Langit malam masih memancarkan semburat jingga ketika Farhan tiba di rumahnya. Cahaya rembulan yang temaram menyapa wajahnya yang penuh kegundahan. Ia memandangi layar ponsel yang masih menampilkan pesan singkat tadi, pesan dari seseorang yang tak ia kenal.
"Pak Ahmad mulai curiga. Kamu harus segera menjelaskan semuanya sebelum terlambat."Farhan menarik napas panjang, kemudian meletakkan ponselnya di atas meja. Ada pertarungan di dalam dirinya. Ia tahu menyembunyikan identitas sebagai miliarder bukanlah perkara yang mudah, namun itu adalah pilihannya. Pilihan untuk mencintai Aisyah dengan cara yang benar-tanpa bayang-bayang kekayaannya.Tetapi, semakin hari, ia sadar perjuangannya semakin berat. Kecurigaan Pak Ahmad adalah sinyal bahwa ia tidak punya banyak waktu lagi.Farhan berdiri, menatap jendela dengan pandangan kosong. Malam terasa begitu panjang. "Ya Allah," gumamnya perlahan, "Jika ini jalan yang Kau ridhai, maka berikanlah aku kekuataLangit senja merona jingga, seolah memahami kegundahan yang mengisi hati Aisyah. Di kamarnya, ia duduk di tepi ranjang, memandangi mushaf yang terbuka di pangkuannya. Namun, pikirannya melayang, tak lagi tertambat pada ayat-ayat yang biasanya menenangkan. Hatinya terasa berat, penuh dengan pertanyaan yang tak terjawab. Tatapan tajam ayahnya kepada Farhan siang tadi terus membayang di benaknya."Farhan menyembunyikan sesuatu ...," gumam Aisyah pelan, hampir seperti berbisik kepada dirinya sendiri.Ia mencoba menepis pikiran itu. Farhan adalah pria yang tulus, pikirnya. Namun, bayangan percakapan mereka terus berputar. Sikap ayahnya, pertanyaan yang menggantung di udara, dan kegelisahan yang terpancar dari wajah Farhan semuanya menyisakan rasa tidak nyaman.Aisyah menghela napas panjang, merasakan hawa malam yang perlahan menelisik ke dalam kamarnya. Ia bangkit, berjalan ke jendela, dan menatap bulan yang menggantung redup di langit. Ia ingin mempercayai Far
Malam yang hening menyelimuti rumah Farhan. Di balik jendela kamarnya, cahaya bulan menerobos masuk, menciptakan bayangan samar di dinding. Namun, keindahan malam itu tak mampu mengusir kekacauan di hatinya. Ia duduk di kursi kerja, membisu. Di depannya, laptop masih menyala, namun layar itu kosong. Tangan Farhan mengusap wajahnya yang letih, seolah berharap sentuhan itu mampu meringankan beban pikirannya. Hati Farhan terasa seperti medan perang. Ada suara kecil yang terus berbisik, mendesaknya untuk mengakui segalanya kepada Aisyah. Namun, ada pula ketakutan besar yang menghentikannya. "Kalau aku bilang sekarang, apakah dia masih bisa percaya?" pikirnya berulang-ulang. Ia berdiri, melangkah pelan menuju jendela. Tangannya menyentuh kaca yang dingin, matanya menerawang jauh ke arah kota yang sudah sunyi. Ia mengingat kembali pertemuan dengan Aisyah siang tadi. Wajahnya yang tenang, tapi penuh luka. Tatapan matanya yang seolah bertanya, "Kenapa kamu tida
Pagi itu, matahari memancarkan sinarnya yang lembut, namun hati Farhan terasa lebih berat daripada malam yang baru berlalu. Ia duduk di ruang tamu, meresapi keheningan. Pikiran-pikiran yang berkecamuk dalam dirinya seolah tak memberinya kesempatan untuk bernapas lega. Surat yang ia coba tulis semalam sudah menjadi gumpalan kertas di sudut kamarnya. Kali ini, ia tahu, kata-kata di atas kertas tidak akan cukup. Ia harus bicara langsung kepada Aisyah.Farhan memandangi ponselnya yang tergeletak di atas meja. Berulang kali ia ingin mengetik pesan untuk Aisyah, memintanya bertemu. Namun, setiap kali jari-jarinya menyentuh layar, hatinya bimbang. Ia memejamkan mata, menghela napas panjang, lalu membuka mata kembali. "Tidak ada jalan lain," gumamnya pelan. Ia harus mengakhiri semua kebohongan ini.---Di rumah Aisyah, suasana tak kalah berat. Setelah percakapan mereka kemarin, Aisyah merasa hidupnya seperti terhenti. Ia mencoba melanjutkan aktivitasnya seperti biasa, namun bayangan Farhan te
Pagi itu, Farhan bangun lebih awal dari biasanya. Setelah salat subuh, ia duduk termenung di depan meja kerjanya, memandangi layar laptop yang masih menampilkan rencana yang ia susun semalam. Namun, rencana itu tampak hanya menjadi coretan tanpa makna jika ia tak tahu pasti bagaimana cara mewujudkannya. Ia ingin membuktikan kepada Aisyah bahwa dirinya layak, bukan hanya sebagai pria yang mencintainya, tetapi sebagai seorang muslim yang jujur dan bertanggung jawab.Langkah pertama yang ia pikirkan adalah berbicara dengan keluarganya. Keluarga Farhan, meskipun jarang tampil di kehidupannya sehari-hari, memiliki peran besar dalam perjalanan bisnisnya. Ia tahu bahwa jika ingin sepenuhnya jujur pada Aisyah, ia juga harus melibatkan keluarganya dalam perubahan besar ini.Setelah mandi dan bersiap-siap, ia memutuskan untuk menelepon ibunya."Assalamu'alaikum, Bu. Apa kabar?" tanya Farhan, mencoba membuka percakapan dengan nada tenang."Wa'alaikumussalam,
Pagi itu, Farhan memulai harinya dengan menghadap jendela besar di ruang kerjanya. Kota terlihat sibuk, namun pikirannya terpusat pada satu hal-Aisyah. Ia telah memutuskan bahwa semua tindakan ke depan harus berlandaskan kejujuran. Tidak ada lagi alasan untuk menunda. Namun, di sisi lain, tanggung jawabnya sebagai pemimpin bisnis besar tetap membebaninya. Ia menyandarkan kepalanya di kaca dingin, lalu bergumam, "Ya Allah, jika niatku untuk mencintai dan menikahi Aisyah ini adalah jalan kebaikan, mudahkanlah. Tapi jika ini hanya akan membawa kerugian untuk kami berdua, berikan aku kekuatan untuk menerima takdir-Mu."Telepon di meja berdering, memecah keheningan. Farhan meraihnya dan menjawab, "Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumussalam, Tuan Farhan," suara sekretarisnya terdengar formal. "Rapat dengan tim keuangan akan dimulai dalam 30 menit. Apakah Anda akan menghadirinya?"Farhan berpikir sejenak. Masalah perusahaan itu penting, tapi prioritasnya kal
Langit pagi itu tampak cerah, namun hati Aisyah terasa seperti diselimuti kabut tebal. Ia duduk di teras rumah dengan secangkir teh hangat yang sudah mendingin, menatap kosong ke arah taman kecil di depannya. Di benaknya, berbagai pikiran bertumpuk, sulit diredakan.Suara langkah kaki ibunya terdengar dari belakang. "Aisyah, kamu sudah dari tadi di sini?" Ibunya duduk di kursi sebelah, membawa kain yang sedang dijahitnya. Aisyah tersenyum tipis. "Cuma ingin menghirup udara pagi, Bu." Namun, ibunya tidak mudah tertipu. "Kelihatannya lebih seperti sedang melamun. Apa ini tentang Farhan lagi?" Aisyah terdiam sejenak. "Aku bingung, Bu. Aku tahu dia tulus, aku bisa merasakannya. Tapi ... aku juga takut. Bagaimana kalau aku salah membaca niatnya?" Ibunya menatap putrinya dengan penuh kasih. "Aisyah, tidak ada manusia yang sempurna. Kalau kamu merasa dia tulus, mungkin itu adalah pertanda dari Allah. Tapi jika hatimu masih ragu, teruslah ber
Pagi itu, Aisyah menatap pantulan dirinya di cermin kamar. Wajahnya tampak tenang, tetapi hatinya gelisah. Pertemuan terakhir dengan Farhan meninggalkan jejak yang sulit diabaikan. Pengakuan tentang kekayaan Farhan seolah membuka pintu ke dunia yang selama ini ia hindari-dunia kemewahan yang baginya sering kali menutupi nilai-nilai keimanan. Namun, di balik keraguannya, ada rasa penasaran yang perlahan tumbuh.Sementara itu, Farhan berdiri di depan sebuah jendela besar di kantornya. Kota Jakarta membentang di hadapannya, tetapi pikirannya sibuk dengan satu hal-Aisyah. Kecelakaan kecil yang ia alami sehari sebelumnya tidak membuatnya gentar. Hari ini, ia bertekad untuk lebih jujur. Ia ingin membuka setiap lembar cerita hidupnya, meskipun itu berarti harus menghadapi kemungkinan ditolak."Pak Farhan," suara sekretarisnya membuyarkan lamunannya. "Mobil sudah siap. Apa Anda akan langsung menuju taman?"Farhan mengangguk. "Iya. Tolong pastikan semua dokumen unt
Mentari pagi menyusup lembut melalui jendela kamar Aisyah, mengiringinya menyiapkan hati untuk hari yang tak mudah. Ia sudah memutuskan untuk bertemu Farhan sekali lagi. Ada banyak hal yang ingin ia sampaikan-kekhawatirannya, harapannya, dan terutama batasan yang ingin ia tetapkan jika hubungan ini masih bisa diperjuangkan.Di sisi lain kota, Farhan sudah bersiap sejak subuh. Pikirannya penuh dengan berbagai kemungkinan. Ia tahu, kali ini ia harus benar-benar jujur dan memberikan Aisyah semua alasan untuk mempercayainya. Tidak ada lagi ruang untuk kesalahan.---Di taman yang menjadi saksi pertemuan mereka selama ini, Aisyah tiba lebih awal dari biasanya. Ia duduk di bangku yang sama, mencoba menenangkan degup jantungnya. Ia menatap bunga-bunga yang bermekaran, seolah mencari jawaban atas keraguannya. Tak lama, langkah Farhan terdengar mendekat. Ia membawa sebuah buku catatan kecil, tampak seperti benda yang sangat berarti baginya. Setelah menyap
Pagi itu terasa berbeda. Udara di luar jendela sejuk, dengan cahaya matahari yang lembut menyusup ke dalam rumah melalui celah-celah tirai yang terbuka. Farhan duduk di meja makan, memandangi secangkir kopi yang sudah mulai dingin. Pikirannya masih berkelana, namun kali ini ada rasa tenang yang menyelimuti hatinya. Setelah berbulan-bulan melalui ketegangan, ada secercah harapan yang mulai muncul di antara mereka.Aisyah datang dari arah dapur, membawa sepiring roti bakar dengan selai stroberi kesukaan Farhan. Dia tersenyum pelan, meski senyum itu belum sepenuhnya menghapus kelelahan di wajahnya. Sudah lama sekali mereka tak merasakan ketenangan seperti ini-waktu yang benar-benar hanya untuk mereka berdua."Aku buat roti bakar. Pasti kamu lapar, kan?" Aisyah duduk di sebelah Farhan, menatapnya dengan mata yang penuh harapan. Matanya yang dulu penuh keraguan kini mulai terbuka, meskipun tak semua pertanyaan sudah terjawab.Farhan memandang Aisyah, lalu menat
Suasana malam itu masih tetap tegang. Di ruang tamu yang terasa semakin sempit, Farhan dan Aisyah duduk berdampingan, berhadapan dengan kenyataan yang semakin mendekat. Keputusan yang mereka buat tadi seolah memberi angin segar, namun dalam hati keduanya, kegelisahan masih mengular. Masa depan mereka sudah di depan mata, namun jalan menuju ke sana terasa sangat kabur."Aisyah ...." Farhan memecah keheningan yang telah lama membungkamnya, suaranya rendah namun penuh dengan ketegasan. "Aku nggak bisa janji kalau semua ini bakal mudah. Tapi aku janji, aku bakal berusaha lebih terbuka. Aku nggak mau ada rahasia lagi di antara kita. Kamu harus tahu semuanya, supaya kamu bisa buat keputusan sendiri."Aisyah menatapnya, matanya mencari kejujuran dalam setiap kata yang keluar dari bibir Farhan. Ia ingin percaya, tetapi kadang-kadang kepercayaan itu sulit didapatkan setelah banyak rahasia yang disembunyikan. "Farhan, aku sudah terlalu lama hidup dalam ketidakpastian. Aku ng
Aisyah duduk terdiam di sudut ruang tamu, matanya menatap kosong ke luar jendela, meski pandangannya lebih pada pikiran yang berputar-putar dalam kepalanya daripada pemandangan di luar. Udara malam terasa begitu berat, seolah menyelimuti setiap inci ruang yang ada di sekitar mereka. Di sampingnya, Farhan berdiri dengan punggung tegak, matanya menatap jauh ke depan, seperti mencari jawaban di ruang kosong yang sama. Mereka berada di persimpangan jalan yang tak terlihat, dan tak ada petunjuk mana yang harus diambil. Keputusan ini bukan sekadar memilih jalan, tetapi memilih hidup."Aisyah," suara Farhan terdengar perlahan, penuh keraguan, "kamu harus tahu, aku nggak bisa tinggal diam. Aku nggak bisa hidup dengan rahasia ini lebih lama lagi. Safira... dia adalah bagian dari masa lalu yang harus aku tanggung. Aku nggak bisa melepaskannya begitu saja."Aisyah memutar tubuhnya, menatap Farhan. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang berbeda, sesuatu yang membuat hatinya sema
Malam itu, suasana di rumah Farhan terasa semakin mencekam. Ketegangan yang sebelumnya ada di antara Farhan dan Aisyah kini semakin memuncak. Keduanya terdiam sejenak, masing-masing terperangkap dalam pikirannya sendiri, berusaha menyaring apa yang baru saja terjadi."Aisyah ...." Farhan memulai kalimat dengan suara berat, penuh kecemasan, tapi juga ketegasan. "Kita nggak bisa mundur. Apa pun yang terjadi, kita harus siap menghadapi semua ini."Aisyah hanya menatap Farhan dengan tatapan kosong. Meskipun bibirnya tak mengucapkan kata-kata, matanya berbicara banyak. Ada rasa takut, bingung, dan cemas yang tercermin jelas di wajahnya. Ketakutan akan apa yang akan datang dan ketegangan antara mereka yang semakin terasa begitu sulit untuk dipahami."Apa yang kita hadapi sekarang lebih besar dari apa yang kita bayangkan, Farhan," Aisyah akhirnya berkata, suara itu lebih rendah dari biasanya, seperti menyembunyikan rasa sakit yang dalam. "Tapi aku nggak bisa menu
Farhan terdiam sejenak, matanya yang penuh tekad bertemu dengan tatapan Aisyah yang cemas. Dalam keheningan itu, Aisyah bisa merasakan ada sesuatu yang tak beres. Ada beban yang lebih berat yang sedang dipikul oleh Farhan, sesuatu yang akan mengubah segalanya. Ketegangan di udara malam itu semakin mengeras, seperti mendung yang menggantung di langit, siap turun menjadi hujan deras."Aisyah ...." Farhan akhirnya membuka suara, suara itu berat, seperti mengandung beban yang berat. "Aku tahu ini sulit untuk diterima, tapi aku harus memberitahumu. Safira ... dia bukan hanya anak dari Arman. Dia ... dia lebih dari itu."Aisyah memandang Farhan dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Apa maksudmu? Apa yang kamu coba katakan, Farhan?"Farhan menarik napas panjang, merasa setiap kata yang akan diucapkannya seperti tusukan yang mengiris hatinya. "Safira ... dia adalah hasil dari perjanjian yang dibuat oleh ibunya, Ratna, dan orang-orang yang berkuasa di belakangnya.
Malam itu, udara di ruang tamu rumah Farhan terasa semakin berat. Sebuah ketegangan yang tak terucapkan menyelimuti setiap sudut ruangan. Farhan duduk di sofa, tangan memegang ponselnya yang tergeletak di meja, matanya terfokus pada layar yang menampilkan pesan yang baru saja diterimanya. Hati Farhan berdebar kencang. Sebuah pesan singkat yang datang dengan cepat dan tiba-tiba: "Jangan cari tahu lebih banyak tentang Safira. Jika kamu terus melangkah, kamu akan menyesal."Farhan menghembuskan napas panjang. Tubuhnya terasa lemas, tetapi tekad dalam dirinya tetap kuat. Ia merasa semakin dekat dengan kebenaran, namun ada seseorang yang tampaknya tidak ingin ia mengetahui lebih banyak. Sebuah ancaman yang jelas, namun juga misterius. Siapa yang mengirimkan pesan ini?"Farhan, kamu baik-baik saja?" suara Aisyah tiba-tiba menyentaknya dari lamunannya. Ia menatap wajah Aisyah yang duduk di dekatnya, wajah itu tampak khawatir, cemas, dan sedikit bingung. Farhan hanya menga
Farhan duduk terdiam di ruang kerjanya, menatap layar ponsel yang bergetar sekali lagi. Pesan dari Pak Ahmad masih terngiang di telinganya: "Aisyah sudah mulai merasakan ketidakjelasan ini. Kamu harus segera bertindak."Sebuah rasa cemas menggelayuti hatinya. Dia tahu, semakin dia menghindari, semakin dalam jurang yang ia gali. Tapi apa yang bisa dia katakan pada Aisyah? Bagaimana ia bisa membuka seluruh kebenaran yang selama ini dia sembunyikan? Tentang saudara kembarnya yang hilang, tentang istri kembarnya yang meninggal, tentang anak perempuan yang tak pernah ia ketahui sebelumnya-Safira.Saat itu, suara ketukan pintu menyadarkannya dari lamunannya."Farhan, kita perlu bicara," suara Pak Ahmad terdengar berat di balik pintu.Farhan menghela napas dan mengangkat tangan, memberi isyarat untuk masuk. Pak Ahmad membuka pintu dan melangkah masuk, wajahnya lebih serius dari sebelumnya. Dia duduk di kursi depan meja kerja Farhan, menarik napas dalam-dalam.
Safira tetap terbaring di ranjang rumah sakit, tubuh kecilnya dikelilingi peralatan medis yang terus bekerja tanpa henti. Perawat pribadi yang disewa Farhan dengan cermat menjaga setiap detail kondisi Safira. Mereka melakukan tugasnya dengan baik, namun di balik semua itu, ada ketegangan yang tak terlihat. Farhan tidak bisa berhenti memikirkan anak ini-anak yang membawa jejak saudara kembarnya yang telah lama hilang, dan kini menjadi pusat dari segala pencarian yang ia lakukan. Farhan berdiri di sudut ruangan, menatap Safira dengan mata penuh rasa bersalah. Ia tahu, meski dirinya telah berusaha keras untuk menjamin perawatan Safira, kenyataan bahwa ia tidak tahu siapa ibu kandungnya membuat hatinya semakin resah. Setiap detik yang berlalu di rumah sakit ini terasa seperti penantian yang tak kunjung selesai. Namun, ia tahu, ada hal yang lebih penting yang harus ia lakukan sekarang-menemukan orang tua kandung Safira. ****
Farhan duduk di ruang kerjanya, matanya tertuju pada layar ponselnya yang menyala. Panggilan dari rumah sakit tentang kondisi Safira mengganggu pikirannya lebih dari apapun. Semua yang terjadi dalam hidupnya begitu cepat, berputar tak terduga. Ia merasa seolah tidak bisa mengendalikan apapun lagi. Safira-anak saudara kembarnya-terbaring di rumah sakit, dalam kondisi kritis. Tidak ada waktu untuk berpikir panjang. Ponselnya bergetar lagi, kali ini sebuah notifikasi muncul: sebuah dokumen yang mencurigakan. Itu adalah dokumen yang baru saja ia temukan di ruang arsip.Farhan menarik napas panjang. Hatinya berdebar kencang. Ia membuka dokumen tersebut dengan tangan gemetar. Sekilas ia bisa melihat nama yang sangat familiar di sana. Nama saudara kembarnya yang sudah lama hilang. Namun, ada sesuatu yang lebih menarik perhatian Farhan-sebuah nama anak perempuan yang tertera di situ: Safira. Tidak ada informasi lebih lanjut, hanya nama dan usia anak tersebut, yang ternyata berusia 4 tahun. Ti