Aku sedikit memiringkan kepala untuk melihat langsung wajah Daffar.“Kamu sadar apa yang Kamu ucapkan?” tanyaku memastikan.“Hehm,” gumam enggan Daffar sambil mempererat pelukannya.Sesaat aku merenung.“Apa yang membuatmu berpikir begitu?” tanyaku ingin tahu.Daffar mengusap-usapkan kepalanya di pundakku.“Banyak penduduk Anbar yang menikah dengan penduduk Shrim dari jenis manusia. Tapi, kenapa para petinggi itu melarang hubungan kita?” ujar Daffar dengan suara yang berat.Lalu, ia mengembuskan napas dalam.“Bahkan, utusan Ardasyr rela bekerja sama dengan para petinggi Anbar untuk membuat aku dan Kamu terpisah,”sesalnya sedih.Kini giliran aku yang menghela napas dalam.“Ini pertama kali dalam hidupku aku menemukan seorang gadis dari jenisku sendiri, kenapa mereka melarangku?” lanjutnya tak terima.Aku merapatkan bibir agar tak mengeluarkan jawaban atas pertanyaan Daffar yang telah kuketahui.“Ironi,” sambungnya dengan nada sinis.“Dari sekian banyak wanita yang ada di Anbar, Shrim d
Daffar bergegas berjalan ke arah satu lemari yang ada di dapur. Kemudian, ia kembali dengan membawa beberapa kantong snack dan minuman kaleng.Dengan ekspresi wajah seperti anak kecil, ia meletakkan semua yang ada dalam pelukannya itu ke atas karpet."Kita akan nonton film sambil ngemil," ucapnya dengan riang.Aku tertawa terbahak-bahak."Kirain pengen apa gitu, aku sudah mikir yang macam-macam," ucapku setelah puas tertawa.Daffar tersenyum simpul."Mungkin yang begini sudah biasa dilakukan Kamu dan teman-teman mu, tapi aku belum pernah melakukannya," ujarnya dengan ekspresi sedih.Ah....Aku menyesal telah menertawakannya.Aku beringsut mendekat ke arah kantong-kantong snack yang lezat itu, mencomot satu snack potato chips dan segera membuka kantong kembung itu."Kalau begitu, ayo kita lakukan!" seruku dengan semangat.Daffar tersenyum lebar.Lalu, ia menyalakan televisi layar datar berukuran besar yang ada di depan satu set sofa berikut karpet tebalnya ini."Aku yang akan memilih f
Aku kembali menatap mata Daftar dengan dalam, tapi laki-laki itu seolah nggak mengerti jika sedang kuperhatikan. Ia terus menikmati film kartun di layar televisi.Aku meletakkan kantong snack itu di pangkuannya, lalu beranjak ke ujung karpet di mana kumpulan snack dan beberapa minuman kaleng tergeletak tak beraturan.Aku mengambil dua minuman kaleng dan membawanya ke tempat duduk ku semula."Na, minumlah!" pintaku setelah membuka tutup kaleng itu.Daffar menerima minuman kaleng itu tanpa melihatku."Terima kasih," ucapnya lembut. Kemudian ia menyesapnya."Boleh aku lanjut tanya?" izinku dengan hati-hati.Daffar mengangguk, lalu tangannya mampir ke puncak kepala ini, mengusap lembut, lalu kembali menatap layar televisi."Tanya aja," balasnya datar.Aku mengangguk puas."Apa Kamu bisa tebak di mana gelap yang Kamu ingat sebelum jingga menyusul?" tanyaku seperti polisi yang tengah menyusun pertanyaan interogasi.Daffar terlihat berusaha mengingat-ingat, wajahnya seperti sedang berpikir k
"Daffar," ucapku lembut"Setelah rasa sakit itu, apalagi yang Kamu ingat?" sambungku melanjutkan pemenuhan rasa penasaran.Pertanyaan ini membuat tubuh Daffar terlihat santai."Em..., latihan-latihan, terbang, bergerak dengan cepat, melempar bola cahaya dan banyak lagi. Intinya hal-hal seperti itu," jawabnya ringkas.Aku paham, wujud apa yang diucapkannya itu. Itu seperti yang sering aku saksikan ketika ia bertarung dengan orang-orang Anbar yang menyerangku atau apa yang pernah kusaksikan ketika ia bermain-main dengan Mazdak yang tiba-tiba muncul di kantornya."Lalu, apalagi?" lanjutku tak puas."Em... mengelilingi Anbar dan kota-kota sihir lain sebelum akhirnya keluar dari Anbar dan tinggal di kota manusia Shrim," jelasnya datar."Terus?" tanyaku haus informasi tentangnya."Ditugaskan mencari Darah Malaikat," jawabnya lugas.Hem... Sebutan itu membuat jantung ini sempat mencelos.Aku tertegun."Apa yang telah Kamu lakukan untuk mencari Darah Malaikat itu?" tanyaku dengan hati deg-deg
Daftar sedikit memelengkan kepala, matanya sedikit menyipit."Kesalahan besar...," ulangnya lirih."Kesalahan besar seperti apa?" tanyanya sambil menatap ku lembut, ia juga menyertakan sentuhan lembut di pipi ku.Aku terdiam sejenak, mulut ini nggak mungkin mengatakan bahwa kesalahan itu adalah akan membunuhnya. Sejenak lidahku kelu mengutarakan kata."Em... misalnya saja, aku melukaimu dengan sangat... parah," jelasku tersamar.Daffar terkekeh pendek."Kamu pasti punya alasan khusus jika benar-benar melakukan itu padaku. Atau bisa jadi, jika itu terjadi, Kamu nggak sengaja melakukannya," balas Daffar dengan enteng.Aku mengembuskan napas panjang.Gimana harus mengandaikannya, gimana harus menyampaikan pemisalan?Aku nggak punya cara untuk menggambarkan dengan jelas apa yang akan kulakukan pada dirinya itu."Daffar," panggilku, memilih men-skip pengandaian yang kuajukan."Hem," gumam Daffar lembut."Sebagai bagian dari Anbar, apa yang membuatmu beda dari manusia lain di Shrim? Maksudk
Daffar menggelengkan kepala pelan, dan itu begitu terasa di perut ini."Aku tahu Kamu nggak bohong, Anneth. Tapi, aku nggak tahu, karena aku memang benar-benar nggak merasakan apapun," jawabnya pelan.Ah ternyata begitu!Kekuatan Anbar dalam dirinya memang nggak butuh asupan gizi dari intisari jiwa manusia, tapi sepertinya yang Daffar nggak tahu, kekuatan itu mengambil alih sebagian dari dirinya tanpa ia sendiri merasakannya.Aku kembali menyimpulkan perilaku Daffar.Sepertinya, ada dua bagian dari dalam diri Daffar yang saling bertentangan. Sisi kegelapan yang menguasainya menekan sisi manusianya. Tapi, dalam tekanan itu, sisi manusia Daffar masih ada, terbukti dengan dia menginginkan satu kehangatan yang biasanya ada di antara manusia.Dan sekarang ini, dia memanfaatkan momen yang kubagi dengan memperturutkan keinginan manusianya. Itu kenapa tadi, kekuatan kegelapan dalam dirinya sampai menampakkan diri.Mungkin kekuatan kegelapan itu tak ingin sisi manusia itu lebih dominan dari di
Apa yang dikisahkan Daffar beberapa saat lalu tentang apa yang diingatnya seolah kembali terngiang di telinga ku.Aku mengamati dengan seksama tubuh anak laki-laki itu.Dia adalah Daffar kecil dan kegelapan pertama yang diingat dalam pikirannya adalah ketika dia diletakkan di dalam lubang kegelapan bejana darah.Ah!Bagaimana mungkin hal seperti ini bisa terjadi?Tiba-tiba aku merasakan apa yang dirasakan sosok anak kecil itu. Rasa dingin, gelap dan sendiri yang begitu mencekam.Ah ... seketika mata ini merebak.Dengan reflek aku mengusap punggung Daffar dan secara ajaib, pandangan kedua mengirimkan gambar yang sama pada punggung anak kecil itu.“Daf-far,” gumamku lirih.Mendadak tubuhku yang seolah sedang berdiri di tepi Isar didorong hingga terpental.Tubuh ini menabrak tembok seperti kejadian ketika bejana darah itu terbelah.Aku melihat Ghassan dan beberapa petinggi sihir yang biasa berdiri di kanan dan kiri ketua agung, mereka berkumpul di ruang tertinggi gedung sakral ini, menge
Seketika tubuhku terjengkang ke belakang.Aku menggunakan kedua siku untuk menopang tubuh agar kepala ini tidak terbentur lantai.“Hah!”Napasku terengah-engah.Sesaat kemudian, aku sibuk melakukan aksi tarik embus napas untuk mengatur pernapasan agar kembali stabil.“Phuh ...!”Satu embusan napas panjang mengakhiri aksi tarik embus napas. Akhirnya, aku sedikit kembali memperoleh ketenanganku.Daffar terlihat gelisah, mungkin karena jeritanku masuk ke dalam tidurnya, atau kekuatan kegelapan itu yang menggelisahkannya.“Ssst! Ssst!” bisik ku seperti sedang menenangkan anak kecil.Raut muka Daffar berangsur-angsur tenang dan kembali nyenyak.Tapi, apa itu tadi?Apa yang berada dalam selubung kekuatan kegelapan Anbar yang berada dalam tubuh Daffar?Tangan ini menyentuh pipi kiri yang masih terasa perih, ngilu dan panas.Mata ini kupejamkan untuk memutar ulang sabetan itu agar aku dapat mengindentifikasi apa yang menyabet pipi kiri ini.Aku ....Aku merasakan kulit bersisik kasar dan taja
Dengan cepat aku menggelesot di lantai.“Daffar!” teriakku kencang.Daffar terbangun dengan bingung. Lalu, ia berjalan ke arahku dan memelukku.“Apa yang terjadi?” bisik Daffar lirih.“Nggak tahu. Tiba-tiba aku mendengar ledakan yang seolah datang dari jauh. Kemudian rumah ini bergetar,” jelasku yang masih berada dalam pelukan Daffar.Aku dan Daffar masih berpelukan ketika getaran di rumah ini tak mereda dan bahkan makin menghebat.“Ayo, kita keluar!” seru Daffar dengan cepat.Ia menarik tanganku dan berjalan dengan cepat.“Agh!” seruku kencang.Tiba-tiba ada satu kekuatan tak terlihat yang menghentakan tubuhku. Aku terlepas dari pegangan Daffar.Aku berhasil menguasai diri sebelum terjerembab ke lantai. Lalu, aku kembali menggelesot di lantai.Rumah masih bergetar hebat.Ini mengingatkanku akan goncangan yang terjadi di Anbar ketika itu.Daffar hendak mendekat ke arahku, tapi-“Clap!”“Agh!”Tiba-tiba sebuah sinar mendekat ke arahku. Sinar itu menghalangi gerakan Daffar. Laki-laki it
Tubuhku menegang. Aku menatapnya lekat.“Kamu juga mengingat wajah gadis itu?” tanyaku dengan laju jantung yang berdetak kencang.Daffar menggeser posisi duduknya hingga menghadap ke arahku, ia menatap tajam dan penuh arti.Aku menahan napas.“Ya. Aku mengingatnya,” jawabnya dengan suara yang dalam.Ah?!“Gadis itu adalah Kamu,” ungkapnya dengan wajah yang terlihat serius.Aah ....Aku menunduk lesu, memejamkan mata dan menutup wajahku dengan telapak tangan.Sunyi menyela kami berdua.“Anneth,” ucap Daffar sambil menyentuh bahu ku.Aku nggak sanggup menatap wajahnya. Mata ini merebak.“Aku juga mengingat hal lain,” sambung Daffar masih dengan suara yang dalam.Pelan-pelan, aku mengangkat kepala dan memberanikan menatap matanya.“Awalnya, aku merasa sakit sekali begitu mengingat apa yang Kamu lakukan ketika itu. Tapi, kesakitan itu mengundang ingatan lain. Aku mengingat ada kekuatan kegelapan yang mengejarmu,” jelasnya dengan serius.Dia mengingat Anbar?!Lalu, Daffar mengembuskan napa
“Kamu tahu tentang Daf-?”“Tunggu!”Dua celetukan itu diakhiri dengan diam, ia menatapku penuh selidik.“Ah ...,” ucapnya di ujung selidiknya.“Aku paham sekarang kenapa ada gadis manusia dari kota Shrim mengenal Pangeran kegelapan Anbar, banyak sekali jejak Ardasyr dalam dirimu, Nona,” ucapnya penuh kepahaman.Kurasa laki-laki ini memang mengetahui dua dunia pendamping itu.Laki-laki itu mengembuskan napas dalam.“Jujur saja, aku terkejut bagaimana seorang yang sangat dicintai Anbar masih berada di Shrim setelah penarikan besar itu,” sambungnya lebih lanjut.“Apa penarikan itu yang membuatnya mati?” tanyanya kemudian.Aku menggeleng pelan.“Aku membunuhnya,” kataku jujur.“Hah?!!” serunya terperangah.Ia kembali menatapku penuh selidik.“Apa Kamu-?”“Kamu-?”“Apa Si Darah-?!”“Ya,” sahutku memotong kegaguannya.Ia menelan ludah.“Phuh .... pantas saja,” komentarnya singkat.Lalu, ia mengembuskan napas panjang.“Aku akan menceritakan apa yang kutahu sejak terlepasnya Anbar dari dunia
Aku menatap Kayla dengan antusias.“Apa ada seseorang dari dunia manusia yang mengetahui tentang Anbar?” celetuk ku tak sabar.Kayla mengangguk tanpa ragu.“Aku juga terkejut begitu dia mendatangi rumah ini. Aku benar-benar nggak menyangka ada manusia yang sangat tahu tentang Anbar,” jelasnya bersemangat.Mendengar itu, seketika harapan untuk mendapat jawaban tentang Daffar tumbuh.“Laki-laki itu datang dan memperkenalkan diri sebagai pencari jejak Anbar di dunia manusia. Dan dia langsung mengetahui jika aku menyimpan bagian dari Anbar di rumah ini,” sambung Kayla dengan cepat.“Awalnya aku nggak percaya. Tapi, ia bisa menberikan penawar bagi Nadec agar bisa bertahan di dunia manusia ini tanpa menyerap energi manusia,” sambungnya riang.“Oh, ya?!” sahutku terkejut.Kayla mengangguk dengan cepat.“Dan itu sangat berguna sekali bagi Nadec, karena setelah lepasnya Anbar dari dunia manusia, perubahan dirinya nggak bisa dikontrol,” sambung Kayla lega.“Oh, gitu,” sahutku paham.“Jadi, baga
“Anneth,” panggil Barkiya lirih.Mungkin ia membaca apa yang tersirat di wajahku, suaranya terdengar sedih.Aku menatapnya dan mengangguk pelan.“Kalau begitu, aku akan kembali ke Shrim dan mencoba mencari tahu tentang ini. Semoga ada satu petunjuk yang mungkin tercecer di sekitar Daffar,” balasku mencoba tetap semangat.Barkiya mengangguk pelan.“Anneth, maaf, kali ini kami nggak bisa membantu mu.” Yarim turut mengucapkan itu dengan sedih.Aku tersenyum pada ratu cantik itu, lalu, menatap Barkiya dan Eldona.“Aku harus segera meninggalkan Ardasyr, kita semua tahu apa yang akan terjadi jika aku berada di sini dalam waktu yang lama,” ucapku lirih.“Terima kasih untuk pesta yang akan diadakan untuk ku,” pungkasku dengan menyertakan anggukan hormat.Yarim berdiri, lalu turun dari singgasana kacanya. Ia berjalan mendekat dan memeluk ku erat.“Kini Kamu yang akan menjaga Shrim dan orang-orang yang Kamu cintai di dunia manusia. Terima kasih sudah kembali ke Ardasyr,” ucap Yarim lembut.Beri
Tarikan ini terasa makin kencang, aku memejamkan mata dan membiarkan daya tarik ini membawa ku ke satu arah.Entah berapa lama aku merasa diriku tertarik ke satu arah sampai pada akhirnya kaki ini merasa menapak pada rumput yang rimbun. Bau yang padang rumput yang kukenali tercium hidung.Aku yakin sekali beberapa meter dari sini ada sebuah danau yang terlihat tenang dan indah.“Anneth!”Panggilan itu membuatku dengan cepat membuka mata.“Eldona!” balas ku riang.Wanita berpipi gembul itu mendekat dengan gerakan terburu, di belakangnya seekeor rusa mengikutinya.“Aku tahu Kamu akan kembali lagi ke sini setelah peperangan di tanah perbatasan, meskipun, pintu gerbang ke dunia manusia nggak lagi bisa dibuka,” sambutnya antusias.“Maksudnya?” tanyaku cepat, penasaran.Aku memandang penjaga perbatasan Ardasyr itu dengan nggak sabar.“Kamu pasti tahu bagaimana rekatan Anbar terlepas dari kota-kota manusia seperti Shrim,” jelasnya mengawali.Aku mengangguk dengan cepat dan tak sabar menunggu
Daffar mengusap-usapkan kepalanya dengan pelan di perutku, dan itu membuat tubuhku bereaksi dengan sedikit bergerak mundur.Tanganku hendak menyentuh rambutnya, tapi tiba-tiba terhenti di udara. Aku memutuskan untuk membatalkannya.“Pulanglah! Kita akan bicarakan ini begitu Kamu telah mengingat semua,” ucapku lirih.Daffar menggeleng pelan.“Jangan usir aku!” ulangnya pelan.“Detik di mana aku meninggalkan mu kemarin, detik itu juga aku begitu ingin kembali ke sini,” ujarnya lirih.Aku mengembuskan napas panjang.Aku diam sejenak, mencari jalan tengah untuk membuatnya ... setidaknya mendengarkan kata-kata ku.“Daffar,” ucapku lirih.“Aku akan mengantarkan mu pulang,” lanjutku masih dengan suara lirih.Daffar kembali menggeleng dan malah mempererat lingkaran tangannya di pinggang ku.Aku menahan sesak di dada, diam sesaat, lalu dengan pelan, ragu dan kaku mulai menyentuh sehelai rambut Daffar.Tanganku berhenti ketika ketakutan dalam hatiku menggeliat.Tapi, sedetik kemudian, aku menep
Aku merasa seluruh tubuhku tegang. Ketakutan dalam hatiku yang semalam telah beristirahat kembali bangkit. Sesaat tubuhku gemetar samar.Telinga ini menempel di dadanya, bisa mendengar degup jantungnya yang terdengar samar.Jantungnya ....Jantung yang pernah kutusuk dengan belati ini kembali berdetak?Ini ....Bagaimana bisa?Aku tersadar dari keterkejutan, lalu dengan cepat menarik tubuhku ke belakang untuk menjauh dari pelukan Daffar. Tapi, alih-alih pelukan itu mengendur, pelukan itu justru makin erat.“Daf-far,” ucapku seolah hampir kehabisan napas.“Anneth,” bisiknya lirih dengan suara parau.Parau?Daffar menahan isak tangis.Apa yang kulihat di matanya tadi benar?Aku berusaha melepaskan pelukan ini sekali lagi, tapi Daffar kembali menarikku ke arah yang sebaliknya.“Anneth, aku mengingatnya,” ucapnya lirih.Aku terperanjat, mata ini membelalak. Ini yang tadi kutebak!“Aku mengingatnya ... mengingatnya dengan baik. Gimana ... gimana aku bisa melupakannya? Gimana bisa aku melup
Daffar menatapku dengan sorot mata menuntut jawaban yang mendesak.“Kalaupun ada, tempat itu benar-benar nggak ada di Shrim, itu ada di tempat lain,” jelasku pada akhirnya.“Oh, ya? Bisakah Kamu menunjukkan tempat itu?” tanyanya tak berhenti.Aku menggeleng dengan tegas.Daffar mendesah kecewa.“Kamu bisa menunjukkan alamatnya kalau begitu, aku bisa mengunjungi tempat itu sendiri,” ucapnya dengan agak kesal.Aku terus menatapnya lekat dengan perasaan campur aduk.“Nama tempat itu adalah Paradise, tapi tempat itu nggak beralamat, kabarnya tak ada seorang pun yang bisa ke sana, kecuali orang-orang yang beruntung menemukannya,” paparku makin berani.Mungkin karena aku tak sanggup melihat kekecewaan dalam wajah Daffar, jadi aku memutuskan untuk sedikit membocorkan apa yang ia tanyakan itu.Daffar menatapku dengan ekspresi bingung.“Atau ...,” sambungku dengan penuh penekanan.“Alamat Paradise mungkin akan muncul dalam ingatanmu di saat berikutnya,” imbuhku untuk membuatnya tidak begitu te