan sang kakak. Wajahnya pun merona. “Cie, merah lho wajahnya si Amel. Nggak sangka kalau dia naksir sama si dosen itu. Nggak apa itu, Mel. Paling selisih usianya maksimal sepuluh tahun. Masih wajar itu menurut aku. Masih banyak yang selisihnya di atas sepuluh tahun. Ayo, Mel, aku dukung deh! Kayaknya orangnya baik,” ucap Gilang antusias. “Dia itu yang tolongin Amel saat mau dikerjai sama keponakannya Larasati, Lang,” celetuk Rafi. “Nah, keren itu. Sudah kelihatan tipe melindunginya. Nanti nggak apa deh kalau kamu duluan, Mel. Kakak sih belakangan nggak apa-apa. Lagi pula aku belum punya calonnya,” ucap Gilang dengan senyum menggoda pada sang adik. Wajah Amelia semakin memerah dan dia jadi salah tingkah. “Kita pulang saja sekarang, yuk! Ngobrol soal begini di tempat umum. Nanti kalau kedengaran orang, bagaimana? Malu tahu, Kak,” sahut Amelia. Dia lantas berjalan mendahului kedua kakaknya, karena merasa malu ketahuan isi hatinya oleh dua kakakn
Hanum mengulum senyuman. Dia lalu menarik leher Andi dan mendekatkan telinga pria itu ke bibirnya. Dia lalu berbisik di sana.Kedua kelopak mata Andi membuka sempurna karena terkejut dengan apa yang Hanum bisikkan.“Kamu serius, Num? Nggak sedang bercanda?” tanya Andi dengan wajah memelas.“Iya, aku serius. Masak aku bohong sih, Mas. Aku ini kan belum menopause. Jadi masih kedatangan tamu bulanan lah. Aku tadi di kamar mandi baru tahu, kalau malam ini mendadak kedatangan tamu bulanan. Untung tadi sudah salat isya.” Hanum berkata sambil mengulum senyuman karena melihat wajah frustrasi Andi.“Sabar ya, Mas. Minggu depan deh baru bisa. Sekarang puasa dulu, ya. Sekalian menguji hati kamu, apa masih kuat menunggu satu minggu lagi?” imbuh Hanum yang masih mengulum senyumannya.Andi menghela napas. Dia berguling ke samping tubuh Hanum, dan memosisikan tubuhnya miring. Menghadap sang istri yang juga dalam posisi yang sama seperti dirinya. Tatapan mata mereka bertemu, dan saling mentransfer ra
Maya terdiam sambil mengaduk-aduk makanannya. Dia tiba-tiba saja menjadi tak berselera makan.Nadya yang melihat ekspresi sang mama, merasa bersalah karena terkesan dirinya memaksakan kehendak. Dia lalu memegang jemari tangan Maya dan mengusap lembut punggung tangan sang mama.“Aku minta maaf kalau perkataan tadi membuat Mama merasa nggak nyaman. Abaikan saja omongan aku tadi, Ma. Aku nggak memaksa Mama agar bisa memaafkan papa,” ucap Nadya lirih dan dengan nada yang tercekat, menahan tangis.Maya menoleh pada anak gadisnya. Dia melihat wajah cantik Nadya yang kini muram.‘Apa aku yang selama ini egois, mementingkan perasaanku sendiri tanpa memikirkan perasaan Nadya? Apa aku terlalu keras hati, sehingga sulit untuk memaafkan Mas Bima? Apakah sebenarnya Nadya merindukan papanya?’ ucap Maya dalam hati.“Nad, jawab pertanyaan Mama dengan jujur ya, Sayang,” ucap Maya dengan nada suara pelan.“Iya, Ma. Mama mau tanya apa?”“Apa kamu...merindukan papa kamu?”Nadya tak langsung menjawab. Dia
‘Jadi Hanum berencana akan rujuk dengan Andi. Sepertinya aku sia-sia saja selama ini mendekatinya. Lebih baik aku pulang saja sekarang. Mumpung belum ada yang tahu kehadiranku di sini. Mungkin Hanum memang bukan jodohku,’ ucap Sadewa dalam hati.Sadewa lalu dengan perlahan mundur teratur dari teras rumah Sawitri. Dia memutuskan pergi dari rumah itu karena tak ingin mendengar percakapan mereka. Dia memilih untuk lapang dada membuang jauh angannya terhadap Hanum, wanita yang dia suka sejak lama.“Mas Dewa, mau ke mana?” tanya seorang wanita, yang membuat Sadewa menghentikan langkah.Sadewa lalu menoleh dan melihat Lestari yang kini berdiri di jarak beberapa langkah di belakangnya.“Eh, Tari. Aku mau pulang. Nggak enak kalau mengganggu acara keluarga. Di ruang tamu sedang serius kayaknya,” sahut Sadewa terus terang, setelah dia membalikkan tubuhnya hingga posisinya kini berhadapan dengan Lestari.“Nggak mau mampir sekedar menyapa ibuku, Mas?” tanya Lestari lagi. Dia memandang Sadewa deng
Andi menangkap tubuh Hanum yang terhuyung ke depan, agar tak tersungkur di lantai.“Hati-hati dong, kalau sampai jatuh di lantai kan sakit nanti,” ucap Andi lembut ketika tubuh Hanum sudah berada dalam dekapannya.“Ish, kamu ini cari alasan saja, Mas. Sudah lepasin tangan kamu!” ujar Hanum dengan mata yang melotot pada Andi.“Kenapa memangnya?” tanya Andi dengan tatapan lugu.“Berlagak nggak paham, pura-pura tanya pula,” sungut Hanum kesal. Dia lalu berusaha untuk melepaskan diri dari dekapan Andi. Namun, Andi sepertinya menahan lengannya agar bisa lebih lama memeluk sang mantan.Di saat yang sama, Amelia muncul di tempat itu. Gadis itu terkesiap hingga mulutnya terbuka sempurna, kala melihat kedua orang tuanya tengah berpelukan. Itu menurut penilaiannya, karena dia tak tahu awal mula kejadian sang mama berada dalam dekapan papanya.“Cieee...rujuk ini ceritanya. Kapan peresmiannya? Terus kalau rujuk, aku bakalan dapat adik nggak?” goda Amelia dengan tawanya.“Adik? Memangnya kamu masi
“Iya, Bu Hanum. Tante Nita yang merekomendasikan katering Ibu. Katanya, katering Ibu sudah terjamin kualitasnya. Saya mencari jasa katering, untuk acara ulang tahun pernikahan orang tua saya. Ini saya lakukan sebagai hadiah di pernikahan mereka yang ketiga puluh. Oh iya, nama saya Fariz,” sahut Fariz dengan senyuman.“Fariz ini yang tempo hari menolong Amel lho, Num. Dia seorang dosen yang pintar ilmu bela diri, sehingga bisa mengalahkan si Roy,” timpal Andi, yang membuat Hanum terkesiap.“Oh ya? Wah, saya ucapkan banyak terima kasih deh sama kamu ya, Fariz. Lalu mengenai kateringnya, kapan acara ulang tahun pernikahan orang tua kamu? Apa kamu mau test food dulu, supaya yakin dengan makanannya?” sahut Hanum kalem.“Saya percaya kok dengan kualitas kateringnya Bu Hanum. Kalau Tante Nita sudah merekomendasikan sesuatu, itu artinya sudah ok. Jadi nggak perlu test food lagi, Bu. Lalu mengenai jadwal acaranya, itu dua minggu lagi. Sengaja saya jauh-jauh hari sudah cari kateringnya, supaya
Hanum mundur satu langkah. Andi pun bergerak maju mendekat. Begitu terus, hingga akhirnya punggung Hanum menempel pada dinding. Tak ada ruang untuk dirinya mundur lagi.“Mas! Sudah lah kamu pulang saja sana. Kamu pastinya capek kan, dan perlu istirahat juga. Jangan sampai penyakit jantung kamu kumat gara-gara kecapekan,” ucap Hanum dengan jantung yang bertalu-talu saat ini.“Aku sehat kok, Num. Aku juga nggak terlalu capek kok. Di rumah Nadya kan tadi hanya ngobrol saja. Lalu yang bawa mobil, si Rafi. Aku hanya duduk manis di sebelahnya. Kalau mengantuk sih, iya. Aku boleh kan istirahat di sini dulu, di kamar tamu,” sahut Andi dengan tatapan penuh harap.“Ya sudah, kalau mau istirahat di kamar tamu. Langsung saja ke sana. Kamu kan sudah tahu letaknya,” sahut Hanum. Dia lalu mendorong dada Andi agar menjauhinya. Dia merasa canggung juga berada di jarak yang begitu dekat dengan mantan suaminya.Namun di luar dugaan Hanum, tangan Andi menangkap tangan Hanum yang mendorong dadanya. Dia ba
Hanum yang terkesiap hanya bisa menghela napas panjang. Dia lalu memandang ke arah Bima yang masih menatap Maya, yang sedang memberi kode agar sikap Bima lebih ramah pada tamu mereka.Setelah beberapa detik, Maya kembali menatap Hanum dan Andi. Wanita yang diperkirakan usianya sebaya dengan Andi, lantas tersenyum pada kedua calon besannya itu.“Maaf ya, Pak, Bu. Papanya Nadya sedang kurang enak badan. Jadi reaksinya seperti tadi. Mari, silakan masuk!” ucap Maya ramah, dan dengan senyum yang tersungging di bibirnya. Dia sengaja memberikan alasan itu agar bisa dimaklumi oleh tamunya. Maya tak tahu saja, kalau Andi dan Hanum telah mengetahui penyebab sikap Bima tadi.“Oh, lagi kurang enak badan. Iya, nggak apa-apa. Kami maklum kok, Bu. Saya juga kalau kurang enak badan, suka begitu sikapnya. Iya kan, Ma,” sahut Andi dengan senyuman. Dia menoleh pada Hanum yang mengulum senyumannya mendengar penuturan mantan suaminya, yang masih menyebut kata ‘Ma’ pada dirinya.‘Aih, Mas Andi ini serba me
“Baik, Om, sepulang dari sini nanti, saya akan beritahu orang tua saya. Insya Allah, mereka bersedia datang kemari dan kenalan dengan Om Bima,” ucap Rafi, yang membuat lamunan Nadya buyar.Bima tersenyum seraya berkata, “Pastinya mau dong kenalan sama Om. Kalau nggak mau, Om nggak akan restui hubungan kalian.”Bima memang bercanda mengucapkan kalimat itu. Dia juga mengucapkannya sambil tersenyum. Namun, tetap saja membuat hati Rafi ketar-ketir.“I-iya, Om. Tolong restui dong. Saya dan Nadya serius lho, Om,” sahut Rafi yang sontak membuat Bima tertawa.“Iya...makanya nanti kenalan dulu. Biar enak ngomong soal kelanjutan hubungan kalian, iya kan,” ucap Bima setelah tawanya reda.Sementara itu, Maya yang rupanya menguping pembicaraan Rafi dan Bima lantas menampakkan dirinya di ruang tamu.Rafi yang melihat kedatangan Maya, lalu berdiri dan menghampiri wanita itu. Dia lalu mencium punggung tangan Maya dengan takzim.“Ada apa ini, Rafi?” tanya Maya pura-pura tak tahu. Dia lalu duduk di sof