Tangan Andi yang siap meluncur ke wajah Amelia, kini tertahan di udara karena dicekal erat oleh Gilang. Dia menoleh ke arah sumber suara dan mendapatkan tatapan tajam anak keduanya itu.“Aku akan melindungi adik dan mamaku dari lelaki pecundang macam Papa! Jadi selama aku masih berdiri tegak, jangan coba-coba menyakiti dua perempuan yang sangat berarti di hidupku. Kalau sampai Papa lakukan itu, maka aku tak segan membalas lebih dari yang Papa lakukan pada mereka. Atau...aku akan balaskan lebih sakit dengan cara menghajar Larasati sampai dia nggak bisa jalan. Mau seperti itu?” ancam Gilang datar dan dingin.“Aku nggak peduli kalau sampai masuk penjara. Membuat pelakor itu cacat, menjadi kepuasanku tersendiri,” imbuh Gilang. Tentu saja dia hanya menggertak agar papanya tak berlaku kasar pada adik dan mamanya. Dia juga tak ingin berurusan dengan hukum. Bukan Gilang takut. Tapi kalau hal itu terjadi, maka mamanya akan sedih. Gilang tak ingin membuat wanita yang melahirkannya itu bersedih,
Larasati terperanjat. Dia sama sekali tak menyangka kalau imbas dari ulah ketiga anak Andi akan berakibat fatal pada karirnya. Susah payah dia membangun karirnya hingga tercapai seperti sekarang. Tapi, kini hancur dalam sekejap mata. Dalam hati, Larasati merutuki ketiga anak Andi. Dia tak sadar bahwa semua itu akibat ulahnya sendiri yang menjalin hubungan dengan suami orang.“Bu, apa nggak bisa dipertimbangkan lagi? Semua ini hanya salah paham saja,” ucap Larasati mencoba membela diri. Dia tak mau menyerah, dan berusaha memperjuangkan karirnya.“Salah paham yang bagaimana lagi, Mbak Laras? Semuanya sudah jelas kok. Video itu viral dan saya sendiri melihatnya. Menurut saya sih wajar juga mereka berbuat seperti itu. Mana ada anak yang rela kalau papanya direbut oleh orang lain. Saya sendiri kalau jadi mereka, mungkin akan berbuat yang sama. Mungkin juga bisa lebih dari itu. Saya nggak membayangkan perasaan ibu mereka. Coba kalau posisi Mbak Laras dibalik, apa mau disakiti oleh suami? Ng
“Oh, maaf. Saya nggak tahu kalau sedang ada meeting di sini. Silakan dilanjutkan! Saya nggak akan mengganggu,” ucap Larasati dengan senyum canggung di bibirnya. Dia terlihat salah tingkah.Larasati yang salah tingkah, lantas menutup pintu ruangan Andi dan setelahnya melangkah ke sofa. Dia menghempaskan bobot tubuhnya di sofa, dan langsung memainkan ponselnya. Tak peduli dengan tatapan Andi dan beberapa orang yang ada di ruangan itu mengarah padanya.“Sebaiknya kita lanjutkan lagi nanti, ya. Saya kedatangan tamu soalnya,” ucap Andi pada anak buahnya.“Baik, Pak, permisi,” sahut anak buah Andi kompak.Setelah anak buahnya meninggalkan ruang kerjanya, Andi mendekati pujaan hatinya. Dia tersenyum dan meraih punggung tangan Larasati serta mengelusnya.“Kenapa kok wajah kamu cemberut begitu sih, Sayang?” ucap Andi lembut.Andi yang tahu kalau ada yang tak beres, lantas merengkuh tubuh Larasati ke dalam pelukannya.Larasati yang memang sedang kesal, lantas memandang Andi dengan kedua bola ma
Larasati yang melihat perubahan di wajah Andi, lantas bertanya pada pria itu.“Pesan dari siapa, Mas?”“Hanum.” Andi menjawab singkat karena dia mulai resah, tapi sebisa mungkin bersikap biasa di depan Larasati.“Lalu?”Andi menatap Lekat wajah Larasati dengan tatapan penuh tanya. Dia heran juga dengan wanita itu yang ingin tahu urusannya saat ini. Padahal sebelumnya Larasati tak seperti itu.“Lalu apanya? Kenapa kamu ingin tahu urusanku dan istriku?” sahut Andi balas bertanya.“Oh begitu, ya. Mas menganggap aku ini apa sih? Bukankah aku ini tunangan kamu? Mas kan sudah setuju untuk menikahiku, meski jadi istri kedua,” sahut Larasati kalem.Andi menghela napas panjang, dan menyugar rambutnya kasar. Dia tak ingin Larasati tahu mengenai perjanjian yang telah disepakati olehnya dan Hanum. Bisa-bisa Larasati tak sudi menikah dengannya, apabila tahu kalau asetnya dimiliki oleh Hanum. Hal itulah yang tak dia inginkan terjadi.“Soal biasa, Sayang. Soal suami dan istri yang harus membicarakan
Andi terdiam. Dia mengusap wajahnya kasar. Batinnya sangat kesal pada Hanum, yang seolah memiskinkan dirinya. Tapi, dia tak bisa berbuat banyak karena dirinya yang bersalah.“Jadi besok, saya juga akan ke kantor ya, Mbak Hanum. Saya akan beritahu ke pihak HRD mengenai status baru Mas Andi. Selain itu saya juga mau memberitahu kalau gaji Mas Andi mulai bulan ini, langsung ditransfer ke rekening Mbak Hanum sebanyak tujuh puluh lima persen,” timpal Tedi.“Iya, Pak Tedi. Saya juga mau supaya apartemen itu sesegera mungkin dikosongkan. Terserah Pak Tedi menanganinya bagaimana. Mas Andi biar membeli lagi tempat tinggal yang baru, dengan uang pribadinya. Perempuan itu harus mau memulai dari awal seperti saya dulu. Jangan mau enaknya saja. Sudah berjaya, perempuan itu mau ikut mencicipi tanpa harus berjuang dari nol,” sahut Hanum kesal.Andi tak bisa berkata-kata lagi. Sungguh, dirinya kini merasa malu pada Tedi dan pada karyawannya nanti. Dia merasa seperti harimau yang sudah ompong giginya.
Kedua bola mata Andi membelalak. Kesal juga dia dengan sikap Larasati yang tak kooperatif kali ini. Dia memegang kedua pundak Larasati dan menatap lekat wajah cantik wanita itu.“Laras, dengar kataku. Jangan memperburuk keadaan yang nantinya akan membuat kita jadi malu. Hanum akan datang kemari besok dengan beberapa orang. Jadi kamu sebaiknya pergi sebelum mereka datang. Kamu tahu sendiri kan kalau kamu pernah viral gara-gara ketiga anakku. Jadi jangan sampai kamu viral lagi,” ucap Andi serius.Larasati menepis tangan Andi dari pundaknya. Dia menatap Andi dengan tatapan penuh amarah.“Aku nggak peduli kalau viral lagi. Apa lagi yang harus dijaga? Karirku sudah hancur karena anak-anak kamu, Mas. Jadi aku mau balas semua itu pada ibu mereka, karena pasti mereka berbuat seperti itu atas restu dari ibunya.”“Laras! Jangan macam-macam kamu! Hanum sama sekali nggak tahu perbuatan anak-anaknya. Saat itu dia belum pulang ke rumah. Saat aku datang, hanya ada mereka bertiga saja. Jadi aku mohon
Andi menatap tak percaya wanita yang akan segera dia nikahi ini. Dia sungguh tak menduga kalau Larasati akan minta mahar sebuah rumah. Tadinya dia berencana akan memberi mahar pernikahan, satu set perhiasan. Tapi, sungguh permintaan Larasati tadi di luar ekspektasinya. Sungguh jauh di luar pemikiran Andi.“Kok diam saja sih, Mas? Keberatan dengan permintaan aku tadi?” tanya Larasati, ketika melihat Andi yang hanya terdiam.“Soal ini kita bicarakan lagi nanti. Aku mau buka pintu dulu,” sahut Andi berusaha mengelak. Dia bukannya tak bersedia mengabulkan permintaan wanitanya itu. Tapi, dia kini berhitung dengan pemasukan yang akan berkurang banyak, karena Hanum sudah memotong lebih dulu gajinya. Sedangkan statusnya kini bukan pemilik perusahaan lagi, jadi dia tak bisa meminjam atau menggunakan uang perusahaan untuk menuruti kemauan Larasati. Dia tahu pasti kalau wanita itu akan minta rumah mewah. Sedangkan dia harus berhemat pada tabungannya. Dia tak mau tabungannya terkuras nantinya.“P
Hanum tak menduga kalau Larasati akan berani berkata seperti itu padanya. Dia tekan rasa sakit hati dan terkejutnya. Dia tak mau kalau pelakor itu merasa puas hatinya. Dia lalu beranjak dari kursi makan dengan tatapan tak lepas dari wajah Larasati.“Silakan bawa hati Mas Andi sesuka hatimu! Saya juga mau melihat, sampai kapan kamu akan berbangga hati hanya dengan memiliki hati Mas Andi saja, tanpa embel-embel di belakangnya,” ucap Hanum dengan seringai di bibirnya. Dia lalu meninggalkan Larasati yang mematung di tempatnya.Larasati tertegun dan mengerutkan keningnya. Memikirkan kalimat terakhir Hanum yang kurang dia pahami.“Tanpa embel-embel di belakangnya? Apa maksud ucapannya tadi?” gumam Larasati seorang diri.Andi mengerutkan keningnya ketika melihat Hanum datang dari arah ruang makan, dan tak lama muncul Larasati di belakang Hanum. Dia awalnya mengira Hanum sedang melihat-lihat ke sekeliling ruang apartemen, ketika dia muncul di ruang tamu dan tak mendapati istrinya di sana.‘Me
Amelia sontak tersipu mendengar penuturan sang kakak. Wajahnya pun merona. “Cie, merah lho wajahnya si Amel. Nggak sangka kalau dia naksir sama si dosen itu. Nggak apa itu, Mel. Paling selisih usianya maksimal sepuluh tahun. Masih wajar itu menurut aku. Masih banyak yang selisihnya di atas sepuluh tahun. Ayo, Mel, aku dukung deh! Kayaknya orangnya baik,” ucap Gilang antusias. “Dia itu yang tolongin Amel saat mau dikerjai sama keponakannya Larasati, Lang,” celetuk Rafi. “Nah, keren itu. Sudah kelihatan tipe melindunginya. Nanti nggak apa deh kalau kamu duluan, Mel. Kakak sih belakangan nggak apa-apa. Lagi pula aku belum punya calonnya,” ucap Gilang dengan senyum menggoda pada sang adik. Wajah Amelia semakin memerah dan dia jadi salah tingkah. “Kita pulang saja sekarang, yuk! Ngobrol soal begini di tempat umum. Nanti kalau kedengaran orang, bagaimana? Malu tahu, Kak,” sahut Amelia. Dia lantas berjalan mendahului kedua kakaknya, karena merasa malu ketahuan isi hatinya oleh dua kakakn
Hanum mengulum senyuman. Dia lalu menarik leher Andi dan mendekatkan telinga pria itu ke bibirnya. Dia lalu berbisik di sana.Kedua kelopak mata Andi membuka sempurna karena terkejut dengan apa yang Hanum bisikkan.“Kamu serius, Num? Nggak sedang bercanda?” tanya Andi dengan wajah memelas.“Iya, aku serius. Masak aku bohong sih, Mas. Aku ini kan belum menopause. Jadi masih kedatangan tamu bulanan lah. Aku tadi di kamar mandi baru tahu, kalau malam ini mendadak kedatangan tamu bulanan. Untung tadi sudah salat isya.” Hanum berkata sambil mengulum senyuman karena melihat wajah frustrasi Andi.“Sabar ya, Mas. Minggu depan deh baru bisa. Sekarang puasa dulu, ya. Sekalian menguji hati kamu, apa masih kuat menunggu satu minggu lagi?” imbuh Hanum yang masih mengulum senyumannya.Andi menghela napas. Dia berguling ke samping tubuh Hanum, dan memosisikan tubuhnya miring. Menghadap sang istri yang juga dalam posisi yang sama seperti dirinya. Tatapan mata mereka bertemu, dan saling mentransfer ra
Maya terdiam sambil mengaduk-aduk makanannya. Dia tiba-tiba saja menjadi tak berselera makan.Nadya yang melihat ekspresi sang mama, merasa bersalah karena terkesan dirinya memaksakan kehendak. Dia lalu memegang jemari tangan Maya dan mengusap lembut punggung tangan sang mama.“Aku minta maaf kalau perkataan tadi membuat Mama merasa nggak nyaman. Abaikan saja omongan aku tadi, Ma. Aku nggak memaksa Mama agar bisa memaafkan papa,” ucap Nadya lirih dan dengan nada yang tercekat, menahan tangis.Maya menoleh pada anak gadisnya. Dia melihat wajah cantik Nadya yang kini muram.‘Apa aku yang selama ini egois, mementingkan perasaanku sendiri tanpa memikirkan perasaan Nadya? Apa aku terlalu keras hati, sehingga sulit untuk memaafkan Mas Bima? Apakah sebenarnya Nadya merindukan papanya?’ ucap Maya dalam hati.“Nad, jawab pertanyaan Mama dengan jujur ya, Sayang,” ucap Maya dengan nada suara pelan.“Iya, Ma. Mama mau tanya apa?”“Apa kamu...merindukan papa kamu?”Nadya tak langsung menjawab. Dia
‘Jadi Hanum berencana akan rujuk dengan Andi. Sepertinya aku sia-sia saja selama ini mendekatinya. Lebih baik aku pulang saja sekarang. Mumpung belum ada yang tahu kehadiranku di sini. Mungkin Hanum memang bukan jodohku,’ ucap Sadewa dalam hati.Sadewa lalu dengan perlahan mundur teratur dari teras rumah Sawitri. Dia memutuskan pergi dari rumah itu karena tak ingin mendengar percakapan mereka. Dia memilih untuk lapang dada membuang jauh angannya terhadap Hanum, wanita yang dia suka sejak lama.“Mas Dewa, mau ke mana?” tanya seorang wanita, yang membuat Sadewa menghentikan langkah.Sadewa lalu menoleh dan melihat Lestari yang kini berdiri di jarak beberapa langkah di belakangnya.“Eh, Tari. Aku mau pulang. Nggak enak kalau mengganggu acara keluarga. Di ruang tamu sedang serius kayaknya,” sahut Sadewa terus terang, setelah dia membalikkan tubuhnya hingga posisinya kini berhadapan dengan Lestari.“Nggak mau mampir sekedar menyapa ibuku, Mas?” tanya Lestari lagi. Dia memandang Sadewa deng
Andi menangkap tubuh Hanum yang terhuyung ke depan, agar tak tersungkur di lantai.“Hati-hati dong, kalau sampai jatuh di lantai kan sakit nanti,” ucap Andi lembut ketika tubuh Hanum sudah berada dalam dekapannya.“Ish, kamu ini cari alasan saja, Mas. Sudah lepasin tangan kamu!” ujar Hanum dengan mata yang melotot pada Andi.“Kenapa memangnya?” tanya Andi dengan tatapan lugu.“Berlagak nggak paham, pura-pura tanya pula,” sungut Hanum kesal. Dia lalu berusaha untuk melepaskan diri dari dekapan Andi. Namun, Andi sepertinya menahan lengannya agar bisa lebih lama memeluk sang mantan.Di saat yang sama, Amelia muncul di tempat itu. Gadis itu terkesiap hingga mulutnya terbuka sempurna, kala melihat kedua orang tuanya tengah berpelukan. Itu menurut penilaiannya, karena dia tak tahu awal mula kejadian sang mama berada dalam dekapan papanya.“Cieee...rujuk ini ceritanya. Kapan peresmiannya? Terus kalau rujuk, aku bakalan dapat adik nggak?” goda Amelia dengan tawanya.“Adik? Memangnya kamu masi
“Iya, Bu Hanum. Tante Nita yang merekomendasikan katering Ibu. Katanya, katering Ibu sudah terjamin kualitasnya. Saya mencari jasa katering, untuk acara ulang tahun pernikahan orang tua saya. Ini saya lakukan sebagai hadiah di pernikahan mereka yang ketiga puluh. Oh iya, nama saya Fariz,” sahut Fariz dengan senyuman.“Fariz ini yang tempo hari menolong Amel lho, Num. Dia seorang dosen yang pintar ilmu bela diri, sehingga bisa mengalahkan si Roy,” timpal Andi, yang membuat Hanum terkesiap.“Oh ya? Wah, saya ucapkan banyak terima kasih deh sama kamu ya, Fariz. Lalu mengenai kateringnya, kapan acara ulang tahun pernikahan orang tua kamu? Apa kamu mau test food dulu, supaya yakin dengan makanannya?” sahut Hanum kalem.“Saya percaya kok dengan kualitas kateringnya Bu Hanum. Kalau Tante Nita sudah merekomendasikan sesuatu, itu artinya sudah ok. Jadi nggak perlu test food lagi, Bu. Lalu mengenai jadwal acaranya, itu dua minggu lagi. Sengaja saya jauh-jauh hari sudah cari kateringnya, supaya
Hanum mundur satu langkah. Andi pun bergerak maju mendekat. Begitu terus, hingga akhirnya punggung Hanum menempel pada dinding. Tak ada ruang untuk dirinya mundur lagi.“Mas! Sudah lah kamu pulang saja sana. Kamu pastinya capek kan, dan perlu istirahat juga. Jangan sampai penyakit jantung kamu kumat gara-gara kecapekan,” ucap Hanum dengan jantung yang bertalu-talu saat ini.“Aku sehat kok, Num. Aku juga nggak terlalu capek kok. Di rumah Nadya kan tadi hanya ngobrol saja. Lalu yang bawa mobil, si Rafi. Aku hanya duduk manis di sebelahnya. Kalau mengantuk sih, iya. Aku boleh kan istirahat di sini dulu, di kamar tamu,” sahut Andi dengan tatapan penuh harap.“Ya sudah, kalau mau istirahat di kamar tamu. Langsung saja ke sana. Kamu kan sudah tahu letaknya,” sahut Hanum. Dia lalu mendorong dada Andi agar menjauhinya. Dia merasa canggung juga berada di jarak yang begitu dekat dengan mantan suaminya.Namun di luar dugaan Hanum, tangan Andi menangkap tangan Hanum yang mendorong dadanya. Dia ba
Hanum yang terkesiap hanya bisa menghela napas panjang. Dia lalu memandang ke arah Bima yang masih menatap Maya, yang sedang memberi kode agar sikap Bima lebih ramah pada tamu mereka.Setelah beberapa detik, Maya kembali menatap Hanum dan Andi. Wanita yang diperkirakan usianya sebaya dengan Andi, lantas tersenyum pada kedua calon besannya itu.“Maaf ya, Pak, Bu. Papanya Nadya sedang kurang enak badan. Jadi reaksinya seperti tadi. Mari, silakan masuk!” ucap Maya ramah, dan dengan senyum yang tersungging di bibirnya. Dia sengaja memberikan alasan itu agar bisa dimaklumi oleh tamunya. Maya tak tahu saja, kalau Andi dan Hanum telah mengetahui penyebab sikap Bima tadi.“Oh, lagi kurang enak badan. Iya, nggak apa-apa. Kami maklum kok, Bu. Saya juga kalau kurang enak badan, suka begitu sikapnya. Iya kan, Ma,” sahut Andi dengan senyuman. Dia menoleh pada Hanum yang mengulum senyumannya mendengar penuturan mantan suaminya, yang masih menyebut kata ‘Ma’ pada dirinya.‘Aih, Mas Andi ini serba me
“Baik, Om, sepulang dari sini nanti, saya akan beritahu orang tua saya. Insya Allah, mereka bersedia datang kemari dan kenalan dengan Om Bima,” ucap Rafi, yang membuat lamunan Nadya buyar.Bima tersenyum seraya berkata, “Pastinya mau dong kenalan sama Om. Kalau nggak mau, Om nggak akan restui hubungan kalian.”Bima memang bercanda mengucapkan kalimat itu. Dia juga mengucapkannya sambil tersenyum. Namun, tetap saja membuat hati Rafi ketar-ketir.“I-iya, Om. Tolong restui dong. Saya dan Nadya serius lho, Om,” sahut Rafi yang sontak membuat Bima tertawa.“Iya...makanya nanti kenalan dulu. Biar enak ngomong soal kelanjutan hubungan kalian, iya kan,” ucap Bima setelah tawanya reda.Sementara itu, Maya yang rupanya menguping pembicaraan Rafi dan Bima lantas menampakkan dirinya di ruang tamu.Rafi yang melihat kedatangan Maya, lalu berdiri dan menghampiri wanita itu. Dia lalu mencium punggung tangan Maya dengan takzim.“Ada apa ini, Rafi?” tanya Maya pura-pura tak tahu. Dia lalu duduk di sof