"Kita pisah kamar?"
"Ya, nggak sudi aku sekamar sama kamu!" Pedih sekali mendengar kata-katanya. Aku istrinya tapi tidak boleh sekamar dengannya.
Aku menarik koper dengan perasaan sedih, menuju kamar tamu yang akan menjadi kamarku mulai sekarang. Merebahkan tubuh, membuka hijab dari kepalaku.
Aku menatap atap kamar dengan perasaan bercampur aduk, rumah tangga seperti apa yang akan aku hadapi?
"Buatkan aku makanan, aku lapar!"
Arga berteriak dari balik pintu, aku segera bangkit dan melangkahkan kaki ke dapur. Memeriksa isi kulkas, apa yang bisa aku masak. Hanya ada mie instan.
"Apa yang mau dimasak? Kulkas kosong begini?" Aku mengomel sendiri.
"Nanti kita belanja ke swalayan, sekarang masak mie instan aja dulu!" Arga menjawab ucapanku. Walau itu tak ku tujukan padanya.
Harum semerbak mie instan, membuat perutku bergejolak minta jatah. Segera aku duduk di ruang makan dan menghidangkan mie instan untuk Arga dan juga untukku. Kami makan dengan diam. Tak ada pembicaraan apapun.
"Habis makan kamu siap-siap, kita akan belanja keperluan dapur setelah itu ke rumah mama sebentar"
"Iya, mas" Aku menghabiskan makanan lalu beranjak ke dapur membersihkan peralatan dapur yang telah ku gunakan.
Kami tiba di swalayan, hari sudah menjelang sore. Aku segera mengambil troli dan berkeliling mencari bahan-bahan dapur yang aku inginkan.
"Cepetan milihnya! Kita mau ke rumah mama juga ini?" Arga malah mendesakku.
"Tunggu sebentar, aku harus milih semua yang aku butuhkan, siapa yang salah? Biarin kulkas kosong nggak ada isinya?"
"Eh, dibilangin malah ngomel!" Matanya melotot menatapku.
Emang aku pikirin, biarin dia dongkol.
*****
Aku segera ke kasir untuk membayar belanjaan, Arga terlihat sudah tidak sabar menungguku. Dasar laki-laki, diminta sabar malah masang wajah jutek.Arga memasukkan ke mobil barang belanjaan dengan tergesa-gesa.
"Baik-baik dong, mas! Ada telor juga kali? Kalau pecah kan rugi?"
"Apa susahnya? Kalau ada telor yang pecah kamu yang makan!"
"Ihhh.... emang aku apaan? Enak aja ngomong!" Kesel dengar dia ngomong. Bisanya cuma nyakitin hati orang.
Sampai di rumah orang tua Arga, hari sudah magrib. Rumahnya ternyata lebih besar dari yang Arga punya. Aku benar-benar tak menyangka mereka sekaya itu. Keluargaku tak sebanding apapun dengan mereka.
"Kok lama banget datangnya? Mama udah nungguin lho dari tadi?" Mama memelukku dan mempersilahkan masuk.
"Tadi belanja kebutuhan dapur dulu, ma" Arga menjawab pertanyaan mamanya sambil beranjak masuk.
"Ayo duduk, Susan. Mama siapin makan malam buat kita dulu"
"Susan bantuin ya, ma?"
"Tidak usah, kamu dan Arga kan capek habis belanja, biar mama saja, cuma nata di meja makan saja kok"
"Baik, ma" Aku akhirnya hanya duduk di ruang tamu mereka, memperhatikan sekeliling.
"Kenapa liatin isi rumah seperti itu? Belum pernah masuk ke rumah orang kaya ya?" Ucapan Arga seperti menampar mukaku.
"Apa maksudmu bicara seperti itu?"
"Sudah jelas sekali tampang mu. Mau di jodohkan dengan orang yang tidak kamu kenal bahkan sudah tau kalau aku tidak menyukaimu, apalagi alasannya? Kalau bukan mengincar harta kekayaan ku?"
"Cukup, Arga! Jaga ucapan mu, aku bahkan tidak tau kalau kamu berasal dari keluarga kaya! Aku menerima perjodohan ini karena baktiku pada orang tuaku!" Netraku tak mampu menahan tangis. Bulir air mata jatuh tanpa kusadari. Ucapannya sungguh menyakiti hatiku.
Walau aku berasal dari keluarga yang sederhana, tapi hidup ku tak pernah kekurangan. Ummi dan Abah masih sanggup memenuhi kebutuhan ku, bahkan sampai aku sarjana. Tapi laki-laki ini merendahkan aku, aku bahkan tak tau mereka sekaya ini. Aku beranggapan mereka sama sederhananya dengan keluargaku."Alasan yang di buat-buat!" Arga masih tetap ingin menghinaku, aku ingin menjawab ucapannya, tapi mama keburu datang. Cepat ku hapus airmata di pipiku.
"Ayo, kita makan dulu. Papa masih di kantor, jadi kita makan saja duluan?"
"Baik, ma"
Aku dan Arga mengikuti mama ke ruang makan, menarik kursi lalu duduk.
"Ayo makan Susan, pasti kamu lapar"
"Baik, ma" Aku mengisi piring dengan sedikit nasi dan mengambil sedikit lauk pauk. Rasanya aku tak berselera makan sedikitpun setelah mendengar ucapan Arga.
"Kok cuma sedikit makannya, nak?" Mama menatap piringku yang kosong setelah makan.
"Susan sudah kenyang, ma. Tadi Susan ngambil banyak kok ma"
Setelah makan, kami kembali ke ruang tamu, meja makan dibersihkan oleh pembantu rumah tangga mereka.
"Bagaimana Susan? Suka tinggal di rumahnya Arga?"
"Suka kok, ma. Tapi sepi hanya kami berdua saja"
"Mama sebenarnya maunya kalian tinggal disini bareng mama dan papa tapi Arga nggak setuju"
"Biarlah kami tinggal terpisah ma, biar bisa lebih mandiri, iya kan Susan?" Arga mengerlingkan mata padaku meminta persetujuanku.
"Iya, ma. Biar kami lebih mandiri ma" Aku sebenarnya ogah tinggal berdua dengan Arga.
Menjelang malam, kami segera pamit pulang. Besok Arga mau masuk kantor. Di dalam perjalanan pulang, aku dan Arga hanya diam tanpa kata.
Setelah sampai rumah, kami membawa barang belanjaan ke dapur. aku menatanya di dalam kulkas setelah itu aku langsung masuk ke kamar dan begitupun dengannya. Masuk ke kamar kami masing-masing.
Aku capek, segera melepas hijab, dan mengganti gamis yang aku pakai dengan baju tidur. Lalu segera merebahkan tubuhku di ranjang. Aku terlelap karena kelelahan.
Pas azan subuh berkumandang, aku bangun. Membersihkan diri, kemudian. Sholat. Setelah itu beranjak ke dapur. Membuatkan sarapan untuk Arga.
Walaupun aku benci dengan ucapannya, tapi tetap kebutuhannya aku layani. Karena aku adalah istrinya. Itu yang selalu aku tekankan pada hatiku. Saat rasa benci padanya muncul.
Sarapan sudah selesai aku tata di meja makan, tapi kenapa dia belum keluar kamar juga? Bukankah dia mau ke kantor?
Ku gedor pintu kamarnya dengan keras. Mungkin dia ketiduran. Tak lama dia membuka pintu dengan kasar.
"Apaan sih? Gedor pintu sekuat itu?" Dia hanya memakai handuk di pinggangnya, rambutnya basah. Sepertinya dia habis mandi. Wajahku merah padam melihat dadanya yang bidang. Reflek aku berbalik. Dan hendak pergi.
"Kamu mau kemana? Siapin baju aku dulu" Dia malah memerintahku masuk ke kamarnya untuk mengambilkan baju.
"Mana aku tau baju apa yang mau kamu pake?"
"Makanya, buka lemari trus pilih. Lalu setrika, aku tunggu. Cepetan!"
Aku terpaksa masuk ke kamar Arga, membuka lemari lalu memilihkan pakaian untuknya.
"Tempat menyetrika dimana?"
"Di bawah, di kamar di samping dapur"
Aku segera menuruni tangga, memasuki kamar di samping dapur. Di sana sudah ada peralatan yang aku butuhkan untuk menyetrika pakaian Arga. Kulakukan dengan cepat.
"Cepetan, Susan! Aku sudah telat ini!" Suara teriakannya membuatku bergegas menaiki tangga menuju kamarnya.
"Sabar dong! Ini pakaiannya"
"Sepatu dan kaus kaki juga cariin dong!" Masih ada saja yang dia suruh. Aku segera membuka laci lemari mencari kaus kaki, dapat. Segera kuberikan padanya. Lalu beralih ke sepatu. Memilihkan sepatu hitam khas kerja kantoran. Sedikit membersihkannya lalu meletakkannya di di lantai di dekat Arga.
Lalu beranjak keluar kamar. Arga mau berpakaian.
Aku sedang meminum teh panas, saat Arga menuruni anak tangga.
"Sarapan dulu, mas. Sudah aku siapin!"
Dia menuju meja makan, duduk dan menikmati nasi goreng yang aku buatkan. Lalu meminum teh yang aku suguhkan. Sebelum pergi, dia memberikan aku kartu ATM."Ini, ATM pin nya tanggal ulang tahun saya. Kamu boleh pakai uang itu untuk belanja keperluan mu""Makasih, mas" Ternyata dia ada baiknya sedikit. Memberikan aku ATM untuk belanja."Aku pergi dulu""Ya, mas. Hati-hati!"Aku mengantarnya sampai pintu, mengulurkan tangan untuk menyalami tangannya. Dia menatapku sejenak sebelum mengulurkan tangannya. Segera ku sambut dan menyalami tangannya. Setelah itu dia pergi.Aku kembali ke dapur, membersihkan peralatan masak. Lalu mulai menyapu rumah. Rasanya melelahkan, membersihkan rumah ini seorang diri.Aku beranjak ke kamar Arga. Membuka lemari, mencoba mengenali apa saja yang Arga punya. Lalu beralih pada laci. Disana ada koleksi jam tangan Arga yang terlihat mahal-mahal. Kemudian koleksi dasi
Selesai makan aku dan Mama berbicara di ruang tamu."Ma, sebelum menikah denganku apa Mas Arga punya pacar?" aku ingin tahu apakah Mama mengenal pacar Arga yang datang tadi pagi ke rumah.Mama terkejut mendengar pertanyaanku."Apa kamu sudah bertemu dengan perempuan itu?" ternyata Mama sudah tahu pacar Arga itu. Aku menjadi sedih karenanya."Sudah, Ma. Tadi pagi dia datang ke rumah mencari Mas Arga!""Apa? Jadi Arga belum juga putus dari perempuan itu?" Mama terlihat marah mendengar semua itu."Kalau Mas Arga sudah punya pacar, kenapa Mama menjodohkan dia denganku, Ma?" tanyaku dengan hati sedih dan juga penasaran."Kamu lihat penampilan dia kan? Pakaiannya saja sungguh tidak sopan. Mama dan Papa tidak suka dengan pribadinya dia. Mau keluarga seperti apa yang akan Arga bina? Jika sampai menikah dengan perempuan seperti itu?""Tapi Mas Arga sepertinya sangat mencintai perempuan itu, Ma!"Mama menatapku dalam.
Aku kembali memasuki kamar. Ucapan Arga memenuhi isi kepalaku. Apa dia tak menganggapku sedikitpun karena pakaian yang aku gunakan ini?Aku melepas hijab instan yang melekat di kepalaku. Melepas ikatan pada rambutku yang panjang sepinggang. Rambut hitam legam dan sangat lurus. Aku meraih sisir lalu berdiri di depan meja rias. Menyisir rambutku dengan lembut.Wajah oval dan bibir tipis yang aku miliki semakin sempurna dengan geraian rambut panjangku. Arga belum pernah sekalipun melihat penampilanku saat tam memakai hijab.Jika di bandingkan dengan pacarnya yang datang tadi pagi itu, aku tak kalah cantik dengannya. Wajah mulus yang aku miliki berbanding terbalik dengan wajah perempuan itu. Wajahnya jelas sekali cantik karena make up yang dia gunakan. Jika tanpa make up sedikitpun aku yakin wajahnya jauh lebih jelek dariku.Postur tubuhnya juga tak bisa mengalahkan postur tubuhku. Aku jauh lebih tinggi darinya. Jika aku memakai pakaian yang dia g
Aku menunggu Arga pulang dari kantor. Hari sudah menjelang magrib, selesai sholat magrib aku menunggunya di ruang tamu.Aku gegas membukakan pintu saat terdengar suara mobil Arga memasuki garasi."Mas?" ku ulurkan tangan dengan cepat untuk menyalaminya saat dia melangkahkan kaki memasuki rumah.Dia menatapku sekilas. Ditangannya ada bekal yang aku berikan padanya tadi pagi."Ini!" dia menyerahkan kotak makan siang itu padaku. Aku meraihnya lalu dia berlalu meninggalkanku memasuki kamarnya.Ah, dia sedingin es. Bahkan dia tak membiarkan aku bicara sedikitpun. Sampai kapan dia berlaku seperti ini?Aku segera membawa kotak makan siang itu ke dapur. Aku membuka isinya. Hatiku langsung kecewa. Semua makanan yang aku persiapkan itu, tidak satupun dia sentuh. Semuanya masih utuh seperti semula.Aku terduduk lemah di meja makan. Menatap hidangan makan malam yang sudah aku persiapkan untuknya. Akankah dia kembali tak mau menikmatinya?
"Vani, tolong anterin aku pulang!" pintaku pada Vani sambil melepaskan diri dari pelukannya."Baiklah, tapi kamu tidak apa-apa kan?""Aku baik-baik saja, kok!" ucapku pelan.Aku menaiki mobil Vani. Sepanjang jalan pikiranku dipenuhi oleh tawa ceria Arga bersama Anita. Mereka seperti pasangan yang saling mencintai satu sama lain. Apa benar akulah yang menjadi penghalang di antara mereka?Jika Arga sangat mencintai perempuan itu, kenapa dia tidak memperjuangkannya? Kenapa dia malah mau di jodohkan? Apa sebenarnya alasan dari semua perjodohan antara aku dan Arga. Mama mertua bilang mereka tidak suka karenapenampilan Anita seperti itu. Tapi menurutku, kita tidak bisa menilai seseorang dari apa yang dia pakai.Banyak teman-temanku yang tidak berhijab tapi hatinya mulia. Contohnya Vani. Dia anak tunggal dari seorang ayah yang sangat agamais. Tapi dia tidak memakai hijab. Walaupun begitu, jangan ragukan akhlaknya. Dia bahkan tidak pernah
"Kamu berani menjawab ucapanku, ya?" Arga marah mendengar ucapanku."Aku tidak membantah ucapanmu, Mas! Tapi aku tidak suka perempuan ini merendahkan pernikahan kita!"Arga menatapku heran. Mungkin dia tak menyangka aku bisa melawan seperti ini. Selama ini aku selalu diam saat dia berkata kasar ataupun tidak mengindahkan kehadiranku."Sudah, sana bikinin minuman! Aku capek! Aku tidak ingin melihat ada keributan lagi!" ucap Arga. Dia melangkahkan kaki berlalu meninggalkanku menuju kamarnya. Perempuan itu malah dengan santainya mengikuti Arga memasuki kamar itu. Hatiku rasanya benar-benar terluka. Arga membawa perempuan itu memasuki kamarnya.Apa selama ini perempuan itu sudah terbiasa disini? Apa dia sudah biasa keluar masuk rumah ini sebelum Arga menikahiku?Aku terpaksa pergi ke dapur. Menyiapkan minuman untuk mereka. Di kulkas ternyata ada buah mangga. Aku langsung membuat jus mangga untuk Arga dan perempuan itu.Setelah selesa
Arga hanya diam saat menikmati hidangan itu. Aku sebenarnya penasaran dengan komentarnya. Tapi aku tak ingin mengganggu dia makan dengan cara bertanya sekarang. Nantilah, saat dia selesai baru aku akan bertanya.Arga menyeruput teh es yang aku buatkan untuknya. Dia telah selesai makan. Semua hidangan yang aku masak dia cicipi. Hanya bersisa sedikit di atas meja. Akupun juga sudah selesai makan."Bagaimana, Mas? Apa kamu suka dengan masakanku?" pertanyaan itu baru aku tujukan saat dia me lap tangan dan mulutnya dengan tisu.Dia menatapku sekilas. Lalau bangkit."Mas?" ku panggil lagi namanya berharap dia memberikan aku jawaban."Aku makan hanya karena aku lapar! Bukan karena suka!" ucapnya sambil berlalu meninggalkan meja makan.Aku menelan saliva mendengar ucapannya. Apa benar ucapannya? Aku merasa dia berbohong. Tapi itu tak masalah buatku, yang terpenting dia mau menikmati masakanku. Itu sudah membuat aku sedikit bahagia.Setelah ma
"Apa kamu pikir Arga akan tertarik padamu? Tidak mungkin! Aku mengenal Arga sudah lama. Aku tahu semua kriteria wanita idaman Arga. Dan itu tidak satupun melekat pada dirimu!""Mungkin sekarang memang benar ucapanmu. Arga belum bisa menerimaku menjadi istrinya, tapi aku yakin Tuhan tidak akan sia-sia mempersatukan kami!" jawabku.Wanita itu tertawa mengejek mendengar ucapanku."Jangan bawa-bawa nama Tuhan! Kalian menikah hanya karena perjodohan yang di paksakan oleh masing-masing keluarga kalian!" balasnya."Seharusnya kamu yang sadar diri, tidak ada lagi yang bisa kamu harapkan dari Arga. Dia juga tidak akan mungkin menikahi kamu!" balasku."Siapa bilang? Tak akan lama lagi, setelah semua urusan Arga selesai, dia akan segera menceraikan kamu! Dan kami akan segera menikah!"Aku kaget mendengar ucapan perempuan itu. Urusan apa yang Anita maksud? Apa Arga sedang merencanakan sesuatu?"Tidak semudah itu kamu menentukan perceraian k
"Susan, aku tunggu kamu di bawah! Cepetan dandannya!" ujar Arga sambil meraih jam tangannya di atas nakas lalu beranjak meninggalkan kamar.Aku menganggukkan kepala sedikit kearah Arga saat dia melirikku sebelum tubuhnya menghilang dari balik pintu kamar.Dengan cepat aku memilih gaun yang sekiranya bisa di sukai oleh Arga. Aku ingin memenuhi permintaan dia tadi sore untuk dandan secantik mungkin.Setelah selesai berdandan, aku keluar menuju ruang tamu tempat Arga sedang menungguku sambil memainkan handphonenya."Mas, ayo berangkat!" ajakku pada Arga yang tak menyadari kedatanganku.Dengan cepat dia menoleh kearahku lalu terlihat matanya memandang terpana akan penampilanku kali ini.Aku jadi bingung dengan reaksi Arga kali ini. Biasanya, dia akan langsung berkomentar tapi tidak untuk kali ini. Dia hanya diam lalu buru-buru mengalihkan pandangannya."Apa penampilanku tidak membuatmu puas?" kalimat pertanyaan itu terlontar begitu saja karena heran dengan sikap Arga kali ini.Arga menole
Beberapa hari setelah aku minta Arga untuk menjaga jarak dengan Anita, aku tidak pernah lagi melihat wajah perempuan itu. Anita bahkan tidak pernah datang lagi ke rumah maupun ke kantor. Selama di kantor, Arga juga terlihat fokus dalam bekerja bahkan ketika makan siang Arga lebih memilih untuk makan siang denganku. Para karyawan mulai mengetahui bahwa aku adalah istrinya Arga. Sikap mereka perlahan mulai berubah padaku, yang awalnya cuek serta enggan menyapaku satu persatu mulai mendekatiku. Mulai bersikap ramah kepadaku bahkan ada yang secara terang-terangan mengucapkan selamat kepadaku. Oleh karena itu, aku bisa leluasa keluar masuk ruangan kerja Arga. Arga terlihat lebih fokus dalam bekerja dan itu membuat Papanya merasa senang. Menyaksikan perubahan sikap anaknya itu. Siang itu Papa meminta aku dan Arga memasuki ruang kerjanya. Setelah mempersilahkan kami duduk, Papa mulai bicara."Papa senang dengan perubahan sikap kamu dalam bekerja, Arga. Begitupu
Setelah selesai makan dan membayar tagihannya Arga langsung membimbing tanganku menuju toko yang menjual baju, tas serta sepatu."Silahkan kamu pilih apapun yang kamu mau!""Mas mau beli apa?" tanyaku padanya."Aku rencananya mau beli jam tangan." Aku tersenyum mendengar jawaban Arga."Bagaimana kalau kita beli jam pasangan aja, Masm" tawarku."Boleh, tapi aku yang pilih, ya?"Nggak apa-apa, Mas. Aku suka apapun yang Mas belikan untukku," jawabku langsung. Arga membimbing tanganku menuju toko yang menjual jam tangan saat sampai di sana Arga langsung meminta pelayan untuk memberikan dia beberapa pilihan jam untuk pasangan."Aku ingin yang terbaik, berapapun harganya itu bukan masalah," ucap Arga.Pelayan itu mendengarkan perkataan Arga lalu memberikan jam yang paling bagus serta mahal. Saat melihatnya aku langsung terbelalak harganya sangat mahal dan aku sebenarnya keberatan jika Anda membeli
"Sehabis sarapan nanti sebaiknya kamu tidak usah masak makan siang," kata Arga padaku. Aku menatap heran pada Arga."Ada apa? Kenapa aku tidak boleh masak untuk makan siang nanti?" tanyaku padanya."Aku akan membawamu periksa kesehatan ke dokter dan aku sudah membuat janji dengan dokter," jawab Arga."Jam berapa, Mas?" "Nanti jam 11 siang. Makanya kamu tidak usah masak untuk siang ini. Kita makan di luar saja sekalian aku ingin membawamu nonton di bioskop," ucap Arga Mendengar Arga ingin mengajakku untuk menonton di bioskop wajahku langsung bersemu merah. Aku sangat bahagia sekali karena baru kali ini Arga mau membawaku pergi keluar untuk jalan. Selama ini jika hari libur kerja Arga selalu menghabiskan waktunya dengan Anita. Dia tidak pernah memperdulikan aku sendiri di rumah ini."Benarkah? Mas ingin mengajak aku nonton di bioskop?" tanyaku padanya."Apa kelihatannya aku bercanda?" jawab Arga "Tidak, sih! A
"Silahkan kamu pilih pakaian yang ingin kamu beli!" ujar Arga padaku. Aku mulai memilih beberapa pasang baju kerja untukku. Sedangkan Arga, dia tengah sibuk duduk di pojokan toko sambil memainkan handphonenya. Aku hanya memilih beberapa pasang saja. Setelah merasa cukup, aku segera membayarnya di kasir."Mas, aku sudah selesai. Dan juga sudah aku bayar. Mari kita pulang?" ajakku padanya.Arga melirik belanjaan yang aku tenteng. Dan langsung berkomentar."Kamu beli berapa pasang? Kenapa cepat sekali?" tanyanya."Ada beberapa pasang, Mas. Nanti kalau kurang kan kita bisa beli lagi," bujukku."Ya sudah, ayo kita pergi. Aku lapar. Sebelum pulang kita makan dulu."Aku hanya mengangguk mendengar ucapan Arga. Sebenarnya aku juga tengah kelaparan. Kami makan di kafe yang ada di Mall itu. Saat menunggu makanan datang, aku mulai bicara pada Arga."Mas, apa selama ini kalau siang hari Mas selalu pergi
"Sudahlah, kamu sudah tahu bagaimana sikap Arga. Kamu yang memutuskan untuk tetap bertahan padanya, lalu kenapa kamu masih menangis saat dia membela Anita?" ucapan Diandra membuatku menatapnya dalam."Mas, aku tahu hubungan mereka seperti apa. Aku sudah melakukan segala macam cara untuk bisa menarik sedikit saja perhatian Arga. Tapi, kenapa dia tak bisa memberiku sedikit kesempatan?" Isak tangisku semakin kencang. Rasanya ingin segera menyerah, aku tak kuat lagi menahan rasa cemburu tiap kali Arga lebih membela Anita daripada aku. Saat dia selalu membenarkan perkataan Anita, semua itu membuatku sakit hati. "Arga itu sudah di butakan oleh rasa cintanya pada Anita, jadi percuma saja kamu berharap dia akan memilihmu. Kamu hanya akan semakin terluka. Lebih baik sebelum semuanya terlambat, kamu meyerah saja dan fokus mencari kebahagianmu saja!" "Tapi, Mas! Aku tidak bisa. Aku sudah terlanjur mencintai Arga. Aku tidak bisa menyerah begitu saja."Diand
"Mas, aku bawa bekal makan siang dari rumah. Mau makan dimana? Di mobil?" tanyaku pada Arga sambil menenteng bekal makan siang itu."Ya sudah, bawa saja. Kita makan siang di restoran saja.""Nggak boleh dong Mas? Bawa makanan ke restoran. Aku makan di kantor saja ya? Ini bekal makan siang Mas. Mas bisa makan di ruangan kerja, Mas!" Ku sodorkan bekal makan siang Arga padanya."Kamu kenapa sih? Apa kamu mau makan bareng sama Diandra itu?" "Mas yang aneh, kenapa marah-marah nggak jelas seperti ini. Aku ada meeting nanti jam dua sama Diandra. Dan aku tidak mau telat. Aku balik masuk ke kantor dulu ya?" pamitku pada Arga.Arga yang sudah duduk di kemudi mobil, tak bisa menahan langkah kakiku menjauh dari mobilnya. Aku langsung menuju kantin dan makan di sana.Samar-samar aku mendengar pembicaraan para karyawan yang tengah makan di meja yang sedikit jauh dariku."Hei, kalian lihat nggak? Tadi, Pak Arga dan Pak Diandra lagi-la
"Selama di kantor, kamu harus menjaga sikap. Karyawan kantor belum banyak yang tahu kalau aku sudah menikah. Hanya pejabat penting perusahaan yang tahu bahwa aku sudah punya istri. Jadi, jaga sikapmu! Panggil aku Bapak, seperti yang lainnya!" "Baiklah!" jawabku dengan sedikit kesal. Pernikahan ini bukanlah pernikahan yang dia kehendaki. Mungkin itu sebabnya, dia tidak ingin orang lain tahu bahwa akulah istrinya.Walaupun kesal, aku mencoba untuk tetap mengalah. Biarlah, suatu saat nanti akan ada masanya dia yang akan memperkenalkan aku sebagai istrinya.Setelah sampai di kantor, Arga langsung mengantarku ke ruangan direktur perusahaan yaitu ruangan Papa mertua."Pa, ini karyawan baru Papa sudah datang!" ucap Arga pada Papa.Aku langsung menyalami Papa mertua. "Susan, di kantor ini semuanya bekerja secara profesional. Tidak ada pengecualian baik untuk Arga ataupun dirimu. Papa harap, kamu bisa bekerja dengan baik," ujar Papa.
"Papa dengar Susan mau bekerja? Apa betul, Nak?" tanya Papa mertua padaku.Aku sedikit meremas ujung bajuku dengan perasaan sedikit takut. Wajah Arga seketika berubah saat mendengar orangtuanya bicara soal pekerjaan padaku."Benar kan, sayang? Susan sudah bicara itu sama Mama tadi siang. Makanya Mama segera menghubungi Arga untuk datang ke sini malam ini," jawab Mama.Aku tak menyangka sedikitpun, kalau Mama mertua akan langsung membicarakan soal pekerjaan itu pada Papa hari itu juga. Arga langsung mengajakku ke rumah orang tuanya sesaat setelah dia pulang dari kantor tadi."Kalau Papa dan Mas Arga tidak setuju, Susan tidak keberatan kok!" jawabku dengan sedikit pelan. Aku tak kuasa menatap wajah Arga yang terlihat tidak suka kalau aku bekerja."Iya, Pa! Untuk apa juga Susan bekerja. Lebih baik dia di rumah saja. Lagian, aku masih bisa memenuhi semua kebutuhannya!" ucap Arga dengan yakin."Bukan soal nafkah yang kamu berikan, Arg