Sepertinya satu anomali terjadi!Apa yang biasa terjadi hanya di Anbar atau Ardasyr menyisir ke kota manusia, Shrim.Aku berdiri dengan tegang.Otak ini ingin menebak apa yang sebenarnya terjadi dengan air laut itu, tapi tak satu pun penjelasan yang masuk akal terlintas dalam pikiran.“Keluarlah!” seru Daffar tiba-tiba.Dan seketika satu makhluk menyeramkan berwujud setengah manusia setengah gurita muncul dari gelombang yang beku di atas permukaan laut itu.Aku tercekat.Mata ini sudah berusaha terbiasa melihat penampakan tak sempurna dari penduduk Anbar, tapi tetap saja, melihat yang satu ini membuat diri ini menahan napas.Wujud manusia yang memiliki tentatel gurita itu menyabetkan satu tentakelnya ke arah ku. Tapi, dengan cepat Daffar mengangkat tangannya, menahan serangan itu.Aku terpaku, diam tak bergerak.Tunggu!Aku memang Darah Malaikat yang tak mempan oleh sihir dua dunia, baik dunia sihir maupun dunia penengah.Tapi, jika aku diserang seperti itu, bagaimana aku harus melawa
Aku menegakkan punggung mencoba menganalisa kepanikan Sinna.“Aa!” jerit Sinna terkejut.Lalu, suara jeritan Sinna disusul dengan tangisan bayi.Kedua bahuku tegang mendengar tangisan bayi comel yang biasa aku gendong itu.“Sinna!” seruku menuntut penjelasan lebih lanjut.Brakk!Suara sesuatu yang terjatuh menambah kepanikanku meninggi.“Sinna, ada apa?!” tanyaku panik.“Cepat ke sini! Cepat!!” teriak Sinna di antara napasnya yang ngos-ngosan.Teriakan Sinna dibarengi dengan tangisan bayinya.Sepertinya Sinna sedang berlari sambil menggendong bayinya.“Mereka mencarimu!” teriak Sinna dengan panik.“Mereka? Siapa?!” tanyaku ikut panik.“Entah, orang-orang aneh!” teriak Sinna dengan suara gemetar.Mataku membelalak.“Orang-orang aneh?” gumamku pelan.Hah?!Anbar?Orang-orang Anbarkah?Mereka mencariku ke tempat Sinna?Kurang ajar!Nggak mungkin!“Daffar, aku harus segera pergi dari sini!” teriakku sambil menyambar tas ranselku dengan telepon masih menempel di telinga.“Ada ap-”Aku ngga
“Anneth!” panggil Daffar kencang.Aku menoleh ke arah laki-laki tinggi tegap itu yang sedang hendak mengangkat tangannya.Aku nggak tahu apa yang hendak dia lalukan, tapi sepertinya ia membaca kebingunganku.Tangan Daffar terangkat, lalu telapak tangan itu membuat gerakan seperti menarik sesuatu.Eh!Aku menoleh ketika dari arah apartemen melayang satu papan kayu yang sepertinya berasal dari salah satu balkon yang ada di sana.Papan kayu bulat seukuran meja kecil berdiameter lima puluh centimeter itu mendarat tepat di depanku.Ah!Aku paham maksud Daffar.Aku segera melompat ke atas papan kayu itu.Daffar tahu, tubuhku tak akan berpengaruh dengan sihirnya, jadi dia menggunakan papan kayu yang mungkin sebelumnya adalah sebuah alas meja milik salah satu penghuni apartemen ini untuk menjadi alas pijakan.Dengan begitu Daffar bisa mengirimkan tenaga sihirnya untuk mengangkatku ke atas jalan dari bunga es yang seolah memiliki tiang-tiang penyangga yang tak terlihat itu.Daffar menggerakkan
Sinna yang semula masih ragu seketika melompat karena teriakanku yang menghentak, seketika melompat dengan cepat ke lantai balkon apartemennya.Dan begitu kaki Sinna menapak ke lantai balkon, jalan bunga es berikut dengan semua bola es yang menghujani jalan itu menghilang.Aku melihat papan kayu yang semula tergeletak di ujung jalan tempat aku menaiki jalan bunga es itu meluncur ke bawah dengan tajam. Benda itu pecah berkeping-keping.Ah ... andai aku berjalan ke arah itu, bisa jadi kami bernasib sama dengan papan kayu itu.Sinna mengalihkan pandangannya dari kayu itu. Mungkin apa yang ada dalam pikirannya sama dengan apa yang ada di pikiranku.Lalu, ia kembali merapat ke punggungku.“Anneth, beneran kita mau masuk?” tanyanya dengan ketakutan.“Nggak mungkin kita terus berdiri di pinggir balkon ini ‘kan?” balasku dengan tetap berusaha tenang.“Ayo!” ucapku dengan sangat pelan.Lalu, aku mulai melangkah dengan sangat pelan ke dalam apartement Sinna.Mau tak mau, Sinna yang terus merapa
Dan kini ia berdiri selangkah di depanku.Aku harus mendongakan kepala jika ingin membalas tatapan horornya.Lalu, seperti tentakel Formes, tangan makhluk itu pelan-pelan terulur ke arahku.Sesaat aku bingung harus bertindak apa.Aku masih nggak ingin menginggalkan spot tempatku berdiri untuk kabur dari makhluk ini.“Hihh!” seruku dengan kencang.Aku nekad menyambut tangannya.Tangan itu terasa sangat dingin.Wajahnya tetap tanpa ekspresi, tapi aku terus menyalurkan energi hangat yang berlawanan dengan energi dingin yang ada di tubuhnya.Tapi, ia juga tak menyerah, aku merasakan perlawanan dari tubuhnya.Makhluk itu mengangkat tangan yang lain untuk mendeteksi kekuatanku. Tapi, aku menggunakan tangan lain untuk menghadang tujuannya dengan kembali menyalurkan energi hangat ke tubuhnya yang sedingin bongkahan es.“Hah!” teriakku tercekat.Mataku membelalak maksimal ketika dari punggungnya tangan lain muncul.Dan lebih gawatnya, tangan yang muncul bukan hanya satu, tapi ....Dua.Tiga.E
Daffar mengikuti apa yang kulakukan dengan kembali merapikan tempat ini ala kadarnya dengan gerakan cepat.Sinna dan suaminya yang tidur berhimpitan di sofa belum menunjukkan tanda-tanda akan segera bangun.Aku meraba saku ketika hendak duduk di sofa yang berada di ruang tamu.Ah! Telepon genggamku tertinggal dalam mobil Daffar. Aku terlalu terburu dan panik hingga melupakan benda itu.“Kita pakai telepon genggamku dulu,” ujar Daffar yang membaca gerak-gerikku.Aku mengangguk pelan, lalu duduk di sofa itu sambil masih menggendong bayi Sinna. Aku nggak mau bayi itu menangis sementara ibu dan ayahnya masih dalam kondisi pemulihan.Daffar duduk di sebelahku dan menunjukkan layar telepon genggamnya padaku. Lalu, aku menunjuk beberapa bahan pokok yang harus dibeli agar untuk sementara waktu keluarga kecil Sinna tidak keluar rumah.Daffar mengutak-atik layar telepon genggamnya sambil menyendarkan kepalanya ke bahuku.“Kita juga akan seperti ini kelak ‘kan, Anneth?” tanyanya pelan.“Hem?” gu
Aku mengalihkan pandangan ke arah si bayi, Sinna mengikuti arah pandanganku dan menempelkan telunjuknya di tengah bibir dengan posisi vertikal.Perasaan dia yang bicara, gimana ceritanya aku yang disuruh diam?“Dan jelaskan! Gimana Mister Daffar bisa bersamamu ke tempat ini? Dan terangkan bagaimana dedemit itu bisa sampai ke sini? Apa urusan dedemit itu sama keluargaku ini? Apa? Apa? Kenapa? Gimana? Siapa?” Dalam suaranya yang ditahan, tetap saja cerocosannya tak berkurang derajatnya.Masih sambil berbaring, aku menggerakkan kedua telapak tanganku ke bawah, lalu mencontohkannya sebuah gerakan tarik embus napas panjang dengan pelan.Sinna otomatis mengikuti gerakan percontohan itu.Kemudian setelah ia terlihat tenang, aku mengusap-usap punggungnya.“Yang pertama yang harus ada dalam pikiranmu adalah tenang, oke? Jangan khawatir, semua akan baik-baik saja,oke?” ucapku menebarkan sugesti positif.Bagaikan anak kecil, Sinna dengan patuh mengangguk.“Aku akan menceritakan dengan pelan, han
Suami Sinna memperhatikan apa yang diucapkan Daffar dengan saksama. Kurasa kegilaan yang baru saja ia alami membuatnya tak ingin banyak tanya.“Aku nggak tahu harus bagaimana mengucapkan terima kasih, apalagi dengan barang sebanyak itu,” balas suami Sinna terus terang.“Itu bukan masalah, yang penting kalian aman,” jawab Daffar dengan tenang.Suami Sinna beranjak untuk membantu Sinna.“Ssst! Daffar,” ucapku sambil mendekat ke kupingnya.“Em,” gumam Daffar lembut.“Gimana kalau Anbar membayar jenis manusia untuk mengganggu keluarga Sinna?” tanyaku khawatir.Daffar menoleh dan memandangku dengan lembut, lalu ia tersenyum.“Jangan khawatir, apa saja yang digerakkan Anbar, mereka nggak akan bisa menembus kekuatanmu,” jawab Daffar dengan yakin.Aku sangat lega mendengar keyakinan dalam suaranya itu.“Aku hanya waspada saja, makanya aku membuat gudang di depan, apartemen ini jadi memiliki dua lapis pintu. Ya, mana tahu, mereka butuh sesuatu yang terlewat kita beli. Aku ingin semua pertemuan
Dengan cepat aku menggelesot di lantai.“Daffar!” teriakku kencang.Daffar terbangun dengan bingung. Lalu, ia berjalan ke arahku dan memelukku.“Apa yang terjadi?” bisik Daffar lirih.“Nggak tahu. Tiba-tiba aku mendengar ledakan yang seolah datang dari jauh. Kemudian rumah ini bergetar,” jelasku yang masih berada dalam pelukan Daffar.Aku dan Daffar masih berpelukan ketika getaran di rumah ini tak mereda dan bahkan makin menghebat.“Ayo, kita keluar!” seru Daffar dengan cepat.Ia menarik tanganku dan berjalan dengan cepat.“Agh!” seruku kencang.Tiba-tiba ada satu kekuatan tak terlihat yang menghentakan tubuhku. Aku terlepas dari pegangan Daffar.Aku berhasil menguasai diri sebelum terjerembab ke lantai. Lalu, aku kembali menggelesot di lantai.Rumah masih bergetar hebat.Ini mengingatkanku akan goncangan yang terjadi di Anbar ketika itu.Daffar hendak mendekat ke arahku, tapi-“Clap!”“Agh!”Tiba-tiba sebuah sinar mendekat ke arahku. Sinar itu menghalangi gerakan Daffar. Laki-laki it
Tubuhku menegang. Aku menatapnya lekat.“Kamu juga mengingat wajah gadis itu?” tanyaku dengan laju jantung yang berdetak kencang.Daffar menggeser posisi duduknya hingga menghadap ke arahku, ia menatap tajam dan penuh arti.Aku menahan napas.“Ya. Aku mengingatnya,” jawabnya dengan suara yang dalam.Ah?!“Gadis itu adalah Kamu,” ungkapnya dengan wajah yang terlihat serius.Aah ....Aku menunduk lesu, memejamkan mata dan menutup wajahku dengan telapak tangan.Sunyi menyela kami berdua.“Anneth,” ucap Daffar sambil menyentuh bahu ku.Aku nggak sanggup menatap wajahnya. Mata ini merebak.“Aku juga mengingat hal lain,” sambung Daffar masih dengan suara yang dalam.Pelan-pelan, aku mengangkat kepala dan memberanikan menatap matanya.“Awalnya, aku merasa sakit sekali begitu mengingat apa yang Kamu lakukan ketika itu. Tapi, kesakitan itu mengundang ingatan lain. Aku mengingat ada kekuatan kegelapan yang mengejarmu,” jelasnya dengan serius.Dia mengingat Anbar?!Lalu, Daffar mengembuskan napa
“Kamu tahu tentang Daf-?”“Tunggu!”Dua celetukan itu diakhiri dengan diam, ia menatapku penuh selidik.“Ah ...,” ucapnya di ujung selidiknya.“Aku paham sekarang kenapa ada gadis manusia dari kota Shrim mengenal Pangeran kegelapan Anbar, banyak sekali jejak Ardasyr dalam dirimu, Nona,” ucapnya penuh kepahaman.Kurasa laki-laki ini memang mengetahui dua dunia pendamping itu.Laki-laki itu mengembuskan napas dalam.“Jujur saja, aku terkejut bagaimana seorang yang sangat dicintai Anbar masih berada di Shrim setelah penarikan besar itu,” sambungnya lebih lanjut.“Apa penarikan itu yang membuatnya mati?” tanyanya kemudian.Aku menggeleng pelan.“Aku membunuhnya,” kataku jujur.“Hah?!!” serunya terperangah.Ia kembali menatapku penuh selidik.“Apa Kamu-?”“Kamu-?”“Apa Si Darah-?!”“Ya,” sahutku memotong kegaguannya.Ia menelan ludah.“Phuh .... pantas saja,” komentarnya singkat.Lalu, ia mengembuskan napas panjang.“Aku akan menceritakan apa yang kutahu sejak terlepasnya Anbar dari dunia
Aku menatap Kayla dengan antusias.“Apa ada seseorang dari dunia manusia yang mengetahui tentang Anbar?” celetuk ku tak sabar.Kayla mengangguk tanpa ragu.“Aku juga terkejut begitu dia mendatangi rumah ini. Aku benar-benar nggak menyangka ada manusia yang sangat tahu tentang Anbar,” jelasnya bersemangat.Mendengar itu, seketika harapan untuk mendapat jawaban tentang Daffar tumbuh.“Laki-laki itu datang dan memperkenalkan diri sebagai pencari jejak Anbar di dunia manusia. Dan dia langsung mengetahui jika aku menyimpan bagian dari Anbar di rumah ini,” sambung Kayla dengan cepat.“Awalnya aku nggak percaya. Tapi, ia bisa menberikan penawar bagi Nadec agar bisa bertahan di dunia manusia ini tanpa menyerap energi manusia,” sambungnya riang.“Oh, ya?!” sahutku terkejut.Kayla mengangguk dengan cepat.“Dan itu sangat berguna sekali bagi Nadec, karena setelah lepasnya Anbar dari dunia manusia, perubahan dirinya nggak bisa dikontrol,” sambung Kayla lega.“Oh, gitu,” sahutku paham.“Jadi, baga
“Anneth,” panggil Barkiya lirih.Mungkin ia membaca apa yang tersirat di wajahku, suaranya terdengar sedih.Aku menatapnya dan mengangguk pelan.“Kalau begitu, aku akan kembali ke Shrim dan mencoba mencari tahu tentang ini. Semoga ada satu petunjuk yang mungkin tercecer di sekitar Daffar,” balasku mencoba tetap semangat.Barkiya mengangguk pelan.“Anneth, maaf, kali ini kami nggak bisa membantu mu.” Yarim turut mengucapkan itu dengan sedih.Aku tersenyum pada ratu cantik itu, lalu, menatap Barkiya dan Eldona.“Aku harus segera meninggalkan Ardasyr, kita semua tahu apa yang akan terjadi jika aku berada di sini dalam waktu yang lama,” ucapku lirih.“Terima kasih untuk pesta yang akan diadakan untuk ku,” pungkasku dengan menyertakan anggukan hormat.Yarim berdiri, lalu turun dari singgasana kacanya. Ia berjalan mendekat dan memeluk ku erat.“Kini Kamu yang akan menjaga Shrim dan orang-orang yang Kamu cintai di dunia manusia. Terima kasih sudah kembali ke Ardasyr,” ucap Yarim lembut.Beri
Tarikan ini terasa makin kencang, aku memejamkan mata dan membiarkan daya tarik ini membawa ku ke satu arah.Entah berapa lama aku merasa diriku tertarik ke satu arah sampai pada akhirnya kaki ini merasa menapak pada rumput yang rimbun. Bau yang padang rumput yang kukenali tercium hidung.Aku yakin sekali beberapa meter dari sini ada sebuah danau yang terlihat tenang dan indah.“Anneth!”Panggilan itu membuatku dengan cepat membuka mata.“Eldona!” balas ku riang.Wanita berpipi gembul itu mendekat dengan gerakan terburu, di belakangnya seekeor rusa mengikutinya.“Aku tahu Kamu akan kembali lagi ke sini setelah peperangan di tanah perbatasan, meskipun, pintu gerbang ke dunia manusia nggak lagi bisa dibuka,” sambutnya antusias.“Maksudnya?” tanyaku cepat, penasaran.Aku memandang penjaga perbatasan Ardasyr itu dengan nggak sabar.“Kamu pasti tahu bagaimana rekatan Anbar terlepas dari kota-kota manusia seperti Shrim,” jelasnya mengawali.Aku mengangguk dengan cepat dan tak sabar menunggu
Daffar mengusap-usapkan kepalanya dengan pelan di perutku, dan itu membuat tubuhku bereaksi dengan sedikit bergerak mundur.Tanganku hendak menyentuh rambutnya, tapi tiba-tiba terhenti di udara. Aku memutuskan untuk membatalkannya.“Pulanglah! Kita akan bicarakan ini begitu Kamu telah mengingat semua,” ucapku lirih.Daffar menggeleng pelan.“Jangan usir aku!” ulangnya pelan.“Detik di mana aku meninggalkan mu kemarin, detik itu juga aku begitu ingin kembali ke sini,” ujarnya lirih.Aku mengembuskan napas panjang.Aku diam sejenak, mencari jalan tengah untuk membuatnya ... setidaknya mendengarkan kata-kata ku.“Daffar,” ucapku lirih.“Aku akan mengantarkan mu pulang,” lanjutku masih dengan suara lirih.Daffar kembali menggeleng dan malah mempererat lingkaran tangannya di pinggang ku.Aku menahan sesak di dada, diam sesaat, lalu dengan pelan, ragu dan kaku mulai menyentuh sehelai rambut Daffar.Tanganku berhenti ketika ketakutan dalam hatiku menggeliat.Tapi, sedetik kemudian, aku menep
Aku merasa seluruh tubuhku tegang. Ketakutan dalam hatiku yang semalam telah beristirahat kembali bangkit. Sesaat tubuhku gemetar samar.Telinga ini menempel di dadanya, bisa mendengar degup jantungnya yang terdengar samar.Jantungnya ....Jantung yang pernah kutusuk dengan belati ini kembali berdetak?Ini ....Bagaimana bisa?Aku tersadar dari keterkejutan, lalu dengan cepat menarik tubuhku ke belakang untuk menjauh dari pelukan Daffar. Tapi, alih-alih pelukan itu mengendur, pelukan itu justru makin erat.“Daf-far,” ucapku seolah hampir kehabisan napas.“Anneth,” bisiknya lirih dengan suara parau.Parau?Daffar menahan isak tangis.Apa yang kulihat di matanya tadi benar?Aku berusaha melepaskan pelukan ini sekali lagi, tapi Daffar kembali menarikku ke arah yang sebaliknya.“Anneth, aku mengingatnya,” ucapnya lirih.Aku terperanjat, mata ini membelalak. Ini yang tadi kutebak!“Aku mengingatnya ... mengingatnya dengan baik. Gimana ... gimana aku bisa melupakannya? Gimana bisa aku melup
Daffar menatapku dengan sorot mata menuntut jawaban yang mendesak.“Kalaupun ada, tempat itu benar-benar nggak ada di Shrim, itu ada di tempat lain,” jelasku pada akhirnya.“Oh, ya? Bisakah Kamu menunjukkan tempat itu?” tanyanya tak berhenti.Aku menggeleng dengan tegas.Daffar mendesah kecewa.“Kamu bisa menunjukkan alamatnya kalau begitu, aku bisa mengunjungi tempat itu sendiri,” ucapnya dengan agak kesal.Aku terus menatapnya lekat dengan perasaan campur aduk.“Nama tempat itu adalah Paradise, tapi tempat itu nggak beralamat, kabarnya tak ada seorang pun yang bisa ke sana, kecuali orang-orang yang beruntung menemukannya,” paparku makin berani.Mungkin karena aku tak sanggup melihat kekecewaan dalam wajah Daffar, jadi aku memutuskan untuk sedikit membocorkan apa yang ia tanyakan itu.Daffar menatapku dengan ekspresi bingung.“Atau ...,” sambungku dengan penuh penekanan.“Alamat Paradise mungkin akan muncul dalam ingatanmu di saat berikutnya,” imbuhku untuk membuatnya tidak begitu te