Anita yang merasa kalau Rafi sudah mengetahui ulah Andi, segera menarik tangan pemuda itu agak sedikit menjauh dari kedua temannya.
“Rafi, jujur sama Tante kalau kamu ada di sini bukan karena kebetulan kan? Apa kamu melihat...papa kamu...di hotel ini?” tanya Anita hati-hati dan dengan suara perlahan. Dia menatap lekat wajah tampan Rafi yang kini tampak gelisah. Membuat Anita sudah tahu jawabannya meskipun pemuda itu belum membuka suara.
“Kamu ingin membuat kejutan untuk papa kamu?” imbuh Anita dengan tatapan iba pada Rafi.
Rafi akhirnya menganggukkan kepalanya seraya berkata lirih, “Iya, Tan. Tapi, aku nggak mau kalau Mama sampai tahu tentang hal ini. Aku ingin menjaga perasaan Mama, Tan. Kasihan Mama sudah dibohongi sama Papa. Perlu Tante tahu juga, kalau cewek yang dibawa Papa itu adalah teman kuliahku. Jadi maksud aku dan dua sahabatku ini mau memberikan pelajaran juga sama cewek itu, supaya nggak dekati Papa lagi. Istilahnya, kami sedikit mengancam cewek itu. Jadi mudah-mudahan dengan cewek itu menjauhi Papa, bisa membuat Papa sadar dan nggak mengulangi kesalahannya. Jadi masalah ini selesai sampai di sini tanpa Mama tahu. Jadi ini urusan antara aku dan Papa saja. Begitu maksud aku, Tante.”
Anita manggut-manggut mendengar penuturan Rafi. Dia pun sama seperti pemuda itu, yang tak ingin Hanum terluka hatinya.
“Tante mau bantu kamu, Rafi. Apa rencana kamu?” tawar Anita serius.
“Tante kemari pasti sama Om kan?” sahut Rafi balas bertanya.
“Iya, memangnya kenapa?”
“Kalau Tante ikut aku ke kamar yang disewa Papa, nanti Om menunggu Tante terlalu lama dong. Tadi kan Tante izinnya ke toilet. Nggak apa-apa kalau Om kelamaan nunggu?” sahut Rafi tak kalah serius.
Anita terdiam sejenak. Dia mempertimbangkan juga apa yang Rafi katakan tadi. Dia khawatir juga kalau suaminya mencari karena dirinya terlalu lama meninggalkan ballroom.
“Mungkin Tante nggak bisa lama-lama bantuin kamu. Makanya jelaskan dulu rencana kamu. Biar Tante bisa tahu bantuan apa yang bisa Tante berikan,” ucap Anita pada akhirnya setelah berpikir.
“Aku akan minta petugas hotel untuk memberitahu kamar yang Papa pesan. Setelah dapat, aku dan dua temanku ini akan ke kamar itu dan menggerebeknya. Bagus lagi kalau pihak hotel mau diajak kerja sama. Jadi kami ke atas bersama dengan sekuriti. Biar Papa dan cewek itu malu. Nah, nanti temanku ini akan merekam wajah cewek itu, dan bisa jadi senjata kami untuk mengancam dia agar menjauhi Papa. Kalau nggak mau, maka video itu akan kami viralkan. Tentunya wajah cewek itu saja yang viral. Wajah Papa sengaja disamarkan. Aku juga nggak mau Papa menjadi konsumsi publik, Tan,” papar Rafi, yang diangguki oleh Reza dan Rudy.
“Betul, Tan. Kalau Tante mau membantu, bagaimana kalau Tante mengaku sebagai istrinya Om Andi alias Mamanya Rafi,” celetuk Rudy, yang membuat Anita membulatkan kedua bola matanya.
“Hah?! Mengaku jadi Mamanya Rafi? Jangan dong. Tante kan punya suami, lho. Bagaimana kalau Tante mengaku sebagai adik iparnya saja, alias Tantenya Rafi? Sekalian nanti Tante mau kasih pelicin supaya petugas hotel mau membantu kita,” sahut Anita.
“Boleh...boleh. Ide yang bagus itu, Tan,” sahut Rudy dengan mata berbinar.
“Ya sudah, sekarang kita masuk dan minta informasi mengenai kamar yang papanya Rafi sewa,” ucap Anita, yang diangguki oleh Rafi dan kedua temannya.
Selanjutnya, mereka memasuki lobi hotel menuju ke meja resepsionis.
Anita yang berjalan di depan, segera membuka galeri foto ponselnya di mana dia menyimpan foto Andi dan Tania.
Rafi yang menyadari itu, segera mendekati Anita dan berbisik. “Tan, itu foto Papa?”
“Hu’um. Tante tadi sempat memotretnya. Buat bukti tentang perbuatan Papa kamu, Raf,” sahut Anita.
“Tapi, jangan dikasih tahu ke Mama ya, Tan.”
“Iya, tenang saja. Kalau kamu sudah punya rencana seperti yang kamu bilang tadi, Tante akan simpan foto ini. Tante juga janji, nggak akan ada orang yang tahu tentang foto ini kecuali kita,” sahut Anita.
“Terima kasih, Tan.”
Kini mereka berempat sudah berada di depan meja resepsionis.
“Selamat siang, ada yang bisa dibantu?” sapa resepsionis ramah.
“Selamat siang, Mbak. Benar, kami memang minta pertolongan Mbak dan petugas sekuriti hotel ini,” sahut Anita dengan suara yang tak kalah ramah dengan wanita itu.
“Iya, Bu. Apa yang bisa dibantu? Apa mau pesan kamar? Berapa kamar yang mau dipesan?” ucap wanita itu masih dengan tutur kata yang ramah.
Anita menghela napas panjang. Dia tersenyum tipis pada wanita itu. Dia tatap wanita muda yang berada di depannya ini dengan mencondongkan tubuhnya, karena dia tak ingin kata-katanya nanti akan terdengar oleh orang yang melintas di lobi hotel itu.
“Maaf ya, Mbak. Kami sebetulnya nggak berniat mau menginap di hotel ini. Kami hanya minta tolong pada Mbak agar memberitahu kamar yang sudah dipesan oleh seseorang yang bernama Andi...” Anita menghentikan kata-katanya, karena dia lupa nama lengkap suami Hanum.
“Andi Sanjaya, itu nama lengkapnya.” Rafi menimpali.
“Oh, maaf sekali kalau soal itu saya tidak bisa membantu, karena itu akan melanggar privasi tamu di sini. Mohon maaf ya, Ibu,” sahut wanita itu dengan mengatupkan kedua telapak tangannya di depan dada.
Anita sudah menduga kalau dia akan mendapat jawaban seperti itu. Namun, dia tak menyerah.
“Mbak, orang yang bernama Andi Sanjaya itu adalah kakak ipar saya, dan sekarang sepertinya sedang berzina di hotel ini. Apa Mbak mau saya melaporkan pada pihak berwajib, bahwa hotel ini membiarkan perzinahan terjadi di depan mata? Itu melanggar hukum, Mbak. Lagi pula nggak akan berkah rezeki yang didapat di tempat ini kalau Mbak membiarkan hal itu terjadi. Saya mohon kerja sama dengan kami. Tolong beritahu sekuriti juga untuk bersama kami ke kamar itu. Orang yang bernama Andi Sanjaya itu telah menyakiti hati Istri dan Anaknya,” papar Anita. Dia lalu menarik lengan Rafi agar mendekat. “Ini anaknya yang melihat langsung papanya masuk kemari. Hanya saja dia ragu untuk minta bantuan Mbak. Kebetulan ketemu saya, Tantenya, dan saya langsung berinisiatif membantunya.”
“Ibu mengancam saya? Saya ini hanya menjalankan aturan yang sudah ditetapkan oleh perusahaan, Bu, bahwa tidak boleh membocorkan rahasia tamu yang menginap di sini,” ucap wanita itu dengan tatapan tak suka pada Anita.
“Saya nggak mengancam, dan saya juga tahu kalau kamu hanya menjalankan tugas di sini. Tapi, apa kamu nggak tergerak hatinya untuk menolong sesama yang sedang tersakiti hatinya? Kamu ini seorang wanita lho. Jadi adalah sedikit solidaritasnya, Mbak. Bantulah kami dengan menyebutkan kamar pria itu, yang saya yakin sekarang sudah melakukan zina di kamar tersebut,” sahut Anita kalem.
Wanita muda itu tampak gelisah dan serba salah saat ini. Dia menatap Anita dan Rafi secara bergantian. Tampak sekali kalau dirinya sedang dilema saat ini.
“Tapi, bagaimana kalau bapak itu tak terima dan menuntut hotel ini? Pastinya saya yang akan kena imbasnya, Bu. Kasihanilah saya, karena saya mencari nafkah di tempat ini. Sekarang ini sangat sulit mencari pekerjaan, Bu, Mas,” ucap wanita itu lirih dengan tatapan pada Anita dan Rafi.
Mendengar keluhan wanita itu, Rafi langsung bersuara.
“Mbak, tenang saja. Papa saya nggak akan menuntut hotel ini karena itu sama saja membuka aibnya sendiri. Lagi pula saya juga akan menangani Papa saya dengan cara saya sendiri, dan saya akan pastikan kalau Papa nggak akan menuntut apa-apa pada hotel ini. Jadi Mbak tenang saja, dan tolong sekarang bantu kami,” timpal Rafi dengan tatapan penuh harap pada resepsionis itu.
Wanita itu akhirnya menganggukkan kepalanya. “Baiklah, saya akan cek dulu di kamar mana Pak Andi Sanjaya berada saat ini. Tunggu sebentar.”
“Oh iya, Mbak. Sekalian panggilkan sekuriti, supaya bisa mendampingi ke atas dan bisa mencegah hal yang tak diinginkan nantinya,” ucap Anita, yang diangguki oleh wanita itu.
“Baik, Bu.”
Tak lama, sekuriti hotel sudah tiba di meja resepsionis. Anita pun sudah mendapatkan nomor kamar di mana Andi dan Tania berada saat ini.“Pak, tolong dampingi Ibu dan Mas ini ke atas. Mereka mau menyelesaikan masalah keluarga. Tolong supaya nanti nggak mengganggu tamu yang lain,” ucap resepsionis, yang diangguki oleh sekuriti.“Baik, Mbak,” sahut pria berbadan tinggi tegap itu. Dia lalu mengalihkan tatapannya pada Anita. “Suami Ibu berselingkuh, ya?”“Bukan, Pak. Itu papanya keponakan saya ini,” sahut Anita dengan menepuk pelan bahu Rafi.Pria itu menganggukkan kepalanya dan menatap Rafi seraya berkata, “Mas, meskipun emosi, tapi nanti tolong dijaga supaya nggak baku hantam dengan papanya. Cekcok mulut boleh lah karena kan kesal terhadap ulah papanya. Cuma kalau saling pukul sebaiknya dihindari, supaya nggak mengundang perhatian orang. Saya akan mendampingi Mas supaya keadaan bisa kondusif nanti, yang penting kan bisa mendapatkan bukti kalau papanya selingkuh.”Rafi tersenyum dan meng
Andi yang melihat Tania ketakutan lantas menatap Rafi dengan tatapan memohon.“Rafi, lepaskan dia! Biarkan dia pergi dari sini dan jangan ganggu kehidupannya dengan membuat viral video yang sedang dibuat oleh teman kamu itu,” ucap Andi.“Kenapa Papa khawatir sekali dengan Tania? Sedangkan Papa nggak khawatir dengan hati mama, yang pastinya akan terluka dengan pengkhianatan Papa ini,” sahut Rafi ketus.“Makanya jangan viralkan video itu, supaya mama kamu nggak tahu. Marahlah sama Papa, Raf. Tapi, jangan dengan Tania. Kasihan dia, Raf,” tutur Andi dengan tatapan memohon, yang justru membuat Rafi semakin geram dan jijik dengan papanya. Dia menekan tubuh Andi ke dinding, membuat pria itu meringis menahan sakit.Rafi menatap tajam wajah papanya seraya berteriak, “Tania! Bagaimana rasa daging papa gue, enak? Atau lu masih mau sekali lagi? Nanti gue sewa preman pasar untuk kerjai lu.”Andi tersentak mendengar kata-kata Rafi. Dia tak menyangka kalau Rafi akan berbuat tega seperti itu pada Tan
“Rafi, kamu kenapa jadi bengong begitu sih?” tegur Hanum lembut, yang membuyarkan lamunan Rafi.“Eh, nggak kok, Ma. Aku cuma capek saja kayaknya. Aku mandi dulu ya, Ma. Sudah lengket ini karena keringat,” elak Rafi.“Iya sudah sana kamu mandi. Sudah bau keringat soalnya.” Hanum berkata sambil menutup hidungnya, menggoda anak sulungnya.Rafi yang merasa digoda oleh sang mama, lantas mendusel ke bahu Hanum. Membuat wanita itu tertawa lepas.“Kak Rafi jorok ih!” ucap Amelia yang ikutan menutup hidungnya.“Biarin dong, Mel. Sama Mama ini, weee,” celetuk Rafi. Dia lantas berpindah pada Amelia dan memberikan aroma keringat pada adik bungsunya itu.Suasana di ruang keluarga itu seketika jadi ramai oleh mereka bertiga. Bahkan Rafi sedikit melupakan pertikaian dengan papanya di hotel siang tadi. Dia larut oleh suasana kebersamaan keluarga, meski kurang dengan kehadiran Gilang dan tentu saja Andi.“Kak...stop! Sudah dong, Kak. Jangan dikasih keringat terus aku-nya. Bau ini tahu, Kak,” omel Amel
Esok harinya.Andi dan Hanum sarapan seperti biasanya. Mereka bercengkerama dengan kedua anak mereka, Gilang dan Amelia. Sedangkan Rafi hanya membisu. Hal itu membuat tanda tanya besar di diri Hanum.“Kamu sedang nggak enak badan, Sayang?” tanya Hanum. Dia lalu beranjak dari kursi dan melangkah ke arah Rafi, lalu memegang keningnya. “Normal kok.”“Ih, Mama, sampai segitunya periksa aku. Tenang saja, Ma. Aku ini sehat kok,” celetuk Rafi.“Serius? Tapi, kamu kayak nggak semangat begitu,” tutur Hanum dengan kening yang berkerut.“Serius lah, buat apa aku bohong. Aku ini orang yang jujur. Jadi yang ada di hati, itu juga yang terucap di bibir.” Rafi berkata sambil melirik ke arah Andi. Dia melihat sang papa yang pura-pura tak mendengar dan sibuk dengan sarapannya, sesekali berbicara pada Amelia.Hanum terkekeh mendengar penuturan putra sulungnya. Dia sama sekali tak menyadari kalau ucapan Rafi tadi adalah sebuah sindiran untuk Andi.“Ya sudah deh kalau kamu nggak apa-apa. Mama kan tenang j
Sepanjang acara makan malam, Hanum sama sekali tak menikmati acara tersebut. Dia lebih banyak diam sambil memikirkan perihal kalung indah berliontin permata biru safir. Dia hanya memaksakan tersenyum agar suami dan anak-anaknya tak mengetahui kegundahan hatinya.Sikap Hanum yang lebih banyak diam, rupanya mencuri perhatian Rafi. Pemuda itu selalu melirik ke arah sang mama, di saat dia sedang menikmati hidangan makan malam.‘Ada apa dengan Mama, ya? Kok agak beda sikapnya, meski nggak terlalu kelihatan,’ ucap Rafi dalam hati.Acara makan malam pun bergulir dengan penuh canda dan tawa, bagi Andi dan kedua anaknya. Hal itu tak berlaku bagi Hanum dan Rafi. Kedua orang itu hanya sesekali menimpali. Selebihnya hanya banyak diam pura-pura menikmati hidangan makan malam.Mereka akhirnya kembali ke rumah ketika waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Tak banyak obrolan di mobil, karena Amelia yang biasanya banyak berceloteh kini tertidur. Sedangkan Rafi dan Gilang sibuk dengan ponsel masing-ma
Rafi membuang napasnya kasar, dan menatap ke arah dua sahabatnya yang duduk di kursi tak jauh darinya.“Ada apa, Raf?” tanya Reza dan Rudy yang kini mendekatinya.“Menurut lu si Tania ini jujur nggak?” sahut Rafi balas bertanya.Tania yang merasa terancam dengan ucapan Rafi segera menyahut. “Kenapa lu nggak percaya sih sama gue. Dari tadi gue sudah ngomong jujur sama elu, Rafi! Lu mau apa lagi, hah?!”Reza dan Rudy yang tak mengerti masalahnya, hanya bisa mengerutkan kening sambil menatap Rafi.“Ini masih masalah yang di hotel itu, ya? Memangnya papa lu masih berhubungan sama dia?” tanya Rudy dengan dagu terarah pada Tania.“Nggak!” sentak Tania sebelum Rafi menjawab pertanyaan Rudy.“Terus ada apa lagi?” timpal Reza yang terlihat mulai penasaran.Rafi menghela napas kasar. Dia awalnya enggan bercerita tentang masalah kalung pada dua sahabatnya itu. Cukup dengan Tania saja, karena gadis itu yang membuat dia curiga.“Mama gue pernah melihat sebuah kalung emas dengan liontin permata bir
Tania yang melihat amarah di wajah Rafi, lantas meletakkan telunjuknya di bibir. Mengkode agar Rafi tak bersuara karena emosi.“Ya sudah kalau begitu, Om. Sekarang saya mau siap-siap dulu, supaya nanti bisa cetar saat ketemu sama Om Andi,” cetus Tania.“Ok, Cantik. Tunggu Om, ya. Sekarang ditutup dulu teleponnya ya, bye,” sahut Andi di seberang sana dengan suaranya yang masih lembut mendayu-dayu.Setelah itu, sambungan telepon Tania dan Andi pun berakhir. Tania lalu menatap Rafi sambil tersenyum canggung, dan salah tingkah.“Maaf ya, Raf. Gue harus berperan seperti tadi supaya bokap lu nggak curiga,” ucap Tania.Rafi mengangguk dan memaksakan dirinya untuk tersenyum. Sudah risikonya sakit hati mendengar percakapan Tania dan papanya, karena dirinya lah yang membuat Tania menghubungi Andi kembali.“Memang seperti itu ya biasanya kalian berinteraksi?” sahut Rafi dengan helaan napas panjang.“Hu’um. Jujur saja sih kalau gue terbuai oleh papa lu, Raf. Dia cowok yang romantis,” aku Tania te
Bukan hanya Rafi saja yang tubuhnya seketika membeku setelah mendengar suara itu, tapi hal yang sama juga dirasakan oleh Andi. Pria itu lalu menoleh dan tersenyum pada si pemilik suara.“Lho, kamu ada di sini juga? Sama siapa, Num? Gabung saja sini, yuk!” ucap Andi berusaha setenang mungkin, meski dalam hatinya sudah ketar-ketir karena terpergok sedang bersama dengan Tania.“Iya, aku tadinya ada janji ketemuan sama Anita di sini. Tapi di saat aku sudah sampai di sini, Anita membatalkan janji karena ada kabar kalau orang tuanya sakit. Aku yang sudah ada di sini dan sudah lapar, langsung saja masuk dan berniat makan di sini. Tapi, aku akhirnya mendapat kejutan di sini.” Hanum berkata sambil menghela napas panjang dan menatap suaminya serta Tania secara bergantian.“Ya sudah, makan bareng sama aku saja di sini. Ini kenalkan Tania. Dia teman sekampus Rafi,” ucap Andi dengan senyuman.Kening Hanum berkerut cukup dalam. Belum selesai dia menduga mengenai gadis cantik yang duduk di hadapan s
Amelia sontak tersipu mendengar penuturan sang kakak. Wajahnya pun merona. “Cie, merah lho wajahnya si Amel. Nggak sangka kalau dia naksir sama si dosen itu. Nggak apa itu, Mel. Paling selisih usianya maksimal sepuluh tahun. Masih wajar itu menurut aku. Masih banyak yang selisihnya di atas sepuluh tahun. Ayo, Mel, aku dukung deh! Kayaknya orangnya baik,” ucap Gilang antusias. “Dia itu yang tolongin Amel saat mau dikerjai sama keponakannya Larasati, Lang,” celetuk Rafi. “Nah, keren itu. Sudah kelihatan tipe melindunginya. Nanti nggak apa deh kalau kamu duluan, Mel. Kakak sih belakangan nggak apa-apa. Lagi pula aku belum punya calonnya,” ucap Gilang dengan senyum menggoda pada sang adik. Wajah Amelia semakin memerah dan dia jadi salah tingkah. “Kita pulang saja sekarang, yuk! Ngobrol soal begini di tempat umum. Nanti kalau kedengaran orang, bagaimana? Malu tahu, Kak,” sahut Amelia. Dia lantas berjalan mendahului kedua kakaknya, karena merasa malu ketahuan isi hatinya oleh dua kakakn
Hanum mengulum senyuman. Dia lalu menarik leher Andi dan mendekatkan telinga pria itu ke bibirnya. Dia lalu berbisik di sana.Kedua kelopak mata Andi membuka sempurna karena terkejut dengan apa yang Hanum bisikkan.“Kamu serius, Num? Nggak sedang bercanda?” tanya Andi dengan wajah memelas.“Iya, aku serius. Masak aku bohong sih, Mas. Aku ini kan belum menopause. Jadi masih kedatangan tamu bulanan lah. Aku tadi di kamar mandi baru tahu, kalau malam ini mendadak kedatangan tamu bulanan. Untung tadi sudah salat isya.” Hanum berkata sambil mengulum senyuman karena melihat wajah frustrasi Andi.“Sabar ya, Mas. Minggu depan deh baru bisa. Sekarang puasa dulu, ya. Sekalian menguji hati kamu, apa masih kuat menunggu satu minggu lagi?” imbuh Hanum yang masih mengulum senyumannya.Andi menghela napas. Dia berguling ke samping tubuh Hanum, dan memosisikan tubuhnya miring. Menghadap sang istri yang juga dalam posisi yang sama seperti dirinya. Tatapan mata mereka bertemu, dan saling mentransfer ra
Maya terdiam sambil mengaduk-aduk makanannya. Dia tiba-tiba saja menjadi tak berselera makan.Nadya yang melihat ekspresi sang mama, merasa bersalah karena terkesan dirinya memaksakan kehendak. Dia lalu memegang jemari tangan Maya dan mengusap lembut punggung tangan sang mama.“Aku minta maaf kalau perkataan tadi membuat Mama merasa nggak nyaman. Abaikan saja omongan aku tadi, Ma. Aku nggak memaksa Mama agar bisa memaafkan papa,” ucap Nadya lirih dan dengan nada yang tercekat, menahan tangis.Maya menoleh pada anak gadisnya. Dia melihat wajah cantik Nadya yang kini muram.‘Apa aku yang selama ini egois, mementingkan perasaanku sendiri tanpa memikirkan perasaan Nadya? Apa aku terlalu keras hati, sehingga sulit untuk memaafkan Mas Bima? Apakah sebenarnya Nadya merindukan papanya?’ ucap Maya dalam hati.“Nad, jawab pertanyaan Mama dengan jujur ya, Sayang,” ucap Maya dengan nada suara pelan.“Iya, Ma. Mama mau tanya apa?”“Apa kamu...merindukan papa kamu?”Nadya tak langsung menjawab. Dia
‘Jadi Hanum berencana akan rujuk dengan Andi. Sepertinya aku sia-sia saja selama ini mendekatinya. Lebih baik aku pulang saja sekarang. Mumpung belum ada yang tahu kehadiranku di sini. Mungkin Hanum memang bukan jodohku,’ ucap Sadewa dalam hati.Sadewa lalu dengan perlahan mundur teratur dari teras rumah Sawitri. Dia memutuskan pergi dari rumah itu karena tak ingin mendengar percakapan mereka. Dia memilih untuk lapang dada membuang jauh angannya terhadap Hanum, wanita yang dia suka sejak lama.“Mas Dewa, mau ke mana?” tanya seorang wanita, yang membuat Sadewa menghentikan langkah.Sadewa lalu menoleh dan melihat Lestari yang kini berdiri di jarak beberapa langkah di belakangnya.“Eh, Tari. Aku mau pulang. Nggak enak kalau mengganggu acara keluarga. Di ruang tamu sedang serius kayaknya,” sahut Sadewa terus terang, setelah dia membalikkan tubuhnya hingga posisinya kini berhadapan dengan Lestari.“Nggak mau mampir sekedar menyapa ibuku, Mas?” tanya Lestari lagi. Dia memandang Sadewa deng
Andi menangkap tubuh Hanum yang terhuyung ke depan, agar tak tersungkur di lantai.“Hati-hati dong, kalau sampai jatuh di lantai kan sakit nanti,” ucap Andi lembut ketika tubuh Hanum sudah berada dalam dekapannya.“Ish, kamu ini cari alasan saja, Mas. Sudah lepasin tangan kamu!” ujar Hanum dengan mata yang melotot pada Andi.“Kenapa memangnya?” tanya Andi dengan tatapan lugu.“Berlagak nggak paham, pura-pura tanya pula,” sungut Hanum kesal. Dia lalu berusaha untuk melepaskan diri dari dekapan Andi. Namun, Andi sepertinya menahan lengannya agar bisa lebih lama memeluk sang mantan.Di saat yang sama, Amelia muncul di tempat itu. Gadis itu terkesiap hingga mulutnya terbuka sempurna, kala melihat kedua orang tuanya tengah berpelukan. Itu menurut penilaiannya, karena dia tak tahu awal mula kejadian sang mama berada dalam dekapan papanya.“Cieee...rujuk ini ceritanya. Kapan peresmiannya? Terus kalau rujuk, aku bakalan dapat adik nggak?” goda Amelia dengan tawanya.“Adik? Memangnya kamu masi
“Iya, Bu Hanum. Tante Nita yang merekomendasikan katering Ibu. Katanya, katering Ibu sudah terjamin kualitasnya. Saya mencari jasa katering, untuk acara ulang tahun pernikahan orang tua saya. Ini saya lakukan sebagai hadiah di pernikahan mereka yang ketiga puluh. Oh iya, nama saya Fariz,” sahut Fariz dengan senyuman.“Fariz ini yang tempo hari menolong Amel lho, Num. Dia seorang dosen yang pintar ilmu bela diri, sehingga bisa mengalahkan si Roy,” timpal Andi, yang membuat Hanum terkesiap.“Oh ya? Wah, saya ucapkan banyak terima kasih deh sama kamu ya, Fariz. Lalu mengenai kateringnya, kapan acara ulang tahun pernikahan orang tua kamu? Apa kamu mau test food dulu, supaya yakin dengan makanannya?” sahut Hanum kalem.“Saya percaya kok dengan kualitas kateringnya Bu Hanum. Kalau Tante Nita sudah merekomendasikan sesuatu, itu artinya sudah ok. Jadi nggak perlu test food lagi, Bu. Lalu mengenai jadwal acaranya, itu dua minggu lagi. Sengaja saya jauh-jauh hari sudah cari kateringnya, supaya
Hanum mundur satu langkah. Andi pun bergerak maju mendekat. Begitu terus, hingga akhirnya punggung Hanum menempel pada dinding. Tak ada ruang untuk dirinya mundur lagi.“Mas! Sudah lah kamu pulang saja sana. Kamu pastinya capek kan, dan perlu istirahat juga. Jangan sampai penyakit jantung kamu kumat gara-gara kecapekan,” ucap Hanum dengan jantung yang bertalu-talu saat ini.“Aku sehat kok, Num. Aku juga nggak terlalu capek kok. Di rumah Nadya kan tadi hanya ngobrol saja. Lalu yang bawa mobil, si Rafi. Aku hanya duduk manis di sebelahnya. Kalau mengantuk sih, iya. Aku boleh kan istirahat di sini dulu, di kamar tamu,” sahut Andi dengan tatapan penuh harap.“Ya sudah, kalau mau istirahat di kamar tamu. Langsung saja ke sana. Kamu kan sudah tahu letaknya,” sahut Hanum. Dia lalu mendorong dada Andi agar menjauhinya. Dia merasa canggung juga berada di jarak yang begitu dekat dengan mantan suaminya.Namun di luar dugaan Hanum, tangan Andi menangkap tangan Hanum yang mendorong dadanya. Dia ba
Hanum yang terkesiap hanya bisa menghela napas panjang. Dia lalu memandang ke arah Bima yang masih menatap Maya, yang sedang memberi kode agar sikap Bima lebih ramah pada tamu mereka.Setelah beberapa detik, Maya kembali menatap Hanum dan Andi. Wanita yang diperkirakan usianya sebaya dengan Andi, lantas tersenyum pada kedua calon besannya itu.“Maaf ya, Pak, Bu. Papanya Nadya sedang kurang enak badan. Jadi reaksinya seperti tadi. Mari, silakan masuk!” ucap Maya ramah, dan dengan senyum yang tersungging di bibirnya. Dia sengaja memberikan alasan itu agar bisa dimaklumi oleh tamunya. Maya tak tahu saja, kalau Andi dan Hanum telah mengetahui penyebab sikap Bima tadi.“Oh, lagi kurang enak badan. Iya, nggak apa-apa. Kami maklum kok, Bu. Saya juga kalau kurang enak badan, suka begitu sikapnya. Iya kan, Ma,” sahut Andi dengan senyuman. Dia menoleh pada Hanum yang mengulum senyumannya mendengar penuturan mantan suaminya, yang masih menyebut kata ‘Ma’ pada dirinya.‘Aih, Mas Andi ini serba me
“Baik, Om, sepulang dari sini nanti, saya akan beritahu orang tua saya. Insya Allah, mereka bersedia datang kemari dan kenalan dengan Om Bima,” ucap Rafi, yang membuat lamunan Nadya buyar.Bima tersenyum seraya berkata, “Pastinya mau dong kenalan sama Om. Kalau nggak mau, Om nggak akan restui hubungan kalian.”Bima memang bercanda mengucapkan kalimat itu. Dia juga mengucapkannya sambil tersenyum. Namun, tetap saja membuat hati Rafi ketar-ketir.“I-iya, Om. Tolong restui dong. Saya dan Nadya serius lho, Om,” sahut Rafi yang sontak membuat Bima tertawa.“Iya...makanya nanti kenalan dulu. Biar enak ngomong soal kelanjutan hubungan kalian, iya kan,” ucap Bima setelah tawanya reda.Sementara itu, Maya yang rupanya menguping pembicaraan Rafi dan Bima lantas menampakkan dirinya di ruang tamu.Rafi yang melihat kedatangan Maya, lalu berdiri dan menghampiri wanita itu. Dia lalu mencium punggung tangan Maya dengan takzim.“Ada apa ini, Rafi?” tanya Maya pura-pura tak tahu. Dia lalu duduk di sof